Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Jika ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik, akan terjadi
penumpukan zat-zat sisa metabolisme dalam tubuh sehingga menimbulkan efek-efek toksik.
Penyakit ginjal kronik dapat berkembang secara cepat, dalam 2 3 bulan, ataupun secara
lambat, dalam kurun waktu lebih dari 30 40 tahun.1 Penyakit ginjal kronik dapat
menyebabkan berbagai komplikasi berat seperti penumpukan cairan di paru / edema paru,
anemia, hiperlipidemia, penyakit jantung, osteodistrofi renal, gangguan keseimbangan asambasa, malnutrisi dan gangguan sistem saraf pusat. Komplikasi-komplikasi tersebut terjadi
pada fase gagal ginjal, dan memerlukan terapi pengganti ginjal dimana salah satunya adalah
hemodialisis.
Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi:
identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna.
Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus,
hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal,
infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID,
antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.
Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang
dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit
kardiovaskular dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.

BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama

: Tn. Baharudin

Umur

: 57 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: jl. Bumi jaya , palas, lampung selatan

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Petani

Status

: Menikah

Tgl Masuk RS

: 21-08-2015

Tanggal keluar RS

: 25-08-2015

Anamnesa

: Autoanamnesa

Keluhan Utama

: Mual-Muntah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan mual muntah sejak 4 bulan SMRS dan
semakin memberat sejak 2 minggu SMRS. Pasien muntah > 4x sehari. Banyaknya
muntah yang keluar gelas belimbing. Mual muntah dirasakan memberat setiap
pasien makan. Mual muntah tidak berkurang walaupun minum obat. Muntah hanya
berisi sisa makanan yang masuk,tidak ada darah. Mual muntah disertai nyeri perut
diulu hati. Nyeri perut tidak menjalar kebagian perut yang lain. Nyeri perut dirasakan
hilang timbul. Nyeri perut memberat jika pasien muntah.
2

Pasien mengeluh nafsu makannya berkurang, dan merasa berat badannya


berkurang. Os mengeluh badannya terasa lemas. BAB tidak ada keluhan. Pasien
mengeluh adanya sakit kepala, sakit kepala dan tengkuk terasa berat. Sakit kepala
seperti berdenyut.
3 minggu SMRS pasien mengatakan jumlah BAKnya lebih sedikit daripada
biasanya. Sering BAK pada malam hari tidak dikeluhkan pasien. Pasien tidak
mengeluh adanya nyeri pada saat BAK , BAK disertai pasir maupun berwarna merah.
2 minggu SMRS pasien mengeluh kedua kakinya bengkak. Pasien
menyangkal adanya sesak.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi yang diketahui pasien

sejak 5 bulan yang lalu, namun pasien

mengatakan tidak rutin meminum obat, riwayat DM (-), Batu saluran kencing (+) 5 tahun
yang lalu namun tidak dioperasi hanya meminum obat saja dan pernah keluar ada batu dari
saluran kencing
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Pengobatan :
Pasien berobat untuk hipertensinya namun pasien tidak rutin kontrol.
Riwayat Habituasi

: Pasien merokok

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran

: Composmentis

Tekanan darah

: 250/ 150 mmHg

Nadi

: 100x/menit

Pernapasan

: 23x/menit

Suhu

: 36,8oC

BB

: 75 kg

Kepala

: Bentuk Normocephali

Mata

: conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-) , Reflek cahaya (+/+) , isokor

Telinga: Bentuk normal , serumen (-/-), sekret (-/-)

Hidung
(-/-)

: Pernapasan cuping hidung(-), deviasi septum (-), sekret (-/-) , oedem konka

Mulut

: bibir kering , sianosis (-)

Leher

: Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, JVP (5+2)cmH20, KGB tidak teraba
membesar

Toraks :
Pulmo Anterior :
Inspeksi

: Bentuk dan gerak dada simetris

Palpasi

: Krepitasi (-), masa (-) , Vocal fremitus normal +/+.

