Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang Masalah


Perkembangan Ketenagakerjaan saat ini ditandai dengan babak
baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni melalui
Pengadilan Hubungan Indutrial dan di luar Pengadilan yang diatur
dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004. Kelahiran Lembaga ini
menghapus keberadaan Pantia Penyelesaian Perselisihan Perubahan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957
tentang penyelesaian Perselisihan Perubahan dan Undang-Undang
Nomor 12 tahun 1964 tentang PHK. Penyelesaian melalui lembaga ini
kurang dapat memberikn perlindungan hukum dari segi proses
penyelesaian sengketa maupun pelaksanaan putusannya. Apalagi setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menetapkan putusan P4P sebagai objek sengketa tata
usaha negara, sehingga jalan yang ditempuh oleh para pihak untuk
mencari keadilan semakin panjang.
Dalam

Undang-Undang

Nomor

tahun

2004

tentang

Penyelesaian Hubungan Industrial ditetapkan bahwa waktu penyelesaian


perselisihan hubungan industrial ditetapkan bahwa waktu penyelesaian
perselisihan hubungan industrial secara nonlitigasi (mediasi, konsilasi,
dan arbitrasi) dibatasi paling lama 30 hari kerja. Penyelesaian
perselisihan Hubungan industrial pada tingkat pertama pada Pengadilan

Hubungan Industrial dibatasi waktu paling lama 50 hari kerja dan pada
Mahkamah Agung 30 hari kerja. Selain itu adanya pembatasan bahwa
hanya perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) sama dapat diajukan kasasi pada Mahkamah

Agung tanpa

melalui prosedur banding. Dengan demikian diharapkan sengketa yang


dihadapi para pihak akan segera memperoleh kepastian hukum sesuai
dengan asas peradilan cepat, mudah dan biaya ringan.
Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian integral dari
1
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur yang merata, baik material maupun spritual yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945.
Dalam melaksanakan pembangunan nasional peran serta buruh
semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan buruh harus
semakin ditingkatkan, baik mengenai upah, kesejahteraan, dan harkatnya
sebagai

manusia.1Dengan

demikian

pembangunan

di

bidang

ketenagakerjaan tidak saja diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja


sebanyak-banyaknya, tetapi perlindungan dan peningkatan kualitas hidup
tenaga kerja menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

1 Aruan, 2004, Direktorat penyelesaian Perselisihan: Hubungan


Industrial Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik
Indoensia, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, hal.1

Kondisi ketenagakerjaan Indonesia dari tahun ke tahun masih


memiliki kecenderungan yang sama dengan kondisi ketenagakerjaan
pada tahun sebelumnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
pada Oktober 2005 misalnya, juga mengakibatkan meningkatkan biaya
produksi perusahaan-perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini selain
meningkatkan
mempengaruhi

tekanan

biaya

kemampuan

hidup

kepada

perusahaan

masyarakat,

untuk

tetap

juga

bertahan

menjalankan usahanya. Untuk mengefisienkan usahanya perusahaan


melakukan pembatasan pekerjaan sampai pada keputusan yang tidak
banyak diskusi oleh pekerja, yaitu mengenai pemutusan hubungna kerja
(PHK). Gejala PHK ini menjadi perhatian utama pemerintah karena hal
ini dapat memperbesar angka pengangguran dan menurunkan daya beli
masyarakat. Tekanan biaya hidup pekerja yang semakin tinggi juga
menimbulkan tuntutan akan kenaikan upah minimum yang proses
penetapannya sejauh ini masih mempunyai banyak kelemahan. Upah
pekerja formal yang semakin meningkat akibat kenaikan upah minimum
tidak diimbangi dengan meningkatkan upah pekerja informal. Kenaikan
upah pekerja formal ini dan membesarkannya lapangan kerja informal
telah mengakibatkan perbedaan upah yang semakin meningkat antara
pekerja formal dan informal. Selain itu, adanya kecenderungan
peningkatan

upah

pekerja

formal

di

industri

besar

tanpa

mempertimbangkan produktivitas akan berakibat pada penurunan daya


saing.

