Anda di halaman 1dari 56

EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH ((Rattus

novergicus)) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN


DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA

ADRIYAN PERMANA PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

ABSTRAK
ADRIYAN PERMANA PUTRA. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih
(Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja
reproduksi anak tikus betina. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan
ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Studi ini mengamati pengaruh pemberian kedelai (tanaman kaya
fitoestrogen) pada induk tikus Sprague-Dawley bunting dan laktasi dengan dosis 5
mg/Kgbb/hari terhadap pertambahan bobot badan, bobot uterus, dan bobot
ovarium anaknya. Tikus dibagi dalam empat kelompok. Kelompok A adalah
kelompok anak tikus yang berasal dari induk diberi kedelai mulai 14 hari
kebuntingan sampai 14 hari laktasi. Kelompok B adalah kelompok anak tikus
yang berasal dari induk yang diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai
melahirkan. Kelompok C adalah kelompok induk yang diberi kedelai sejak
melahirkan hingga laktasi 14 hari. Sedangkan kelompok D adalah kontrol yang
tidak diberi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot
badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak lebih tinggi pada kelompok B
(p<0,05) sedangkan pada kelompok C tidak berbeda nyata dengan kontrol
(p>0,05). Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif
dalam peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai
pada saat bunting dibandingkan dengan menyusui.
Kata kunci: kedelai, fitoestrogen, tikus putih, reproduksi.

EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH (Rattus


novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN
DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA

ADRIYAN PERMANA PUTRA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Nama

Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus


novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan
kinerja reproduksi anak tikus betina

Nama

Adriyan Permana Putra

Normor Pokok :

B 04104078

Disetujui :

Dr. Nastiti Kusumorini


Dosen Pembimbing I

Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc


Dosen Pembimbing II

Diketahui :

Dr. Nastiti Kusumorini


Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal lulus :
4

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu
Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas pemberian kedelai pada tikus
putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan
kinerja reproduksi anak tikus betina. Shalawat dan salam semoga tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan hasil
penelitian yang telah dilakukan penulis di Kandang Hewan Percobaan dan di
Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena
itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak dan kelima saudara kandung penulis Frans,
Ari, Yudhi, Yesi, dan Fauzan yang selalu memberikan doa, kasih sayang,
nasihat, dan motivasi tiada henti.
2. Dr. Nasititi Kusumorini dan Dr. drh Aryani S. Satyaningtijas, MSc, selaku
dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran
positif kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Semua karyawan laboratorium Fisiologi: Pak Edi, Pak Wawan, Ibu Sri, Ibu
Ida, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis
melakukan penelitian.
4. Teman satu penelitian; Kukuh Diki. Teman-teman Asteroidea 41, Balio 27
(Zulfikar, Agung, Reza, Adi, Uli, Hendra dkk) terimakasih atas bantuan dan
dukungannya.
5. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai
penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Namun
semoga tulisan ini masih dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih
bagi penulis.
Bogor, januari 2009
Penulis
5

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Adriyan Permana Putra. Penulis dilahirkan di


Sawah Lunto, Sumatra Barat pada tanggal 12 Januari 1986. Penulis merupakan
putra pertama dari enam bersaudara dari ayahanda Masdi S.IP dan ibunda Yusma
Elita. Penulis mulai mengenyam pendidikan di SDN 007 Bengkalis hingga lulus
tahun 1998.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTP) di SLTPN 1 Bengkalis hingga lulus tahun 2001. Penulis


melanjutkan pendidikannya di SMUN 1 Bengkalis hingga tahun 2004. Pendidikan
sarjana ditempuh penulis di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
(FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa kegiatan organisasi.
Penulis pernah tergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa DPM tahun
(2006/2007) anggota komisi eksternal. Penulis sempat juga menjabat sebagai
pengurus di Ikatan Mahasiswa Kedoteran Hewan Indonesia (IMAKAHI). Penulis
ikut serta dalam organisasi Dewan Keluarga Mushala (DKM) An-Nahl
(2006/2008) dan ROHIS angkatan 41 (2006/2008). Penulis merupakan salah satu
penerima beasiswa BRI (2006/2008).

