Anda di halaman 1dari 14

AFASIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PROSES BERBAHASA

Sahya Husein
Mahasiswa Pascasarjana UIN Maliki Malang
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Program Magister

Abstak
Dalam berbahasa, manusia tidak bisa lepas dari peran otak sebagai
organ sentral dan vital dalam memproduksi bahasa. Otak terbagi menjadi
beberapa bagian di mana setiap bagian tersebut memiliki fungsi masingmasing dalam proses berbahasa seseorang. Dengan demikian, jika terjadi
gangguan pada otak, maka tentu saja akan berakibat terjadinya
gangguan pada proses berbahasa. Salah satu gangguan berbahasa akibat
adanya kerusakan otak disebut afasia. Penyakit afasia ini terdiri dari
beberapa jenis dengan tingkat keparahan dan lokasi kerusakan yang
berbeda-beda. Semua jenis afasia menimbulkan gangguan pada proses
berbahasa, baik itu proses produktif maupun reseptif. Namun tidak semua
afasia memiliki dampak pada kedua proses berbahasa sekaligus secara
signifikan. Ada kalanya hanya berdampak pada proses produktif, atau pun
sebaliknya.
Kata kunci: Afasia, Proses berbahasa, Gangguan berbahasa

I. Pendahuluan
Bahasa merupakan anugerah luar biasa yang diberikan Allah SWT
dalam keidupan ini. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan
segala tujuan dan perasaannya, sehingga terjalinlah komunikasi, interaksi,
dan kasih-mengasihi. Tidak hanya manusia, pada hakikatnya semua
makhluk di alam ini berbahasa, hanya saja tidak semuanya dapat
dipahami oleh manusia, dan hanya Tuhan yang tahu hakikatnya. Allah
pun, dalam menyampaikan firman-Nya juga menggunakan piranti bahasa,
yaitu Bahasa Arab, sehingga semua kalam-Nya dapat dipahami oleh umat
manusia.
Bahasa dan manusia adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan.
Bahasa tanpa manusia bagaikan sayap tanpa burung, dan manusia tanpa
bahasa bagiakan burung tanpa sayap. Sehingga keduanya merupakan
satu kesatuan yang menjadikan manusia itu ada, karena pada

hakikatnya manusia adalah hayawan (hewan), tapi yang natiq (berbicara),


inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan.
Dalam berbahasa, manusia tidak bisa lepas dari peran otak sebagai
organ sentral dan vital dalam memproduksi bahasa. Otak terbagi menjadi
beberapa bagian di mana setiap bagian tersebut memiliki fungsi masingmasing dalam proses berbahasa seseorang. Dengan demikian, jika terjadi
gangguan pada otak, maka tentu saja akan berakibat terjadinya
gangguan pada proses berbahasa.
Salah satu gangguan berbahasa yang sering dibahas dalam kajian
psikolinguistik atau neurolinguistik adalah afasia. Secara umum, afasia
adalah

gangguan

berbahasa

atau

kerusakan otak. Gangguan ini

komunikasi

akibat

cidera

atau

dapat terjadi saat proses menerima

bahasa, atau saat proses memproduksi bahasa. Kerusakan pada otak ini
dapat terjadi di semua bagian otak, sehingga afasia pun memiliki banyak
macam nama dengan dampak yang berbeda-beda pula. Karena begitu
banyaknya bahasan tentang afasia, hingga muncul ilmu yang khusus
mengkaji penyakit ini, yaitu afasiologi.
Dalam pembahasan berikut ini akan dikupas berbagai jenis afasia
dan implikasinya dalam proses berbahasa. Namun sebelumnya akan
dibahas tentang otank dan bagian-bagiannya berkenaan dengan fungsi
berbahasa.
II. Sekilas tentang otak manusia dan bahasa
Salah satu bidang kajian interdisipliner dalam ilmu linguistic dan
ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak manusia dengan
bahasa adalah neurolinguistik.. Pada awalnya orang beranggapan bahwa
otak itu bekerja sebagai satu organ tanpa ada bagian-bagiannya. Hingga
pada awal 1800, dr. Frans Joseph Gall mengemukakan bahwa otak
bukanlah satu organ tanpa bagian-bagian, melainkan terdiri atas bagianbagian yang masing-masing memunyai fungsi tertentu.1[1]
Hubungan antara bahasa dan otak pada awalnya ditengarai dari
adanya

