ABSTRAK
ADRIYAN PERMANA PUTRA. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih
(Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja
reproduksi anak tikus betina. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan
ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Studi ini mengamati pengaruh pemberian kedelai (tanaman kaya
fitoestrogen) pada induk tikus Sprague-Dawley bunting dan laktasi dengan dosis 5
mg/Kgbb/hari terhadap pertambahan bobot badan, bobot uterus, dan bobot
ovarium anaknya. Tikus dibagi dalam empat kelompok. Kelompok A adalah
kelompok anak tikus yang berasal dari induk diberi kedelai mulai 14 hari
kebuntingan sampai 14 hari laktasi. Kelompok B adalah kelompok anak tikus
yang berasal dari induk yang diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai
melahirkan. Kelompok C adalah kelompok induk yang diberi kedelai sejak
melahirkan hingga laktasi 14 hari. Sedangkan kelompok D adalah kontrol yang
tidak diberi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot
badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak lebih tinggi pada kelompok B
(p<0,05) sedangkan pada kelompok C tidak berbeda nyata dengan kontrol
(p>0,05). Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif
dalam peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai
pada saat bunting dibandingkan dengan menyusui.
Kata kunci: kedelai, fitoestrogen, tikus putih, reproduksi.
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Nama
Nama
Normor Pokok :
B 04104078
Disetujui :
Diketahui :
Tanggal lulus :
4
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu
Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas pemberian kedelai pada tikus
putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan
kinerja reproduksi anak tikus betina. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan hasil
penelitian yang telah dilakukan penulis di Kandang Hewan Percobaan dan di
Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak dan kelima saudara kandung penulis Frans,
Ari, Yudhi, Yesi, dan Fauzan yang selalu memberikan doa, kasih sayang,
nasihat, dan motivasi tiada henti.
2. Dr. Nasititi Kusumorini dan Dr. drh Aryani S. Satyaningtijas, MSc, selaku
dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran
positif kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Semua karyawan laboratorium Fisiologi: Pak Edi, Pak Wawan, Ibu Sri, Ibu
Ida, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis
melakukan penelitian.
4. Teman satu penelitian; Kukuh Diki. Teman-teman Asteroidea 41, Balio 27
(Zulfikar, Agung, Reza, Adi, Uli, Hendra dkk) terimakasih atas bantuan dan
dukungannya.
5. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai
penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Namun
semoga tulisan ini masih dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih
bagi penulis.
Bogor, januari 2009
Penulis
5
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................x
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................... 2
Hipotesis .................................................................................................................. 3
Manfaat .................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai..................................................................................................................... 4
Fitoestrogen ............................................................................................................ 5
Metabolisme fitoestrogen...................................................................................... 9
Biokimia fitoestrogen .......................................................................................... 10
Estrogen ................................................................................................................. 12
Peran estrogen pada kebuntingan ......................................................................... 15
Peran estrogen terhadap organogenesis ............................................................... 15
METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat penelitian .............................................................................. 23
Bahan dan alat ...................................................................................................... 23
Metode penelitian ................................................................................................. 23
vi
vii
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya ......... 5
Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih. ................ 19
Persentase hadirnya siklus estrus anak tikus usia 4,6, dan 8 minggu........................ 27
Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina 4-6 dan 6-8 minggu ........... 28
Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu................... 30
Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu ....................... 32
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kedelai ........................................................................................................................ 4
ix
Daftar Lampiran
Halaman
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai merupakan bahan makanan yang terkenal dengan kandungan
proteinnya senilai daging, juga kandungan vitamin, mineral, dan lemaknya.
Lemak dalam kedelai adalah lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) yang dapat
membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan menghindari penggumpalan
lemak dalam darah, serta menurunkan risiko penyakit jantung koroner (American
Heart Association 2000). Cina, Jepang, Korea, dan beberapa negara di Asia
Tenggara termasuk Indonesia adalah negara-negara yang
memiliki tingkat
estrogen oleh sebab itu konsumsi fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi
dapat mempengaruhi periode penting dari perkembangan dan pertumbuhan
(Hughes et al. 2004). Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan
menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina
persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening. Seperti
yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa penggunaan DES (dietilstilbestrol)
ketika kebuntingan
hewan jantan(Viscenzo et al. 2005). Untuk itu perlu diketahui seberapa besar
pengaruh pemaparan fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi terhadap fetus
dan neonatal. Sehingga hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika hendak
mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung fitoestrogen contohnya konsumsi
kedelai pada saat kebuntingan dan laktasi.
