Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint venture dengan
Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi batubara berkapasitas 2000
ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya sendiri dimulai tahun 2003 dan
direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell juga menangani sekitar 12 proyek
gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir 70%nya untuk keperluan industri pupuk dan
sisanya untuk produksi metanol, serta hidrogen untuk keperluan pencairan batubara secara
langsung. [Chhoa, 2005].
2. Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut dengan IGCC
(Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan listrik dihasilkan dari
mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery Steam Generator), dan turbin uap.
Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco
Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG (Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara umum, teknologi pemanfaatan batubara terbagi menjadi pembakaran (combustion), pirolisis
(pyrolysis), pencairan (liquefaction), dan gasifikasi (gasification).
Pembakaran merupakan pemanfaatan batubara secara langsung untuk memperoleh energi panas,
menghasilkan produk sampingan berupa gas buang (flue gas) dan abu. PLTU merupakan salah satu
contoh pemanfaatan batubara secara langsung, dimana batubara dibakar di boiler untuk menghasilkan
panas yang akan digunakan untuk mengubah air menjadi uap air (steam), yang selanjutnya digunakan
untuk menggerakkan turbin uap dan memutar generator untuk menghasilkan energi listrik.
Sedangkan pada pirolisis, batubara dipanaskan dalam kondisi tanpa oksigen. Pada keadaan demikian,
zat terbang (volatile matter) di dalamnya akan terusir keluar. Bila suhu pemanasannya rendah, proses ini
disebut pirolisis suhu rendah (low temperature pyrolysis), menghasilkan produk berupa bahan bakar
padat non asap (coalite). Sedangkan pada pirolisis suhu tinggi, bila batubara yang diproses adalah
batubara kokas, maka akan dihasilkan kokas yang keras. Selain padatan yang disebut char ataupun
kokas, produk sampingan berupa gas dan material cair yang disebut tar juga akan dihasilkan pada
pirolisis. Pada awalnya, gas dan tar ini tidak dimanfaatkan. Gas hasil pirolisis ini dimulai dimanfaatkan
sejak tahun 1800an, yang digunakan untuk keperluan penerangan. Pemanfaatannya bahkan meluas
hingga untuk bahan bakar (fuel gas), sehingga industri pirolisis yang bertujuan untuk menghasilkan gas
dari batubara pun berkembang pesat. Pada industri ini, gas merupakan produk utama, sedangkan char
atau kokas dan tar merupakan produk sampingan. Sebelum tahun 1960an ketika bahan baku migas
mulai menggeser peranan batubara, suplai gas kota (town gas) terutama berasal dari pirolisis batubara
ini. Adapun untuk tar, pemanfaatannya dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan
teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi produk pewarna
sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku migas atau disebut
dengan petrochemicalberkembang, industri kimia berbasis batubara atau disebut dengan coalchemical telah lebih dulu eksis.
Dibandingkan dengan minyak, salah satu kekurangan batubara adalah bentuknya yang berupa padatan,
menyebabkan skala dan nilai pemanfaatannya menjadi terbatas. Pencairan batubara sebenarnya
berangkat dari pemikiran untuk lebih meningkatkan nilai guna batubara seperti halnya minyak. Seperti
disinggung pada bahasan pirolisis di atas, salah satu produk batubara ketika dilakukan pemanasan
adalah tar, yang berupa cairan. Pada dasarnya, batubara dan minyak merupakan material hidrokarbon
yang susunan utamanya terdiri dari karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O), hanya saja jumlah unsur
hidrogen dalam batubara lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan produk cairan dari batubara yang karakteristiknya menyerupai minyak, perlu diupayakan
agar kandungan hidrogennya diperbanyak sehingga mendekati minyak. Proses ini disebut dengan
hidrogenasi (hydrogenation), dimana batubara dipanaskan dalam kondisi tekanan tertentu, disertai
penambahan katalis. Pencairan batubara dengan metode ini merupakan salah satu pencairan batubara
secara langsung (direct coal liquefaction, DCL) yang disebut dengan proses Bergius. Metode ini
digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I dan II untuk memenuhi kebutuhan minyak sintetik oleh
militer. Selain itu, Jepang pun berhasil mengembangkan sendiri teknologi DCL ini dengan
menggabungkan 3 macam metode pencairan pada batubara bituminus yaitu, direct
hydrogenation, solven extraction, danSolvolysis. Teknologi tersebut dikenal dengan proses NEDOL, yang
dapat diaplikasikan pula untuk pencairan batubara muda.