kerusakan

pada

otak

yang

mempengaruhi

kemampuan

1[1] Sumarsono, Buku Ajar Filsafat Bahasa, (Jakarta: Grasindo, 2004), 89

berbahasa. Hal ini dikemukakan oleh Edwin Smith, ilmuwan Amerika yang
menemukan
lembar papirus pada tahun 1862 yang menyebutkan adanya 48 kasus yang terjadi pada tahun
3000 SM. Kasus ke-22 menjelaskan tentang kerusakan otak akibat cidera kepala yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Inilah yang pada akhirnya disebut dengan
afasia.2[2]
Otak manusia terbagi menjadi dua belahan, yaitu hemisfer kanan
dan hemisfer kiri. Pandangan lama mengatakan bahwa ihwal kebahasaan
seseorang itu ditangan oleh hemisfer kiri, hingga sekarang pandangan ini
banyak dianut orang, dan memang banyak benarnya. Penelitian Wada
(1949) yang memasukkan cairan ke kedua hemisfer menunjukkan bahwa
bila hemisfer kiri yang ditidurkan maka terjadilah gangguang wicara.
Begitu juga dengan dichotic listening test yang dilakukan Kimura (1961),
ia memberikan input kata da pada telingan kiri, dan ba pada telinga kanan
secara simultan. Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa input ke
telinga kanan jauh lebih akurat dari pada yang lewat telinga kiri 3[3]. Perlu
diketahui bahwa antara bagian otak dan bagian tubuh seseorang itu
berhubungan secara berlawan, artinya, aktivitas yang terjadi di tubuh
bagian kanan, maka akan berhubungan dengan otak bagian kiri, begitu
sebaliknya.
Dari hasil operasi hemispherectomy - operasi di mana satu hemisfer
di ambil dalam rangka mencegah epilepsi- terbukti juga bahwa bila
hemisfer kiri yang diambil maka kemampuan berbahasa orang itu
menurun drastis. Sebaliknya, bila yang diambil hemisphere kanan, orang
tersebut masih bisa bicara, namun tidak sempurna. Kasus-kasus tersebut
menunjukkan bahwa anggapan bahwa hemisfer kiri adalah hemisfer
bahasa secara mutlak tidak benar, karena hemisfer kanan pun juga ikut
berperan.

Kedua

hemisfer

ini

bekerjasama

mengolah

informasi

kebahasaan yang masuk, di mana antara keduanya dihubungkan oleh


bagian bernama corpus callosum.
2[2] Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik: Konsep dan Isu
Umum, (Malang: UIN Maliki Press, 2008), 62
3[3] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 212

Untuk komunikasi linguistik, pada bagian cortex otak dikenal


dengan dua area yang dinamakan area Broca dan area Wernicke 4[4]. Area
Broca pada otak bertanggung jawab untuk kaidah artikulasi yang
menciptakan pola bunyi, untuk kaidah morfologi dan sintaksis, antara lain
dalam membentuk kata dan frasa. Sedangkan area Wernicke adalah pusat
bahasa yang bertanggung jawab untuk memproduksi makna, seperti
interpretasi kata selama pemahaman makna dan pemilihan kata selama
menghasilkan produksi ujaran.5[5] Kedua area ini sangat rawan jika terjadi
kerusakan,

karena

akan

berakibat

berkurangnya

atau

hilangnya

kemampuan berbicara seseorang.