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan tikus sebagai hewan model. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan kemungkinan bahwa fitoestrogen dari kedelai dapat dipindahkan
dari induk kepada anaknya melalui transplasental pada saat prenatal dan melalui
susu induk postnatal. Kedelai mengandung isoflavon yang mempunyai aktivitas
estrogenik sehingga anak tikus dari induk yang diberikan kedelai diharapkan
dapat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan dan perkembangan organ
reproduksi yang pada akhirnya meningkatkan profil dan kinerja reproduksi. Oleh
sebab itu maka parameter yang dijadikan ukuran pada penelitian ini adalah
pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak tikus betina.
Peningkatan dari parameter tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja
reproduksi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kedelai
pada induk tikus bunting dan menyusui terhadap kinerja reproduksi anak tikus
betina berupa perubahan bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus.
Hipotesis
Pemberian kedelai 5 mg/Kg bb/hari secara peroral pada induk tikus
bunting dan atau menyusui mempengaruhi bobot badan, bobot ovari, dan bobot
uterus anaknya.
Manfaat
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam pengembangan ilmu kedokteran. Data yang dihasilkan dapat
memberikan informasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh konsumsi
kedelai pada saat kebuntingan dan menyusui terhadap penampilan anak serta
dapat menjadi acuan atau dasar untuk melakukan penelitian di bidang reproduksi
selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan
yang menjadi bahan dasar makanan Asia Timur seperti kecap, tahu dan tempe.
Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak
serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin.
Olahan biji dapat dibuat menjadi tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap
(salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai
(baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat
dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel, taosi,
tauco (Anonimb 2008).
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning,
agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam) (Gambar 1).
G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan
Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia
Tenggara. Klasifikasi ilmiah kedelai menurut AAK (1989) tergolong kedalam
kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales,
subfamili Fabaceae, famili Faboideae, genus Glycine (L) Merr, Spesies Glycine
max dan Glycine soja.
yang berkisar 30-40%, karbohidrat 34.8%, dan lemak 18.1%. Kedelai juga
mengandung vitamin A, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, vitamin K, Kalsium,
Zat Besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium, dan seng. Kedelai juga merupakan
sumber
isoflavon
antikarsinogenik.
berfungsi
Kedelai
sebagai
memiliki
zat
estrogenik,
kandungan
antioksidan
isoflavon
lebih
dan
tinggi
Penelitian pada kedelai yang telah dibuktikan para ahli antara lain adalah
khasiatnya dalam menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kekebalan tubuh,
menghambat
pertumbuhan
kanker
payudara,
prostat,
usus,
mencegah
Fitoestrogen
2. Lignan terdapat pada : Flaxseed (biji rami), cereal (padi - padian), sayursayuran, dan buah-buahan.
3. Coumestan terdapat pada : sunflower seed (biji bunga matahari), bean
sprout (kecambah taoge).
4. Bentuk lain terdapat pada herbal Black cohosh, Dong Quai, ginseng,
Evening primrose (Kligler 2003). Black cohosh tumbuh di hutan-hutan
Amerika Selatan dan sekarang telah diekstraksi serta dikemas menjadi
produk obat untuk menopause.
Pada umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah
dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa tersebut, melainkan selalu
mengandung banyak sekali senyawa estrogenik secara bersama-sama (Achadiat
2007). Fitoestrogen pada tumbuhan paling umum di temukan dalam bentuk
coumestan dan isoflavon yang tergolong dalam kelompok flavonoid. Struktur
molekul kedua senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 2.
tumbuhan
Isoflavon adalah kelompok yang paling menonjol dan yang telah banyak
diteliti. Isoflavon terdiri dari tiga jenis senyawa yakni genistein, daidzein, dan
glycitin. Kedelai mengandung isoflavon dengan kadar daidzein 38%; genistein
50%; dan glycitin 12%. Walaupun merupakan isoflavon kedua terbanyak setelah
genistein, daidzein dikenal paling potensial untuk menimbulkan efek estrogenik
(Andra 2007)
(aglikon) akan masuk aliran darah dan beredar keseluruh tubuh dimana ia akan
berikatan dengan sejumlah organ dengan reseptor khusus. Gambar 3 merupakan
skematis perubahan glukon menjadi aglikon oleh bakteri di dalam usus.