Kondisi tersebut merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah


dalam hal ini mengatasi permasalahan ketenagakerjaan. Tantanagn
tersebut, antara lain dapat disebut seperti berikut. Pertama,
menciptakan lapangan formal atau modern yang seluas-luasnya.
Tantangan ini tidak mudah diatasi karena iklim ketenagakerjaan
yang kurang kondusif dan hal terkait dengan peraturan-peraturan
ketenagakerjaan yang msih perlu disempurnakan. Kedua,
memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat
berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas tinggi. Dukungan ini
diperlukan agar pekerja informal secara bertahap dapat bergeser ke
lapangan kerja formal. Tantanagn ini diikuti dengan kepentingan
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang
banyak menyerap tenaga kerja informal. Masalah kekakuan
kebijakan ketenagakerjaan yang menimbulkan ekonomi biaya
tinggi, perubahan pola hubungan industrial antara pemerintah,
pekerja, dan pengusaha masih menjadi tantangan utama yang harus
dihadapi. Tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian dan
kompetensi tenaga kerja, juga masih menjadi tantangan utama yang
harus dhihadapi. Tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian dan
kompetensi tenaga kerja, juga masih harus ditingkatkan.2
Seiring dengan perkembangan zaman kesempatan kerja semakin
terbatas dan semakin banyaknya masayarakat yang mecari pekerjaan
mengakibatkan daya saing yang cukup tinggi. Hal ini dapat
mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran karena meningkatnya
pemutusan

hubungan

kerja

(PHK)

oleh

pengusaha

terhadap

karyawannya. Pemutusan hubungan kerja ini disebabkan oleh berbagai


faktor, salah satu di antaranya disebabkan oleh karyawan kerja,
kejujuran, dan tuntutan upah yang lebih tinggi daripada kualitas produk.
2www.propenas.co.id, tanggal 27 April 2013

Pada dasarnya pekerja dan pengusaha sama-sama menginginkan


terciptanya hubungan kerja yang harmonis, agar kepentingan masingmasing pihak dapat terwujud. Pekerja menginginkan peningkatan
kesejahtraan

sementara

pengusaha

menginginkan

profit

dan

terkendalinya kelangsungan usahanya. Namun dalam realitas dan


pengalaman tidak jarang ditemukan pihak masing-masing bersikukuh
mengutamakan dan mempertahankan kepentingan sehingga perselisihan
hubungan industrial, bahkan menjadi gejolak yang berakhir dengan
pemogokan dan pemutusan hubungan kerja.
Kenyataan yang hendak digambarkan di atas bahwa telah terjadi
hubungan tidak harmonis antara pengusaha sebagai pemilik modal
dan buruh sebagai pemilik tenaga pengguna intrumental produksi.
Dalam hal ini telah terjadi perbedaan kepentingan antara pengusaha
dan buruh, yaitu pengusaha menginginkan tingginya tingkat
produksi yang sekaligus berkaitan dengan profit pengusaha,
sedangkan pada pihak buruh menginginkan tingginya upah yang
sekaligus berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Apabila dilihat
dari pandangan Suhanadji dan waspodo bahwa telah terjadi konflik
secara berkesinambungan antara pihak pemodal dengan pemilik
tenaga penguna intrumen produksi. Perbedaan kepentingan ini
sekaligus menempatkan perlu adanya cara-cara yang lebih
manusiawi terhadap peraturan dan perundang-undangan yang
mengatur hubungan ketenagakerjaan.3
Agar tidak terjadi perlakuan yang semana-mena terhadap buruh
dalam pasal 158 ayat (1) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha dapat memutuskan

