Anda di halaman 1dari 7

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), sebagai badan

pemeriksa
keuangan
eksternal
terhadap
pengelolaan
keuangan
Pemerintah/Pemerintah Daerah atau badan lain, diberi kewenagan untuk
mengaudit atas Laporan Keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah, yang
kemudian memuat opini antara lain Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW) dan Tidak Menyatakan
Pendapat/TMP (disclaimer of opinion). Pemeriksaan atas laporan keuangan oleh
BPK dilakukan dalam rangka memberikan pendapat/opini atas kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Kriteria pemberian
opini menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Penjelasan Pasal 16
ayat (1), yaitu : Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP),
Kecukupan
pengungkapan (adequate
disclosures),
Kepatuhan
terhadap
peraturan perundang-undangan, dan Efektivitas sistem pengendalian intern
(SPI). Oleh karena BPK sebagai auditor eksternal, maka BPK sangat rawan untuk
diserang atau terjadi perilaku menyimpang antara pejabat BPK dengan Pejabat
pemerintah maupun pemerintah Daerah, dimana sangat berpeluang untuk
terjadinya kolusi dalam rangka membantu menghilangkan jejak melawan hukum
terhadap kerugian keuangan Negara/atau daerah dengan menyalagunakan
kekuasaanya (abuse of power). Peluang terjadinya peyalagunaan kekuasaan
dengan bentuk kolusi karena BPK adalah satu-satunya pemeriksa keuangan
ekternal di Republik ini, yang mempunyai kewenangan besar memberikan opini
terhadap Laporan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara atau
Daerah. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui apakah BPK telah melakukan
pengawasan
dan
pemeriksaan
terhadap
laporan
pengelolaan
dan
pertanggungjawaban keuangan Daerah secara berimbang dan objektif dan untuk
mengetahui indikator atau standar apa yang digunakan oleh BPK dalam
memberikan opini disclaimer /TMP, TW, WDP dan WTP terhadap laporan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah. Metodologi
penelitian yang digunakan yaitu juridis formal (hukum normatif) yang bertujuan
untuk melakukan penelitian dan penalaran logis secara analisis kualitatif dengan
membuat deskripsi berdasarkan data-data yang ada, dengan cara mengkaji
opini BPK terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
pada Pemerintah Daerah Kabupaten Halamara Barat. Adapun meteri pendekatan
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu Ketentuan yang
mengatur BPK RI dalam Undang-Undang Dasar Negara 1945 Bab VIII A pada
23E, 23F dan 23G, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara,
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keungan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006,
tentang Badan Pemeriksaan keuangan. Dan bahan hukum sekunder yaitu bukubuku ilmu hukum, Jurnal ilmu hukum, internet, laporan hasil Pemeriksaan BPK,
artikel ilmiah hukum dan bahan seminar, lokakarya, dan sebagainya. Jenis
penelitian normatif dipergunakan kerena akan ditujukan pada pemecahan
masalah pada aspek penegakan hukum dan pendindakan dalam kasus-kasus
penyelagunaan kekuasaan (abuse of power) karena ketidak patuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah.
Sebagaimana pengertian tersebut diatas, maka penulis menarik kesimpulan

bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga auditor ekternal negara yang


