Sungguh miris jika kita lihat kenyataan pada dewasa ini, dimana rasa bangga
terhadap bahasa Indonesia itu sendiri telah memudar seiring adanya perkembangan
teknologi informasi, globalisasi dan ancaman dari luar yang menuntut kita untuk
menyalip ketertinggalan terhadap bahasa internasional. Sadarkah kita sebenarnya kita
telah dijajah dengan adanya hal tersebut, identitas kita semakin pudar dan melemah.
Jika ini dibiarkan, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti anak cucu kita tidak
menggunakan dan mengenal bahasa Ibu Pertiwi, bahasa Indonesia.
Mengapa demikian? Kita lihat fenomena keseharian kita. Banyak orang atau
pihak yang memprioritaskan bahasa internasional dibanding bahasa Indonesia. Sebagai
contoh sederhana, di toko swalayan yang biasa kita kunjungi, pihak swalayan bahkan
telah memperlihatkan bahwa bahasa internasional adalah prioritas. Mulai dari pintunya,
yang seharusnya bertuliskan dorong-tarik, menjadi push-pull. Bukannya saya
menjelekkan swalayan tersebut, tetapi apakah mayoritas pembeli adalah orang asing
yang tidak mengerti bahasa Indonesia? Tidak. Pembelinya adalah kita, warga Indonesia.
Kita juga tidak bisa menyalahkan swalayan tersebut jika visi swalayan tersebut memang
ditujukan untuk pembeli asing. Itu baru satu kasus, bagaimana dengan yang lain?
Bagaimana dengan layanan publik yang lain? Masihkah menggunakan bahasa
Indonesia? Atau bahasa asing? Kita perlu berkaca.
Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat juga memberikan efek
yang begitu besar di masyarakat. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Cina,
dan Jepang berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi baru. Barang yang dihasilkan
tidak hanya digunakan untuk konsumen lokal, tetapi di ekspor ke seluruh dunia. Salah
satu barang yang dihasilkan yang paling laris dipasaran adalah peralatan elektronik
seperti handphone. Di kalangan masyarakat, handphone bukan hal yang asing lagi. Anak
yang masih menginjak pendidikan Taman Kanak-kanak pun kini telah memiliki
handphone.
Memang
dengan
adanya
alat
tersebut
kita
dimudahkan
dalam
terlebih disayangkan bahasa yang digunakan tidak memiliki tatanan bahasa yang baik
dan benar. Namun berbeda halnya saat mereka mengunakan bahasa Indonesia untuk
berkomunikasi, kebanyakan dari mereka malu untuk menggunakannya karena menurut
mereka bahasa Indonesia merupakan bahasa yang kaku dan kolot. Sungguh
mengenaskan. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa persatuan kita malah menjadi
momok bagi kalangan muda.
Selain dampak kemajuan teknologi yang membuat masyarakat malas berbahasa
Indonesia, teknologi semacam ini juga akan menambah tingkat kemalasan. Bagaimana
bisa? Karena di era ini, kita dituntut untuk menjadi manusia yang instan. Contohnya
ketika kita diberi tugas, kebanyakan dari kita menggunakan internet sebagai referensi,
bukan membaca buku yang notabene jendela ilmu. Bahkan banyak mengunduh dari
internet, bukan dari usaha kita membaca literatur yang sesuai. Selain itu pengunduhan
data atau referensi secara ilegal dari internet dapat dipidanakan, dan kebanyakan metode
seperti itu yang digunakan siswa bahkan mahasiswa untuk menyingkat waktu dan
tenaga. Padahal semua yang dilakukan dengan instan, pasti akan berakhir dengan instan
pula. Berbeda dengan membaca yang menuntut kita untuk jeli memahami maksud kata
demi kata. Mungkin peran internet sudah menggantikan eksistensi buku. Orang dulu
banyak tahu karena membaca buku, bukan menggunakan internet.
Media massa beraroma teknologi yang akrab dikehidupan kita. Televisi, juga
dapat dijadikan alasan mengapa era televisi merupakan gerbang kemerosotan suatu
bangsa. Acara-acara yang ditampilkan di televisi sungguh tidak mencerminkan bersikap
dan berbahasa yang baik dan benar, bahasa yang jorok dan tidak ada artinya malah
dibangga-banggakan. Untuk menaikkan rating katanya. Rating memang naik, namun
moralitas bangsa akan turun. Mungkin contoh untuk kasus-kasus ketidaketisan bahasa
di televisi tidak perlu kita bahas karena kebanyakan dari kita sudah mengetahuinya.
Mulai dari acara joget 4 jam tanpa henti, acara lawakan yang tidak jelas, dan acara
hipnotis-hipnotis yang mengecoh pemirsa televisi untuk percaya saja dengan hal-hal
seperti itu. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa kemajuan teknologi akan berbanding
terbalik dengan moralitas bangsa jika acara yang ditampilkan tidak mendidik dan tidak
bermoral.