III. Proses Berbahasa
Hal pokok yang menjadi bahasan psikolinguistik dalam hal proses
berbahasa adalah proses pemahaman bahasa (language comprehension),
produksi berbahasa (language production), dan pemerolehan bahasa
(language aqcuisation). Ketiga proses ini menjadikan bahasa sebagai
objek kajian.
Dalam versi psikolinguistik, seseorang berbahasa masuk dalam dua
tahapan, yaitu produktif dan reseptif. Proses produktif berlangsung pada
diri pembicara yang menghasilkan kode-kode bahasa yang bermakna dan
berguna. Sedangkan proses reseptif berlangsung pada diri pendengar
yang menerima kode-kode bahasa yang bermakna yang disampaikan oleh
pembicara melalui alat-alat artikulasi pendengar.6[6] Dengan demikian,
jika terjadi gangguan pada otak seseorang, maka kedua proses berbahasa
ini tentu saja akan terganggu pula. Adapun penjelasan dari setiap proses
tersebut adalah sebagai berikut:7[7]
4[4] Rohmani, 62
5[5] http://id.wikipedia.org/neurolinguistik
6[6] Rohmani, 31
7[7] Mamluatul Hasanah, Proses Manusia Berbahasa, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), 32-35

1. Proses produktif
Proses

produksi

berbahasa

adalah

kemampuan

seseorang

dalam

memproduksi bahasa secara benar menurut kaidah umum bahasa, baik


lisan maupun tulis. Proses rancangan berbahasa yang disebut encode
terjadi pada saat proses berbicara dan menulis yang menghasilkan kodekode bahasa yang bermakna. Yang termasuk dalam proses produktif
adalah proses penggagasan, pemilihan bentuk bahasa, struktur bahasa,
persiapan dalam otak sampai dalam proses ujaran dan penulisan.
Dalam proses produktif ini terdapat beberapa tahapan, yaitu:
a.

Rancangan ide (penentuan tema): sebelum bicara seseorang harus tahu

apa tujuan pembicaraannya.


b. Rancangan membentuk kalimat: Setelah tahu tema, maka mencari katac.

kata yang sesuai dengan tema


Rancangan komponen: Kata-kata tersebut harus disusun dengan

gramatikal yang benar agar memberikan pemahaman kepada orang lain


d. Rancangan program artikulasi: setelah komponen ditemukan, kemudian
merancang artikulasi dari komponen tersebut
e. Pengucapan program artikulasi: setelah itu barulah kata-kata diucapkan
sesuai kaidah artikulasi yang benar
2. Proses reseptif
Proses

reseptif

atau

proses

pemahaman yang disebut decode

penerimaan,

perekaman,

dan

terjadi pada pendengar dan pembaca.

Yang termasuk dalam proses reseptif adalah proses pengenalan bentukbentuk ujaran atau tulisan, proses identifikasi dan proses pemahaman
amanat yang disampaikan. Adapun faktor yang mempengaruhi proses
reseptif ini bisa bersifat neurologis, psikis, dan juga sosial.
Adapan tahapan pada proses reseptif adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.

Decode fonologi: penerimaan unsur-unsur bunyi melalui pendengaran


Decode gramatikal: penyususnan secara gramatikal dari simbol-simbol
bunyi yang ditangkap
Decode semantik: proses pemahaman leksikon, kata dan kalimat
Kedua proses ini akan terjadi pada setiap orang yang berbahasa.
Seseorang akan melalui proses produksi saat ia ingin menyampaikan
maksud kepada orang lain, begitu juga ketika ia mencoba memahami
perkataan atau tanggapan dari orang lain, maka akan memalui proses

