BAB VI PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN MULTIKULTURAL
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang masyarakatnya bersifat multi
kultur dan multi etnik dan telah dirumuskan oleh para pendiri negara dengan lambang negara yang bertuliskan bhineka tunggal ika yang artinya bersatu dalam perbedaan. Menurut Prof. Heather Sutherland menyakan bahwa masyarakat mulkultur memiliki potensi positif dalam bentuk asimilasi dan integritas sosial,namun rawan terjadinya konflik sosial. Munculnya berbagai konflik sosial karena bangsa Indonesia berada dalam kondisi transisi demokratis sedang menghadapi masa-masa yang kritis. Hal ini disebabkan lunturnya rasa nasionalime dan paradigma nilai nilai Pancasila pun juga telah mulai luntur dalam kehidupan berbangsa.Persoalannya sekarang bangsa Indonesia justru kehilangan jati diri karena bangsa Indonesia cenderung meninggalkan nilai-nilai Pancasila dan mengadopsi nilainilai lain yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Hal itu menyebabkan perubahan sikap,cara pandang materialis,perilaku kearah sikap pragmatis,kemerosotan moral dan semakin maraknya KKN. Munculnya berbagai konflik, baik konflik sosial dan politik maka sudah sewajarnya untuk merubah paradigma berpikir dari cara pola pikir paradigma diagnolistik diganti dengan paradigma alternatif yang mengakui dan menerima adanya perbedaan. Pola pikir diagnolistik harus dirubah karena tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi nilai demokratis dan semangat musyawarah dalam mengambil keputusan. Kontruksi diri pun menjadi hal yang penting untuk meningkatkan rasa nasionalisme bangsa dan kembali menerapkan nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari hari untuk menanggulangi berbagai konflik sosial dan politik yang belakangan ini sering terjadi.
BAB VII PANCASILA DALAM DEMOKRASI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UNDANG-UNDANG 1945
Perjalanan demokrasi Indonesia diwarnai oleh berbagai perubahan
sejalan dengan kondisi politik, diawali berdirinya Negara Kesatuan RI pada tahun 1945 dengan dasar kedaulatan rakyat berasaskan kekeluargaan dan gotong royong dicapai kesepakatan untuk menerima dan mensahkan UUD 1945 sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Perjalanan demokrasi diklasifikasikan tahapan demokrasi antara lain berdasarkan Pancasila (1945-1949), demokrasi liberal (1950-1958), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi Pancasila (1966-1998), demokrasi liberal (1999-2004). Amandemen UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat berturut-turut sampai 4 kali. Jelas menunjukkan arah perubahan dari demokrasi Pancasila yang berasaskan kekeluargaan dan gotong royong menuju demokrasi liberal yang berbasis individualisme. Amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan oleh MPR periode 19992004 sejalan dengan peluang yang diberikan oleh para pendiri republik yang tertuang dalam pasal 37 UUD 1945. Penerapan demokrasi pada masa orde baru berlindung dibalik Pancasila dan UUD 1945 yang dalam prakteknya menjadi pemerintahan otoriter membayangi kehidupan politisi dan ketika reformasi bergulir, MPR tidak saja berkehendak mengubah UUD 1945 sesuai tuntutan zaman, tetapi juga mengubah sistem pemerintahan yang otoriter menjadi sistem pemerintahan demokratis tanpa mempertimbangkan falsafah Pancasila yang mendasarinya. Amandemen UUD 1945 menunjukkan perubahan yang total dan drastis yang cenderung mengadopsi sistem pemerintahan demokratis liberal seperti yang dianut Amerika Serikat. Pembentukan Komisi Konstitusi oleh MPR itu sendiri menunjukkan perlunya pengkajian terhadap amandemen UUD 1945 artinya MPR ternyata menyadari bahwa arah amandemen UUD 1945 telah
terlampau jauh meninggalkan karakteristik kehidupan demokrasi