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................ix
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................x

PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................................... 2
Hipotesis .................................................................................................................. 3
Manfaat .................................................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai..................................................................................................................... 4
Fitoestrogen ............................................................................................................ 5
Metabolisme fitoestrogen...................................................................................... 9
Biokimia fitoestrogen .......................................................................................... 10
Estrogen ................................................................................................................. 12
Peran estrogen pada kebuntingan ......................................................................... 15
Peran estrogen terhadap organogenesis ............................................................... 15

Tikus putih ............................................................................................................ 17


Siklus estrus tikus................................................................................................. 18
Proestrus...................................................................................................19
Estrus........................................................................................................19
Metestrus..................................................................................................20
Diestrus.. ..................................................................................................20

METODE PENELITIAN
Waktu dan tempat penelitian .............................................................................. 23
Bahan dan alat ...................................................................................................... 23
Metode penelitian ................................................................................................. 23

vi

Tahap persiapan .......................................................................................23


Tahap perlakuan dan perlakuan hewan coba ...........................................24
Pengamatan dan pengambilan sampel .....................................................25
Analisa data........................................................................................................... 26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian kedelai terhadap hadirnya siklus estrus anak...................... 27

Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot badan anak ............................... 28


Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot ovarium anak ........................... 30
Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot uterus anak............................... 32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ........................................................................................................... 36
Saran ...................................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................37

vii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya ......... 5

Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen


dan pada tikus ...................................................................................................... 10

Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus .................................. 18

Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih. ................ 19

Persentase hadirnya siklus estrus anak tikus usia 4,6, dan 8 minggu........................ 27

Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina 4-6 dan 6-8 minggu ........... 28

Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu................... 30

Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu ....................... 32

viii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kedelai ........................................................................................................................ 4

2 Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada tumbuhan .............................. 7


3 Glucon dan aglucon dari fitoestrogen .................................................................... 8
4 Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara
skematik ..................................................................................................................... 9
5 Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen ............................................... 12
6 Steroidogenenesis estrogen pada hewan betina......................................................... 13
7 Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley .......................................................... 17
8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus, estrus, metestrus dan
diestrus ...................................................................................................................... 22

9 Diagram tahap perlakuan ......................................................................................... 25


10 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus pada usia 4-6 dan 6-8 minggu...... 28
11 Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu ........ 31
12 Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu ............ 32

ix

Daftar Lampiran
Halaman
1

Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap pertambahan bobot badan anak


tikus betina

1.1 Analisa pertambahan bobot badan 4-6 minggu ......................................42


1.2 Analisa pertambahan bobot badan 6-8 minggu ......................................42
2

Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium anak tikus

2.1 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 4 minggu.................................43


2.2 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 6 minggu.................................43
2.3 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 8 minggu.................................44
3

Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus anak tikus

3.1 Analisa bobot uterus pada tikus umur 4 minggu ....................................44


3.2 Analisa bobot uterus pada tikus umur 6 minggu ....................................45
3.3 Analisa bobot uterus pada tikus umur 8 minggu ....................................45

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai merupakan bahan makanan yang terkenal dengan kandungan
proteinnya senilai daging, juga kandungan vitamin, mineral, dan lemaknya.
Lemak dalam kedelai adalah lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) yang dapat
membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan menghindari penggumpalan
lemak dalam darah, serta menurunkan risiko penyakit jantung koroner (American
Heart Association 2000). Cina, Jepang, Korea, dan beberapa negara di Asia
Tenggara termasuk Indonesia adalah negara-negara yang

memiliki tingkat

konsumsi kedelai tinggi (Anonima 2008). Di Indonesia banyak produk makanan


yang berasal dari olahan kacang kedelai diantaranya adalah tahu dan tempe yang
terkenal sebagai menu makanan sehari-hari dan sebagai sumber protein yang
murah dibandingkan dengan protein hewani.
Manfaat dari kedelai ternyata tidak sebatas kandungan protein yang tinggi,
belakangan diketahui oleh para ahli bahwa kedelai mengandung suatu substrat
yang memiliki khasiat mirip estrogen. Subtrat ini yang kemudian dinamai dengan
fitoestrogen, berasal dari kata phyto yang berarti tumbuhan dan estrogen adalah
zat yang merangsang estrus (estro = estrus, gen = generate) (Thomson 2005).
Penemuan ini sangat berharga terutama dalam dunia kedokteran. Kajian dan
penelitian tentang fitoestrogen belakangan semakin intensif dilakukan karena
kacang kedelai (soybeans) mengandung fitoestrogen dalam jumlah yang
bermakna untuk pengobatan. Penduduk Jepang yang mengkonsumsi produk
kedelai (soy products) ternyata memperlihatkan rendahnya angka kejadian
penyakit yang umum diderita kaum wanita terkait kekurangan hormon (Andra
2007). Konsumsi produk-produk kedelai juga menurunkan prevalensi penyakit
seperti kardiovaskular (yakni dengan mengendalikan kadar kolesterol pada kadar
yang normal), mencegah kanker payudara dan prostat, meningkatkan kesehatan
tulang (mencegah osteoporosis), dan mengurangi berbagai gejala serta keluhan
menopause (Heinnermen 2003).
Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dan laktasi telah diketahui
dapat mempengaruhi perkembangan morfologi dan fungsional organ reproduksi
(Hughes et al.2004). Fetus dan anak yang baru lahir (neonate) lebih peka terhadap
1