reseptif. Menurut penulis tidak hanya proses reseptif yang dipengaruhi


oleh faktor neorologis, psikis, dan sosial, namun proses produksi pun juga
dipengaruhi faktor-faktor tersebut, terutama faktor neurologis.
Meskipun proses reseptif dan produktif adalah dua hal yang
berbeda, tetapi keduanya adalah satu kesatuan sebagaimana dua sisi
mata uang. Tidak mungkin bagi kita untuk memisahkan keduanya, karena
setiap individu pelaku komunikasi akan menjalani dua proses ini sekaligus
secara berkesinambungan. Tidak mungkin dalam proses komunikasi
seseorang hanya menjalani satu proses saja, misalnya produktif saja atau
reseptif saja.8[8] Namun jika terjadi kerusakan pada otak, apakah kedua
proses ini tetap akan berjalan secara maksimal?
IV. Afasia
1. Definisi Umum
Meskipun ukuran otak manusia maksimum hanya 2% dari seluruh ukuran
berat badan manusia, namun ia menyerap tenaga hingga 15% dari
seluruh aliran darah dan 20% dari sumber daya metabolisme tubuh.
Apabila aliran darah pada otak tidak cukup, atau ada penyempitan
pembuluh darah, atau gangguan lain yang menyebabkan asupan oksigen
yang diperlukan berkurang, maka akan terjadi kerusakan otak. Inilah yang
memicu munculnya penyakit strok. Serangan strok memiliki berbagai
akibat, tergantung bagian hemisfer mana yang rusak.
Ditinjau dari asalnya, gangguan berbahasa dapat dikategorikan
kedalam 2 kelompok. Pertama, gangguan berbahasa yang berkembang,
artinya gangguan akibat kelainan yang dibawa sejak lahir. Pada sebagian
anak, terjadi kesulitan dalam pemerolehan bahasa akibat kelainan tumbuh
kembang. Kedua, gangguan berbahasa yang diperoleh, artinya gangguan
akibat operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan.
Gangguan berbahasa dan berkomunikasi dapat diakibatkan faktor
medis dan faktor lingkungan. Faktor medis berimplikasi pada gangguan
berbicara, gangguan berbahasa dan gangguan berpikir. Contoh faktor
medis yaitu gangguan sebagai akibat cidera otak yang menyebabkan
8[8] Ibid, 37

kerusakan sistem syaraf, gangguan psikogenik, dan gangguan pada


sistem mekanisme organ wicara. Demikian pula halnya dengan kerusakan
sistem saraf yang menyebabkan terputusnya jaringan antara wilayah
auditori dan produksi tutur sehingga pesan ujaran tidak tersampaikan. 9[9]
Pada

umumnya,

mengakibatkan

kerusakan

munculnya

pada

gangguan

hemisfer

kiri

berbahasa.10[10]

otak

akan

Inilah

yang

kemudian disebut aphasia (afasia). Sehingga penyakit strok merupakan


salah satu penyebab seseorang terkena afasia.
Menurut Wood (1971), afasia adalah:
parsial or complete loss of ability to speak or to comprehend the spoken
word due to injury, disease, or maldevelopment of brain.
yaitu kehilangan kemampuan untuk bicara atau untuk memahami
sebagaan atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang
diakibatkan karena adanya gangguan pada otak. Menurut Wiig dan Semel
(1984) bahwa:
Aphasia as involving those who have acquired a language disorder
because of brain damage resulting in impairment of language
comprehension formulation, and use.
Mereka yang memiliki gangguan pada perolehan bahasa yang disebabkan
karena kerusakan otak yang mengakibatkan ketidakmampuan dalam
memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan bahasa. 11[11]
Sehingga secara umum dapat diartikan bahwa afasia adalah gangguan
berbahasa yang disebabkan karena kerusakan otak, baik itu dalam hal
memproduksi bahasa atau memahami bahasa.
2. Jenis-jenis afasia

9[9] Rohmani Nur Indah, artikel Proses Pemerolehan Bahasa: dari Kemampuan
hingga Kekurangmampuan Berbahasa
10[10] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Memahami Asas Pemerolehan
Bahasa (Kuala Lumpur: PTS Profesional Publishing, 2007), 180
11[11] http://scientificpsychopad08.files.wordpress.com/2011/12/3-aphasia.pdf

