Anda di halaman 1dari 5

Peran dan tantangan bahasa Indonesia menghadapi perkembangan Teknologi

Informasi dan Globalisasi


Tidak dapat dielakkan bahwa dalam keseharian kita tidak jauh dari bahasa.
Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi, memberikan suatu pemikiran, gagasan,
atau mengungkapkan suatu perasaan yang terpendam. Disamping itu bahasa bisa
dikatakan sebagai suatu bentuk identitas dan simbol dari suatu budaya yang dimiliki
sekelompok manusia yang ada pada suatu wilayah tertentu. Dengan kata lain bahasa
merupakan sesuatu yang sangat penting untuk kelangsungan hidup umat manusia.
Begitu juga dengan bahasa Indonesia yang merupakan simbol atau lambang persatuan
bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas kebudayaan dan pemersatu
keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia.
Indonesia merupakan Negara yang memiliki beribu-ribu budaya, begitu pula
dengan bahasa daerahnya. Mulai dari Sabang sampai Marauke, terdapat bahasa daerah
yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Namun untuk mempersatukan Negara
Indonesia, apakah kita harus mempelajari bahasa daerah yang begitu banyak ? tentu
tidak. Oleh karena itu untuk menghubungkan satu dengan yang lainnya kita butuh
bahasa yang bisa mempersatukan kita, bahasa yang tidak membedakan satu dengan
yang lain, bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sangat berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara,
karena pada dasarnya bahasa Indonesia merupakan lingua franca yang berarti bahasa
penghubung. Dilihat dari sejarahnya, bahasa Indonesia merupakan adopsi dari bahasa
melayu yang sudah lama digunakan oleh masyarakat antarsuku di Indonesia.
Peresmian bahasa Indonesia sendiri terjadi pada peristiwa sumpah pemuda, 28
Oktober 1928 di mana pada poin ke-3, dinyatakan bahwa Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Jadi dari situlah kejelasan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pernyataan pada poin ke-3 Sumpah pemuda yakni, bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu sebenarnya menyiratkan juga kepada makna pernyataan tekad kebahasaan
yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan.

Sungguh miris jika kita lihat kenyataan pada dewasa ini, dimana rasa bangga
terhadap bahasa Indonesia itu sendiri telah memudar seiring adanya perkembangan
teknologi informasi, globalisasi dan ancaman dari luar yang menuntut kita untuk
menyalip ketertinggalan terhadap bahasa internasional. Sadarkah kita sebenarnya kita
telah dijajah dengan adanya hal tersebut, identitas kita semakin pudar dan melemah.
Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti anak cucu kita tidak
menggunakan dan mengenal bahasa Ibu Pertiwi, bahasa Indonesia.
Mengapa demikian? Kita lihat fenomena keseharian kita. Banyak orang atau
pihak yang memprioritaskan bahasa internasional dibanding bahasa Indonesia. Sebagai
contoh sederhana, di toko swalayan yang biasa kita kunjungi, pihak swalayan bahkan
telah memperlihatkan bahwa bahasa internasional adalah prioritas. Mulai dari pintunya,
yang seharusnya bertuliskan dorong-tarik, menjadi push-pull. Bukannya saya
menjelekkan swalayan tersebut, tetapi apakah mayoritas pembeli adalah orang asing
yang tidak mengerti bahasa Indonesia? Tidak. Pembelinya adalah kita, warga Indonesia.
Kita juga tidak bisa menyalahkan swalayan tersebut jika visi swalayan tersebut memang
ditujukan untuk pembeli asing. Itu baru satu kasus, bagaimana dengan yang lain?
Bagaimana dengan layanan publik yang lain? Masihkah menggunakan bahasa
Indonesia? Atau bahasa asing? Kita perlu berkaca.
Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat juga memberikan efek
yang begitu besar di masyarakat. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Cina,
dan Jepang berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi baru. Barang yang dihasilkan
tidak hanya digunakan untuk konsumen lokal, tetapi di ekspor ke seluruh dunia. Salah
satu barang yang dihasilkan yang paling laris dipasaran adalah peralatan elektronik
seperti handphone. Di kalangan masyarakat, handphone bukan hal yang asing lagi. Anak
yang masih menginjak pendidikan Taman Kanak-kanak pun kini telah memiliki
handphone.

Memang

dengan

adanya

alat

tersebut

kita

dimudahkan

dalam

berkomunikasi, tapi tanpa disadari dampak yang ditimbulkan berdampak pada


penggunaan bahasa sehari-hari. Sebagai contoh, dikalangan anak muda bahasa gaul itu
mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Saat berkomunikasi melalui
media elektronik maupun media sosial dengan bangganya mereka menggunkan bahasa
gaul yang sebenarnya tidak jelas asal muasal bahasa tersebut terbentuk dan yang

