Anda di halaman 1dari 83

BAB 2

TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan Yulaekah (2007)
menemukan, bahwa
paparan debu terhirup mempunyai hubungan
yang bermakna dengan
terjadinya gangguan fungsi paru nilai p = 0,02
dan OR = 5,833 CI 95 %
(1,865 18,245) serta probabilitas terjadinya
gangguan fungsi paru bagi
responden yang bekerja di tempat kerja dengan
konsentrasi debu terhirup di
atas NAB 3 mg/m adalah 68,6 %. Pada
penelitian ini, pekerja wanita lebih 3
banyak yang terpapar debu, status gizi
normal, dan penggunaan APD
mempunyai hubungan yang bermakna dengan
terjadinya gangguan fungsi
paru.
Penelitian yang dilakukan Putra (2012)
menjelaskan nilai kadar
debu kapas yang terukur pada ruang
Processing Dept = 0,5835 mg/m 3 ,
Embroidery = 2,0452 mg/m 3 , Multifold =
0,4117 mg/m 3 , Spinning (RF) =
0,5985 mg/m , dan Spinning (WD) = 0,9054
mg/m . Faktor karakteristik 3
3
responden yaitu jenis kelamin, usia, lama
kerja, kebiasaan merokok,
dan kebiasaan memakai masker memiliki
hubungan terhadap adanya
keluhan subyektif gangguan saluran pernapasan
karyawan PT. Z dengan
nilai dan tingkat hubungan antar variabel
yang berbeda. Jenis kelamin =

0,424 dengan kategori sedang, usia = 0,522


dengan kategori kuat, lama
kerja = 0,564 dengan kategori kuat, kebiasaan
merokok = 0,225 dengan
kategori lemah, kebiasaan memakai APD
masker = 0,256 dengan kategori
lemah.
Dari penelitian
tersebut yang
mendasari peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai hubungan karakteristik
pekerja dan keluhan gangguan
saluran
pernapasan.
Dalam
penelitian
terdahulu tidak melingkupi sistem
pengendalian
secara
rekayasa
teknik
( engineering ), sehingga peneliti
meluaskan lingkup penelitiannya dengan
perencanaan
local exhaust
ventilation system.
7

2.2
Tahapan Produksi Pabrik NPK
Fused Granulation
Pupuk adalah material yang
ditambahkan pada media
tanam atau
tanaman
untuk
mencukupi
kebutuhan hara yang diperlukan
tanaman,
sehingga
mampu
berproduksi
dengan baik. Material pupuk dapat
berupa
bahan organik ataupun non-organik
(mineral).
Pupuk
mengandung
bahan
baku yang diperlukan pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman,
sementara
suplemen seperti hormon tumbuhan
membantu kelancaran proses
metabolisme. Pupuk NPK adalah
pupuk buatan yang berbentuk cair
atau
padat yang mengandung unsur hara
utama nitrogen, fosfor, dan kalium.
Pupuk NPK merupakan salah satu
jenis pupuk majemuk yang paling
umum
digunakan.
Proses produksi dimulai dari
gudang bahan baku, bahan
baku utama
yang digunakan dalam pembuatan
pupuk NPK adalah tanah liat, urea
melt
(N), phosphate (P) dan potassium
chloride (K). Bahan baku tersebut

lalu
dialirkan ke granulator
dengan
bantuan
conveyor .
Pada
granulator terjadi
proses
granulasi,
proses
pencampuran semua bahan baku,
steam dan air
proses menjadi butiran pupuk.
Pupuk NPK setengah jadi
tersebut dikeringkan dengan
Dryer 1 dan
2,
dengan
tujuan
untuk
menurunkan konsentrasi air. Proses
selanjutnya
adalah proses pendinginan produk
dan dilanjutkan dengan proses
penyaringan produk. Penyaringan
produk
bertujuan
untuk
memisahkan
antara produk yang sesuai ukuran
dan tidak sesuai ukuran. Proses
dilanjutkan dengan proses coating
atau pelapisan oli khusus. Proses
akhir
dari tahapan produksi pupuk NPK
adalah proses bagging. Produk
pupuk
NPK jadi dikemas dalam karung
berukuran 25 kg dan 50 kg.
Pada setiap plant di Pabrik
NPK
Fused Granulation
dilengkapi
dengan
pengendalian
debu.
Pengendalian debu tersebut adalah
cyclone dan
scrubber .
Cyclone
tersebut
berfungsi untuk memisahkan antara
debu berat
dan ringan. Scrubber
berfungsi
untuk pengendalian debu ringan,

dengan
cara menyemprotkan air pada
cerobong keluaran. Air dari scrubber
tersebut
mengalir ke settling pond dan
digunakan kembali sebagai bahan
baku. Pada

G
a
mbar
ditunjukkan

2.1
tahapan
proses
produksi
di
Pabrik
NPK

Fused
Granulation.
Phosphate

Di-

Magnesiumo
xi Potassium
Boric acid
Clay
ammoniumPhosph de
Rock
powder
ate

Chloride
Urea
Granule

Fines bolow2.5mm
Pump
Granul
ator
Melter
steam

Urea

Diesel Scrubber No

Combustion
Furnace
Air
Cyclone
Fines Screen
Granule smaller
than 2.5mm
Cyclone
Dryer No.2

Large Granule Cyc


Cooling
Crusher
Granule larger
than 4.5mm
Screen

Coat
ing
Mac
hine
Settling pond

Scrubber No.2
Prod
uct
pack
aging
Venting
Product

Gambar
2.1Tahapan
Proses
Produksi Pabrik NPK
Fused
Granulation
(Sumber :
PT.
X,
2009)

2.3 Sifat dan Karakteristik Debu


Debu adalah partikel-partikel zat
yang disebabkan oleh

pengolahan,
penghancuran,
pelembutan, pengepakan dan lainlain dari
9

bahan-bahan organik maupun


anorganik, misalnya batu, kayu, bijih
logam,
arang batu, butir-butir zat padat dan
sebagainya (Sumamur, 2009). Debu
umumnya berasal dari gabungan
secara mekanik dan material yang
berukuran kasar yang melayanglayang di udara yang bersifat toksik
bagi
manusia. Partikel-partikel debu di
udara mempunyai sifat :
1. Sifat Pengendapan
Sifat pengendapan adalah sifat
debu yang cendrung selalu
mengendap
proporsi partikel yang lebih
daripada yang ada di udara.
2. Sifat Permukaan Basah
Permukaan debu akan cendrung
selalu basah, dilapisi oleh
lapisan air
yang sangat tipis. Sifat ini
penting dalam pengendalian debu
di dalam
tempat kerja.
3. Sifat Penggumpalan
Oleh karena permukaan debu
yang selalu basah, maka dapat
menempel
antara debu satu dengan yang
lainnya,
sehingga
menjadi
menggumpal
Turbulensi
udara
membantu
meningkatkan
pembentukan
gumpalan.

4. Sifat Listrik Statis


Sifat listrik statis yang dimiliki
partikel debu dapat menarik
partikel lain
yang
berlawanan,
sehingga
mempercepat terjadinya proses
penggumpalannya.
5. Sifat Optis
Partikel
debu
yang
basah/lembab
dapat
memancarkan sinar, sehingga
dapat terlihat di dalam kamar
yang gelap.
Polutan partikel masuk ke dalam
tubuh manusia terutama melalui
sistem pernafasan, oleh karena itu
pengaruh yang merugikan terutama
terjadi pada sistem pernafasan.
Faktor
lain
yang
paling
berpengaruh
terhadap sistem pernafasan terutama
adalah
ukuran partikel,
karena
ukuran
partikel yang menentukan seberapa
jauh penetrasi partikel ke dalam
pernafasan.
Debu-debu
yang
berukuran 5-10 mikron akan ditahan
oleh jalan
pernafasan bagian atas, sedangkan
yang berukuran 3-5 mikron ditahan
oleh
bagian tengah jalan pernafasan
(Yunus, 1997).