3 Suhanadji dan Waspodo Ts, 2004, Moderniasasi dan Globalisasi,


Insan Cendekia, Malang, hlm.36

hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan pekerja/buruh


telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut.
(1) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan/atau uang milik perusahaan;
(2) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
(3) Mabuk, meminum-menimun keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan
zat adikatif lainnya lainnya di lingkungan kerja;
(4) Melakukan perbuatan asusila atau perjuadian di lingkungan
kerja;
menyerang,
menganiaya,
mengancam,
atau
mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan
kerja;
(5) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
(6) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam
keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan
kerugian bagi perusahaan;
(7) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
(8) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang
seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
(9) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Dalam

melakukan

pemutusan

hubungan

kerja

terhadap

karyawannya pihak perusahaan tidak dapat langsung melakukan PHK


terhadap karyawannya, jika terjadi kesalahan. Pihak perusahaan harus
terlebih dahulu mengeluarkan surat peringatan sebanyak 3 (tiga) kali
secara berturut-turut kepada karyawannya sesuai dengan pasal 161 ayat
(1), (2), dan (3) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama, pengusaha atau perjanjian kerja


bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara
berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ayat (1)
masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan,
kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja
dengan alasan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentaun Pasal 156 ayat (4).
Di samping itu masalah perselisihan hubungan industrial khususnya
mengenai pemutusan hubungan kerja, jika tidak diantisipasi secara
cepat dan tepat oleh pemerintah akan dapat menggangu kehidupan
sosial ekonomi para perkerja. Konsekuensinya secara signifikan
berpengaruh terhadap penurunan produktivitasnya berkaitan
dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional. Ini berarti
kemunduran bagi sebuah bangsa yang memang sedang berada pada
tingakat negara-negara sedang berkembang sebagaimana
dinyatakan dalam teori-teori modernisasi. 4
Di dalamnya dijelaskan bahwa ada dua jenis negara, yaitu
negara maju dan negara sedang berkembang. Negara maju dinyatakan
dengan tingakt produksi dan penggunaan barang-barang industri,
sedangkan negara sedang berkembang dinyatakan sebagi negara sedang
berkembang ada kecenderungan tingginya tingkat perselisihan hubungan
industri termasuk pemutusan hubungan kerja.
Pihak perusahaan sedapat mungkin menghindari pemutusan
hubungan kerja, tetapi jika dengan segala upaya tidak dapat dihindari
maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan
4Ibid. hlm.40

buruh atau pekerja atau dengan serikat buruh atau serikat pekerja (jika
ada). Namun, jika pihak perusahaan tidak menginginkan pemutusan
hubungan

kerja

perusahaan

tidak

dapat

sewenang-wenang

memperlakukan pekerja atau buruh dengan tidak memberikan pekerjaan,


memaksa pekerja atau buruh untuk mengundurkan diri, dan sebagainya.
Apabila pihak perusahaan tidak dapat menghindari pemutusan hubungan
kerja maka pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan dengan cara-cara
yang tidak merugikan pekerja/buruh. Misalnya, dengan memenuhi
kewajiban membayar hak-hak mereka tanpa menguranginya. Apabila
terjadi hal yang sebaliknya, maka pekerja secara hukum memiliki hak
untuk mengugat perusahan sesuai dengan undang-undang dan peraturan
yang berlaku. Untuk menghindari peristiwa tersebut antara perusahan
dan pekerja dapat membangun kesepakatan atau konsensus berupa
tindakan disipliner berupa peraturan perusahaan dalam bentuk perjanjian
tertulis secara jelas tegas bagi kedua belah pihak.
Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian, tidak sedikit
ditemukan perusahaan yang menetapkan peraturan secara sepihak tanpa
diketahui pekerja bahkan serikat pekerja. Padahal penerapan faktorfaktor acuan bagi orientasi masyarakat pekerja maupun penerapan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum itu harus dilaksanakan
berdasarkan dua prinsip keadilan.5 Agar tidak mencederai rasa keadilan
5 Kusumohamidjojo, Budiono,2000, Kebhinekaan Masyarakat Di
Indonesia:Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan.PT. Gramedia

masyarakat pekerja. Kedua prinsip keadilan bagi penerapan hukum itu


adalah prinsip daya laku hukum yang umum dan prinsip kesamaan di
hadapan hukum. Prinsip keadilan yang pertama mensyaratkan bahwa
suatu kaidah hukum yang diberlakukan sebagai hukum positif akan
menjangkau setiap semua orang dalam jangkauan yurisdiksi hukum
tersebut, tanpa kecuali.
Prinsip keadilan kedua mensyaratkan bahwa semua dan setiap
warga negara berkedudukan sama di hadapan hakim yang harus
menerapkan hukum. Dalam hal ini termasuk hubungan indutrial antara
perusahaan dan masyarakat pekerja. Di samping itu prinsip kesamaan di
hadapan hukum merupakan prinsisp yang konstitutif bagi terciptanya
keadilan dalam semua sistem hukum. Meskipun demikian berbagai
sistem hukum tampaknya menempatkan prinsip kesamaan