estrogen oleh sebab itu konsumsi fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi
dapat mempengaruhi periode penting dari perkembangan dan pertumbuhan
(Hughes et al. 2004). Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan
menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina
persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening. Seperti
yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa penggunaan DES (dietilstilbestrol)
ketika kebuntingan

dapat menyebabkan struktur genital yang abnormal pada

hewan jantan(Viscenzo et al. 2005). Untuk itu perlu diketahui seberapa besar
pengaruh pemaparan fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi terhadap fetus
dan neonatal. Sehingga hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika hendak
mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung fitoestrogen contohnya konsumsi
kedelai pada saat kebuntingan dan laktasi.
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan tikus sebagai hewan model. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan kemungkinan bahwa fitoestrogen dari kedelai dapat dipindahkan
dari induk kepada anaknya melalui transplasental pada saat prenatal dan melalui
susu induk postnatal. Kedelai mengandung isoflavon yang mempunyai aktivitas
estrogenik sehingga anak tikus dari induk yang diberikan kedelai diharapkan
dapat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan dan perkembangan organ
reproduksi yang pada akhirnya meningkatkan profil dan kinerja reproduksi. Oleh
sebab itu maka parameter yang dijadikan ukuran pada penelitian ini adalah
pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak tikus betina.
Peningkatan dari parameter tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja
reproduksi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kedelai
pada induk tikus bunting dan menyusui terhadap kinerja reproduksi anak tikus
betina berupa perubahan bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus.

Hipotesis
Pemberian kedelai 5 mg/Kg bb/hari secara peroral pada induk tikus
bunting dan atau menyusui mempengaruhi bobot badan, bobot ovari, dan bobot
uterus anaknya.
Manfaat
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam pengembangan ilmu kedokteran. Data yang dihasilkan dapat
memberikan informasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh konsumsi
kedelai pada saat kebuntingan dan menyusui terhadap penampilan anak serta
dapat menjadi acuan atau dasar untuk melakukan penelitian di bidang reproduksi
selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Kedelai
Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan
yang menjadi bahan dasar makanan Asia Timur seperti kecap, tahu dan tempe.
Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak
serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin.
Olahan biji dapat dibuat menjadi tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap
(salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai
(baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat
dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel, taosi,
tauco (Anonimb 2008).
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning,
agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam) (Gambar 1).
G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan
Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia
Tenggara. Klasifikasi ilmiah kedelai menurut AAK (1989) tergolong kedalam
kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales,
subfamili Fabaceae, famili Faboideae, genus Glycine (L) Merr, Spesies Glycine
max dan Glycine soja.

Gambar 1 Kedelai putih (kiri) dan kedelai hitam (kanan).

Kedelai mempunyai akar yang memiliki bintil pengikat nitrogen bebas.


Kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya
digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Kedelai mengandung protein
4

yang berkisar 30-40%, karbohidrat 34.8%, dan lemak 18.1%. Kedelai juga
mengandung vitamin A, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, vitamin K, Kalsium,
Zat Besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium, dan seng. Kedelai juga merupakan
sumber

isoflavon

antikarsinogenik.

berfungsi
Kedelai

sebagai

memiliki

zat

estrogenik,

kandungan

antioksidan

isoflavon

lebih

dan
tinggi

dibandingkan tanaman pangan lainnya (Achadiat 2007). Kandungan protein dan


isoflavon di dalam kedelai tertera dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1 Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya

(Sumber: Kligler 2003)

Penelitian pada kedelai yang telah dibuktikan para ahli antara lain adalah
khasiatnya dalam menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kekebalan tubuh,
menghambat

pertumbuhan

kanker

payudara,

prostat,

usus,

mencegah

osteoporosis, menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen


2003).
Fitoestrogen

Fitoestrogen

atau sumber estrogen berbasis tumbuh-tumbuhan yang

merupakan senyawa non steroidal mempunyai aktivitas estrogenik atau


dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004).
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip
estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi
memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena
fitoestrogen juga memiliki 2 gugus -OH/ hidroksil yang berjarak 11.0-11,5 A0
pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak
11 A0 dan gugus -OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar

mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu untuk dapat


menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Substrat tadi baru akan berefek
estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen tersebut. Namun afinitas
fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibanding estrogen
endogen atau dapat dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang sangat besar bagi
fitoestrogen untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Tsourounis
2004). Menurut Yildiz (2005) kunci struktural penting dari suatu zat agar dapat
berperan sebagai estrogen atau estradiol-like effects adalah:
a. Memiliki cincin fenol yang sangat penting perannya dalam berikatan dengan
estrogen reseptor (ERs)
b. Cincin dari isoflavon menyerupai cincin dari estrogen pada bagian ikatan
reseptor.
c. Berat molekular serupa dengan estrogen (BM=272)
d. Jarak antara dua gugus hidroksil dari inti isoflavon sama seperti yang dimiliki
oleh estradiol.
e. Pola hidroksilasi yang optimal.
Fitoestrogen pertama kali diamati pada tahun 1926. Pada saat itu masih
belum diketahui apakah zat ini dapat mempengaruhi metabolisme hewan atau
manusia. Pada tahun 1940-an baru disadari bahwa domba yang digembalakan di
daerah yang banyak ditumbuhi red clover atau semanggi merah ternyata
menyebabkan domba tersebut menjadi sangat subur karena diduga banyak
memakan tumbuhan yang kaya akan fitoestrogen ini (Johnston 2003). Semenjak
itu mulai banyak penelitian mengkaji manfaat dari fitoestrogen ini. Penelitian
fitoestrogen diarahkan pada fungsinya terhadap regulasi kolestrol dalam tubuh
dan dalam mempertahankan densitas tulang pada perempuan menopause (Yildiz
2005)
Fitoestrogen memiliki 3 kelompok utama yaitu isoflavone, lignan, dan
coumestan, dan beberapa herbal lain. Tiga kelompok tersebut terdapat pada 300
tanaman, terutama tumbuhan keluarga polong-polongan. Menurut Tsourounis
(2004) kelompok dari fitoestrogen tersebut adalah:
1. Isoflavone terdapat pada : soybean (kacang kedelai), lentil (miju - miju),
chickpeas/garbanio bean (buncis), red clover (semanggi merah)

2. Lignan terdapat pada : Flaxseed (biji rami), cereal (padi - padian), sayursayuran, dan buah-buahan.
3. Coumestan terdapat pada : sunflower seed (biji bunga matahari), bean
sprout (kecambah taoge).
4. Bentuk lain terdapat pada herbal Black cohosh, Dong Quai, ginseng,
Evening primrose (Kligler 2003). Black cohosh tumbuh di hutan-hutan
Amerika Selatan dan sekarang telah diekstraksi serta dikemas menjadi
produk obat untuk menopause.
Pada umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah
dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa tersebut, melainkan selalu
mengandung banyak sekali senyawa estrogenik secara bersama-sama (Achadiat
2007). Fitoestrogen pada tumbuhan paling umum di temukan dalam bentuk
coumestan dan isoflavon yang tergolong dalam kelompok flavonoid. Struktur
molekul kedua senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada


(Coumestan dan isoflavon) (Sumber : Jennylen 2005).

tumbuhan

Isoflavon adalah kelompok yang paling menonjol dan yang telah banyak
diteliti. Isoflavon terdiri dari tiga jenis senyawa yakni genistein, daidzein, dan
glycitin. Kedelai mengandung isoflavon dengan kadar daidzein 38%; genistein
50%; dan glycitin 12%. Walaupun merupakan isoflavon kedua terbanyak setelah
genistein, daidzein dikenal paling potensial untuk menimbulkan efek estrogenik
(Andra 2007)