10

Penyakit paru kerja adalah


penyakit yang disebabkan oleh
partikel,
uap, gas atau kabut yang berbahaya
yang menyebabkan kerusakan paru
bila
terinhalasi selama bekerja. Saluran
nafas dari lubang hidung sampai
alveoli
menampung 14.000 liter udara di
tempat kerja selama 40 jam keja
satu
minggu (Aditama, 2006).
Pada saat menarik nafas, udara
yang mengandung debu masuk ke
dalam paru. Debu yang berukuran
antara 5-10 mikron, bila terhisap
akan tertahan dan tertimbun pada
saluran
nafas
bagian
atas,
kemudian
yang berukuran antara 3-5 mikron
tertahan dan tertimbun pada saluran
nafas tengah. Partikel debu dengan
ukuran 1-3 mikron disebut debu
respirable merupakan yang paling
berbahaya, karena tertahan dan
tertimbun mulai dari bronkhiolus
terminalis sampai alveol i. Debu
yang
ukurannya kurang dari 0,1 mikron
tidak mudah mengendap di alveoli ,
oleh
karena partikel dengan ukuran
demikian tidak mengendap di
permukaan.
Debu
yang
partikel-partikelnya

berukuran kurang dari 0,1 mikron


bermassa
terlalu kecil,
sehingga tidak
mengendap di permukaan alveoli
atau selaput
lendir, oleh karena gerakan Brown,
menyebabkan
debu demikian
bergerak
keluar masuk alveoli (Sumamur,
2009) .
2.4 Jenis dan Sumber Debu
Jenis debu terkait dengan daya larut
dan sifat kimianya. Perbedaan
daya larut dan sifat kimiawi ini,
maka kemampuan mengendapnya di
paru
juga akan berbeda pula, sehingga
tingkat
kerusakan
yang
ditimbulkannya
juga akan berbeda pula. Debu yang
terdapat di dalam udara terbagi
dua,
yaitu deposite particulate matter
adalah partikel debu yang hanya
berada
sementara di udara, partikel ini
segera mengendap karena ada daya
tarik
bumi. Suspended particulate matter
adalah debu yang tetap berada di
udara
dan tidak mudah mengendap (Yunus,
1997).
2.5 Pengukuran Kadar Debu di Udara
Pengukuran kadar debu di udara
bertujuan untuk mengetahui
kondisi kadar debu pada suatu
lingkungan kerja. Pengukuran kadar

debu di
11

udara biasanya dilakukan dengan


metode gravimetri, yaitu dengan
cara
menghisap dan melewatkan udara
dalam
volume tertentu melalui
saringan
serat gelas/kertas saring. Alat-alat
yang
biasa
digunakan
untuk
pengambilan
sampel debu total di udara seperti:
1. High Volume Air Sampler
Alat ini menghisap udara ambien
dengan pompa berkecepatan 1,1 1,7
m/menit,
partikel
debu
berdiameter 0,1-10 mikron akan
masuk bersama
aliran udara melewati saringan
dan terkumpul pada permukaan
serat
gelas. Alat ini dapat digunakan
untuk pengambilan contoh udara
selama
24 jam, dan bila kandungan
partikel debu sangat tinggi,
maka waktu
pengukuran
dapat
dikurangi
menjadi 6 8 jam.
2. Low Volume Air Sampler
Alat ini dapat menangkap debu
dengan ukuran sesuai yang kita
inginkan
dengan cara mengatur flow rate
20 liter/menit dapat menangkap
partikel
berukuran 10 mikron.

3. Low Volume Dust Sampler


Alat ini mempunyai prinsip kerja
dan metode yang sama dengan
alat low
volume air sampler .
4. Personal Dust Sampler (LVDS)
Alat ini biasa digunakan untuk
menentukan Respiral Dust (RD)
di udara
atau debu yang dapat lolos
melalui filter bulu hidung
manusia selama
bernafas. Alat ini biasanya
dugunakan pada lingkungan
kerja dan
dipasang pada pinggang pekerja,
karena ukurannya yang sangat
kecil.
2.6 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu
Nilai ambang batas (NAB) adalah
standar faktor-faktor lingkungan
kerja yang dianjurkan di tempat
kerja, agar tenaga kerja masih
dapat
menerimanya tanpa mengakibatkan
penyakit atau gangguan kesehatan,
dalam pekerjaan sehari-hari, untuk
waktu tidak melebihi 8 jam sehari
atau
40 jam seminggu. Kegunaan NAB
ini sebagai rekomendasi pada
praktek
higiene
perusahaan
dalam
melakukan
penatalaksanaan
lingkungan kerja
sebagai upaya untuk mencegah
dampaknya
terhadap
kesehatan.
Nilai

12

ambang
batas
kadar
debu
didasarkan pada Permenakertrans
No.13 Tahun
2011 sebesar 10 mg/m
3 untuk
partikulat tidak terklasifikasi
(Kemenakertrans, 2011).
2.7
Pengaruh Debu Terhadap
Kesehatan Manusia
Terdapat tiga cara masuknya bahan
polutan seperti debu dari udara
ke tubuh manusia, yaitu melalui
inhalasi, ingesti, dan penetrasi
kulit.
Inhalasi bahan polutan dari udara
dapat menyebabkan gangguan di paru
dan
saluran nafas. Bahan polutan yang
cukup besar tidak jarang masuk ke
saluran cerna. Bahan polutan dari
udara juga dapat masuk ketika makan
atau
masuk ke saluran cerna. Bahan
polutan dari udara juga dapat menjadi
pintu
masuk bahan polutan di udara,
khusunya
bahan organik
dapat
melakukan
dan dapat menimbulkan efek
sistemik
(Aditama,1992).
Efek
biologis
paparan debu di udara terhadap
kesehatan manusia atau pekerja terdiri
dari:
1. Efek Fibrogenik
Debu fibrogenik sebagai debu

respirabel dari kristal silika


(asbestos),
debu batubara, debu berilium,
debu
talk , dan debu dari
tumbuhan.
Konsentrasi massa dari sisa debu
yang respirabel sebagai faktor
tunggal
yang
paling
penting
pada
perkembangan/kemajuan
keparahan
pneumoconiosis pada pekerja.
2. Efek Iritan
Pengaruh iritan dari debu yang
berbeda tidak spesifik, sehingga
keadaan
ini tidak dapat secara langsung
dihubungkan dengan pengaruh dari
debu,
tetapi secara klinis atau dengan
tes
fungsional
ataupun
pemeriksaan
secara
morfologi
dapat
diperlihatkan kasus berupa efek
yang timbul
berasal dari debu.
3. Efek Alergi
Debu dari tumbuhan hewan
mempunyai
sifat
dapat
meningkatkan reaksi
alergi.
Beberapa
reaksi
kekebalan biasanya membentuk
respon secara
psikologi berupa iritasi. Secara
patologi
dapat
ditentukan
melalui tes
alergi sebagai penyakit akibat
kerja pada saluran pernafasan
yang
umumnya
berupa
asma

bronchial. Debu organik yang


menyebabkan
13

alergi meliputi tepung, pollen


(serbuk sari), rambut hewan, bulu
unggas,
jamur, cendawan, dan serangga.
4. Efek Karsinogenik
Penyebab yang berperan penting
dalam pertumbuhan kanker pada
manusia adalah debu asbestos,
arsenik, chromium dan nikel.
5. Efek Sistemik Toksik
Banyak
substansi
yang
berbahaya menyebabkan efek
sistemik toksik
sebagai hasil dari debu yang
masuk melalui sistem saluran
pernafasan.
Paparan debu untuk beberapa
tahun pada kadar yang rendah
tetapi di atas
batas limit paparan, menunjukkan
efek sistemik toksik yang jelas.
6. Efek pada Kulit
Partikel-partikel debu yang berasal
dari material yang berbentuk pita
dan
tebal
seperti
fiberglass, dan
material tahan api sering sebagai
penyebab
dermatitis.
Menurut
Yunus
(1997) dan Sumamur (2009),
dapat
disimpulkan bahwa faktor yang
mempengaruhi
timbulnya
gangguan atau
penyakit akibat pekerja yang
bekerja
di
ruangan
akibat