Bakteri Usus
Glucon
Aglucon
Metabolisme Fitoestrogen
Semua fitoestrogen secara garis besar diabsorbsi sebagai metabolit
prekursor yaitu dalam bentuk awal dari fitoestrogen yang belum aktif atau kurang
bersifat estrogenik (merupakan fitoestrogen dalam bentuk glikosida terkonjugasi).
Fitoestrogen
kelompok
lignan
akan
diabsorbsi
sebagai
matairesinol,
Formononentin
Daidzin
Biochanin-A dan
Genistin
10
daidzein dalam usus yang merupakan produk buangan oleh sebab itu kurang
berperan di dalam tubuh. Produksi equol akan lebih banyak ditemukan pada
orang diet tinggi karbohidrat dan berhubungan dengan risiko kanker payudara
yang rendah (Ibanez & Baulieu 2005).
Biokimia Fitoestrogen
Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17 estradiol, sehingga dapat
berikatan dengan kedua reseptor estrogen yaitu ER dan ER. Afinitas ikatan
fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar
terhadap ER dibanding ER (Tabel 2) (Tsourounis 2004). Afinitas fitoestrogen
(genistein) rendah terhadap reseptor alpha yakni 5% sedangkan terhadap reseptor
betha hanya 36% jika dibandingkan dengan 17 estradiol, walaupun demikian
kadar sirkulasi yang berulang dari fitoestrogen mampu menghasilkan aktivitas
biologik yang potensial (Tsourounis 2004).
Tabel 2 Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen
dan pada tikus
fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan
pada reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang
relatif lemah (Tsourounis 2004). Dengan kata lain fitoestrogen dapat bersaing dan
10
11
11
12
Estron
bersifat
lebih
lemah
daripada
estradiol.
Pada
wanita
12
13
estrogen reseptor alpha (ER) dan estrogen reseptor betha (ER) (Ibanez &
Baulieu 2005)
13
14
14
15
h. Pada kulit.
Estrogen akan menyebabkan kulit akan berkembang membentuk tekstur yang
halus dan lembut serta menyebabkan kulit lebih vaskular daripada normal.
i. Pada keseimbangan elektrolit.
Menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, namun
efeknya ringan dan jarang bermakna kecuali pada masa kebuntingan.
Peran Estrogen pada Kebuntingan
15
16
akan terbawa hingga lahir sehingga menyebabkan struktur genital abnormal pada
tikus jantan. Selain menyebabkan kegagalan diferensiasi sex pada hewan jantan,
paparan estrogen yang berlebih pada kebuntingan juga menyebabkan komplikasi
lain seperti epididymal cysts, meatal stenosis, hypospadias, cryptorchidism and
microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas ini
sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang
mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki resiko lebih
rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat
paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Sedangkan paparan
estrogen disaat prenatal tidak menyebabkan struktur genital abnormal pada hewan
betina. Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan
efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten,
hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004).
16
17
Tikus Putih
Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui
sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan
secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan
adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya
dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya (Malole & Pramono 1989).
Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus, galur
Sprague-Dawley (Gambar 7). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats)
berdasarkan Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodensia
Famili
: Muridae
Subfamili : Murinae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus novergicus
Terdapat lima macam basic stock tikus putih (Albino Normay rat,
Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di
laboratorium yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan
Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil,
dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Long Evans lebih kecil ukuran
badannya daripada Sprague Dawley dan memiliki warna yang gelap pada bagian
atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan
ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979). Untuk keperluan penelitian tikus putih
memiliki nilai fisiologis yang telah terdata dengan baik. Informasi nilai fisiologis
dari tikus putih disajikan dalam Tabel 3.
17
18
60 jam
60 jam
12 jam
Fase 4 estrus
10-20 jam
Fase 5 metaestrus
8 jam
4-5 hari
Lama estrus
9-20 jam
Waktu ovulasi
Lama kebuntingan
21-23 hari
6-10 ekor
21 hari
6 - 8 minggu
Berat organ :
(berat basah dalam g/100 g bobot badan)
Testis (single)
0,05
Ovary (single)
Lain-lain:
0,005
Lama hidup
2-4 tahun
300-400 g
250-300 g
10 g/100g/hari
10-12/100g/hari
19
Proestrus. Stadium ini berlangsung dalam dua tahap yaitu proestrus awal
(60 jam) dan proestrus akhir (12 jam). Stadium ini menandakan akan datangnya
birahi, stadium ini ditandai dengan terjadinya involusi fungsional korpus luteum
dari fase sebelumnya serta pembengkakan praovulasi folikel. Pada fase ini cairan
yang terkumpul didalam uterus akan menyebabkan uterus menjadi sangat
kontraktil . Preparat apus vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang
muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turner & Bagnara 1976) (Gambar
8 a & b).