Perkusi

: sonor seluruh lapang paru.

Auskultasi

: vesikuler +/+, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Pulmo Posterior :
Inspeksi

: DBN
4

Cor

Palpasi

: Krepitasi (-), masa (-) , Vocal fremitus normal +/+

Perkusi

: sonor seluruh lapang paru +/+

Auskultasi

: vesikuler +/+, Ronkhi (-), wheezing (-/-)

:
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

Batas jantung kanan


batas jantung kiri
pinggang jantung
Auskultasi

: ICS IV Linea sternalis dextra


: ICS V Linea Midclavicularis sinistra
: ICS III linea Parasternalis sinistra
: Bunyi jantung I - II, regular,
murmur (-), gallop (-).

Abdomen :
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi, caput meduse (-)

Auskultasi : Bising usus (+).


Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi

: Supel, Nyeri tekan epigastrium,Defans Muskular (-), hepar dan lien


tidak teraba, Balotmen ginjal (-/-)

Ekstremitas :
Edema
-

Kekuatan otot
5

Refleks fisiologis

: N/N

Refleks patologis

: -/-

Pemeriksaan Laboratorium
-

Hb
Leukosit
Ureum
Kreatinin
GDS

: 8,1 gr/dl
: 6.400 gr/dl
: 137 mg/dl
: 10,3 mg/dl
: 117 mg%

Diagnosa:
-

CRF stage 5
Hipertensi Emergency
Anemia

Terapi IGD

Farmakologis
IVFD RL 12 tts / mnt
Cefoperazone 1g/24 j
Furosemid 1 amp/12 j
Ranitidin 1A/ 12 jam
Keterolac 1 amp/8 jam
Antasid 3x1
Rebamipide 3x1
Captopril 2x25 mg
Rencana Kerja
1. Rencana Pemeriksaan Penunjang
o Foto Ro thoraks
o EKG
o AGD dan elektrolit
o USG Abdomen
2. Konsultasi Dokter spesialis penyakit dalam
Non farmakologis
o Diet rendah garam
o Diet Rendah protein 0,6-0,8 mg/kgbb

Prognosis

Quo ad vitam

: Dubia Ad Malam

Quo Ad functionam

: Dubia Ad Malam

Quo Ad Sanationam : Dubia Ad Malam

21-08-2015
S

Pasien masih mual muntah , nyeri ulu hati, sakit kepala, kaki bengkak

KS : CM
BB : 75 kg
Jam

TD

17.00

250/150 mmHg

N
100x/mnt

RR

23x/mnt

36,8o C

Mata : conjungtiva anemis (+/+), skelra ikterik (-/-).


Toraks : DBN
Abdomen
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi.

Auskultasi

: bising usus +

Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, Nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi
(-)

: Suple, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, Ballotmen

Ekstremitas
A

: oedem kedua tungkai

CRF Stage 5
Hipertensi Emergency
Anemia

Observasi TPRS
IVFD D5 12 tts / mnt
Cefoperazone 1g/24j
Furosemid1 amp/8 jam
Ranitidin 1A/ 12 jam
Ethiferan 1A/8 jam
Captopril 2 x 25 mg
Hemafort 2 x 1
Kolkatriol 2 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
Tranfusi 2 kolf PRC

FOLOW UP 22-08-201
S

Pasien masih mual muntah 3x , nyeri ulu hati, sakit kepala, kaki bengkak

KS : CM
BB : 75 kg
Jam

TD

RR

07.00 : 190/ 100 mmHg

88x/m

20 x/m

36 c

12.00:

88x/m

20 x/m

36.7c

180/100 mmHg

Mata : conjungtiva anemis (+/+), skelra ikterik (-/-).


Toraks : DBN
Abdomen
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi.