Kedelai merupakan sumber isoflavon (fitoestrogen) dan mengandung


antioksidan yang berfungsi melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas. Di
dalam tiap gram protein kedelai mengandung isoflavon total sebesar 5,1-5,5 mg
terdiri dari daidzein, genistein, dan sedikit glycitin. Daizein berkisar 10,5-85 dan
genestein 26.8-120,5 mg/100g berat kering di dalam kedelai atau produk
olahannya (Widodo 2005)
Sebagai fitoestrogen, isoflavon kedelai memiliki dua efek penting.
Pertama, saat kadar estrogen tinggi, fitoestrogen bisa menghentikan bentuk
estrogen yang lebih poten diproduksi oleh tubuh (dengan memblokir reseptor
estrogen) dan bisa membantu mencegah penyakit yang dikendarai oleh hormon,
seperti kanker payudara. Kedua, saat kadar estrogen rendah, seperti pada keadaan
setelah menopause, fitoestrogen bisa menggantikan estrogen tubuh itu sendiri,
sehingga bisa mengurangi hot flashes dan melindungi tulang (Andra 2007).
Isoflavon di dalam tumbuhan terdapat dalam bentuk glikosida terkonjugasi
(glycoside conjugate) yang disebut glucon (genistin dan daidzin). Glucon akan
dimetabolisme oleh bakteri pencernaan menjadi senyawa aktif yang disebut
aglicon (genistein dan

daidzein) (Speroff & Fritz 2005). Senyawa aktif ini

(aglikon) akan masuk aliran darah dan beredar keseluruh tubuh dimana ia akan
berikatan dengan sejumlah organ dengan reseptor khusus. Gambar 3 merupakan
skematis perubahan glukon menjadi aglikon oleh bakteri di dalam usus.
Bakteri Usus

Glucon

Aglucon

Gambar 3 Glucon dan aglucon dari fitoestrogen (Sumber : Thomson 2005).

Metabolisme Fitoestrogen
Semua fitoestrogen secara garis besar diabsorbsi sebagai metabolit
prekursor yaitu dalam bentuk awal dari fitoestrogen yang belum aktif atau kurang
bersifat estrogenik (merupakan fitoestrogen dalam bentuk glikosida terkonjugasi).
Fitoestrogen

kelompok

lignan

akan

diabsorbsi

sebagai

matairesinol,

secoisolaricinol. Selanjutnya metabolit prekursor ini akan di dimetabolisme oleh


bakteri intestinum menjadi senyawa aktif yang bersifat estrogenik yaitu
enterolacton dan enterodiol. Sedangkan fitoestrogen kelompok isoflavon akan
diserap sebagai formononetin, daidzin, genistin dan biochanin A yang akan
dimetabolisme oleh bakteri intestinum menjadi daidzein dan genistein.
Selanjutnya senyawa ini akan dimetabolisme atau diekskresi tanpa perubahan
bentuk biokimiawi dalam urin dan faeses (Wolf 2005). Daidzein dapat mengalami
perubahan lebih lanjut menjadi equol dan ODM-angiolensin sedangkan genistein
berubah menjadi Pethylphenol untuk diekskresikan melalui urin. Keseluruhan
proses ini secara skematis diterangkan dalam Gambar 4.

Formononentin
Daidzin
Biochanin-A dan
Genistin

Gambar 4 Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara


skematik (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005)
Kedelai terutama mengandung biochanin-A dan formononetin dengan
aktivitas estrogenik lemah, tetapi masing-masing diubah dalam usus menjadi
genistein dan daidzein yang lebih estrogenik dan selanjutnya menjadi equol yang
lebih estrogenik daripada daidzein (Speroff dan Fritz 2005). Equol dihasilkan dari
9

10

daidzein dalam usus yang merupakan produk buangan oleh sebab itu kurang
berperan di dalam tubuh. Produksi equol akan lebih banyak ditemukan pada
orang diet tinggi karbohidrat dan berhubungan dengan risiko kanker payudara
yang rendah (Ibanez & Baulieu 2005).
Biokimia Fitoestrogen
Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17 estradiol, sehingga dapat
berikatan dengan kedua reseptor estrogen yaitu ER dan ER. Afinitas ikatan
fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar
terhadap ER dibanding ER (Tabel 2) (Tsourounis 2004). Afinitas fitoestrogen
(genistein) rendah terhadap reseptor alpha yakni 5% sedangkan terhadap reseptor
betha hanya 36% jika dibandingkan dengan 17 estradiol, walaupun demikian
kadar sirkulasi yang berulang dari fitoestrogen mampu menghasilkan aktivitas
biologik yang potensial (Tsourounis 2004).
Tabel 2 Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen
dan pada tikus