itu dalam

konteks yang berbeda-beda. Oleh karena itu, baik dari komponenkomponen tumpuan itu nyatalah bahwa lembaga-lembaga kenegaraan,
baik yang menetapkan kaidah hukum, yang melaksanakannya, maupun
yang menindak pelanggaran terhadapnya, dan lebih lagi para pejabat
yang menyandang jabatan lembaga-lembaga tersebut memainkan
peranan yang besar. Ini menunjukkan bahwa penegakan tata hukum di
Indoensia sebagai payung tindakan rasional tergantung pada proses
politik.

Widiasarana Indonesi. Jakarta. hlm 25.

10

Adanya perlakuan yang tidak memenuhi rasa keadilan pada


salah satu pihak terutama bagi para pekerja yang sebenarnya di depan
hukum, baik pihak perusahaan maupun pekerja harusnya berada pada
posisi setara dan sejajar. Ketidak jelasan posisi ini, bahkan mengundang
hubungan industrial yang tidak harmonis, malahan dapat menimbulkan
masalah serius. Dalam hal ini masalah-masalah hubungan industrial yang
pada gilirannya tidak dapat dihindari munculya masalah yang berkaitan
dengan pemutusan hubungan kerja. Hal ini sebagaimana tampak di
Kabupaten Gianyar, seperti PHK di Royal Pita Maha dan Padma Hotel
Kabupaten Gianyar. Dampak dari PHK umumnya, dapat memunculkan
tindakan kekerasan dari para pekerja seperti penyampaian tuntutan,
keresahan, untuk rasa, perselisihan, bahkan pemogakan (jika belum
PHK). Peningkatan kasus seperti ini dapat menyebabkan hubungan
industrial menjadi rawan kemudian, dapat menimbulkan gangguan
terhadap proses produksi di perusahaan. Jika hal ini tidak diantisipasi
secara baik maka dikhawatirkan akan merugikan semua pihak, baik
pekerja, pengusaha, pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Di Kabupaten Gianyar, kasus-kasus pada bidang hubungan
industrial, seperti pemutusan hubungan kerja perlu mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh karena masalah pemutusan hubungan
kerja lebih banyak terjadi pada sektor industri pariwisata. Sebaliknya,
sektor ini tercatat sebagai penyumbang terbesar PAD Kabupaten Gianyar.

11

Padahal sektor pariwisata sangat rentan terhadap gangguan, baik yang


berasal dari intern perusahaan maupun pengaruh dari luar perusahaan.
Dalam upaya mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak negatif
dari kasus-kasus yang terjadi pada bidang hubungan industrial Dinas
Tenaga kerja Kabupaten Gianyar perlu memantapkan pelaksanaan sistem
hubungan industrial di perusahaan-perusahaan. Di samping itu perlu
ditingkatkannya pengawasan terhadap pelaksanaan aturan perundangundangan pada bidang ketenagakerjaan.
Untuk membahas lebih mendalam mengenai masalah hubungan
industrial khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, penulis
secara khusus melakukan penelitian pada Dinas Tenaga kerja kabupaten
Gianyar. Dalam hal ini berkaitan dengan penanganan terhadap masalah
pemutusan hubungan kerja di perusahan-perusahan dalam wilayah
Pemerintahan Kabupaten Gianyar. Penanganan masalah tersebut oleh
pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Tenaga kerja terutama
dalam pelaksanaan wewenang yang melekat pada lembaga itu dapat
diduga mengalami kesulitan-kesulitan. Faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan tersebut dipandang sebagai faktor penghambat yang menarik
ditelusuri kejelasannya sebagai sebuah penelitian. Selain itu, juga
perhatian lebih diutamakan atau didahulukan pada mekanisme yang
ditempuh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menyelesaikan
masalah pemutusan hubungan kerja tersebut. Mekanisme ini dapat