Auskultasi

: bising usus +

Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, Nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi
(-)

: Suple, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, Ballotmen

Ekstremitas
A

: oedem kedua tungkai

CRF Stage 5
Hipertensi stage II
Anemia

Observasi TPRS
IVFD D5 12 tts / mnt
Cefoperazone 1g/24j
Furosemid1 amp/8 jam
Ranitidin 1A/ 12 jam
Ethiferan 1A/8 jam
Captopril 2 x 25 mg
Hemafort 2 x 1
Kolkatriol 2 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
Kidmin

Follow Up 23-08-2015
S

Pasien masih mual muntah 2x , nyeri ulu hati, sakit kepala, bengkak di kedua kaki(+)

KS : CM
BB : 75 kg
Jam

TD

RR

07.00 : 160/ 100 mmHg

80x/m

20 x/m

36.7 c

Mata : conjungtiva anemis (+/+), skelra ikterik (-/-).


Mulut : mukosa bibir kering
Toraks : DBN
Abdomen
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi.

Auskultasi

: bising usus +

Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, Nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi
teraba.

: Suple, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak
Ekstremitas

: Edema kedua tungkai

Lab: ureum : 128 mg/dl , creatinin: 12,5 mg/dl


A

CRF Stage 5
Hipertensi stage II
Anemia

Observasi TPRS

IVFD D5 12 tts / mnt


Cefoperazone 1g/24j
Furosemid1 amp/8 jam
Ranitidin 1A/ 12 jam
Ethiferan 1A/8 jam
Captopril 2 x 25 mg
Hemafort 2 x 1
Follow
Up 24-08-2015
Kolkatriol
2x1

- Kidmin /hr
- Amlodipin 1x10 mg

Pasien masih mual muntah 2x , nyeri ulu hati, sakit kepala, bengkak di kedua kaki(+)
S
O

gatal- gatal di bagian perut


.KS : CM
BB : 75 kg
Jam

TD

07.00 : 160/ 90 mmHg

N
80x/m

RR
20 x/m

T
36.7 c

Mata : conjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-).


Mulut : mukosa bibir kering
Toraks : DBN
10

Abdomen
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi.

Auskultasi

: bising usus +

Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, Nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi
teraba.
Ekstremitas

: Suple, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak
: Edema
-

CRF
Hipertensi stage II
Anemia

Observasi TPRS
IVFD D5 12 tts / mnt
Cefoperazone 1g/24j
Furosemid1 amp/8 jam
Ranitidin 1A/ 12 jam
Ethiferan 1A/8 jam
Captopril 2 x 25 mg
Hemafort 2 x 1
Kolkatriol 2 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
Kidmin

Follow Up 25-08-2015
S

Pasien masih mual (+) muntah (-) , nyeri ulu hati, sakit kepala, bengkak di kedua
kaki(+), gatal dibagian perut

KU : tampak sakit sedang.


KS : CM
BB : 75 kg
Jam

TD

07.00 : 130/ 90 mmHg

N
80x/m

RR
20 x/m

T
36.7 c

Mata : conjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-).

11

Mulut : mukosa bibir kering


Toraks : DBN
Abdomen
Inspeksi

: Datar, Tidak tampak distensi.

Auskultasi

: bising usus +

Perkusi

: Tympani seluruh lapang perut, Nyeri ketok CVA (-/-).

Palpasi
teraba.

: Suple, Nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, ginjal tidak

Ekstremitas

: Edema
-

CRF Stage 5
Hipertensi stage I
Anemia

BLPL
Captopril 2 x 25 mg
Amlodipin 1 x 10 mg
Furosemid 1-1-0
Rebamipid 3 x 1
Ciprofloxacin 2x1
HCT 1-1-0
Edukasi untuk rencana Hemodialisa

12

BAB III
PEMBAHASAN

Fisiologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang mempunyai pembuluh darah yang sangat banyak (sangat
vaskuler) tugasnya memang pada dasarnya adalah menyaring / membersihkan darah. Aliran
darah ke ginjal adalah 1,2 liter/menit atau 1.700 liter/hari, darah tersebut disaring menjadi
cairan filtrat sebanyak 120 ml/menit (170 liter/hari) ke tubulus. Cairan filtrat ini diproses
dalam tubulus sehingga akhirnya keluar dari kedua ginjal menjadi urin sebanyak 1-2
liter/hari. Fungsi ginjal adalah:1,2
(1) memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksin atau racun,
(2) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
(3) mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh,
(4) mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak,
(5) mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang, (6) produksi hormon yang
mengontrol tekanan darah,
(7) produksi hormon eritropoietin yang membantu pembuatan sel darah merah.