Pengertian

afasia

akan

menjadi

spesifik

jika

telah

masuk

pada

pengklasifikasiannya. Berbagai varian afasia muncul tergantung pada


bagian otak mana terjadi kerusakan. Berikut ini jenis-jenis afasia:
a. Afasia Broca
Afasia ini terjadi di area Broca. Individu yang menderita penyakit ini
akan terganggu dalam perancangan dan pengungkapan kata, sehingga
kalimat yang keluar menjadi terpatah-patah. Pasien pada umumnya masih
bisa memahami apa yang dikatakan orang lain tanpa kesulitan berarti.
Dampak lainnya adalah kesulitan dalam berbicara dan menulis, pasien
banyak menggunakan tata bahasa yang disederhanakan (agramatisma) 12
[12]. Kata-kata yang dihasilkan juga banyak yang tidak menggunakan
infeksi atau imbuhan.13[13] Afasia ini juga dikenal dengan afasia motorik
mayor, afasia ekspresif, dan afasia non-fluent.
b. Afasia Wernicke
Letak kerusakan pada afasia ini adalah di area Wernicke. Penderita afasia
ini lancar dalam berbahasa, namun kata-katanya sulit difahami karena
banyak perkataan yang tidak sesuai maknanya antara perkataan sebelum
dan sesudahnya. Hal ini dikarenakan pasien sering salah dalam memilih
suatu kata, misalnya kata fair diucap chair, kata carrot diucap parrot, dan
sebagainya. Penderita afasia ini juga mengalami gangguan dalam
pemahaman lisan. Mereka tidak dapat memahami perkataan lawan bicara
dengan mudah.14[14] Afasia ini juga dikenal sebagai afasia reseptif, afasia
fluent, dan afasia sensori.
c. Afasia anomik
Kerusakan otak terjadi pada bagian depan dari cuping parietal. Gangguan
berbahasanya

tampak

pada

ketidakmampuan

penderita

dalam

mengaitkan konsep dan bunyi atau perkataan yang mewakilinya. Oleh


sebab itu, jika penderita diminta mengambil benda bernama gunting,
12[12] Ahmad H. Asdie, Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, (Jakarta:
EGC, 1999), 185
13[13] Soenjono Dardjowidjojo, 181
14[14] Ibid, 181

mungkin dia bisa melakukannya, namun jika ditunjukkan dihadapannya


gunting, dia tidak dapat menyebutkan nama benda itu.

15

[15] Tidak

hanya kata benda, tetapi juga kata sifat dan bagian deskriptif bicara lain.
Fungsi suatu objek mungkin bisa diuraikan, tapi namanya dilupakan. 16[16]
d. Afasia konduksi
Afasia

konduksi merupakan

berdampak

kerusakan

pada transmisi informasi

pada arcuate

dari daerah

fasciculus,

Wernicke ke daerah

Broca. Gejala kerusakan ini, pertama karena informasi leksikal dari daerah
Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca, sehingga ujarannya
secara semantis tidak

padu

(tidak

koheren).17[17]

Oleh

karena

itu

penderita tidak dapat mengulangi perkataan yang baru saja diberikan


kepadanya. Ia dapat memahami apa yang dikatakan orang, misalnya ia
dapat mengambil pena yang terletak di atas meja ketika disuruh, ia juga
dapat dapat berkata pena itu di atas meja, tapi ia tidak dapat menjawab
secara lisan pertanyaan di mana pena itu?. Jadi ketika penderita di anya
A, maka jawabannya B atau C. 18[18] Sehingga dalam kehidupan seharihari mungkin kita sering menemui seseorang yang tidak nyambung saat
di ajak berbicara, mungkin saja gejala dari afasia ini.
e. Afasia global (total)
Pada afasia jenis ini kerusakan tidak hanya terjadi pada satu atau dua
area saja, tetapi juga pada beberapa area lain. Kerusakan bisa merebak
dari area Broca melalui korteks motor, menuju ke cuping parietal, dan
sampai ke area Wernicke. Kondisi ini menyebabkan gangguan fisik dan
juga bahasa yang sangat besar. Dari segi fisik, penderita afasia ini bisa
lumpuh dibagian kanan, mulut menjadi perot, dan lidahnya menjadi tidak
fasih. Dari segi bahasa, ia akan mengalami kesulitan dalam memahami
perkataan orang, dan perkataannya pun sulit dipahami orang lain, dan
15[15] Ibid, 182
16[16] Ahmad H. Asdie, 188
17[17] http://id.wikipedia.org/neurolinguistik
18[18] Soenjono Dardjowijojo, 182

