Anda di halaman 1dari 7

Nama : Trisutriyanto Adelo

NIM
Kelas

: 421414034
:B

Jurusan : S1 Pendidikan Fisika

A. Peta Politik Masa Orde Reformasi Sampai Sekarang


Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di
tahun 1998. Indonesia, kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas
disebut juga Orde Reformasi. Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya
apa yang oleh ODonnell dan Schmitter disebutnya fase liberalisasi politik.
Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah
menuju kemana.
Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan
perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak
yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal
pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik
rakyat.
Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak
politiknya

yang

selama

bertahun-tahun

dikerangkeng

oleh

negara.

Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan


partisipasi politik. Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada
tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak
mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek
penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit
politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik
berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai
politik

banyak.

Klimaks

dari

pendirian

partai

politik

adalah

diselenggarakannya pemilu di tahun 1999. Inilah pemilu pertama pasca Orde

Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing
disebut sebagai pemilu paling bersih.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi. Sebagai orde
transisi politik di Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi
dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi. Pertanyaan
mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia berkutat
pada tataran transisi?
Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada
meledaknya partisipasi politik. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena
banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya. Sebuah sistem
politik yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya
sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi
di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah
keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah evaluasi ulang
atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada. Proses input
sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang
ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah
harapan.
Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai
kemanusiaan.

Bukan

berarti

menafikan

bahwa

akan

ada

benturan

kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi sepenuhnya,


akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis
akibat keganasan sebuah rezim yang menyulam lidah-lidah rakyat dengan
benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama
yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus
dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah
keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak
pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini
dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka
yang hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi

terperangkap

pada

keistimewaan

akan

dirinya

sehingga

tidak

lagi

menganggap rakyat adalah bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai


pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan agamawan sebagai
sosok nabi.
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis
yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format
baru bagi dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat
dari partai politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu
untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah
pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada
perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga
hal ini berimbas pada sektor yang lain. Seperti sebuah virus yang menjangkiti
sebuah bangsa, maka diperlukan seorang dokter dengan jarum suntik di
tangannya untuk menyembuhkan bangsa ini. Jarum suntik ini adalah
pendidikan politik yang merata, karena partisipasi politik masyarakat
belumlah cukup. Untuk itu dibutuhkan teropong yang lebih besar buat melihat
masalah yang hadir.
Transformasi nilai yang saya maksud di atas tadi adalah puncak
tertinggi nilai-nilai universal, yaitu filsafat politik. Filsafat politik sebagai nilainilai universal adalah konstitusi tertinggi kemanusiaan, yang membawa kita
pada kemakmuran bersama. Jika mencoba membawanya pada realitas
politik, maka haru ada sebuah kedinamisan dan keadilan pengetahuan atau
yang

dibahasakan

oleh

Muhammad

Hatta

pendidikan

politik,

guna

pencapaian cita-cita filsafat politik.


Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai
topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang
lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke
dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat
pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman
atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu
dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.

Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh


pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting
saya kira adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban
atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern
pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya
itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk
memberikan pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan
padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju
kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik
harus belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa
yang carut-marut. Untuk pembiayaan kampanye saja negara masih harus
menanggungnya, ini memperlihatkan bahwa partai politik masih sangat
dimanjakan.
Banyaknya

bencana

kemanusiaan

yang

melanda

bangsa

ini,

seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan


hanya pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai
politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh
karena

dibutuhkan

kedinamisan

maupun

keseimbangan

komponen-

komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen


tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak
terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar.
Logika politik luar negeri yang ada pun membenarkan asumsi tersebut,
di mana politik luar negeri merupakan cerminan politik dalam negeri.
Sehingga dibutuhkan kondisi politik yang kuat untuk dapat menunjukkan
eksistensi bangsa pada lingkup global. Pendidikan politik yang adil serta
memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai
sebuah sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang
humanis telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang
kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada
masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting
dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas

politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang
yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak
lagi menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk
mendapatkan kekuasaan dan menjadi budak nafsu keserakahan binatang.
Jadi sistem politik Indonesia harus dilihat sebagai sebuah keseluruhan yang
saling mempengaruhi, bukan ditafsirkan secara sempit sebagai sebuah
kesalahan sebuah rezim atau kejahatan elit politik semata.
Bergumul dalam selimut politik yang di dalamnya ada kekuatan besar
sebenarnya berbahaya, terutama jika Jokowi tidak bisa menguasainya.
Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan bergabung ke
pemerintah, komposisi kekuatan di parlemen jelas bakal berubah. Presiden
Jokowi

boleh dibilang

berhasil

mengubah

peta

politik dan sukses

membangun pendekatan dengan partai politik.