Estrus, stadium ini merupakan periode berahi. Kopulasi dimungkinkan
pada saat ini karena hanya pada fase ini hewan betina mau didekati oleh pejantan.
Selama estrus terjadi perubahan perilaku seperti telinga yang bergerak-gerak dan
sikap lordosis dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan
jantan. Fase berakhir 9 sampai 15 jam dan dicirikan dengan aktivitas berlari-lari
yang sangat tinggi. Dibawah pengaruh FSH, selusin atau lebih folikel ovari
tumbuh dengan cepat; dengan demikian periode ini merupakan periode yang
didominasi oleh kadar estrogen yang tinggi. Salah satu fungsi estrogen dapat
dilihat pada uterus yang mengalami perbesaran progesif dan mengembung
lantaran akumulasi cairan lumen (Turner & Bagnara 1976). Tingginya kadar
estrogen ini akan menekan sekresi FSH dan sebaliknya merupakan umpan balik
19
20
positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH yang sangat tinggi (LH surge)
sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh
perubahan histologik di dalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal.
Cairan lumen di dalam uterus banyak yang hilang sebelum ovulasi. Apabila
terjadi fertilisasi dan kebuntingan siklus terganggu selama masa gestasi (masa
kebuntingan), yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus. Hewan menjadi estrus
pada akhir kebuntingan, namun siklusnya sekali lagi terganggu sampai
berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976).
Sel-sel menanduk didalam preparat apus vagina dipakai sebagai petunjuk
estrus (Gambar 8 c & d). Sel-sel menanduk ini merupakan gambaran banyaknya
mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina, lapisan permukaannya menjadi
squmosa. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina terdapat massa
seperti keju terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi (Turner &
Bagnara 1976).
Metestrus. Stadium ini terjadi segera sesudah ovulasi, dan merupakan saat
antara estrus dan diestrus yang berakhir 10 sampai 14 jam. Perkawinan biasanya
tidak dimungkinkan pada stadium ini. Ovari mengandung korpus luteum yang
mengandung
sel-sel
lutein
dan
folikel-folikel
kecil;
vaskularisasi
dan
20
21
anterior untuk mensekresi FSH dan LH dan siklus berulang ke proestrus. Fase
diestrus didominasi oleh sel leukosit dan mulai munculnya sel epitel berinti
(Gambar 8 g & h)
Keempat siklus ini sangat erat kaitannya dengan siklus ovarium. Siklus
ovarium terbagi menjadi fase folikular dan fase luteal. Fase proestrus dan estrus
terletak di dalam fase folikular. Sedangkan fase metestrus dan diestrus terletak di
dalam fase luteal. Di saat fase folikular atas pengaruh dari FSH terjadi
pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Fase proestrus adalah
tingkat perkembangan folikel sampai pertumbuhan maksimal. Fase estrus adalah
fase pematangan folikel de Graaf hingga menunggu ovulasi yang ditandai dengan
tingginya kadar estrogen dan sekresi LH. Fase metestrus adalah fase pembentukan
korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel teka dan granulosa
yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein atas pengaruh
LH. Fase ini ditandai oleh tingginya kadar progesteron yang diperlukan untuk
memelihara kebuntingan jika terjadi fertilisasi. Seandainya tidak terjadi fertilisasi
dan kebuntingan maka korpus luteum akan beregresi. Fase ini disebut fase
diestrus atau fase istirahat (Guyton & Hall 1997).
21
22
Gambar 8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus (a, b), estrus (c,
d), metestrus (e, f) dan diestrus (g, h). Tertandai; Leukocytes (L),
epithelial (E) and cornified cell (C). (Sumber : Marcondes et al. 2002)
22
23
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2007 sampai dengan Juli
2008. Penelitian dilakukan di kandang hewan percobaan FKH dan Laboratorium
Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor
Bahan dan Alat
Hewan yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini adalah tikus
betina bunting paritas kedua dari spesies Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley
berumur 3,5-4 bulan, dengan bobot badan rata-rata 200-250 gram. Bahan yang
digunakan adalah kedelai yang telah digiling halus, aquades, pewarna giemsa,
buffer alkohol, metanol, dan eter. Peralatan yang digunakan adalah spuit, sonde
lambung, gelas objek , mikroskop, cotton bud, timbangan tikus, timbangan
analitik GR-202, perangkat kandang, dan alat diseksi.