terlebih disayangkan bahasa yang digunakan tidak memiliki tatanan bahasa yang baik
dan benar. Namun berbeda halnya saat mereka mengunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi, kebanyakan dari mereka malu untuk menggunakannya karena menurut
mereka bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kaku dan kolot. Sungguh
mengenaskan. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan kita malah menjadi
momok bagi kalangan muda.
Selain dampak kemajuan teknologi yang membuat masyarakat malas berbahasa
Indonesia, teknologi semacam ini juga akan menambah tingkat kemalasan. Bagaimana
bisa? Karena di era ini, kita dituntut untuk menjadi manusia yang instan. Contohnya
ketika kita diberi tugas, kebanyakan dari kita menggunakan internet sebagai referensi,
bukan membaca buku yang notabene jendela ilmu. Bahkan banyak mengunduh dari
internet, bukan dari usaha kita membaca literatur yang sesuai. Selain itu pengunduhan
data atau referensi secara ilegal dari internet dapat dipidanakan, dan kebanyakan metode
seperti itu yang digunakan siswa bahkan mahasiswa untuk menyingkat waktu dan
tenaga. Padahal semua yang dilakukan dengan instan, pasti akan berakhir dengan instan
pula. Berbeda dengan membaca yang menuntut kita untuk jeli memahami maksud kata
demi kata. Mungkin peran internet sudah menggantikan eksistensi buku. Orang dulu
banyak tahu karena membaca buku, bukan menggunakan internet.
Media massa beraroma teknologi yang akrab dikehidupan kita. Televisi, juga
dapat dijadikan alasan mengapa era televisi merupakan gerbang kemerosotan suatu
bangsa. Acara-acara yang ditampilkan di televisi sungguh tidak mencerminkan bersikap
dan berbahasa yang baik dan benar, bahasa yang jorok dan tidak ada artinya malah
dibangga-banggakan. Untuk menaikkan rating katanya. Rating memang naik, namun
moralitas bangsa akan turun. Mungkin contoh untuk kasus-kasus ketidaketisan bahasa
di televisi tidak perlu kita bahas karena kebanyakan dari kita sudah mengetahuinya.
Mulai dari acara joget 4 jam tanpa henti, acara lawakan yang tidak jelas, dan acara
hipnotis-hipnotis yang mengecoh pemirsa televisi untuk percaya saja dengan hal-hal
seperti itu. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa kemajuan teknologi akan berbanding
terbalik dengan moralitas bangsa jika acara yang ditampilkan tidak mendidik dan tidak
bermoral.

Kita tidak bisa membendung globalisasi, namun kita bisa menyaringnya.


Bersikap selektif dan sensitif terhadap kebudayaan baru sangat kita perlukan saat ini.
Jika ingin mengadopsi budaya dari luar negeri, hendaknya kita benar-benar memilih
yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, bukannya yang mengandung indikasi
merusak moral bangsa.
Bahasa Indonesia yang dulu diagung-agungkan sebagai bahasa nasional juga
kian hari kian hilang kekuatannya. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional diatas bahasa daerah dan bahasa asing. Namun sebagian besar masyarakat kita
terlalu takut terhadap ketertinggalan bahasa asing daripada takut terhadap kehilangan
bahasa nasional. Di kehidupan sehari-hari, masyarakat kita tidak malu untuk
menggunakan bahasa asing yang sebenarnya sebagian besar penggunaannya salah.
Mereka gengsi, mereka berpendapat jika mereka bisa menggunakan bahasa asing, orang
disekitarnya pasti akan memandang bahwa mereka cerdas, namun tidak kesemuanya
demikian. Sebagai contoh, percakapan antara pegawai kantor biasanya seperti ini, Pak,
anda sedang e-mailan dengan bos ya?. Ada yang salah pada kalimat di atas jika kita
memperhatikan susunan kalimatnya, yaitu penggunaan yang tidak tepat. Secara harfiah,
e-mail pesan elektronik. Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, Pak, anda sedang surat
elektronik-an dengan bos ya?. Janggal. Seharusnya penggunaan tersebut bisa dicegah
jika kita menggunakan bahasa Indonesia atau kita belajar dalam penggunaan kata asing
dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Lebih janggal lagi jika yang ditanya
menjawab dengan bangga juga. Bukannya mengingatkan, malah mengiyakan salahnya.
Sungguh miris.
Sebenarnya penggunaan bahasa asing bisa menjadi bumerang bagi kita jika kita
tidak bisa menggunakan secara tepat. Lebih baik kita memperdalam tentang berbahasa
Indonesia yang baik dan benar agar nantinya Indonesia tetap beridentitas. Pilihan
terbaiknya untuk menghadapi globalisasi kebahasaan ini adalah memperdalam dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa asing dan bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia yang
tetap menjadi jati diri kita. Hasilnya kita siap untuk menaklukkan tantangan bahasa
global dan memperkaya diri dengan kebahasaan Nasional.
Kita lahir di Indonesia. Kita besar di Indonesia. Kita memakai sumber daya
Indonesia. Kita harus bangga menjadi salah satu bagian dari Indonesia, kita harus

bangga menggunakan identitas kebahasaan kita, bahasa Indonesia. Ancaman terbesar


suatu negara adalah apa yang ada di negara tersebut. Jangan takut jika tidak bisa
berbahasa Inggris, malulah jika tidak bisa berbahasa Indonesia. Bangsa yang agung
adalah bangsa yang mengagungkan identitas persatuannya. Kita baru tertampar ketika
budaya kita nyaris dicuri negara lain, kita terlalu sibuk untuk mengejar teknologi dan
kemajuan jaman, hingga jati diri kita terabaikan. Mengapa tidak kita berikan saja
kebudayaan itu kepada negara yang mampu mengembangkannya daripada kita biarkan
termakan jaman? Kita jawabannya, tanggung jawab kita solusinya. Berbenah mulai
sekarang, jangan sampai bahasa Indonesia kita jadi sejarah yang hanya bisa kita
ceritakan kepada anak cucu kita.

Anda mungkin juga menyukai