paparan debu
adalah :
1. Faktor Fisik, meliputi : jenis
bahan, ukuran partikel, bentuk
partikel,
daya penetrasi, konsentrasi,
daya larut, luas permukaan
(Higroskopisitas), lama waktu
paparan, dan turbulensi udara.
2.
Faktor Kimia, meliputi :
tingkat keasaman dan kebasahan
(alkalinitas),
kecendrungan
untuk bereaksi dengan bahan
dalam paruparu, dan jenis persenyawaan.
3.
Faktor Individual Pekerja,
meliputi : umur, jenis kelamin,
anatomi
dan fisiologi, daya tahan
tubuh
(immunologis),
genetik, emosi
(psikologis), keadaan gizi,
kepekaan tubuh, motivasi
kerja, dan
pengaruh
lingkungan
(habituasi).
Lamanya paparan dan
kepekaan individu terhadap
debu,
berpengaruh pada gangguan atau
penyakit dapat timbul pada pekerja.
Debu
yang masuk ke dalam saluran
pernafasan menyebabkan timbulnya
reaksi
mekanisme pertahanan non spesifik
berupa bersin dan batuk.
Pneumokoniosis biasanya timbul
setelah pekerja
terpapar selama
bertahun-

14

tahun. Penyakit akibat paparan debu


yang lain seperti asma kerja,
bronchitis
industri. Umumnya penyakit paru
akibat debu mempunyai gejala dan
tanda
yang mirip dengan penyakit paru
lainnya yang tidak disebabkan oleh
debu
di
tempat
kerja.
Dalam
menegakkan
diagnosis
perlu
dilakukan anamnesis
yang
teliti
meliputi
riwayat
pekerjaan dan hal-hal lain yang
berhubungan
dengan pekerjaan, karena penyakit
biasanya
baru
timbul
setelah
paparan
yang cukup lama. Pengetahuan yang
cukup tentang dampak debu terhadap
paru
diperlukan
untuk
dapat
mengenali kelainan yang terjadi,
serta cara
melakukan
pencegahan
(Yunus,
1997).
2.8 Kapasitas Vital Paru
Kapasitas Vital Paru (KVP)
adalah kemampuan paru-paru untuk
menghisap atau menghembuskan
udara
secara
maksimal. Nilai
KVP
sama dengan volume cadangan
inspirasi (IRV) ditambah volume tidal
(VT)
dan volume cadangan ekspirasi

(ERV). Ini adalah jumlah udara


maksimum
yang dapat dikeluarkan seorang
dari
paru,
setelah
terlebih
dahulu
mengisi paru
secara maksimum
dan
dikeluarkan
sebanyakbanyaknya
(kira-kira
4600 mL) ( Guyton,
1997).
Terdapat
dua
macam
kapasitas vital
berdasarkan cara pengukurannya:
1. Vital Capacity (VC)
Pada pengukuran jenis ini
individu
tidak
perlu
melakukan
aktivitas
pernafasan
dengan
kekuatan penuh.
2. Forced Vital Capacity (FVC)
Pada
pengukuran
ini
pemeriksaan dilakukan dengan
kekuatan
maksimal pada orang normal
tidak ada perbedaan antara
kapasitas
vital dan kapasitas vital paksa,
tetapi
pada
keadaan
ada
gangguan
obstruktif terdapat
perbedaan
antara kapasitas vital dan
kapasitas vital
paksa.
2.9 Faktor yang Berhubungan dengan
Kapasitas Vital Paru
Nilai KVP merupakan suatu
gambaran dari fungsi sistem
pernafasan. Penurunan fungsi paru
dapat terjadi secara bertahap dan
bersifat kronis sehingga frekuensi

lama seseorang bekerja pada


15

lingkungan tempat
kerja
yang
berdebu dan faktor-faktor internal
yang
terdapat
pada
diri
pekerja
(karakteristik
pekerja) merupakan
hal utama
yang berhubungan dengan KVP
(Widodo, 2007). Adapun faktorfaktor
tersebut diantaranya yaitu :
2.9.1 Lingkungan Tempat Kerja
Berdasarkan pasal 1
Undang-Undang Kesehatan
Nomor
1
Tahun 1970 dikatakan
bahwa
tempat
kerja
merupakan tiap
ruangan
atau
lapangan,
tertutup
atau
terbuka,
bergerak atau tetap,
dimana tenaga kerja bekerja,
atau
sering
dimasuki
pekerja untuk
keperluan
suatu
usaha
dan
dimana
terdapat
sumber-sumber
bahaya.
Adapun
sumber
bahaya yang berhubungan
dengan nilai
KVP
pekerja
khusunya
perusahaan
pengadaan
bahan baku
keramik adalah debu.
Debu yang memapar
pekerja dapat dilihat dari
ukuran

partikelnya,
daya
larut,
konsentrasi, sifat kimiawi,
lama paparan
serta bentuk
dari
debu
itu
sendiri.
Pada
dasarnya tingkat
kelarutan
debu pada air
dapat
mengindikasikan
tingkat bahan
dalam debu larut dan dengan
mudah
dapat
masuk
pembuluh darah
kapiler alveoli. Debu yang
tidak mudah larut, tetapi
ukurannya
kecil, maka
partikelpartikel tersebut
dapat
masuk ke dinding
alveoli.
Semakin
tinggi
konsentrasi
debu,
maka
semakin besar pula
kemungkinan menimbulkan
keracunan maupun gangguan
terhadap
paru (Faridawati, 1995).
2.9.2 Karakteristik Pekerja
Pekerja adalah tenaga
kerja
yang
bekerja
didalam
hubungan
kerja pada
pengusaha dengan menerima
upah sebagai
hasil
dari
kerjanya.
Karakteristik
pekerja
merupakan hal-hal yang
ada pada diri pekerja yang
akan
berdampak
pada
hasil kerja
dan
dalam
hal
ini
kesehatan
individu
itu

sendiri. Adapun yang


termasuk
hal-hal yang
termasuk
kedalam
karakteristik pekerja yang
berhubungan dengan KVP
adalah :

16

1. Usia
Usia
merupakan
variabel yang penting
dalam hal
terjadinya
gangguan
fungsi paru, karena usia
mempengaruhi
kekenyalan
paru
sebagaimana
jaringan
lain dalam tubuh.
Semakin
tua
usia
seseorang,
maka
semakin besar
kemungkinan
terjadi
penurunan fungsi paru
terutama yang
disertai dengan kondisi
lingkungan yang buruk,
serta faktor
lain
yang
akan
memperburuk
kondisi
paru. Penurunan KVP
dapat terjadi setelah usia
30
tahun,
tetapi
penurunan KVP akan
cepat setelah usia 40
tahun. Faal paru sejak
masa kanakkanak
bertambah
volumenya dan akan
mencapai nilai
maksimum pada usia 19
sampai 21
tahun.
Setelah usia
tersebut nilai faal paru
akan
terus
menurun

sesuai dengan
pertambahan
usia
(Budiono,
2007).
Berdasarkan penelitian
Mengkidi (2006), pada
populasi pekerja pabrik
semen di
Sulawesi Selatan yang
terpapar dengan debu
semen
menunjukkan
bahwa
usia merupakan faktor
risiko untuk
terjadinya
gangguan
fungsi paru. Selain itu
juga, pada keadaan
normal
usia
juga
mempengaruhi
frekuensi
pernapasan
dan
kapasitas
paru.
Frekuensi
pernapasan
pada orang dewasa antara
16-18 kali permenit, pada
anak-anak sekitar 24
kali permenit
sedangkan pada
bayi
sekitar
30
kali
permenit. Walaupun
pada
orang dewasa
pernapasan
frekuensi
pernapasan lebih
kecil
dibandingkan
dengan anak-anak dan
bayi, akan tetapi
KVP pada orang dewasa
lebih
besar dibanding
anak-anak dan
bayi.
Pada
kondisi
tertentu hal tersebut akan