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses perubahan patologis pada fungsi maupun
struktur ginjal, sehingga terjadi penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Kriteria penyakit ginjal kronik antara lain :3
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan

laju filtrasi glomerulus

(LFG)
13

a. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1.73 m2 selama 3 bulan,


dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Kelainan patologis
Terdapat tanda kelainan ginjal (komposisi darah atau urin atau kelainan
dalam tes pencitraan)

b. Laju filtrasi glomerulus menggambarkan laju cairan yang disaring melewati


ginjal.
Banyak formula yang tersedia dalam mengukur laju filtasi glomerulus, namun yang
biasa digunakan adalah formula Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Laju filtrasi glomerulus digunakan dalam membuat klasifikasi penyakit ginjal kronik
berdasarkan derajat penyakitnya3.

14

Tabel. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik4

Pada pasien ini keluhan yang dirasakan + 4bulan, dan didapatkan penurunan LFG <
15 ml/menit/1.73 m2 yang sudah masuk kedalam stage 5 yaitu gagal ginjal. Yang
dapat kita hitung GFR nya dengan Kreatinin
GFR =

: 10,3 mg/dl

(140-U) x BB
15

(72 x kreatinin darah)


(140-57) x 75
= 8,39 ml/mnt/1.73 m2
(72 x 10,3)
Maka pada kasus ini masuk kedalam CRF stage 5 yaitu dengan melihat hasil GFR
GFR =

yang < 15 ml/menit/1.73 m2.

Dibawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price, dan Wilson (2006)
diantaranya adalah tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif,
gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati
toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1. Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronik dan refluks nefropati.
2. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna,
dan stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan
seklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta
amiloidosis.
7. Nefropati toksik seperti penyalah gunaan analgetik, dan nefropati timah.
8. Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu,
neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari
hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
16

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang menjalani


hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis (46,39%), Diabetes melitus
(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi (8,46%), Sebab lain (13,65%).

Dari kasus diatas penyebab daripada gagal ginjanya dari riwayat batu saluran kencing
yg terjadi kira- kira 5 tahun yang lalu lalu namun tidak dioperasi hanya meminum
obat saja dan pernah keluar ada batu dari saluran kencing, dan tidak menutup
kemungkinan juga karena hipertensinya karena pasien mengatakan baru diketahui
hipertensinya sekitar 5 bulan yang lalu karena kebetulan cek tekanan darah karena
sakit. Riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung serta asma
disangkal, demikian pula tidak ada riwayat trauma pada kedua ginjal.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti
oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi3,6.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
17

Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air serta elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah
15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium
gagal ginjal.3
Pada penelitian oleh Ravera dkk (2009), prevalensi penyakit ginjal kronik
pada pasien hipertensi & diabetes melitus (DM) tipe II mencapai 26%, dengan angka
yang tinggi pada usia tua dan wanita. Pada pasien (DM), berbagai gangguan pada
ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih,
pielonefritis akut maupun kronik, dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis, yang
selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien diabetes. Akan tetapi
yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah penyakit
ginjal diabetik, yang patologinya berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus.7
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
18

masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi,
sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi
dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah
(NUD) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak
hanya dipengarui oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti steroid.8
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan
dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak
mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada
penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehar-ihari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan
dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai
kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan
hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang
semakin memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan
tubulus ginjal untuk mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat
(HCO3). Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
19