12

dipandang sebagai bentuk-bentuk regulasi Pemerintah Kabupaten


Gianyar dalam mengimplementasikan kewenangan yang dimilikinya
sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyelesaian sengketa
hubungan idustrial, mekanisme, dan faktor penghambet yang dihadapi
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah
pemutusan hubungan kerja dalam penelitian ini secara khusus membahas
kewenangan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani
masalah pemutusan hubungan kerja berdasarkan tinjauan yuridis
terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana Pengaturan penyelesaian

sengketa

hubungan

industrial berdasarkan undang-undang ketenaga kerjaan?


2. Bagaimana Peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam
penyelesaian sengketa hubungan industrial ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk permudah dalam
penyelesaian masalah ini maka
dipandang perlu untuk membuat suatu batasan yang dapat berfungsi
sebagai acuan agar dalam pembahasan tidak keluar dari pokok
permasalahan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya penelitian ini hendak mengungkap dan mendeskripsikan
bagaiamana kewenangan yang dimiliki Dinas Tenaga Kerja Kab. Gianyar

13

dalam pengaturan masalah pemutusan hubunga kerja kedua Peran Dinas


Tenaga Kerja dalam

penyelesaian masalah pemutusan hubungan

Industrial. Maksud tersebut pada prinsipnya merupakan pembatas


terhadap penelitian lingkungan ini, yaitu mengenai masalah pemutusan
hubungan kerja, pengaturan yang ditempuh.Tinjauan empiris terhadap
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisishan
Hubungan Industrial.
1.4. Tujuan Penulisan
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum hendak mengungkap dan
mendeskripsikan Peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam
menangani masalah pemutusan hubungan kerja berdasarkan kajian
empiris terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
1.4.2. Tujuan Khusus
Pemahaman terhadap kebijakan Pemerintah kabupaten Gianyar
terutama yang dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar
dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja diarahkan
a.

untuk mencapai tujuan penelitian seperti berikut.


Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang Peran Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah
pemutusan hubungan kerja.

14

b.

Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang Pengaturan


penyelesaian masalah pemutusan hubungan kerja yang ditangani

oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar.


1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan
untuk menambah reverensi hukum khususnya hukum ketenaga
kerjaan.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten
Gianyar dalam hal menangani masalah ketenaga kerjaan di
Kabupaten Gianyar.
1.6. Landasan Teoritis
Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang tahun 2003 tentang
ketenaga kerjaan di sebutkan bahwa tenaga kerja adalah :setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.
Selanjutnya penyelesaian sengketa Joni Emirzon memberikan
pengertian konplik atau perselisihan atau percecokan adalah adanya
pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan
sedang mengadakan hubungan atau kerja sama.6

6 Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar


Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21

15

Pengertian tentang pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1


ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut:
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakuakan oleh salah satu
pihak
Disamping pengusahan dan pekerja, banyak unsur masyarakat
yang secara langsung dan tidak langsung berperan dan memberi
kontribusi

atas

keberhasilan

perusahaan,

dan

juga

mempunyai

kepentingan secara langsung atau tidak langsung atas keberhasilan


perusahaan
menyewakan

tersebut.
tanah,

keluarga

mungkin

menyewakan

memasok

bahan

baku,

barang-barang

modal

atau

menyediakan tenagakerja. beberapa perusahan mungkin menyediakan


atau memasok barang setengah jadi. perusahaan lain mungkin membeli
dan menggunakan produk setengah jadi dari perusahan dimaksud untuk
menghasilkan produk baru. masyarakat konsumen sangat berkepentingan
atas kelangsungan penyediaan barang di pasar. Bila suatu barang tertentu
menjadi tidak tersedia di pasar masyarakat terpaksa mencarinya di
tempat lain yang mungkin sangat jauh atau harus mencari barang
pengganti (substitusi).
Bagi Pemerintah, setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat
kecuali atau besar, di sektor formal atau sektor formal,
mempunyai peran dan makna yang sangat penting, baik sebagai
sumber kesempatan kerja dan penghasilan, maupun menyediakan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,