berubah, misalnya
akibat
dari
suatu
penyakit, pernapasan bisa
bertambah cepat dan
sebaliknya
(Syaifudin,
1997).
2. Jenis Kelamin
Menurut
Guyton
(1997)
volume
dan
kapasitas seluruh
paru pada wanita kirakira 20 sampai 25
persen lebih kecil
daripada
pria, dan
lebih
besar
lagi
untuk yang berbadan
17

atletis
dan yang
bertubuh besar daripada
orang yang bertubuh
kecil dan astenis.
3. Kebiasaan Merokok
Merokok
dapat
menyebabkan
perubahan struktur dan
fungsi
saluran
pernapasan
dan
jaringan paru. Kondisi
lingkungan kerja seorang
perokok memiliki tingkat
konsentrasi
debu yang tinggi, maka
maka
dapat
menyebabkan gangguan
fungsi paru
yang
ditandai
dengan
penurunan fungsi paru
(VC,
FVC
dan
FEV1).
Kebiasaan
merokok akan
mempercepat penurunan
faal paru. Penurunan
volume ekspirasi
paksa pertahun adalah
28,7 mL untuk non
perokok, 38,4mL
untuk
bekas perokok,
dan 41,7 mL untuk
perokok aktif
(Anshar, 2005).
Pengaruh asap rokok
dapat
lebih
besar
dari pada

pengaruh debu
hanya
sekitar sepertiga dari
pengaruh buruk
rokok.
Tenaga
kerja
yang
merokok
dan
berada di lingkungan
yang
berdebu
cenderung
mengalami
gangguan saluran
pernapasan
dibanding
dengan
tenaga
kerja
yang berada pada
lingkungan yang sama
tetapi tidak merokok
(Mengkidi, 2006).
Gold
(2005) juga
menyatakan,
bahwa
kebiasaan merokok pada
pekerja yang terpapar
oleh debu memperbesar
kemungkinan
untuk
terjadinya
gangguan fungsi paru.
Adapun untuk
mengukur derajat berat
merokok
biasanya
dilakukan dengan
menghitung
Indeks
Brinkman, yaitu:
Jumlah
batang
rokok/hari
x
lama
merokok (tahun)
(2.1)
Nilai
dihasilkan
perhitungan
akan
dimasukkan

yang
dari
tersebut
kedalam

tiga
kategori yang
terdapat dalam Indeks
Brinkman.
Indeks
Brinkman dapat dilihat
pada Tabel 2.1
berikut.

18

Tabel 2.1 Indeks Brinkman


Kategori Perokok
Hasil
Indeks
Brinkman
Ringan 0
200
Sedang 200
600
Berat > 600
(Sumber : Watanabe, 2011)

4. Kebiasaan Olah Raga


Faal
paru
dan
olahraga
mempunyai
hubungan yang
timbal balik. Gangguan
faal
paru
dapat
mempengaruhi
kemampuan
olahraga,
sebaliknya latihan fisik
yang teratur atau
olahraga
dapat
meningkatkan
faal
paru. Kapasitas Vital
Paru
(KVP) dapat dipengaruhi
oleh kebiasaan seseorang
melakukan
olahraga. Olahraga dapat
meningkatkan
aliran
darah melalui
paru-paru
sehingga
menyebabkan
oksigen
dapat berdifusi ke
dalam
kapiler
paru
dengan volume yang
lebih besar atau
maksimum.
Kapasitas

vital pada seorang atlet


lebih besar
daripada orang
yang
tidak pernah berolahraga
(Hall, 1997).
Menurut Guyton (1997),
kebiasaan
olah
raga
akan
meningkatkan kapasitas
paru dan akan meningkat
30-40%.
Secara umum semua
cabang
olahraga,
permainan dan
aktifitas fisik sedikit
banyak
membantu
meningkatkan
kebugaran fisik, namun
terdapat
perbedaan
dalam tingkat dan
komponen
kebugaran
fisik yang ditingkatkan.
Tingkat
kebugaran
aktivitas
fisk/kegiatan
olahraga
dapat dilihat pada
Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Tingkat Kebugaran
Aktivitas
Fisik/Kegiatan
Olahraga
Tingkat
Jenis
Kegiatan
Olahraga
Intensitas
Kebugaran
Olahraga
Sangat Baik Aerobik, Bulu
tangkis,
Lebih dari
3
Bersepe
da,
Basket,

kali/min
ggu
Jogging
/
lari,
Sepak
bola,
Bola
net, dan
berenan
g.
Baik Bela diri, Tenis meja,
1 3 kali/minggu
Tenis,
Sepak
takraw,
Bola
Voli,
dan
Berjalan
Minimal
Golf,
Bowling dan Kurang dari
1
Binarag
a
kali/min
ggu
(Sumber : Giam, 1996)

19

5.
Penggunaan
Masker/Respirator
Pekerja
yang
aktivitas
pekerjaannya
banyak terpapar
oleh
partikel
debu
memerlukan
alat
pelindung diri berupa
masker untuk mereduksi
jumlah partikel yang
kemungkinan
dapat terhirup.
6. Masa Kerja
Masa kerja adalah
jangka waktu
orang
sudah bekerja pada
suatu kantor, badan dan
sebagainya.
Menurut
Morgan dan
Parkes
dalam
Faridawati
(1995)
waktu
yang
dibutuhkan
seseorang yang terpapar
oleh
debu
untuk
terjadinya gangguan
KVP kurang lebih 10
tahun. Semakin lama
seseorang dalam
bekerja maka semakin
banyak dia
telah
terpapar bahaya yang
ditimbulkan
oleh
lingkungan kerja tersebut
(Sumamur, 2009).
7. Riwayat Pekerjaan

Riwayat
pekerjaan
dapat digunakan untuk
mendiagnosis
penyakit akibat kerja.
Riwayat pekerjaan yang
menghadapi debu
berbahaya
dapat
menyebabkan gangguan
paru (Sumamur,
2009).
Hubungan
antara penyakit dengan
pekerjaan dapat
diduga dengan adanya
riwayat
perbaikan
keluhan pada akhir
minggu atau hari libur ,
diikuti
peningkatan
keluhan untuk
kembali bekerja, setelah
bekerja ditempat yang
baru atau setelah
digunakan bahan baru di
tempat kerja. Riwayat
pekerjaan dapat
menggambarkan
kondisi pekerja yang
pernah terpapar
dengan
pekerjaan
berdebu, hobi, pekerjaan
pertama, peker jaan
pada
musim-musim
tertentu, dan lain-lain
(Ikhsan, 2002).
2.9.3 Karakteristik Pekerjaan
1. Waktu Kerja
Data
jumlah
jam
kerja
per
minggu
pada aktivitas
pekerja
yang terpapar
debu dapat digunakan

sebagai
perkiraan
kumulatif
paparan yang diterima
oleh seorang
pekerja.
Rendahnya
KVP
pada
pekerja
tergantung pada
lamanya paparan, serta
konsentrasi
debu
lingkungan kerja.
20