Kerusakan ginjal pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun


dan anemia terjadi disertai sesak napas, angina dan keletian. Eritropoetin yang tidak
adekuat dapat memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan karena setatus pasien, terutama dari
saluran gastrointestinal sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri
adalah subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Abnormalitas utama yang lain pada CKD
menurut Smeltzer, dan Bare (2001) adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat
tubuh yang memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang
lain menurun. Penurunan LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari
kelenjar paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu
metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat
didalam ginjal menurun, seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang
uremik dan sering disebut Osteodistrofienal. Osteodistrofienal terjadi dari perubahan
komplek kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi
ginjal juga berkaitan dengan gangguan yang mendasari ekresi protein dan urin, dan
adanya hipertensi. Pasien yang mengekresikan secara signifikan sejumlah protein atau
mengalami peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada
mereka yang tidak mengalimi kondisi ini.

Karena pada CKD setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien
akan menunjukkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala tergantung pada
20

bagian dan tingkat kerusakan ginjal, dan kondisi lain yang mendasari. Manifestasi yang
terjadi pada CKD antara lain terjadi pada sistem kardio vaskuler, dermatologi, gastro
intestinal, neurologis, pulmoner, muskuloskletal dan psiko-sosial menurut Smeltzer, dan Bare
(2001) diantaranya adalah :8
1. Kardiovaskuler :
a. Hipertensi, yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Edema pulmoner, akibat dari cairan yang berlebih.
2. Dermatologi seperti Pruritis, yaitu penumpukan urea pada lapisan kulit.
3. Gastrointestinal seperti anoreksia atau kehilangan nafsu makan, mual sampai dengan
terjadinya muntah.
4. Neuromuskuler seperti terjadinya perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu
berkonsentrasi, kedutan otot sampai kejang.
5. Pulmoner seperti adanya seputum kental dan liat, pernapasan dangkal, kusmol,
sampai terjadinya edema pulmonal.
6. Muskuloskletal seperti terjadinya

fraktur

karena

kekurangan

kalsium

dan

pengeroposan tulang akibat terganggunya hormon dihidroksi kolekalsi feron.

Pada pasien ini mengeluhkan mual muntah sejak 4 bulan SMRS dan semakin
memberat sejak 2 minggu SMRS. Pasien muntah > 4x sehari. Banyaknya muntah
yang keluar gelas belimbing. Mual muntah dirasakan memberat setiap pasien
makan. Mual muntah tidak berkurang walaupun minum obat. Muntah hanya berisi
sisa makanan yang masuk,tidak ada darah. Mual muntah disertai nyeri perut diulu
hati. Nyeri perut tidak menjalar kebagian perut yang lain. Nyeri perut dirasakan hilang
timbul. Nyeri perut memberat jika pasien muntah.
Pasien mengeluh nafsu makannya berkurang, dan merasa berat badannya berkurang.
Os mengeluh badannya terasa lemas. BAB tidak ada keluhan. Pasien mengeluh
adanya sakit kepala, sakit kepala dan tengkuk terasa berat. Sakit kepala seperti
berdenyut.
21

3 minggu SMRS pasien mengatakan jumlah BAKnya lebih sedikit daripada biasanya.
Sering BAK pada malam hari tidak dikeluhkan pasien. Pasien tidak mengeluh adanya
nyeri pada saat BAK , BAK disertai pasir maupun berwarna merah. 2 minggu SMRS
pasien mengeluh kedua kakinya bengkak