Metode Penelitian
Tahap Persiapan
a. Tikus
Tiga puluh ekor tikus betina diadaptasikan terlebih dahulu dalam kandang.
Tikus ditempatkan dalam kandang berukuran 34 x 25 x 12 cm yang beralaskan
sekam dan bertutupkan kawat. Tikus diberi makan secara teratur dengan
kebutuhan diet yang terjaga (feed intake diasumsikan sama), minum ad libitum,
dan ditempatkan pada ruangan dengan perbandingan lama gelap dan terang 14:10,
suhu ruangan 20-25o C dengan kelembaban relatif 40-50% sebagai kondisi
umumnya.
b. Perkawinan
Tikus jantan dan betina (rasio kawin 1:2) dimasukkan ke dalam satu
kandang. Proses perkawinan biasanya terjadi malam hari. Untuk mengetahui
terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Terjadinya perkawinan
diindikasikan dengan ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina. Hari
23
24
24
25
25
26
26
27
43%
57%
28,5%
43%
28,5%
25%
12,5%
37,5%
25%
14%
14%
72%
28,5%
71,5%
57%
43%
14%
86%
100%
Keterangan :
Klp= kelompok, A=kedelai saat bunting dan laktasi, B=kedelai saat bunting,
C=kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol). P= proestrus,
E= estrus, M= metestrus, D= diestrus.
27
28
cairan di uterus makin berkurang. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap
pengukuran bobot uterus dan ovarium.
Kehadiran agen estrogenik pada tahap awal perkembangan anak dapat
memacu berbagai reaksi dalam tubuh salah satunya merangsang percepatan
pertumbuhan organ reproduksi. Manifestasi yang ditimbulkan dari hal ini adalah
kemungkinan terjadinya perubahan onset pubertas (usia datangnya pubertas).
Hughes et al. (2004) mengatakan paparan DES (dietilstilbestrol) pada saat
kebuntingan dan laktasi telah menyebabkan perubahan onset pubertas dan jarak
anogenital (anogenital distance) pada saat lepas sapih. Namun hal ini tidak terjadi
pada pemberian kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kedelai tidak
meyebabkan terjadinya percepatan usia pubertas.
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak
Pertambahan bobot badan 4-6 minggu dan 6-8 minggu pada 4 kelompok
perlakuan disajikan pada Tabel
4-6 minggu
6-8 minggu
119,67 26,74b
49,11 10,87 a
35,275,04a
35,29 13,77 a
34,667,18a
30,0615,01 a
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa hasil
berbeda nyata (p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C=
kedelai saat laktasi, D= tidak m25endapat asupan kedelai (kontrol)
150
4-6 M
100
6-8 M
50
0
Gambar 10 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina pada usia 4-6
28
29
Estrogen
bersama-sama
progesteron
adalah
hormon-hormon
29
30
karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Peningkatan bobot badan oleh
fitoestrogen juga pernah dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruhlen
(2007) yang menyatakan bahwa fitoestrogen dalam makanan dapat meningkatkan
kadar estradiol serum mencit dan mengakibatkan fetal estrogenization syndrome
dan obesity. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh positif
pemberian kedelai pada saat kebuntingan terhadap pertambahan bobot badan.
Pada umur 8 minggu kelompok A dan B pertumbuhan badannya mulai
berangsur menurun, sedangkan untuk kelompok C dan D pertambahan bobot
badan cenderung tetap dibandingkan minggu sebelumnya. Pertambahan bobot
badan umur 6-8 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara
keempat perlakuan. Dapat dikatakan bahwa setelah 6 minggu pengaruh dari
kedelai mulai berkurang terhadap pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan
oleh faktor makanan dari luar, karena pada usia ini anak tikus sudah mencari
makannya sendiri.
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium Anak
Bobot ovarium anak tikus umur empat, enam, dan delapan minggu hasil
pemberian fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok
perlakuan tertera dalam Tabel 7 berikut ini. Hasil yang diberikan merupakan
rataan SE.
