Anda di halaman 1dari 4

peran farmasis

27 Sep

Dalam 10 tahun terakhir tantangan yang dihadapi oleh profesi farmasi


cukup berat, apalagi dalam menyongsong era perdagangan bebas (AFTA 2003 dan WTO
2010). Peran profesi farmasi yang semula hanya bergerak dalam bidang packaging dan
dispensing untuk obat bebas maupun obat dengan resep menjadi harus bertanggungjawab
terhadap mutu komunikasi dan informasi obat kepada masyarakat serta yang lebih penting
adalah bekerjasama dengan profesi dokter dan petugas kesehatan untuk meningkatkan mutu
penggunaan obat di populasi.
Menurut Hepler dan Strand,24 peran farmasis yang lebih ke arah pharmaceutical care
terdiri atas
(1) mengidentifikasi berbagai potensi terjadinya drug-related problems (yang saat ini lebih
dikenal sebagai medication error);
(2) melakukan berbagai upaya yang diperlukan saat terjadi drug-related problems; (3)
mencegah terjadinya drug-related problems.
Dengan demikian maka sudah saatnyalah farmasis bekerja berdampingan dengan profesi
kesehatan lainnya (dokter, perawat, dokter gigi) dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan.
Peran farmasis di rumahsakit (farmasi klinik) tidak saja sebatas memberikan informasi dan
pelayanan obat yang akurat, tetapi juga melakukan berbagai upaya untuk menjamin agar obat
yang diperoleh pasien adalah yang efficacious dan aman serta digunakan secara benar
sehingga mencegah risiko medication error.
Peran farmasi klinik secara komprehensif haruslah difokuskan pada upaya untuk mencegah
terjadinya medication error, dengan mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi,
mencegah, mengidentifikasi, dan meminimalkan risiko medication error serta jika sudah
terjadi, mampu melakukan langkah-langkah korektif yang dapat mencegah risiko kecacatan
lebih lanjut dari pasien.
Farmasi klinik harus senantiasa berpikir bahwa medication error dapat terjadi setiap saat.
Adapun upaya yang dikembangkan antara lain meliputi:
-Informasi tentang diri pasien;
-Informasi obat;
-Komunikasi;
-Labeling, packaging, dan nomenklatur;
-Penyimpanan obat, stok dan distribusi;
-Penggunaan dan monitoring alat yang digunakan untuk memberikan obat (misalnya syringe
pump);
-faktor lingkungan;
-pendidikan dan kompetensi staf;

-pendidikan kepada pasien; dan


-proses mutu dan manajemen risiko.
(1) Informasi tentang diri pasien
Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 18% dari efek samping obat yang serius dan
sebenarnya dapat dicegah berawal dari kurangnya informasi yang memadai mengenai diri
pasien sebelum obat diresepkan, diserahkan dan diminum/digunakan oleh pasien25.
Informasi penting yang dimaksud antara lain adalah umur, berat badan, riwayat alergi,
diagnosis, status kehamilan, hingga fungsi ginjal, hepar dan jantung. Untuk pasien rawat inap
maka tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium, dan berbagai parameter lainnya
seperti penyakit yang mendasari harus dipertimbangkan karena akan sangat berpengaruh
untuk terjadinya medication error.
(2) Informasi obat
Leape et al 25 melaporkan bahwa lebih dari 28% efek samping obat yang dapat dicegah
berkaitan langsung dengan tidak adekuatnya pemberian informasi obat kepada pasien. Secara
umum kurangnya pengetahuan mengenai terapi obat merupakan penyebab tersering dari
medication error. Kekeliruan dosis obat relatif paling sering dijumpai. Setidaknya sekitar
separuh dari efek samping obat terjadi sebagai kombinasi dari kurangnya informasi mengenai
diri pasien dan tidak adekuatnya informasi terapi obat. Informasi obat yang mutakhir dan
akurat haruslah selalu tersedia dan dapat diakses oleh farmasi klinik. Akses langsung melalui
internet untuk mendapatkan informasi terbaru dari berbagai sumber haruslah menjadi
prioritas pengembangan yang harus segera dilakukan. Salah satu cara paling efektif untuk
mendiseminasikan informasi obat secara akurat adalah melalui keberadaan farmasi klinik di
unit pelayanan intensif dan darurat, yang langsung terlibat dalam proses pelayanan pasien.25
(3) Komunikasi
Miskomunikasi antara dokter, farmasis dan perawat merupakan penyebab yang paling sering
dari medication error. Kegagalan dalam pemberian obat yang benar kepada pasien sering
berawal dari ketidakjelasan penggunaan singkatan, akronim, dan perintah dalam resep yang
ambigus yang kerapkali menimbulkan kesalahan interpretasi. Sekitar 10% bencana
medication error bermuara dari masalah-masalah tersebut.25 Untuk mencegah hal tersebut
haruslah dikembangkan mekanisme dan prosedur yang terstruktur setiap kali menghadapi
keraguan interpretasi. Salah satu ilustrasi kasus yang pernah terjadi adalah peresepan
AZT100, yang dapat diartikan sebagai azathioprine 100 mg maupun zidovudine (semula
azidothymidine) 100 mg. Apabila penderita AIDS keliru mendapatkan immunosuppressant
bukannya antiretroviral, maka kesalahan ini akan berakibat fatal.26 Obat lain yang sering
dikelirukan antara lain chlorpropamide dan chlorpromazine. Penulisan resep yang tidak jelas
juga menjadi sumber bencana apabila keliru penginterpretasiannya. Sebagai contoh insulin 20
U, sering keliru terbaca menjadi insulin 200 yang ini akan sangat fatal akibatnya bila terlanjut
diberikan.
(4) Labeling, Packaging, and Nomenklatur
Suatu penelitian menemukan bahwa salah satu penyebab tersering dari dispensing error
(29%) adalah kegagalan untuk mengidentifikasi secara benar beberapa obat yang namanya
hampir sama atau kedengaran mirip satu sama lain.27 Carbatrol (Carbamezapine in U.S.) dan
Carbrital (Pentobarbitone Sodium), Deseril (methysergide maleat) dan Desyrel (Trazodone)
adalah sedikit dari berbagai macam obat yang hampir mirip nama dan kedengarannya.
Double check, ketidaktergesaan, dan ketelitian menjadi kata kunci untuk menghindari
masalah ini. Prescription mapping software mungkin diperlukan untuk membantu menata di