Gambaran Laboratorium pasien CRF9 yaitu,Pemeriksaan analisis urin awal dengan


menggunakan tes dipstick dapat mendeteksi dengan cepat adanya proteinuri, hematuri, dan
piuri. Pemeriksaan mikroskopis urin dengan spesimen urin yang telah disentrufugasi untuk
mencari adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kast. Sebagian besar anak dengan CKD
memiliki banyak hyalin cast. Granular cast yang berwarna keruh kecoklatan menunjukkan
nekrosis tubular akut, sedangkan red cell cast menunjukkn adanya suatu glomerulonefritis.
Untuk diagnostik dan pengamatan anak dengan CKD diperluka pemeriksaan kimiawi serum,
seperti pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan tes yang paling penting,
sedangkan pemeriksaan kadar natrium, kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase,
hormon paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan pencegahan
komplikasi CKD. Anemia merupakan temuan klinis penting pada CKD dan dapat
menunjukkan perjalanan kronis gagal ginjal sehingga pemeriksaan darah lengkap atau
complete blood count harus dilakukan.
Laju filtrasi glmerulus setara dengan penjumlahan laju filtrasi di semua nefron yang
masih berfungsi sehingga perkiraan GFR dapat memberikan pengukuran kasar jumlah nefron
yang masih berfungsi. Pemeriksaan GFR biasanya dengan menggunakan creatinine
clearance, akan tetapi untuk pemeriksaan ini kurang praktis karena membutuhkan
pengumpulan urin 24 jam. Untuk kepentingan praktis perhitungan GFR digunakan rumus
berdasarkan formula Schwartz atau Counahan- Barrat.
Pada kasus ini didapatkan:
22

Hb: 8,1 gr/dl


Ureum: 137 mgdl
Kreatinin: 10,3 mg/dl

Pemeriksaan pencitraan dapat membantu menegakkan diagnosis CKD dan memberikan


petujuk kearah penyebab CKD.9,10
Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau nefrokalsinosis.
Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan karena aman,
mudah, dan cukup memberikan informasi. USG merupakan modalitas terpilih untuk
kemungkinan penyakit ginjal obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT
untuk mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan kista jinak dengan
tumor solid, juga sering digunakan untuk menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak terdeteksi
pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengidentifikasi
batu ginjal. CT Scan dengan kontras harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal
untuk menghindari terjadinya gagal ginjal akut.
MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan CT tetapi tidak
dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya untuk mendeteksi adanya trombosis vena
renalis. Magnetic resonance angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri
renalis, meskipun arteriografi renal tetap merupakan diagnosis standar.
Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan menggunakan
radioisotope scanning 99m-technetium dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini
lebih sensitif dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut ginjal dan
merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati refluks.
Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.

23

Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik untuk mendiagnosis
dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius. Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari
anamnesis didapatkan kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak
menunjukkan adanya hidronefrosis.
Pemeriksaan tulang: Hal ini bermanfaat untuk mengevaluasi hiperpartiroid sekunder yang
merupakan bagian dari osteodistrofi, dan juga perkiraan usia tulang untuk memberikan terapi
hormon pertumbuhan.

Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006)
antara lain adalah :8
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme,
dan masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.

24

9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

Pada kasus ini diberikan terapi cairan D5, untuk mengatasi anemia nya di tranfusi
PRC 2 kolf, diberikan furosemide 1 amp /8 j, untuk mual muntahnya diberikan
ranitidin dan ethiferan, hipertensinya diberikan obat captopril 2x 25 mg dan amlodipin
1x 10 mg dan dikombinasikan juga dengan HCT ( 1-1-0) diberiakn juga kolkatriol
2x1, hemafort 2x1.
Menurut Suwitra (2006) penatalaksanaan untuk CKD secara umum antara lain adalah
sebagai berikut :11
1.

Waktu yang tepat dalam penatalaksanaan penyakit dasar CKD adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga peningkatan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasono grafi, biopsi serta pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
Sebaliknya bila LFG sudah menurun sampai 2030 % dari normal terapi dari penyakit

dasar sudah tidak bermanfaat.


2. Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit CKD, hal tersebut untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat
memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tak terkontrol, infeksi traktus urinarius,
obstruksi traktus urinarius, obatobatnefrotoksik, bahan radio kontras, atau
peningkatan aktifitas penyakit dasarnya. Pembatasan cairan dan elektrolit pada
penyakit CKD sangatdiperlukan. Hal tersebut diperlukan untuk mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskuler. Asupan cairan diatur seimbang antara masukan
dan pengeluaran urin serta Insesible Water Loss (IWL). Dengan asumsi antara 500800 ml/hari yang sesuai dengan luas tubuh. Elektrolit yang harus diawasi dalam
25

asupannya adalah natrium dan kalium. Pembatasan kalium dilakukan karena


hiperkalemi dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu
pembatasan obat dan makanan yang mengandung kalium (sayuran dan buah) harus
dibatasi dalam jumlah 3,5- 5,5 mEg/lt. sedangkan pada natrium dibatasi untuk
menghindari terjadinyahipertensi dan edema. Jumlah garam disetarakan dengan
tekanan darah dan adanya edema , jumlah asupan garam 2-3 g/hr
3. Menghambat perburukan fungsi ginjal. Penyebab turunnya fungsi ginjal adalah
hiperventilasi glomerulus yaitu :
a) Batasan asupan protein, mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas
batasan tersebut tidak dianjurkan pembatasan protein.Protein yang dibatasi antara
0,6-0,8/kg BB/hr, yang 0,35-0,50 gr diantaranya protein nilai biologis tinggi.
Kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/ kg BB/hr dalam pemberian diit. Protein
perlu dilakukan pembatasan dengan ketat, karena protein akan dipecah dan
diencerkan melalui ginjal, tidak seperti karbohidrat. Namun saat terjadi malnutrisi
masukan protein dapat ditingkatkan sedikit, selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfor, sulfur, dan ion anorganik lain yang diekresikan
melalui ginjal. Selain itu pembatasan protein bertujuan untuk membatasi asupan
fosfat karena fosfat dan protein berasal dari sumber yang sama, agar tidak terjadi
hiperfosfatemia. Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat.
Agen yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
b) Terapi farmakologi untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat

anti hipertensi disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko komplikasi pada


kardiovaskuler juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron
dengan cara mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
26

Selain itu pemakaian obat hipertensi seperti penghambat enzim konverting


angiotensin (Angiotensin Converting Enzim / ACE inhibitor) dapat memperlambat
perburukan fungsi ginjal. ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan obat
antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi
glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik
dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas
membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB
mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti
batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka
biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon
positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.
Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien CKD,
tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar
protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75
mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan
tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg.
4. Pencegahan dan terapi penyakit kardio faskuler merupakan hal yang penting, karena
40-45 % kematian pada penderita CKD disebabkan oleh penyakit komplikasinya pada
kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk pencegahan dan terapi penyakit vaskuler
adalah pengendalian hipertensi, DM, dislipidemia, anemia, hiperfosvatemia, dan
terapi pada kelebian cairan dan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan
terapi terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.
Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL
dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian
tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat
dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat
dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui
27

menyebabkan perburukan fungsi ginjal. Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed
Red Cells (PRC) sebanyak 2 kolf.
5. CKD mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat
penurunan LFG. Seperti anemia dilakukan penambahan / tranfusi eritropoitin.
Pemberian kalsitrol untuk mengatasi osteodistrasi renal. Namun dalam pemakaiannya
harus dipertimbangkan karena dapat meningkatkan absorsi fosfat.
6. Terapi dialisis dan transplantasi dapat dilakukan pada tahap CKD derajat 4-5. Terapi
ini biasanya disebut dengan terapi pengganti ginjal.

I.

Indikasi dialisis adalah :


1.Uremia > 200 mg%
2.Asidosis dengan pH darah < 7,2
3.Hiperkalemia > 7 meq/ liter
4.Kelebihan / retensi cairan dengan taanda gagal jantung / edema paru
5.Klinis uremia, kesadaran menurun ( koma )

28

BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit
ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan atau
tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat progresif dan irreversible.
Adapun gejala CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat
penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi
gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD.
Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan utama
pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien
ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi
klinis yang muncul. Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta
perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan membantu
mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.

29

Anda mungkin juga menyukai