Paparan
dengan
konsentrasi
rendah
dalam waktu lama
mungkin tidak
akan
segera
menunjukkan
adanya penurunan
nilai KVP dibandingkan
dengan paparan tinggi
dalam waktu
yang singkat (Budiono,
2007).
2. Beban Kerja
Tubuh
manusia
dirancang untuk dapat
melakukan
aktivitas
pekerjaan
sehari-hari.
Setiap
pekerjaan merupakan
beban bagi pelakunya,
beban-beban
tersebut
tergantung cara
orang tersebut bekerja,
sehingga disebut beban
kerja. Beban
kerja
merupakan
kemampuan
tubuh
pekerja dalam mener ima
pekerjaan. Beban kerja
dapat berupa beban fisik
yang dapat
mempengaruhi nilai dari
KVP
seseorang.
Kebutuhan oksigen
dan
karbon
dioksida
terus
berubah
sesuai
dengan tingkat

aktivitas dan metabolisme


seseorang, tapi pernapasan
harus tetap
dapat
memelihara
kandungan
oksigen
dan karbondioksida
tersebut (Guyton, 1997).
3. Sikap Kerja
Pengertian sikap kerja
merupakan
kesiapan
mental maupun
fisik untuk
bekerja
dengan
cara
tertentu
yang dapat
dilakukan
dalam
kecenderungan
tingkah
laku pekerja dalam
menjalankan
aktivitasnya
sebagai
upaya memperkaya
kecakapan
dan
kelangsungan
hidup
(Maryani, 2005).
2.10 Diagnosis Keluhan Penyakit Paru
Akibat Kerja
Anamnesis adalah kegiatan
komunikasi yang dilakukan antara
dokter (pemeriksa) dan pasien yang
bertujuan
untuk
mendapatkan
informasi
tentang penyakit yang diderita dan
informasi lainnya yang berkaitan,
sehingga
dapat
mengarahkan
diagnosis penyakit pasien. Banyak
keluhan
yang akan disampaikan oleh pasien
tentang penyakitnya, walaupum
demikian tidak semua keluhan atau
informasi-informasi
yang

disampaikan
dapat bermakna atau berkaitan
dengan sistem respirasi, sehingga
diperlukan
suatu teknik bertanya untuk menggali
informasi tersebut. Anamnesis secara
21

detail
diperlukan
untuk
menegakkan diagnosis antara lain
anamnesis
pekerjaan yang dilakukan secara
kronologis
termasuk
mulai
bekerja
pekerjaan paruh waktu dan hobi.
Anamnesis terhadap pajanan agen
yang
spesifik di tempat kerja seperti
asap, debu, dan lain-lain, beserta
waktu,
lama dosis dan penggunaan alat
pelindung
diri.
Keluhan dari
sesama
pekerja juga menolong penegakkan
diagnosis danetiologi penyakit paru
kerja Keluhan gangguan pernafasan
yang mengindikasi adanya penyakit
paru
akibat
kerja
berupa
(Djojodibroto, 2009) :
1.
Batuk secara berulang pada
waktu tertentu
Batuk
adalah
salah
satu
cara
tubuh
membersihkan
saluran
pernapasan dari lendir (mukus)
dan bahan atau benda asing.
Seratafferent
dari refleks batuk terletak di
saraf-saraf
trigemi
,
glossofaring , laring
superior dan vagus. Ujungujung saraf yang terdapat di
mukosa
saluran pernapasan bagian atas

sensitif terhadap
bahan
atau
benda
asing, rangsangan taktil dan
thermal dan bahan-bahan kimia.
Daerah
saluran pernapasan yang peka
terhadap
berbagai
macam
rangsangan
adalah laring, trakea didaerah
carina dan pada
percabangan
bronkus
utama. Kebanyakan batuk akibat
rangsangan
pada
saluran
pernapasan
bagian bawah ditimbulkan oleh
bahan atau benda asing.
Walaupun batuk adalah salah satu
dari gejala penyakit paru yang
penting, namun
relatif tidak
spesifik. Batuk disertai dengan
gejala yang
lain
dapat
membantu
mengarahkan
penegakan
diagnosa.Salah satu sifat
batuk yang paling penting untuk
dibedakan adalah batuk kering
atau
batuk berdahak. Batuk kering
yang akut mungkin disebabkan
oleh
common
cold
stadium
permulaan,
faringitis
akut,
laringitis akut atau
trakeitis akut. Bahkan bronkitis
akutpun
dapat
menimbulkan
batuk
kering. Batuk berdahak dan
menahun
selalu
merupakan
isyarat yang
penting
bagi
penyakit

bronkopulmonar
dan
tidak
boleh diabaikan
begitu saja ataupun dianggap
ringan. Batuk kronis merupakan
isyarat
adanya
penyakit
berikut
:
tuberculosis
paru, bronkitis
kronis, emfisema
paru,
bronkiektasis,
infeksi
jamur, atelektasis, asma dan
penyakit
kongetif menahun, penekanan
pada
trakeobronkial , aspirasi
benda
22

asing,
dan neoplasma dari
semua jenis, baik jinak maupun
ganas.
Berikut ini adalah ciri-ciri
keluhan batuk secara berulang
pada waktu
tertentu yaitu batuk selama 3
bulan (terjadi tiap-tiap tahun),
sifat batuk
(keras/tidak keras), Waktu batuk
(pagi/siang/malam/terus-menerus)
dan
peningkatan batuk selama 3
minggu atau lebih selama1
tahun terakhir
(Putra, 2012).
2.
Dahak secara berulang pada
waktu tertentu
Dalam keadaan normal,
sistem pernapasan pada
orang dewasa
memproduksi lebih kurang 100
mL lendir per hari yang
biasanya
tertelan.
Produksi
lendir
berlebihan
menyebabkan
pengeluarannya
menjadi tidak efektif, sehingga
lendir menumpuk menjadi dahak
atau
sputum. Ekspektorasi diartikan
sebagai pengeluaran
dahak
atau
sputum
yang
meningkat
jumlahnya. Produksi
dahak
meningkat.

karena
rangsangan
pada
membran mukosa secara fisik,
kimiawi,
maupun karena infeksi. Ciri-ciri
dari dahak tersebut adalah dahak
selama
3 bulan terjadi tiap-tiap tahun,
waktu terjadinya dahak
(pagi/siang/malam/terus-menerus)
dan peningkatan dahak selama 3
minggu atau lebih, selama 3 tahun
terakhir.
3. Dispnea (sesak napas)
Dispnea
sering disebut
sebagai sesak napas, napas
pendek,
breathlessness , atau shortness
of breath .
Dispnea adalah
gejala
subjektif
berupa
keinginan
penderita untuk meningkatkan
upaya
mendapatkan udara pernapasan.
Dispnea
sifatnya
subjektif,
sehingga
tidak dapat diukur. Dispnea
sebagai
akibat
peningkatan
upaya
bernapas dapat ditemui pada
berbagai
kondisi
klinis
penyakit.
Indikasi dispne a adalah sejak 12
bulan
terakhir
pernah
mengalami/tidak
terbangun
tidur
malam.
Penyebabnya adalah meningkatnya
tahanan jalan
napas seperti pada obstruksi
jalan napas atas, asma, dan
pada penyakit

obstruksi kronik. Berkurangnya


keteregangan
paru
yang
disebabkan
oleh
fibrosis paru, kongesti,
edema, dan pada penyakit
parenkim paru
dapat
menyebabkan
dispnea.
Paroxysmanocturnal
dyspnea
(PND)
adalah sesak napas yang terjadi
tiba-tiba
pada
saat
tengah
malam
23

setelah penderita tidur selama


beberapa jam, biasanya terjadi
pada
penderita
penyakit
jantung.
Secara umum, penyebab dispnea
yaitu :
a. Sistem kardiovaskular : gagal
jantung
b. Sistem pernapasan : PPOK,
penyakit
parenkim
paru,
hipertensi
pulmonal, kifoskoliosis berat,
faktor mekanik di luar paru.
c. Psikologi
d. Hematologi
4. Nyeri dada
Nyeri dada terbagi menjadi
dua macam, yaitu nyeri
pleuritik ( chest
wall pain ) dan nyeri sentral
( central pain/ visceral pain ).
Lamanya
nyeri dada ditentukan adanya
keluhan tersebut terjadi 3 tahun
terakhir
pernah mengalami dan lamanya
1 minggu. Nyeri
pleuritik
dapat
ditentukan
lokasinya
dengan
mudah.
Rasa
nyeri
ini
bertambah
intensitasnya, jika batuk atau
bernapas dalam. Nyeri pleuritik
berkaitan
dengan
penyakit
yang
menimbulkan inflamasi
pada

pleura parietalis,
seperti
infeksi
(pneumonia,
empiema, dan
tuberculosis ),
trauma
(pneumotoraks,
hemotoraks,
patah tulang iga), dan tumor
(kanker,
limfoma, mesotelioma).
2.11 Teknik Pengambilan Sampel
Definisi dari populasi dan
sampel adalah berbeda. Menurut
Sugiyono
(2007)
menyatakan
bahwa populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas :
obyek/subyek
yang mempunyai
kualitas dan
karakteristik
tertentu
yang
ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya.
Jadi,
populasi
bukan
hanya
orang,tetapi
juga obyek dan benda-benda alam
yang
lain. Populasi juga bukan
sekedar
jumlah
yang
ada
pada
obyek/subyek
yang
dipelajari,
tetapimeliputi
seluruh
karakteristik/sifat
yang
dimiliki oleh obyek/subyek yang
diteliti
itu.
Sugiyono (2007) menyatakan
sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi. Peneliti tidak mungkin
mempelajari semua yang ada pada
populasi,
misalnya
karena
keterbatasan