Selain pencairan secara langsung, metode lain untuk menghasilkan minyak sintetik dari batubara adalah
dengan pencairan tidak langsung (indirect coal liquefaction, ICL), yaitu melalui proses gasifikasi batubara
yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini. Pada perkembangannya, pencairan batubara akhirnya
lebih banyak menggunakan metode tidak langsung, yaitu melalui gasifikasi.
Teknologi Gasifikasi
Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas gas yang memiliki
nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah pembakaran (combustion) sebagai
bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas) yang dihasilkan dari pembakaran tidak memiliki nilai
kalor yang signifikan untuk dimanfaatkan [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan
konversi material yang mengandung karbon, maka semua hidrokarbon seperti batubara, minyak, vacuum
residue, petroleum coke atau petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam dapat digasifikasi untuk
menghasilkan gas sintetik (syngas).
Karena bertujuan untuk mengenalkan gasifikasi batubara, maka tulisan ini membatasi pembahasannya
hanya pada ruang lingkup gasifikasi batubara dan aplikasinya.
Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu pirolisis, hidrogenasi,
dan oksidasi sebagian (partial oxidation).
Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi saat ini pirolisis lebih
banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oildari bahan baku biomassa. Metode yang dipakai
adalah flash pyrolysis, dimana biomassa dipanaskan secara cepat tanpa oksigen pada suhu tinggi antara
450~600, dengan waktu tinggal gas (residence time) yang pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer,
Brem, 2006].
Adapun hidrogenasi yang dimaksud disini adalah hidrogasifikasi (hydro-gasification), yang bertujuan
memproduksi gas metana (Synthetic Natural Gas) langsung dari batubara. Karena operasional
hidrogasifikasi memerlukan tekanan yang tinggi, teknologi ini kurang berkembang dan akhirnya tidak
sampai ke tahap komersial. [Higman, van der Burgt, 2003]
Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur kadar oksigen
dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan tersebut dapat berupa udara (air),
oksigen murni, maupuan uap air (steam). Produk yang dihasilkan oleh oksidasi sebagian adalah gas
sintetik, dimana 85% lebih volumenya terdiri dari hidrogen (H 2) dan karbon monoksida (CO), sedangkan
karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat dalam jumlah sedikit. Dengan karakteristik produk yang
dihasilkan, secara praktikal, istilah gasifikasi sebenarnya merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk
selanjutnya, penjelasan tentang gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi
sebagian.
Gasifikasi Batubara
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batubara, yaitu tipe moving
bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan mengambang), dan entrained flow (aliran semburan).
Karena masing masing penggas memiliki kelebihan dan kekurangan, maka alat mana yang akan
digunakan lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan tujuan gasifikasi.
Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran agak besar, sekitar
beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari bagian atas, sedangkan oksidan berupa
oksigen dan uap air dihembuskan dari bagian bawah alat. Mekanisme ini akan menyebabkan batubara
turun pelan pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batubara adalah lama yaitu
sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu. Karena penggas model ini beroperasi pada
suhu relatif rendah yaitu maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki
suhu leleh abu (ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar abu tidak meleleh yang
akhirnya mengumpul di bagian bawah alat sehingga dapat menyumbat bagian tersebut. Disamping
produk utama yaitu gas hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi pada suhu relatif rendah ini akan
meningkatkan persentase gas metana pada produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai
kalor gas sintetik yang dihasilkan, maka penggas moving bedsesuai untuk produksi SNG (Synthetic
Natural Gas) maupun gas kota (town gas).Contoh alat tipe ini adalah penggas Lurgi, yang digunakan oleh
Sasol di Afrika Selatan untuk produksi BBM sintetis dan Dakota Gasification di AS untuk produksi SNG.
Salah satu kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetik dari batubara adalah South African Coal Oil
and Gas Corporation atau yang dikenal dengan Sasol di Afrika Selatan, yang saat ini memproduksi
gas sintetik sebesar 55 juta Nm3 per hari menggunakan penggas Lurgi, dan memproduksi minyak
sintetik sebanyak 150 ribu barel per hari melalui sintesis Fischer-Tropsch.