Tabel 7 Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu
Usia
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Kelompok A
0,024 0,003b
0,0380,002 b
0,0640,012c
Nilai P
0,0001
0,0001
0,015
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata
(p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi,
D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)
30
31
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0
Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Seperti yang dilihat pada Tabel 7 diatas, pada usia 4 minggu bobot
ovarium tertinggi terjadi pada kelompok B dan berbeda nyata terhadap semua
kelompok (p<0,5). Bobot ovarium kelompok B adalah sekitar dua kali lebih
tinggi jika dibandingkan kontrol. Kelompok A memiliki bobot ovarium kedua
tertinggi, hasil ini berbeda nyata terhadap kelompok C dan D. Sedangkan pada
kelompok C dan D tidak terdapat perbedaan yang berarti. Pola yang sama juga
diperlihatkan pada umur 6 minggu. Hal ini dapat di lihat bahwa kelompok A dan
B tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Karena kelompok A juga diberi
kedelai pada saat kebuntingan. Tingginya bobot ovarium pada kelompok B diduga
merupakan efek dari fitoestrogen kedelai yang di dapat anak semasa kebuntingan.
Ini membuktikan bahwa fitoestrogen memang dapat dipindahkan dari induk
kepada anaknya melalui
ovarium yang didapat pada tikus umur 8 minggu menunjukkan pola yang berbeda
dibandingkan minggu sebelumnya. Pola bobot ovarium pada umur ini
diperkirakan bukan atas pengaruh fitoestrogen dari kedelai. Tingginya bobot
ovarium pada kelompok A dan C karena tikus sedang berada pada fase proestrus
dan estrus dari hasil pemeriksaan ulas vagina. Keadaan ini menyebabkan adanya
dugaan
bahwa
estrogen
endogenous
yang
dihasilkan
berperan
dalam
31
32
ovarium akan terjadi penambahan jumlah sel dalam ovarium yang akan
meningkatkan massa ovarium (Suttner et al. 2005). Penambahan bobot ovarium
diperkirakan berasal dari penambahan sel-sel mesenkhim dan sel-sel folikuler
ovarium disertai dengan peningkatan kadar carian dalam ovarium. Cairan ini
berupa transudat dari serum dan mukopolisakarida yang disekresikan oleh sel-sel
granulosa. Peningkatan bobot ovarium juga tidak terlepas dari peran daidzein
(fitoestrogen kedelai) yang mampu mengurangi atresia dari sel-sel folikuler
(Suttner et al. 2005).
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus Anak
Bobot uterus anak tikus umur 4, 6 dan 8 minggu hasil pemberian
fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok perlakuan tertera
dalam Tabel 8. Hasil yang diberikan merupakan rataan SE.
Tabel 8 Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu
Umur
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Kelompok A
0,034 0,005b
0,051 0,005 b
0,248 0,090b
0,016 0,0003a
0,024 0,002 a
0,414 0,048c
0,019 0,001a
0,030 0,001 a
0,040 0,003a
Nilai P
0,005
0,0001
0,0007
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata
(p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi,
D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)
0,5
0,4
Kelompok A
0,3
Kelompok B
0,2
Kelompok C
0,1
Kontrol
0
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Gambar 12 Rata-rata bobot uterus anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu.
Sejalan dengan hasil sebelumnya pola grafik rata-rata bobot uterus pada
umur 4 minggu tidak berbeda jauh dibandingkan grafik hasil bobot ovarium
dimana bobot tertinggi didominasi oleh kelompok A dan B yang berbeda nyata
32
33
dilakukan pada anak melainkan kepada induk. Sejumlah fitoestrogen pada induk
akan mengalami degradasi dan penurunan selama perjalananya dari tubuh induk
hingga akhirnya sampai ke tubuh anak. Penurunan ini terutama terjadi ketika
proses absorbsi ditubuh induk, kadarnya dalam serum, kemampuan perfusi pada
plasenta, kadarnya yang bisa hadir didalam susu (Franke & Custer 1996), dan
kemampuan absorbsi oleh anak tikus (Hughes et al. 2004). Paparan efektif oleh
fitoestrogen kedelai pada anak tikus tidak diketahui, karena pemerikasaan serum
tidak dilakukan.
33
34
34
35
35
36
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian kedelai
dengan aplikasi oral sebesar 5mg/Kgbb pada induk tikus selama bunting dapat
meningkatkan kinerja reproduksi berupa laju pertumbuhan bobot badan, bobot
ovarium dan bobot uterus anak tikus usia 4 dan 6 minggu. Sedangkan pada
kelompok induk yang diberi kedelai semasa laktasi tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif dalam
peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai pada
saat bunting dibandingkan dengan menyusui.