16

kemudian juga untuk


pembayaran pajak.7

mendorong

pertumbuhan

potensi

Konflik antara golongan atas dan bawah, yaitu antara pemilik


modal dan tenaga kerja dalam kaitannya dengan industrial tidak jarang
ditemukan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Perselisihan di antara
pengusaha dengan peran pekerja atau serikat pekerja dapat dikatakan
sebagai perselisihan hubungan Industrial. Dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PPHI)
dijelaskan bahwa perselisihan hubungan industrial dapat dibagi menjadi
a.

b.
c.
d.

empat kategori seperti berikut.


Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap
ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan
kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan
dan atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul akibat tidak adanya
kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak (pengusaha dan pekerja).
Perselisihan antar-Serikat Pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja
dengan serikat pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena
tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan
hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Dari empat klasifikasi perselisihan hubungan di atas dapat diketahui
bahwa perselisihan hubungan industrial disebabkan oleh terjadinya
kesalahpahaman atara pekerja dan pengusaha sehingga timbul rasa
ketidakadilan dari salah satu pihak yang menimbulakan perselisihan.
Pada tingkat emosional perselisihan dapat berlanjut hingga ke
perselisihan paham dan ideologi setelah melewati level politik dan

7Payaman J. Simanjuntak, 2011, Manajemen Hubungan Industrial,


fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 8

17

kebudayaan. Apabila sampai pada tingkat ideologi menurut


pandangan teori konflik.8
Bahwa perselisihan itu cenderung tidak dapat diselesaikan tanpa
melibatkan lembaga hukum, bahkan kekerasan fisik pun dapat terjadi
sebagai kelanjutannya. Ini berarti bahwa konflik terjadi dimulai dari
tataran ekonomi, apabila tidak diselesaikan maka akan berlanjut pada
tataran ideologi. Umumnya, pada tataran ini penyelesaian konflik
cenderung telah melibatkan payung hukum, malahan pada tataran ini
konflik cenderung memunculkan tindakan kekerasan, seperti unjuk rasa
misalnya.
Sebaik-baiknya penyelesaian konflik yang dalam hubungan
industrial dijelaskan dengan terminologi perselisihan memang lebih baik
melakukan pencegahan, agar konflik tidak terjadi. Terlebih lagi dalam
hubungan kerja atau industrial yang pada intinya hubungan industrial
memiliki orientasi hidup dan kesejahteraan. Walaupun demikian, bukan
berarti penelitian hendak mengabaikan konflik atau perselihan dalam
perusahaan, melainkan melihat wewenang Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Gianyar melalui Dinas Tenaga Kerja dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang terjadi di wilayah pemerintahan
tersebut. Ini perlu mendapat perhatian pemerintah karena perselisihan
hubungan kerja atau industrial tidak jarang berakhir dengan pemutusan
hubungan kerja. Ini merupakan masalah serius, baik oleh pemerintah,
8 John Rawls, ,2006, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filasafat Politik
Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka
pelajar, Jogja karta hlm.58.

18

perusahaan, maupun pekerja sendiri. Oleh karena itu perlu diketahui dan
dipahami kewenangan yang melekat pada pemerintah dalam hal ini
Dinas Tenaga KerjaKabupaten Gianyar berkaitan dengan penyelesaian
pemutusan hubungan kerja tersebut. Hal ini sejalan dengan teori konflik
bahwa dalam penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh pihak ketiga,
yakni yang tidak memiliki kepentingan langsung atas konflik yang
sedang berlangsung.9
Kewenangan dalam menangani perselisihan hubungan industrial
khususnya pemutusan hubungan kerja oleh Dinas Tenaga Kerja
kabupaten Gianyar. Untuk mengatasi terjadinya perselisihan diantara
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja yang mengakibatkan
terjadinya pemutusan hubungan kerja khususnya di Kabupaten Gianyar,
maka pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas tenaga Kerja
mempunyai
hubungan

kewenangan
kerja

dalam

dengan

menangani

memberikan

masalah

pelayanan,

pemutusan

melaksanakan

pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan


perUndang-Undangan

ketenagakerjaan,

penyelesaian pemutusan hubungan kerja.