kewenagannya sangat besar untuk memberikan pendapat/oponi atas Laporan
Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan baik pemerintah maupun
pemerintah daerah, dengan mengunakan empat (4) indikator audit yaitu
Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), Kecukupan
pengungkapan (adequate
disclosures),
Kepatuhan
terhadap
peraturan
perundang-undangan, dan Efektivitas sistem pengendalian intern (SPI).
Konsekuensi juridis dari opini BPK tersebut adalah pemidanaan dan hukuman
administrasi yaitu ganti rugi pengembalian uang negara/daerah. Dari kewengan
BPK ini maka penulis menyarankan bahwa BPK tidak menjadi satu-satunya
lembaga auditor eksternal dan pekerjaannya menjadi final, seharusnya ada
lembaga auditor banding yang disediakan oleh Negara, sebab hal ini, jika BPK
telah berkesimpulan bahwa adanya perbuatan melawan hukum dan telah
menimbulkan kerugian Negara, maka hasil audit BKP tersebut dijadikan bukti
autentik dalam setiap perkara tindak pidana korupsi di baik kepolisian,
kejaksaan, KPK maupun Pengadilan. Hal ini bisa terjadi jika BPK tidak melakukan
audit secara profesional dan tidak objektif, maka menjadi ancaman kepada
setiap orang pasti masuk penjara. Oleh karenanya perlu adanya auditor Banding
atau paling tida adanya auditor ad hoc yang melakukan audit secara bersamasama dengan auditor BPK atau perlu adanya sebuah komisi Pengawasan auditor
BPK untuk memeriksa kebenaran audit yang dialakukan oleh BPK sehingga tidak
secara sepihak BPK menentukan pendapatnya (opini) pada Laporan Hasil
Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan keuangan Pemerintah/Pemerintah Daerah.
Walaupun kriteria penentuan opini secara normatif telah diatur, namun belum
ada jaminan bahwa opini BPK tersebut telah bersih dari kolusi. BPK belum
sepenuhnya menjalankan fungsinya yang diberikan oleh Undang-Undang
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun
2006, tentang Badan Pemeriksaan Keuangan, dimana seharusnya BPK berani
pelaporkan dugaan korupsi dalam tempo waktu satu bulan, tetapi BPK belum
sepenuhnya menjalankan pasal dimasud. Kewenangan melapor sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2006, tentang
Badan Pemeriksaan Keuangan masih berada pada BPK RI, sementara BPK
Perwakilan tidak diberikan kewenangan tersebut, oleh karenanya harus ada
aturan yang tegas, sehingga kewenangan untuk melapor dugaan perbuatan
melawan hukum yang telah merugikan keuangan negara/daerah dapat diberikan
kepada BPK Perwakilan. Hal ini untuk membantu lebih cepat kontrol dan
pengawasan BPK Perwakilan pada pelaksanaan percepatan pembangunan
otonomi daerah. Jika kewenangan pelaporan atas tindak pidana korupsi tidak
diberikan kepada BPK Perwakilan, maka dapat dipandang BPK Perwakilan
hanyalah sebuah stempel yang berkerja sebagai auditor belaka.

Berdasarkan data BPK, pada 2009, dari 44 dari 78 laporan keuangan kementerian dan
lembaga atau sekitar 56 persen di antaranya memperoleh predikat WTP. "Dan pada
2013, meningkat, yaitu menjadi 64 dari 86 atau sekitar 74 persen," ucapnya.
Selain itu, walaupun peningkatan jumlah daerah yang mendapat WTP tidak sebaik di

kementerian, trennya terus meningkat. Berdasarkan data 2009, pendapat WTP


diberikan kepada 15 dari 504 daerah atau sekitar 3 persen. "Tapi, pada 2013, membaik,
yaitu diberikan kepada 153 dari 456 atau sekitar 33 persen dari keuangan pemerintah
daerah,"
ujar
Harry.
Menurut Harry, opini yang diberikan BPK ini sekadar menilai kualitas pengelolaan
anggaran pemerintah dari sisi transparansi laporan berdasarkan standar akuntansi, tidak
mewakili penilaian ekonomis, efisien, keefektifan penggunaan uang negara. Untuk
alasan ini, Harry mengatakan BPK memfokuskan pada sumber dayanya untuk menilai
tiga aspek tersebut di atas pengelolaan keuangan negara melalui audit kinerja.