kata-kata yang diucapkannya tidak jelas.19[19] Kebanyakan pasien dengan


afasia ini awalnya membisu atau berkata hanya beberapa kata stereotip,
seperti hai dan ya. Mereka tidak membaca dan menulis kata yang paling
sederhana sekalipun, dan mereka hanya mengerti beberapa kata dari
pembicaraan.20[20]
V. Pembahasan
Otak merupakan sentral produksi dan resepsi bahasa pada manusia.
Hubungan antara otak manusia dan bahasa telah dijelaskan di atas, dan
itu menunjukkan bahwa otak memehgang peranan penting dalam proses
berbahasa seseorang. Hingga ketika terjadi kerusakan pada otak, maka
akan berdampak langsung pada proses berbahasa seseorang. Penyakit
akibat kerusakan otak yang berimplikasi pada kebahasaan seseorang
disebut afasia. Pada penjelasan di atas telah diuraikan tentang beberapa
jenis afasia. Pembagian ini didasarkan pada bagian mana kerusakan itu
terjadi. Sehingga ada afasia Broca, karena kerusakan terjadi di area Broca,
ada afasia Wernicke, karena kerusakan terjadi di area Wernicke. Namun
terdapat penamaan yang tidak didasarkan pada hal itu, dan cenderung
didasarkan pada karakteristik dampak yang ditimbulkan dari kerusakan
itu, seperti afasia anomik, afasia konduksi, dan afasia global.
Semua jenis afasia memilki dampak lingustik yang berbeda-beda,
karena memang bagian yang rusak juga berbeda. Dari perincian jenisjenis afasia di atas, dan dampak-dampak yang ditimbulkan, dapat disusun
pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Jenis-jenis afasia dan dampaknya
N

Jenis

o.

afasia

Dampak

19[19] Ibid, 182


20[20] Ahmad H. Asdie, 185

Dampak pada proses


berbahasa
Aspek
Aspek

1.

Afasia
Broca

2.

Afasia
Wernicke

3.

Afasia
anomik

4.

Afasia
konduksi

5.

Afasia
global

Artikulasi tidak
bagus, kesulitan
dalam berbicara
(terbata-bata),
kalimat yang
diucapkan
sederhana dan
tanpa tata bahasa
Lancar berbicara
namun
perkataannya
tanpa makna dan
sulit dipahami,
sulit memahami
perkataan orang
lain
Memahami fungsi
suatu objek,
namun tidak dapat
menyebutkan
nama objek
tersebut
Ujarannya secara
semantis tidak
padu, tidak dapat
mengulangi
perkataan yang
baru saja diberikan
kepadanya
Bisa terjadi
kelumpuhan,
sangat sulit
berbicara dan
menulis, sulit
memahami
perkataan orang
lain.

produktif
Rancangan
komponen
atau konsituen
gramatikal,
pengucapan
program
artikulasi
Rancangan
membentuk
kalimat,
rancangan
komponen
gramatikal

Reseptif

Decode
gramatikal,
decode
semantik

Rancangan ide

Rancangan
membentuk
kalimat,
rancangan
komponen
gramatikal
Rancangan
membentuk
kalimat,
rancangan
komponen
gramatikal,
rancangan
program
artikulasi,
pengucapan
artikulasi

Decode
gramatikal,
decode
semantik

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada setiap jenis afasia
memiliki dampak berbeda pada proses berbahasa, baik itu dari aspek
produktif maupun reseptif.