24

dana,
tenaga
dan
waktu,
makapeneliti dapat menggunakan
sampel yang
diambil dari populasi itu. Hal-hal
yang dipelajari dari sampel,
kesimpulannya
akan
dapat
diberlakukan untuk
populasi,
sehingga itu
sampel yang diambil harus betulbetul representatif
(mewakili).
Teknik
sampling
pada
dasarnya
dikelompokkan menjadi dua, yaitu
probability
sampling
dan
nonprobability
sampling . Teknik pengambilan
sampel dibagi
menjadi dua, diantaranya yaitu :
1. Probability Sampling
a. Simple Random Sampling
b.
Proportionate Stratified
Random Sampling
c.
Disproportionate Stratified
Random Sampling
d. Cluster Sampling
2. Non Probability Sampling
a. Sampling Sistematis
b. Sampling Kuota
c. Sampling Aksidental
d. Sampling Purposive
e. Sampling Jenuh
f. Snowball Sampling
2.11.1 Penentuan Jumlah Sampel
Penentuan jumlah
sampel
penelitian,
dapat
dilakukan

dengan menggunakan rumus


Slovin :
n
=
N
..
(2.2)
1 + N(e)
2
dimana :
N = jumlah populasi
n = jumlah sampel
e = taraf signifikasi (1%, 5%
dan 10%)
2.11.2
Proportionate Stratified
Random Sampling
Sugiyono
(2011)
mengatakan, bahwa teknik ini
digunakan
bila populasi mempunyai
anggota/unsur yang tidak
homogen dan
berstrata secara proporsional.
Janicak (2007) mengatakan
bahwa
dalam
proportionate
stratified random sampling
, peneliti
25

mengantisipasi
tentang
kemungkinan
adanya
perbedaan pada hasil
berdasarkan
subjek
keanggotaan pada sebuah
kelompok tertentu. Ini
artinya, peneliti membagi
populasi ke dalam beberapa
grup, dan
sampel
secara
random
diambil untuk setiap grup.
ni =
Ni .
n
(2.3)
N
dimana :
ni = ukuran sampel menurut
stratanya
n = ukuran sampel
keseluruhan
Ni = ukuran populasi menurut
stratanya
N = ukuran populasi total
2.12 Pengujian Instrumen
2.12.1 Uji Validitas
Sekaran
(2006)
mengatakan, bahwa validitas
memastikan
kemampuan sebuah skala
untuk
mengukur
konsep
yang
dimaksudkan. Janicak (2007)
mengatakan, bahwa validitas
sebuah
instrumen survei merujuk

pada apakah pertanyaanpertanyaan


mengukur
yang peneliti
pikirkan
dan
ingin
ditanyakan, dan
responden
membaca,
menginterpretasikan,
dan
menjawab item-item
dengan cara yang dipercaya
oleh peneliti.
Sugiyono
(2007)
mengatakan, bahwa
salah
satu
pengujian
validitas dapat
dilakukan dengan validitas
eksternal.
Pengujian validitas
secara
eksternal
diperoleh
dengan
mengkorelasikan antara skor
butir dengan skor total
variabel.
Skor
pada
butir
dimisalkan dengan X dan
skor total variabel
dengan Y.
Uji validitas dilakukan
dengan metode perhitungan
pearson
product moment
dengan
menggunakan
Microsoft
Excel dilakukan
dengan
langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Input data hasil angket
instrumen dalam worksheet.
2.
Pada kolom paling
kanan,
skor
setiap
responden dijumlah
dengan
menggunakan

fungsi
[=Sum(Range
Range

syntax
Cell)] .

26

cell diisi dengan rentang


sel mulai dari item soal
pertama sampai
dengan item soal terakhir.
3. Pada baris paling bawah,
setiap kolom item butir soal
dihitung
nilai korelasi pearson
dengan fungsi excel yang
memiliki syntax
[=Pearson(Array Cell1;
Array Cell2)] . Array
cell1 berisi
rentang sel item soal
yang akan dihitung dan
array cell 2
berisikan rentang sel
jumlah skor sebagaimana
yang telah
dihitung sebelumnya pada
step 2 dan diperoleh nilai
rhitung
4.
Penentuan signifikansi
validitas dapat menggunakan
perintah
yang ditulis pada baris
perbandingan
dengan
rTabel dengan
perintah
[=IF(p>q;"valid";"tidak
valid")].
P
berisikan
nilai
rhitung dan q nilai rTabel.
5.
Item pertanyaan yang
valid jika nilai rhitung >
rTabel. Nilai

rTabel dapat dilihat pada


tabel
pearson product
moment
2.12.2 Uji Reliabilitas
Salah satu ukuran
reliabilitas
internal
consistency adalah
koefisien Alpha Cronbach ,
jika a >0,6
menunjukkan
instrumen
tersebut
reliabel
(Syaifuddin,
1997).
Ada
pendapat lain yang
mengemukakan
baik/buruknya
reliabilitas
instrumen dapat
dikonsultasikan dengan nilai
r tabel. Jika r hitung > r
tabel, maka
reliabilitas dianggap baik atau
dapat dipercaya.
Reliabilitas suatu konstruk
dianggap
baik
(
reliable ) jika
a
memiliki
nilai
Cronchb
ach
Alpha (
=
0,6)
(Sugiyon
o, 2007).
Intrepretasi Nilai r pada Uji
Reabilitas dapat dilihat pada
Tabel 2.3
berikut.
Tabel 2.3 Interpretasi Nilai r pada
Uji Reliabilitas
No Besarnya r Interpretasi

1 0,800 1,000 Sangat


Tinggi
2 0,600 0,799 Tinggi
3 0,400 0,599 Cukup
4 0,200 - 0,399 Rendah
(Sumber: Sugiyono, 2007)

Pada penelitian ini


pengujian
validitas
menggunakan
software SPSS . Hal ini
dilakukan untuk memudahkan
peneliti untuk
perhitungan reliabilitas dan
tingkat
kesalahan
yang
dihasilkan relatif
27

kecil.
Nilai
reliabilitas
didapatkan
dengan
memasukkan rekap
tabulasi kuesioner ke dalam
tabel data pada
software
SPSS .
Langkah-langkah
uji
reliabilitas
menggunakan
software SPSS adalah
sebagai berikut:
1. Buka SPSS
2.
Buka variable v iew
tuliskan dari item1 hingga keN (item1- N)
3.
Buka data
view
masukkan data
4.
Pilih menu Analyze
Scale - Realibility analysis
5. Pindahkan semua variabel
ke kanan
6.
Pilih Model split-half
(karena jenis data dikotomis)
7.
Centang
Statistic
descriptive for scale if item
deleted
8. Klik continue
9. Ok
2.13 Analisis Data Statistik
Terdapat 2 jenis analisis data
statistik yang dilakukan dalam
penelitian ini, diantaranya yaitu
univariate dan bivariate . Berikut
ini adalah
penjelasan jenis analisis data tersebut
sebagai berikut.