Berawal dari boikot dunia terhadap politik apartheid sehingga menyebabkan Afsel tidak dapat
membeli minyak mentah di pasaran, pemerintah setempat akhirnya meluncurkan proyek CTL setelah
menyadari bahwa Afsel memiliki cadangan batubara yang melimpah. Pabrik pertama (Sasol I) selesai
didirikan di Sasolburg pada tahun 1954, dan minyak sintetik pertama dipasarkan pada tahun
berikutnya. Pada tahun 1960, keuntungan pertama (first profit) berhasil diraih oleh Sasol setelah 5
tahun operasional. Pabrik Sasol II diumumkan pada tahun 1974 ketika harga minyak dunia mencapai
US$13/barel saat itu (setara US$40/barel tahun 2003) akibat perang Oktober di Timteng tahun 1973.
Sedangkan Sasol III diumumkan tahun 1979 ketika harga minyak mencapai US$35/barel saat itu
(setara US$80/barel tahun 2003) akibat revolusi Iran. Sasol II dan Sasol III masing masing selesai
didirikan pada tahun 1980 dan 1984.
Saat ini, Sasol mempekerjakan 170 ribu karyawan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang merupakan 2% tenaga kerja sektor formal di Afsel. Selain itu, Sasol juga menyumbang 4% GDP
atau sekitar US$ 7 milyar, serta menyuplai 40% kebutuhan BBM dalam negeri Afsel (28% dari
batubara). [van de Venter, 2005]
2. Pembangkit listrik (Coal to Power)
Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas pembangkit listrik yang
telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada 3 pilihan yang dapat dilakukan
untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga teknologi pembersihan pasca pembakaran
(post-combustion clean up technology) dapat diterapkan, modifikasi sistem pembangkitan berbahan
bakar batubara menjadi pembangkitan kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined
Cycle, NGCC), dan modifikasi sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi
batubara untuk menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]
pembangkitan pada IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan
konvensional (pulverized coal) yang saat ini mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang dihasilkan dari gasifikasi
seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan. H2S dan COS dapat diproses
dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat yang merupakan produk
sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan air. Uap air raksa dibersihkan
dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan karbon aktif. Adapun abu akan meleleh
selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah menjadi padatan (glassy slag) yang stabil. Material
ini dapat digunakan untuk campuran bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].
Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas
253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini pada awalnya
merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec. Pembangkit ini menghasilkan
efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang
sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi
pengambilan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat mudah
menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada
buangan air limbah ke lingkungan.[Chhoa, 2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah biaya
pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan, IGCC juga
tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi menyuplai oksigen ke
penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas, turbin uap, HRSG) dan unit
ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin
untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya pembangkitan pada IGCC, satu satunya cara adalah
dengan meningkatkan performa penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang
efisien. [van der Burgt, 1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan,
biaya pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya pembangkitan
pada pembangkit pulverized coal (PC) yang saat ini mendominasi yang ongkos pembangkitannya
cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan pada tahun 2010, di
Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos pembangkitan pada PC, yaitu
sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin besar unit
otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan menyebutkan bahwa IGCC
komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].
contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik, memproduksi bahan baku industri
kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus. Mekanisme ini disebut
dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).
Gambar 5. Polygeneration
(Sumber: B. Trap, dkk, Eastman Gasification Services Company)
Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan efek ekonomis yang
ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih dari sekedar komoditas dagang
belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya strategis untuk menjamin kemandirian energi
dan industri suatu bangsa di masa mendatang.
Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia terkait hal ini.
Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi penulis melihat bahwa tahun
tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan kebijakan energi pemerintah Cina yang perlu
dijadikan pelajaran.
Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara sebanyak 1,502 milyar ton
dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada tahun 2003. Di tahun berikutnya, terjadi
peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga total produksi menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya,
meskipun terjadi kenaikan produksi, volume ekspor batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton
(4,4% total produksi). Bersamaan dengan penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton
pada tahun 2003 menjadi 18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akhirnya
memaksa pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan batubara merupakan
pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan meningkatnya volume impor
batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan proyek proyek pembangunan pabrik
pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya sampai tahun 2020 untuk mendongkrak perekonomian
mereka melalui mekanisme gasifikasi batubara.
Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1 juta ton, dengan
volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada tahun 2004 terjadi
peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi 129 juta ton, dengan
peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi). Sungguh ironis bahwa pemerintah tidak
mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang dulunya eksportir minyak, sekarang menjadi
importir murni sejak tahun 2004. Sangat disayangkan pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa
batubara tidak lebih dari komoditas ekspor belaka seperti halnya minyak dulu.