Adapun
lembaga-lembaga
yang

khususnya
berwenang

mengenai
untuk

menyelesaikan perselisihan tersebut diatas adalah sebagai berikut :


(1) Bipartit, sebelumnya perselisahan diajukan kepada lembaga
penyelesaian perselisihan, maka setiap perselisihan wajib
diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, yaitu musyawarah
antara pekerja dengan pengusaha. Proses bipartit ini harus
diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika melewati 30
hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau
perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu atau
9 Pruit , Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka pelajar,
Jogjakarta,.hlm.55.

19

kedua belah pihak harus mencatatkan perselisihannya ke


Disnaker.
(2) Mediasi adalah lembaga penyelesaian perselisihan yang
berwenang terhadap penyelesaian semua jenis perselisihan.
Lembaga mediasi ini pada dasarnya hampir sama dengan
lembaga perantara disnaker sebagaimana yang telah dikenal.
Petugas yang melakukan mediasi adalah mediator yang
merupakan pegawai dinas tenaga kerja yang akan memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih.
Perbedaannya adalah jika sebelumnya setiap perselisihan wajib
melalui proses perantaraan (mediasi) terlebih dahulu, maka
berdasarkan UU PPHI ini (selain perselisihan hak), pihak
disnaker terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak untuk
dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsung
melakukan mediasi). Jika para pihak tidak menetapkan pilihan
melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari,
maka penyelesaian kasus akan dilimpahkan kepada mediator.
Adapun terhadap perselisihan hak, maka setelah menerima
pencatatan hasil bipartit, maka disnaker wajib meneruskan
penyelesaian perselisihan kepada mediator. Hal ini dikarenakan
pengadilan hubungan industrial hanya dapat menerima gugatan
perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. Setelah
menerima pelimpahan perselisihan, maka mediator wajib
menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan. Jika
penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan hubungan industrial.
(3) Konsiliasi merupakan lembaga penyelesaian perselisihan yang
berwenang untuk menjadi penengah seperti masalah :
perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, Perselisihan antarSerikat Pekerja. Yang bertugas sebagai penengah adalah
konsiliator, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat sesuai
ketetapan menteri dan wajib memberikan anjuran tertulis
kepada para pihak yang berselisih. Jika proses konsiliasi tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat
mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.
(4) Arbitrase adalah lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit
dalam perselisihan kepentingan, Perselisihan antar Serikat
Pekerja. Yang bertugas menjadi wasit adalah arbiter. Para

20

arbiter ini dapat dipilih poleh para pihak yang berselisih dari
daftar ditetapkan oleh menteri.10
Berdasarkan uraian di atas perselisihan hubungan industrial
khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, jika tidak
menemukan kesepakatan setelah melalui beberapa proses pada
lembaga yang berwenang, maka permasalahan ini dapat diajukan
kepada pengadilan hubungan industrial, adapun yang dimaksud
dengan pengadilan industrial adalah lembaga peradilan yang
berwenang memeriksa danmemutuskan semua jenis perselisihan.
Hakim yang memerikasa dan memutuskan perselisihan tersebut di
atas terdiri dari hakim dari lembaga peradilan dan hakim ad-hoc.
Pada pengadilan ini, serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat
bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya.11
1.7. Hipotesis
Dari permasalah tersebut diatas dapatlah dibuat jawaban
sementara atau hipotesis dalam skripsi ini sebagai berikut :
a.
Pengaturan penyelesaian hubungan kerja yang dilakukan oleh Dinas
Tenaga Kerja Kebapaten Gianyar, diawali dengan pemangggilan
kedua belah pihak pengusaha dan tenaga kerja untuk diadakan
pendekatan penyelesaian musyarawah mufakat/ Win-Win Solusion,
jika tidak berhasil dilanjutkan dengan mediasi, fasilitator sampai
b.

menemui kesepakatan kedua belah pihak


Dinas Tenaga Kerja Kabuapten Gianyar memiliki Peran dalam
menangani masalah pemutusan hubungan kerja sesuai dengan
undang-undang

nomor

tahun

2004

tentang

Penyelesaian

Penyelesaian Hubungan Industrial;

10 Ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2Tahun 2004 tentang


Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
11 Ibid, pasal 1.