Salah satu indikator kualitas akuntabilitas keuangan dilihat dari opini auditor eksternal
(BPK) atas penyajian laporan keuangan pemerintah, yang terdiri dari Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), dan Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang komponennya meliputi: Neraca, Laporan
Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Opini BPK
secara bertingkat terdiri dari: Tidak Wajar (TW), Tidak Memberikan Pendapat (TMP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), dan yang terbaik adalah Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dampak dari diperolehnya opini selain WTP atas laporan keuangan pemerintah antara
lain:
1. Kurangnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam menunjang keberhasilan
program kerja pemerintah.
2.Timbulnya konotasi atau persepsi publik akan adanya penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara/daerah.

Untuk Tahun Anggaran 2015, pemerintah daerah yang mendapat Opini WTP sebanyak
14 pemda atau 175% dari 8 pemda yang ditargetkan. Dua pemda masih memperoleh
Opini WTP karena adanya permasalahan dalam pengelolaan aset sedangkan dua
pemda lainnya memperoleh Opini TMP karena masih dalam taraf pembenahan
pengelolaan keuangan daerah mengingat keduanya merupakan daerah pemekaran
dan baru menyusun LKPD di Tahun 2014.
Perkembangan Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan
Sampai dengan Semester I Tahun 2015

Sumber

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK

Belum diperolehnya opini WTP dari BPK menunjukkan bahwa pelaporan keuangan
Pemerintah daerah masih belum sepenuhnya dapat diyakini kewajarannya oleh BPK yang
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
a.

Adanya kelemahan sistem pengendalian intern;

b.

Belum tertatanya barang milik negara/daerah dengan tertib;

c.
Tidak sesuainya pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan
ketentuan yang berlaku;
d.
Penyajian laporan keuangan yang belum sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP);
e.

Kelemahan dalam sistem penyusunan laporan keuangan;

f.
Kurang memadainya kompetensi SDM pengelola keuangan pada
pemerintah daerah.
Upaya yang telah dilakukan oleh BPKP dalam rangka peningkatan kualitas akuntabilitas
pelaporan keuangan adalah melakukan asistensi atau pendampingan penyusunan

laporan keuangan dan menempatkan 23 orang pegawai BPKP yang dipekerjakan pada
11 instansi pemerintah daerah di Sumatera Selatan.
Dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan pemda telah disarankan kepada
masing-masing kepala daerah serta perlu dilakukan langkah-langkah identifikasi
penyebab, menempatkan personal yang kompeten, dan menyusun action plan untuk
langkah perbaikan kualitas laporan keuangan.

Komisi XI DPR melanjutkan proses fit and proper test (uji kepatutan dan kelayakan) calon
anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Senin (27/2). Maju sebagai calon kali ini adalah
Ivone Carolina Nalley. Mantan auditor BPK ini menyatakan, peran anggota BPK belum maksimal
dalam melakukan audit. Hal ini menyebabkan kualitas temuan pemeriksaan belum bermakna
dalam upaya penyelamatan keuangan negara.

Ivone mengatakan, banyak analisa BPK yang masih keliru dalam melakukan pemeriksaan. Hal
itu bisa dilihat dari hasil pemeriksaan yang dilakukan lembaga itu belum maksimal. Bahkan, dia
menilai audit standar kinerja auditor BPK masih kalah dengan yang dimiliki Badan Pengawas
Keuangan Pembangunan (BPKP).

Dia menyarankan bagian penelitian dan pengembangan (litbang) atau pusat pendidikan dan
pelatihan (pusdiklat) BPK bisa berperan dengan memberikan pendidikan melalui materi yang
lebih jelas agar mendukung pekerjaan auditor.

Selain itu, Ivone berpendapat seharusnya BPK memiliki tanggung jawab terhadap banyaknya
temuan audit yang tidak ditindaklanjuti. Dalam hal ini, BPK mesti mengadakan sebuah
mekanisme koreksi internal. Temuan audit BPK banyak yang disampaikan ke DPR tiap enam
bulan, tapi banyak yang tidak ditindaklanjuti, ujarnya.