Saran
Untuk mendukung hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan
seperti informasi kadar fitoestrogen dalam serum anak (radio immuno assay
test/RIA). Penghitungan bobot kering, analisa RNA/DNA organ disarankan juga
dilakukan. Untuk melihat efek fitoestrogen kedelai khususnya pada tikus diatas
umur 6 minggu sebaiknya tikus dilakukan ovariectomy terlebih dahulu untuk
mengurangi pengaruh dari estrogen endogenous. Sebagai bahan pertimbangan
untuk studi pada manusia, penting juga untuk diperhatikan adalah respon dosis,
umur pada saat paparan, dan panjangnya paparan fitoestrogen yang berbeda antara
hewan dan manusia.
36
37
DAFTAR PUSTAKA
AAK.1989. Kedelai. Yogyakarta: Kanisius.
Achadiat CM. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. http://www.klinik.net
[Januari 2008]
Albrecth ED, and Pepe GJ. 2007. Estrogen maintains pregnancy, triggers fetal
maturation.
http://www.sciencedaily.com/news/health_medicine/pregnancy_and_chil
dbirth/[20 Oktober 2008].
American Heart Association. 2000. Fitoestrogen and cardiovascular health. JACC.
35(6): 1403-10.
Andra. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. Http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=40 [ januari 2008].
Anonima. 2008. Rahasia sebutir kedelai. http://www.indomedia.com/bpost
/092003/2/ragam/art-1.htm [Januari 2008]
Anonimb.2008. Kedelai (Glycine max L.Merr). http:// www. wikipedia.org.com
[juli 2008]
Baker HJ, Lindsey JR and Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Volume I:
Biology and Diseases. Academic Press: New York dan London.
Brown DJ.2004. Is black cohos a selective estrogen modulator?. Herbal Gram.
61:33-35.
Degen GH, Janning P, Diel P, Michna H, and Bolt HM. 2002. Transplacental
transfer of the phytoestrogen daidzein in DA/Han rats. Arch Toxicol.
76(1):23-9.
Franke AA, and Custer LJ. 1996. Daidzein and genistein concentrations in human
milk after soy consumption. Clin Chem. 42:955-964
Ford JA Jr, Clark Sg, Walters EM, Wheeler MB and Hurley WL. 2006.
Estrogenic effects of genistein on reproductive tissues of ovariectomized
gilts. J Anim Sci. 84:834-842
Ganong
Garvita RV. 2005. Efektifitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5,10,15, hari)
tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
37
38
Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati
Setiawan, editor. Jakarta: EGC.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelpia: Lea & Febiger.
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga
University Press.
Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, and Henson MC. 1999. Effect of genistein
on steroid hormon production in the pregnant rhesus monkey. Society for
Experimental Biology and Medicine vol 222.
Heinnermen J. 2003. Khasiat Kedelai Bagi Kesehatan Anda. Jakarta: Prestasi
Pustakarya.
Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, and Davise V. 2004. Effects of genistein
or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine
organization in the rat. Exp Biol Med; 229:108117
Ibanez C. and Baulieu EE. 2005. Mechanisms of Action of Sex Steroid Hormones
and Their Analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, Ed. Current
management of the menopause. London: Taylor & Francis.
Jennylen. 2005. Chemical detail of most common phytoestrogens.
http://www3.interscience.wiley.com/phytoestrogen [Desember 2008]
Johnson M, dan Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd edition. London dan
Beccles: William Clowes Limited.
Johnston I . 2003. Phytochem Functional Foods. CRC Press Inc. Hal 66-68.
Kim H, Peterson TG, and Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy
isoflavone genestein: emerging role of its effects through transforming
grwoth factor beta signaling. Am J Clin Nutr. 68:1418S-1425S.
K1ig1er B. 2003. Black Cohosh. American Family Physician : 68(1): 114 - 6.
Lewis RW et al. 2002. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal
development of the rat. Toxicol Sci 71:7483.
Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi-Institut
Pertanian Bogor.
Marcondes FK, Bianchi FJ, and Tanno AP. 2002. Determination of the estrous
cycle phases of rats: some helpful considerations. Braz J Biol
62(4A):609-614.
38
39
39
40
40
41
LAMPIRAN
41
42
bunting
dan
menyusui
bunting
menyusui
kontrol
Total
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
134,6801
73,93281
33,06376
42,8804
5
5
6
21
119,6771
35,2752
34,6625
78,8637
59,81342
11,28079
17,59163
64,55984
26,74937
5,04492
7,18175
14,08811
45,4090
21,2683
16,2012
49,4764
Sum of
Squares
df
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum
Maximum
226,4798
54,91
209,33
193,9453
49,2822
53,1238
108,2510
69,30
23,25
15,54
15,54
222,27
48,90
56,27
222,27
Mean Square
Between Groups
45128,292
15042,764
Within Groups
38231,177
17
2248,893
Total
83359,469
20
Sig.