Dari data di atas juga dapat diketahui bahwa

stiap jenis afasia pasti memilki dampak pada aspek produktif berbahasa,
hanya saja tingkat kompleksitasnya berbeda, tergantung bagaimana
karakteristik dampak yang dialami penderita,

dan jelas bahwa yang

memiliki dampak paling kompleks adalah afasia global atau total, karena
afasia ini disebabkan adanya kerusakan pada banyak bagian otak,
sehingga dampaknya pun juga lebih banyak. Hampir semua proses
produktif dan reseptif berbahasa terganggu akibat afasia global ini.
Afasia yang memiliki dampak cenderung sedikit adalah afasia
anomik, walaupun demikian, afasia ini sangat menghambat dalam proses
berbahasa. Lawan bicara akan sulit memahami maksud yang akan
diungkapkan penderita afasia ini. Karena penderita afasia ini mengerti
fungsi suatu objek, tapi tidak dapa menyebutkan nama objek tersebut.
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa setiap afasia memilki
dampak pada aspek produktif, namun tidak semua memilki dampak pada
aspek reseptif. Dalam pembahasan ini penulis lebih menekankan pada
tingkat signifakansi dari setiap dampak yang ditimbulkan akibat afasiaafasia tersebut, sehingga jika diteliti lebih dalam, mungkin setiap afasia
tersebut memilki dampak pada aspek produktif dan juga reseptif.
VI. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
beberapa jenis afasia. Setiap afasia memilki dampak klinis dan linguistik
yang berbeda-beda dengan tingkat keparahan yang berbeda pula. Dari
sisi linguistik atau atau kebahasaan, afasia berimplikasi langsung pada
proses berbahasa, baik itu proses produktif maupun reseptif. Afasia dapat
menyebabkan penderitanya susah berbicara atau menyusun kata-kata
dan dapat pula menyebabkan penderitanya sulit memahami perkataan
orang lain. Sehingga dengan demikian afasia menyebabkan proses
produktif dan reseptif berbahasa terganggu atau tidak berjalan dengan
maksimal. Namun tidak semua afasia memiliki dampak pada kedua proses

berbahasa tersebut secara signifikan. Ada kalanya hanya berdampak pada


proses produktif, atau pun sebaliknya

Sumarsono, Buku Ajar Filsafat Bahasa, (Jakarta: Grasindo, 2004), 89


Rohmani Nur Indah dan Abdurrahman, Psikolinguistik: Konsep dan Isu
Umum, (Malang: UIN Maliki Press, 2008), 62
23
[3] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 212
24
[4] Rohmani, 62
25
[5] http://id.wikipedia.org/neurolinguistik
26
[6] Rohmani, 31
27
[7] Mamluatul Hasanah, Proses Manusia Berbahasa, (Malang: UIN Maliki
Press, 2010), 32-35
28
[8] Ibid, 37
29
[9] Rohmani Nur Indah, artikel Proses Pemerolehan Bahasa: dari
Kemampuan hingga Kekurangmampuan Berbahasa
30
[10] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Memahami Asas
Pemerolehan Bahasa (Kuala Lumpur: PTS Profesional Publishing, 2007),
180
21

[1]
[2]

22

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

http://scientificpsychopad08.files.wordpress.com/2011/12/3aphasia.pdf
32
[12] Ahmad H. Asdie, Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
(Jakarta: EGC, 1999), 185
33
[13] Soenjono Dardjowidjojo, 181
34
[14] Ibid, 181
35
[15] Ibid, 182
36
[16] Ahmad H. Asdie, 188
37
[17] http://id.wikipedia.org/neurolinguistik
38
[18] Soenjono Dardjowijojo, 182
39
[19] Ibid, 182
40
[20] Ahmad H. Asdie, 185
31

[11]

31
32
33
34
35
36
37
38
39
40

Anda mungkin juga menyukai