Kini, ia telah mendapatkan dukungan dari tiga corong kekuasaan (tripolar),
yaitu menciptakan poros yang terhubung langsung dengan Istana, Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Tiga kekuatan politik ini pula yang menjadikan posisi Jokowi sebagai
puncak kekuasaan di Indonesia semakin kuat dan menentukan dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Dengan PAN di haluan politiknya,
Jokowi bisa lebih leluasa. Obsesi Jokowi yang ingin memainkan politik persis
seperti mendiang Bung Karno dalam memimpin negara, kini tercapai.
Seperti kita ketahui bahwa Soekarno pada masa setelah kemerdekaan
memainkan politik tripolar. Siasat politik tripolar tercatat dalam cerita yang
ditulis di buku otobiografinya, ia melakukan pergerakan politiknya secara
intens merangkul segitiga kekuasaan. Soekarno saat itu menguasai tiga
kekuatan sekaligus, yaitu Presiden, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan
Angkatan Darat. Strategi ini membuat kedudukan Presiden menjadi sangat
dominan dalam mengatur ritme politik nasional, karena Presiden dianggap
sebagai penentu, manakala ada salah satu kekuatan politik tidak mendukung
dalam kebijakan pemerintah.

Hiruk pikuk melemahnya ekonomi Indonesia yang bakal berimbas


kepada kegaduhan politik, tentu ini menjadi alasan mengapa Jokowi
memainkan tripolar politiknya. Sepertinya tahu betul apa yang harus
dilakukan agar dalam menjalankan pemerintahannya tidak kena dua
hantaman badai sekaligus. Pesonareshuffle kabinet sepertinya menjadi
senjata ampuh bagi Jokowi untuk melakukan barganing dengan salah satu
anggota KMP yaitu PAN.
Dari momen peristiwa reshuffle itulah Jokowi diyakini oleh banyak
pengamat, menggoda PAN untuk beralih haluan. Saking senangnya, PAN
sendiri sampai lupa tanpa meminta ijin dari KMP yang notabene adalah
kelompok kekuatan politik asalnya.
Awalnya, banyak yang meremehkan kemampuan politik Jokowi, namun
nyatanya justru dia lebih banyak menuai keberhasilan dibandingkan
kesuksesan dalam hal menyelamatkan ekonomi Indonesia. Bertambahnya
kekuatan politik, dan menerapkan strategi tripolar bagi Jokowi tentu ini
sebagai modal penting agar dapat terus berkuasa hingga masa empat tahun
ke depan.
Masuknya PAN kedalam kelompok partai yang mendukung pemerintah
adalah bukti bahwa Jokowi semakin matang dalam berpolitik. Tanpa bicara
yang berlebihan, dalam selimut kerja, kerja dan kerja, tapi dalam selimut
kerjanya itu, ia tetap memainkan politiknya sangat cerdik yang tidak dapat
diterka oleh lawan politiknya. Bahkan, lawan politiknya satu demi satu rontok
di tengah jalan.
Irman mengatakan, salah satu yang penting dicatat bahwa masuknya
PAN dalam koalisi pemerintahan tidak semata bisa diasumsikan negatif
seperti dalam analisis politik pada umumnya. Namun, masuknya PAN dalam
pemerintahan bisa dinilai sebagai pilihan atas haluan terhadap agenda
konstitusional yang jelas dan terukur.
Dari analisa Irman, jelas PAN sedang memainkan selimut politik
Jokowi yang memungkinkan di kemudian hari bisa menjurumuskan Jokowi
pada tatanan dilema politik yang sukar untuk dipecahkan. Dan pada akhirnya
sebuah kekuasaan yang dibangun oleh Jokowi akan sia-sia karena yang

menikmati pasti bukan dirinya tapi sekelompok kekuatan baru yang sudah
lama menetap dalam selimut politik Jokowi.
Yuda mengatakan, Presiden Jokowi telah memainkan politik layaknya
Presiden Soekarno dalam memimpin negara pasca-kemerdekaan. Namun,
Yuda menjelaskan, keadaan politik tripolar seperti ini dapat membahayakan
Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Apa yang dikatakan Yuda tentu mengacu pada peta politik di zaman
Bung Karno, yang kala itu menerapkan tripolar-nya. Selain mengandalkan
ketokohan dirinya, juga ada PKI dan TNI AD yang memainkan tripolar.
Bergumul dalam selimut politik yang di dalamnya ada kekuatan besar
sebenarnya berbahaya, terutama jika Jokowi tidak bisa menguasainya.
Apalagi, Jokowi bukan seorang ketua partai. Yang dikhawatirkan, jika
kondisi ekonomi nasional terus melemah, posisinya jelas membahayakan.
Sebab, kekuatan-kekuatan politik itu kerap bermanuver tidak terduga.

Anda mungkin juga menyukai