2.13.1 Analisis Univariate


Analisis
univariate
bertujuan
untuk
menjelaskan atau
mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel
penelitian. Bentuk
analisis
univariate
tergantung jenis
datanya.
Pada umumnya dalam
analisis
ini
hanya
menghasilkan
distribusi
frekuensi dan persentase
dari
tiap
variabel
(Notoatmodjo,
2010).
Manfaat analisis univariat
adalah
sebagai berikut
(Umar, 2004) :
1. Untuk menginformasikan
suatu variabel dalam kondisi
tertentu
tanpa dikaitkan dengan
variabel lain.
2.
Untuk mengetahui
perkembangan data suatu
variabel dengan
cara dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya.
Adapun
tekniknya
yaitu antara
lain:
distribusi
frekuensi,
ratarata,
proporsi,
standar
deviasi, varians, median,
modus, dan lain
sebagainya
(statistika
deskriptif).
28

2.13.2 Analisis Bivariate


Analisis
bivariate
dilakukan
setelah
analisis univariate
tersebut.
Hasilnya
akan
diketahui
karakteristik
atau distribusi
setiap variabel, dan dapat
dilanjutkan analisis bivariate
, misalnya
variabel
usia
dengan
variabel keluhan subyektif,
variabel jenis
kelamin
dengan variabel
keluhan
subyektif,
dan
sebagainya.
Analisis
bivariate
ini
dilakukan beberapa tahap,
antara lain:
1. Analisis proporsi atau
presentase,
dengan
membandingkan
distribusi silang antara dua
variabel
yang
bersangkutan.
2.
Analisis dari hasil uji
statistik ( chi square test ,
Z test , t test ,
dan sebagainya). Melihat
dari hasil uji statistik ini
akan dapat
disimpulkan
adanya
hubungan
2
variabel
tersebut bermakna
atau tidak bermakna.
Dari hasil uji statistik

ini dapat terjadi,


misalnya
antara
2
variabel
tersebut
secara presentase
berhubungan
tetapi
secara statistik hubungan
tersebut tidak
bermakna.
2.14 Uji Crostabulasi Data
Crostabulasi data digunakan
untuk
mengetahui
hubungan/distribusi
respons antara variabel data dalam
bentuk
baris
dan
kolom
(Kurniawan,
2009). Hubungan asosiasi antara
variabel x dan variabel y dapat
diketahui
dengan menggunakan statistik Chi
Square Test . Statistik Chi Square
Test
menolak hipotesis ho jika nilai
signifikasi value Pearson Chi Square
< 0,05.
Chi Square adalah teknik statistik
yang diguanakan untuk menguji
hipotesis
deskriptif, bila dalam populasi
terdiri atas dua atau lebih klas,
data
berbentuk nominal dan sampelnya
besar. Koefisien kontingensi
(
Contingency
Coefficient
)
digunakan hubungan antar variabel,
bila datanya
berbentuk
nominal. Teknik ini
mempunyai kaitan erat dengan Chi
Square
yang digunakan untuk menguji

hipotesis komparatif K sampel


independen
(Sugiyono, 2010). Berikut ini
adalah langkah-langkah Crostabulasi
data
dalam SPSS yaitu sebagai berikut :
1.
Masukkan data variabel x dan
variabel y.
29

2.
Klik Analyze\Descriptive
Statistics\Crosstabs .
3.
Masukkan variabel x ke kolom
Row(s) .
4.
Masukkan variabel y ke kolom
Column(s ).
5. Klik button cells lalu centang
row . Pada kolom
Percentage,
centang
column dan total , kemudian klik
Continue .
6.
Klik Statistic dan centang
Chi Square , pada menu nominal
centang
Contingency Coefficient .
7. Klik Continue /OK.
2.15
Komponen
Local Exhaust
Ventilation System
Menurut Siswanto (1991),
suatu
local
exhaust
ventilation system
terdiri dari 4 komponen
utama,
komponen tersebut diantaranya yaitu :
1. Hood
Hood
merupakan suatu
struktur yang didesain untuk
menutupi
seluruh atau sebagian dari sumber
kontaminan
dan
untuk
mengendalikan
aliran udara sedemikian rupa
sehingga
kontaminan
dapat
ditangkap
dengan efisien. Partikel yang
terlepas dari sumber kontaminan

ditangkap
oleh hood dan selanjutnya
partikel-partikel tersebut akan
dibawa aliran
udara masuk ke dalam duct .
2. Ducting System
Duct
merupakan suatu
komponen dari local exhaust
system yang
berfungsi membawa kontaminankontaminan yang tertangkap oleh
hood
ke air cleaning device dan
selanjutnya udara yang telah
dibersihkan
tersebut dibuang ke udara bebas.
3. Air Cleaner
Terdapat berbagai alat untuk
mengendalikan
kadar
kontaminan
dalam
udara terdapat kerja
sedemikian
rupa
sehingga
kadarnya berada
dalam
batas-batas
amannya.
Sebagai contoh, beberapa jenis
alat
pengumpul debu secara mekanis
dapat menangkap partikel debu
kering.
Partikel baik yang kering
maupun yang basah dapat
dipisahkan dari
udara dengan aliran listrik dan
alat yang digunakan disebut
Electrostatic
Precipirator . Partikel debu dapat
pula dibasahi dan kemudian
ditangkap

30

dengan alat yaitu wet scrubber


dan masih banyak lagi jenis Air
Cleaner
yang sistem kerjanya hampir
sama.
4. Fan/Blower
Fan/Blower berfungsi untuk
menghisap udara keluar.
Fan/

Blower
harus dipasang pada duct yang
lurus,
untuk
menghindari
terjadinya
gangguan aliran udara, dan
dipasang di luar gedung, serta
diletakkan
diatas bahan peredam suara
untuk mengurangi kebisingan di
tempat
kerja. Fan/ blower juga harus
dipasang di belakang air cleaner
dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya
sumbatan dan korosi.

Gambar
Exhaust
System

2.2

Local
Ventilation

(Sumber
:
IAPA, 2006)

2.16 Perancangan Hood


Perancangan
hood ,
dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu
kecepatan tangkap ( capture velocity
)
yang harus dicari dalam
merancang
hood
adalah kecepatan tangkap
( capture velocity ) yang diperlukan
dalam
menangkap debu partikulat yang
dipengaruhi oleh kondisi dispersi
kontaminan.
Pada
Tabel
2.4
dijelaskan macam-macam kondisi
dispersi
kontaminan.
Tabel 2.4 Range of Capture Velocities
Condition of Dispersion of
Example
Capture Velocity, fpm
Contamination
Released with practically no
Evaporation from tanks,
50 100
velocity into quiet air
degreasing, etc

ASHRAE

(Sumber :
Velocities

, 1998)

31

Lanjutan Tabel 2.4 Range of Capture


Velocities
Released at low velocity into
Spray bouths,
intermittent
100 200
moderately still air
container filling, low speed
conveyor transfers,
welding,
plating, picking
Active generation into zone of
Spray painting in
shallow booths,
200 500
rapid air motion
barrel filling, conveyor loading,
crushers
Released at high initial velocity
Grinding, abrasive
blasting,
500 2000
into zone at very rapid air motion tumbling

ASHRAE (Sumber :
, 1998)
Setelah
mengetahui
kecepatan tangkap, maka
selanjutnya yaitu
penentuan jenis hood yang akan
digunakan dalam
perancangan.
Penentuan
tipe hood tersebut disesuaikan
dengan kondisi tempat kerja dan
jenis
kontaminan tebu. Pada Tabel 2.5
dijelaskan beberapa tipe hood dan
cara
mencari aliran udara pada setiap jenis
hood tersebut.
Tabel
Hood
Tipe Hood
Udara

2.5

Tipe

Deskripsi Aliran
Slot
Q =
3.7
LV
X

Q = 1.4
PVD
P
=
P
er
i
m
et
er
Cano
py
D =
Jarak
hood
denga
n
benda
kerja

(Sumber : ASHRAE, 1998)