Ivone juga menyinggung masalah suap yang terkadang menggoda auditor BPK dalam melakukan
tugasnya. Menurutnya, sekecil apa pun pemberian dari pihak yang diperiksa tidak patut diterima
oleh auditor. Dia khawatir hal itu bisa mengganggu independensi BPK itu sendiri.

Sekadar ingatan, pada 22 Juni tahun 2010, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan dua
auditor BPK, yaitu Suharto dan Enang Hernawan. Mereka diduga melanggar pasal 12 huruf a dan
atau pasal 5 ayat (2) atau pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada 8 november 2010, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis keduanya dengan
hukuman empat tahun penjara. Selain hukuman penjara, kedua terdakwa juga wajib membayar
denda Rp200 juta. Bila tidak membayar, maka hukuman diganti dengan tiga bulan kurungan.
Hukuman dijatuhkan karena kedua terdakwa dinilai terbukti menerima suap dari Pemerintah
Kota Bekasi.

Dalam uji kepatutan sebelumnya, Auditor Utama KN II BPK, Syafri Adnan Baharuddin,
membuka kelemahan lembaganya. Dia mengakui pemeriksaan kinerja yang dilakukan BPK saat
ini masih memiliki beberapa kelemahan dari aspek perencanaan strategis maupun pelaksanaan.

Pada akhirnya berdampak pada kualitas hasil pemeriksaan kinerja yang belum sesuai dengan
standar pemeriksaan kinerja maupun harapan serta kebutuhan para pemilik kepentingan,
tuturnya.

Sementara itu, mantan Kepala Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), Tubagus Haryono,
mendadak mengundurkan diri dari bursa calon anggota BPK. Wakil Ketua Komisi XI Harry
Azhar Azis menjelaskan, pengunduran diri tersebut dikarenakan yang bersangkutan belum dua
tahun meninggalkan posisinya sebagai kuasa pengguna anggaran.

Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 13 butir j Undang-Undang tentang BPK, yakni anggota
BPK minimal telah dua tahun meninggalkan posisinya dari lingkungan pengelola keuangan
negara. Karena Pak Tubagus mengundurkan diri, maka calon yang diuji Komisi XI tinggal 34
orang, kata Harry.

Sebelumnya, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, mengatakan
dari 35 orang calon anggota BPK, beberapa diantaranya masih aktif menjabat di lingkungan
lembaga keuangan negara. Menurutnya, rekomendasi DPD itu melanggar Pasal 13 butir j UU
BPK. Dia meminta Komisi XI berhati-hati mencermatinya agar DPR tidak terjebak pada
perbuatan melawan hukum di kemudian hari.

Sementara itu, anggota Komisi XI Nurdin Tampbolon mengingatkan agar rekan-rekannya


memilih calon yang benar-benar memiliki integritas dan independen. Hal ini penting untuk
menjaga profesionalitas, moral, dan etika dalam melaksanakan tugasnya ke depan. Para calon
harus terhindar dari kepentingan apa pun, tandasnya.

Anda mungkin juga menyukai

  • Tugas SK Ayasooo
    Tugas SK Ayasooo
    Dokumen8 halaman
    Tugas SK Ayasooo
    Laras Dwi Nugrahani
    Belum ada peringkat
  • Logbook
    Logbook
    Dokumen3 halaman
    Logbook
    Laras Dwi Nugrahani
    Belum ada peringkat
  • Laraswati Dwi N
    Laraswati Dwi N
    Dokumen22 halaman
    Laraswati Dwi N
    Laras Dwi Nugrahani
    Belum ada peringkat
  • Beras
    Beras
    Dokumen2 halaman
    Beras
    Laras Dwi Nugrahani
    Belum ada peringkat
  • Beras
    Beras
    Dokumen2 halaman
    Beras
    Laras Dwi Nugrahani
    Belum ada peringkat