6,689
,003
Std.
Error
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Mean
53,9580
3,53324
1,58012
49,5709
bunting dan
menyusui
bunting
Minimum
Maximum
58,3451
49,00
58,79
49,6780
15,05506
6,73283
30,9847
68,3713
33,36
67,63
menyusui
35,8160
11,45161
5,12132
21,5969
50,0351
28,30
55,65
kontrol
35,3960
17,50971
7,83058
13,6548
57,1372
20,39
55,67
20
43,7120
14,63207
3,27183
36,8640
50,5600
20,39
67,63
Total
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between Groups
1360,382
453,461
Within Groups
2707,472
16
169,217
Total
4067,854
19
F
2,680
Sig.
,082
42
43
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
,024220
,0058785
,0026290
,016921
N
bunting dan
laktasi
bunting
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum
Maximum
,031519
,0186
,0312
,032520
,0052007
,0023258
,026063
,038977
,0260
,0400
laktasi
,019040
,0027700
,0012388
,015601
,022479
,0172
,0239
kontrol
,015100
,0025436
,0011375
,011942
,018258
,0118
,0186
20
,022720
,0077882
,0017415
,019075
,026365
,0118
,0400
Total
Sum of
Squares
,001
Mean Square
,000
Within Groups
,000
16
,000
Total
,001
19
Between Groups
df
F
14,953
Sig.
,000
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
bunting
dan
menyusui
bunting
,038320
,0051412
,0022992
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
,029936
,042704
,044820
,0042175
,0018861
,039583
menyusui
,024620
,0048920
,0021878
kontrol
,028080
,0025163
Total
20
,032960
,0092967
Sum of
Squares
Minimum
Maximum
,0313
,0441
,050057
,0409
,0513
,018546
,030694
,0201
,0327
,0041253
,022956
,029204
,0238
,0296
,0020788
,028609
,037311
,0201
,0513
df
Mean Square
Between Groups
,001
,000
Within Groups
,000
16
,000
Total
,002
19
24,063
Sig.
,000
43
44
Minimum
Maximum
,045
,110
,031
,054
,054
,080
,03358
,004834
,002162
,02758
,03958
,025
,037
20
,05068
,019798
,004427
,04141
,05995
,025
,110
Sum of
Squares
,004
Mean Square
,001
Within Groups
,004
16
,000
Total
,007
19
Between Groups
df
F
4,768
Sig.
,015
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
,034068
,0111590
,0049905
,020212
N
bunting dan
laktasi
bunting
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum
Maximum
,047924
,0227
,0500
,038380
,0159461
,0071313
,018580
,058180
,0208
,0595
laktasi
,016120
,0007155
,0003200
,015232
,017008
,0152
,0171
kontrol
,019400
,0017833
,0007975
,017186
,021614
,0178
,0214
20
,026992
,0131948
,0029504
,020817
,033167
,0152
,0595
Total
Between Groups
Sum of
Squares
,002
df
3
Mean Square
,001
,000
Within Groups
,002
16
Total
,003
19
F
6,198
Sig.
,005
44
45
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
,051440
,0116234
,0051981
,037008
N
bunting dan
laktasi
bunting
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum
Maximum
,065872
,0402
,0676
,065240
,0044366
,0019841
,059731
,070749
,0601
,0710
laktasi
,024360
,0042864
,0019169
,019038
,029682
,0182
,0300
kontrol
,030200
,0023611
,0010559
,027268
,033132
,0268
,0331
20
,042810
,0179178
,0040065
,034424
,051196
,0182
,0710
Total
Sum of
Squares
,005
Between Groups
df
3
Mean Square
,002
,000
Within Groups
,001
16
Total
,006
19
F
40,171
Sig.
,000
Mean
Std.
Deviation
Std.
Error
,24742
,201036
,089906
-,00220
N
bunting dan
laktasi
bunting
95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
Minimum
Maximum
,49704
,077
,580
,13786
,034562
,015457
,09495
,18077
,091
,173
laktasi
,41400
,108074
,048332
,27981
,54819
,330
,560
kontrol
,03978
,007466
,003339
,03051
,04905
,033
,051
20
,20977
,177610
,039715
,12664
,29289
,033
,580
Total
Sum of
Squares
df
Mean Square
Between Groups
,386
,129
Within Groups
,213
16
,013
Total
,599
19
F
9,647
Sig.
,001
45