21

1.8. Metode Penelitian


1.8.1. Jenis Penelitian
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penulisan skripsi ini
adalah secara empiris yakni mengkaji permasalahan yang ada dari aspek
hukum yang kemudian akan disesuiakan dengan kenyataan yang ada
dalam masyarakat yaitu yang terjadi dalam praktek yang sebenarnya.
1.8.2. Sumber Data/ Bahan Hukum
Penelitian Hukum Emperis sumber data di peroleh melalui data
primer sebagai data utama dan data sekunder yang berupa bahan hukum
dipakai sebagai bahan pendukung. Data primer adalah data yang langsung di
peroleh dari responden atau nara sumber tentang obyek yang diteliti,
sedangkan data sekunder berupa bahan hukum primer yang meliputi
peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang meliputi
buku, hasil penelitian, jurnal hukum, pendapat hukum dan sebagainya.
Adapun data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Data kasus sengketa hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Gianyar.
2. Wawancara dengan para pejabat seperti Kepala Dinas Tenaga
Kerja,

Kepala

Bidang

Ketenagakerjaan

dan

Staf

yang

membidangi.
Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum
primer diantaranya adalah :
a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

22

b. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan

Industrial.
Bahan Hukum Sekunder yaitu datadata yang berhubungan erat
dengan bahan hukum primer, yang dapat memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer untuk membantu menganalisis permasalahan dalam
penelitian, seperti:
1. Bukubuku ilmiah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan,
hubungan industrial.
2. Hasilhasil Penelitian yang berkaitan dengan Penelitian.
3. Berbagai makalah, majalah, jurnal dan media informasi lainnya
yang berhubungan dengan penelitian.
Data yang merupakan bahan hukum yang memberikan informasi
dan dapat membantu untuk menjelaskan tentang bahan hukum primer dan
sekunder, misalnya Kamus Hukum dan Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia.

1.8.3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penyusunan
proposal ini di sesuaikan dengan sumber data yang digunakan. Terhadap
sumber kepustakaan, data dikumpulkan dengan cara menggunakan studi
dokumen yaitu membaca dan mencatat informasi serta keterangan yang
diperoleh literatur-literatur yang ada kaitan dengan pokok permasalahan.

23

Pencatatan dilakukan dengan sistem kartu, sedangkan untuk sumber


lapangan digunakan teknik wawancara dengan

berdasarkan

atas

pedoman wawancara yang dilakukan terhadap sumber informasi yaitu


Kepala Dinas Tenagakerjaan Kabupaten Gianyar, Kepala Bidang yang
membidangi Ketenagakerjaan. Hasil wawancara dicatat dalam catatan
lapangan, yang berisi hasil wawancara, tanggal wawancara, dan identitas
informan.
1.8.4. Teknik Analisis Data
Setelah seluruh data dan informasi dikumpulkan selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif. Hasilnya kemudian disusun secara
sistematis dan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya,
keseluruhan penelitian disajikan secara analisis.

USULAN PENELITIAN
PERAN DINAS TENAGA KERJA KABUPATEN GIANYAR
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN
INDUSTRIAL

24

OLEH

I NYOMAN SUARTA
NIM : 013.501.0.165

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DWIJENDRA
DENPASAR
2015
DAFTAR FUSTAKA
Aruan, Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Departemen
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Informasi Hukum
Vol. 2 Tahun VI, 2004.
John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-DasarFilsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2006.
Kusumohamidjojo, Budiono. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: suatu
Problematik Filsafat Kebudayan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 2000.
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suhanadji Dan Wasposo Ts, Modernisasi Dan Globalisasi, Insan Cendekia,
Malang, 2004.

25

Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Fakultas Ekonomi


Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
Pruit, rubin Dalam Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselihan
Hubungan Industrial.

Anda mungkin juga menyukai