32

L Lanjutan Tabel
2.5 Tipe Hood
Tipe
Deskripsi
Udara

Hood
Aliran
Flanged
Slot
Q = 2.5
LVX

ASHRAE (Sumber :

, 1998)

2.17 Perancangan Duct


Setelah ditentukan untuk tipe
hood yang digunakan, maka
langkah
selanjutnya
adalah menentukan
desain kecepatan minimal yang
terdapat di
dalam
duct . Desain kecepatan
minimal dalam duct dipengaruhi
oleh jenis
kontaminan debu yang terdapat di
tempat
kerja. Pada Tabel 2.6
dijelaskan
desain kecepatan minimal dalam
duct berdasarkan jenis kontaminan
debu.
Tabel 2.6 Desain Kecepatan Minimal dalam Duct
Nature of Contaminant Examples Design Velocity
Vapours, gases, smoke All vapors, gases and smoke Any
desired velocity (economic
optimum
velocity
usually 10002000 fpm)
Average industrial dust Grinding dust, buffing dust lint
(dry),
3500 4000
wool jute dust (shaker

waste) , coffe
beans,
shoe
dust,
granite dust, silica
flour, general material
handling, brick
cutting,
clay
dust,
foundry (general),
limestone
dust,
packaging and
weighing asbestos dust
in textile
industries
Heavy or moist Lead dust with small chips, moist
4500 and up
cement dust, asbestos
chunks from
transite pipe cutting
machines,
bulfings lint (sticky),
quick lime dust

ASHRAE (Sumber :
, 1998)
Setelah desain kecepatan
minimal
duct
sesuai
dengan jenis
kontaminan debu, maka langkah
selanjutnya
adalah
penentuan
diameter
duct cabang . Penentuan diameter
duct cabang dapat dihitung dengan
Persamaan 2.4 berikut.
D
= (4Q p. V
)

.(2.4) 1/2
duct

Dimana,
D

hood / duct design

= Diameter Duct

duct

Q
= Aliran Udara pada
hood (m 3 /detik)
hood

V
= Kecepatan minimal
dalam duct (m/detik)
duct design

33

Setelah
didapatkan
perhitungan diameter
duct
cabang, maka
diameter duct utama dapat dihitung
dengan Persamaan 2.5 berikut.
Q = V
.A

.
(2.5)
du
ct
de
si
gn
du
ct

Dimana,
V
= Kecepatan minimal
dalam duct (m/detik)
duct design

A
= Luasan penampang
duct (m 2 )
duct

2.18
Udara

Pressure Drop

dalam Saluran

Udara yang mengalir di


dalam
saluran
akan
mengalami pressure
drop . Pressure drop tersebut juga
akan terjadi pada belokan dan
cabang
saluran, yang terutama disebabkan
karena adanya arus eddy. Untuk
mengalirkan udara melalui saluran,
diperlukan
daya
agar
dapat
mengatasi

tahanan aliran tersebut. Pressure


drop yang terjadi karena gesekan
dan
tahanan aliran karena perubahan
arah aliran atau karena perubahan
luas
penampang
saluran,
dinamai
tahanan
lokal
atau
kerugian
dinamik. Pada
umumnya tahanan gesek dari pipa
lurus
dapat dihitung
dengan
persamaan
Dary-Weisbach pada Persamaan 2.6.
/
/
.........................................
..............(2.6)
Dimana,
D P = kerugian tekanan karena
adanya tahanan gesek (kg/m 2 )
d = diameter
duct (m)
l = panjang
duct (m)
g = densitas udara (kg/m ) 3
V = kecepatan gesekan dari
pipa (m/detik)
l = Koefisien gesekan dari pipa
Koefisien
gesekan
dalam
pipa, l, adalah fungsi dari
bilangan
Reynold , Re dan kekasaran relatif
dari pipa, e /d . Bilangan Reynold
adalah
parameter satuan,
Re
= Vd /
v (2.7)
Dimana,
Re = Bilangan Reynold
34

v
(m

= viskositas dinamis dari udara


2 /s);
Tabel
2.7
menujukkan
viskositas dinamis udara dan
air, viskositas
mempengaruhi perhitungan bilangan
Reynold suatu aliran.
Tabel 2.7 Viskositas Dinamis Udara dan Air
Temperatur ( C) 0 20 40 o
V udara (m /detik) 13,2 x 10
15,0 16,9

-6

V air (m /detik) 1,79 x 10

1,01 0,66

-6

(Sumber : Saito, 2002)

Kekasaran relatif e /d adalah


kekasaran rata-rata permukaan
dalam
dari saluran. Tabel 2.8 memberikan
beberapa harga kekasaran absolut
permukaan pipa.
Tabel 2.8 Kekasaran Absolut
Material
e
(mm)
Pipa baja 0,045 0,
15
Pipa besi galvanisasi 0,15
Pipa besi tempa 0,25
(Sumber : Saito, 2002)

Bilasius
dan
Nikuradse
melaporkan
hasil
penelitiannya tentang l.
Untuk aliran laminar, yaitu Re kurang
dari 2.300.
l=
64/ Re
(2.8)
Sedangkan
untuk
aliran
turbulen, yaitu kira-kira di
daerah Re lebih

dari 10.000, dapat menggunakan


persaman
Moody berikut ini
berdasarkan
berbagai studi dan eksperimen yang
dilakukannya.
l
= 0,0055(1 + (20000. e /d + 10 /
Re ) )...(2.9) 6 1/3
Dimana,
e /d = Kekasaran relatif
Selanjutnya yaitu penentuan
kehilangan
tekanan yang
terdapat di
fitting (sambungan) duct didapatkan
dari Persamaan 2.10.

..(2.10)
Dimana,
K
duct

= Loss coefficient dari fitting


L

r = Densitas jenis (kg/m )

Vave = kecepatan rata-rata dalam


fitting (m/detik)

35

Nilai K
dapat dilihat
pada Tabel 2.9, Nilai K
berbeda karena
L

disesuaikan dengan bentuk


duct yang ada.
Tabel 2.9 Nilai Loss Coefficient

fitting

Tipe Fitting Nilai K


L

Tee Connection, right-angle side inlet


Branches into duct
30 angle
0,20
o

45 angle

0,25

60 angle

0,44

Elbow, radius/diameter 1,5 duct


0,2
Pipe enlargement
Coned,
10
percent
slope
0,25
Entrance loss
Intake louvers and induction of outside
air
1,5
Intaker louvers without acceleration
of inlet
0,5
air
(Sumber : Crawford, 1976)

2.19
Perhitungan Pressure Drop Air
Cleaner
Terdapat dua jenis air cleaner
yang
digunakan
dalam
penelitian ini,
yaitu venturi scrubber dan cyclone
separator . Berikut ini adalah
penjelasan
perhitungan dari kedua air cleaner
tersebut.

2.19.1 Venturi Scrubber


Venturi scrubber
terdiri dari bagian
konvergence
dan
sebuah
diffuser .
Susunan
ini
menyebabkan percepatan gas
yang
mengandung
partikel
tersuspensi.
Unit
ini
biasanya disebut Pearce
Anthony scrubber , cairan
scrubbing
disuntikkan di
beberapa titik
dekat dengan throat , dan
kecepatan
tinggi
gas
menyebabkan
atomisasi nya. Spray dibuat
dan kecepatan relatif tinggi
antara tetes
dan partikel meningkatkan
koleksi dengan mekanisme
inersia
Venturi
scrubber
dianggap
sebagai
salah satu perangkat
paling
efektif
untuk
mengumpulkan
partikel
padat atau
menghilangkan polutan gas
dari gas buang. Desain
venturi scrubber
memiliki
beberapa
keuntungan seperti efisiensi
tinggi untuk partikel
yang relatif kecil, biaya awal
yang rendah, tidak
ada
bagian yang
bergerak, volume kecil, dan
kemudahan
instalasi dan

pemeliharaan
(Dlukha, 2011).

36

Anda mungkin juga menyukai