mana obat harus diletakkan. Obat yang relatif berisiko misalnya warfarin haruslah diletakkan
di tempat yang tidak terlalu mudah diakses.
(5) Penyimpanan obat, stok dan distribusi
Beberapa medication error dapat dicegah dengan membatasi ketersediaan obat dan bahan
kimia berbahaya di bangsal maupun satelit farmasi. Sistem dosis unit (unit dose system) yang
efektif dan komprehensif dapat meminimalkan risiko pemberian obat yang keliru secara
berkelanjutan. Berikut adalah contoh permasalahan yang berkaitan dengan penyimpanan,
stok dan distribusi obat:26 (1) penyimpanan obat-obat berbahaya seperti kalium klorida
konsentrat di tempat obat di bangsal; (2) ketersediaan obat dalam berbagai strength secara
tidak perlu; (3) penghitungan dosis, preparasi dan pencampuran obat di tingkat pelayanan
pasien (bangsal); (4) ketersediaan obat di tingkat bangsal secara berlebihan dan penggunaan
vial multiple-dose; (5) tidak adanya standard waktu pemberian obat dan dosing windows; (6)
memberi akses kepada perawat dan petugas non farmasis ke obat.
(6) Penggunaan dan monitoring alat untuk pemberian obat
Sebelum sampai ke pasien harus dilakukan penilaian keamanan secara tepat terhadap alat
untuk pemberian obat seperti misalnya infusion pump, agar saat digunakan tidak
menimbulkan risiko. Setting alat juga harus dilakukan secara benar, termasuk meyakinkan
bahwa petugas akan mengoperasikan secara tepat. Error dapat terjadi jika kecepatan aliran
tidak dikendalikan dengan seksama, obat diberikan dalam konsentrasi yang tidak tepat, atau
aliran infus sulit dibedakan dengan infus yang lainnya. Kekeliruan memberikan obat secara
intrathecal bukannya intravenosa, atau intravenosa bukannya intramuskuler tidak jarang
terjadi, dan hal ini dapat berakibat fatal.
(7) Faktor lingkungan
Faktor lingkungan seperti kurangnya penerangan dalam ruang, tidak leluasanya tempat
preparasi obat, kegaduhan, serta tingkat kesibukan pelayanan dan intensitas pekerjaan yang
tinggi berperan untuk terjadinya medication errors.
(8) Pendidikan dan kompetensi staf
Pendidikan staf secara berkelanjutan menjadi salah satu kunci untuk mencegah terjadinya
medication error. Pemahaman terhadap informasi terbaru obat dan cara mempersiapkan serta
memberikan dan feedback terhadap masalah-masalah medication error yang terjadi secara
berkala merupakan strategi pencegahan error yang cukup signifikan. Fokus dari pendidikan
dapat menyangkut hal-hal berikut:27
*obat-obat yang digunakan di rumahsakit yang termasuk dalam formularium maupun di luar
formularium,
*kewaspadaan terhadap obat-obat yang sangat berpotensi menimbulkan kefatalan apabila
terjadi error atau obat-obat yang pertimbangan dosis kritisnya tidak biasa; *protokol,
kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat untuk memasukkan
obat; dan
*medication error yang terjadi di luar sistem setempat serta upaya pencegahan yang dapat
dilakukan.
(9) Pendidikan kepada pasien
Pasien merupakan jalur terakhir dari proses pemberian obat. Pasien yang mampu memahami
cara pemberian obat yang tepat merupakan bagian hulu dari upaya pencegahan medication
error. Oleh sebab itu pasien perlu mendapat pendidikan atau penjelasan secara komprehensif

mengenai obat yang diminum atau digunakan, agar tanda-tanda dini dari medication error
dapat segera terdeteksi melalui kewaspadaan dari sisi pasien.
(10) Proses mutu dan manajemen risiko
Pendekatan tradisional yang berfokus pada individu praktisi, baik melalui pelatihan atau
pengajaran mungkin tidak lagi signifikan. Strategi harus diutamakan pada pendekatan sistem.
Reason27 memperkenalkan istilah latent error yaitu error yang efeknya tertunda atau
lambat. Latent error ini termasuk bom waktu karena munculnya kemudian. Reason
menyebutkan bahwa sekitar 50-60% situasi dapat berlangsung secara keliru tanpa dapat
terdeteksi oleh sistem yang ada. Hal ini disebut kegagalan laten (latent failure) yang
menunjukkan adanya kelemahan dalam sistem yang berlangsung. Penyederhanaan cara
pemberian obat dapat mengurangi risiko medication error secara bermakna. Sistem yang
sederhana yang memungkinkan dilakukannya double-checks akan secara efektif mendorong
terdeteksinya error dan koreksi dapat segera dilakukan sebelum obat mencapai pasien.

Anda mungkin juga menyukai