(Sumber : Ibanez & Baulieu 2005)

Prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis,


merupakan beberapa tempat yang dipengaruhi khusus oleh fitoestrogen
(Tsourounis 2004). Isoflavon akan berikatan dengan reseptor estrogen di organ
tersebut, walaupun kurang poten dibandingkan 17 estradiol namun dengan kadar
yang lebih tinggi dan sirkulasi yang berulang dapat menimbulkan efek yang
potensial. Hal ini disebabkan karena

reseptor estrogen akan diblokir oleh

fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan
pada reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang
relatif lemah (Tsourounis 2004). Dengan kata lain fitoestrogen dapat bersaing dan

10

11

menggantikan fungsi estrogen. Hal ini sangat menguntungkan karena mengingat


kadar estrogen yang tinggi telah dikaitkan dengan kanker payudara, kanker
indung telur dan kanker rahim. Asupan protein kedelai dalam tubuh memberikan
kesempatan pada fitoestrogen untuk mengambil alih tugas estrogen endogen
ketika kadar fitoestrogen tinggi di dalam tubuh, sehingga mengurangi potensi
berbahaya dari estrogen yakni mengubah sel normal menjadi sel kanker (berperan
sebagai antiestrogenik). Fitoestrogen berperan dalam menstabilkan fungsi
hormonal, yakni dengan cara menghambat aktivitas estrogen yang berlebihan
yang dapat menginduksi terjadinya kanker dan juga dapat mensubtitusi estrogen
ketika kadarnya di dalam tubuh rendah (Anonima 2008). Fitoestrogen memiliki
efek menormalkan hormon, tidak hanya menghambat penyerapan estrogen secara
berlebihan, tetapi juga mampu meningkatkannya pada wanita yang kadar
estrogennya rendah (Anonima 2008).
Lignan dan isoflavon merupakan estrogenik lemah dan merupakan agen
antiestrogenik parsial. Lignan dan isoflavon memiliki kemampuan antimikrobial,
antikarsinogenik, dan antiinflamasi. Menurut Tsourounis (2004) efek fitoestrogen
antara lain:
1. Meningkatkan steroid hormon binding globulin (SHBG) dengan diikuti
penurunan kadar hormon steroid bebas. Terutama nyata untuk androgen, juga
untuk estradiol.
2. Memblokir atau menduduki reseptor estradiol sebagai akibat tingginya kadar
fitoestrogen. Walaupun afinitas ikatan lemah, estradiol akan digantikan dari
reseptor akibat massa substrat yang signifikan.
3. Efek fitoestrogen yang paling penting adalah inhibisi enzim intraseluler.
Genistein mampu menonaktivasi rantai sinyal seluruh growth factor dan
keluarga tirosinkinase, misalnya insulin-like growth factor (IGF-1), insulin,
epidermal growth factor (EGF), transfonning growth factor (TGF) dan
fibroblast growth factor (FGF) dengan memblokir tirosinkinase. Oleh karena
itu second messenger dari rantai sinyal growth hormon tidak dapat terbentuk.
Selanjutnya, efek inhibisi terjadi pada aromatase 17 OH dehidrogenase dan
5 reduktase (Gambar 5)

11

12

Gambar 5 Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen (Sumber : Ibanez &


Baulieu 2005)
Estrogen
Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon
seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya
jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini menyebabkan
perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita,
seperti payudara, dan juga terlibat dalam penebalan endometrium maupun dalam
pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga
dapat menimbulkan beberapa efek, di antaranya hot flash, berkeringat pada waktu
tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Achadiat 2007)
Ada tiga bentuk estrogen dalam jumlah bermakna di dalam plasma hewan
betina utama yaitu 17 estradiol, estron, dan estriol. Pada manusia sejak menarche
(siklus menstruasi pertama) sampai menopause (berhentinya menstruasi), estrogen
utama adalah 17-estradiol. Di dalam tubuh, ketiga jenis estrogen tersebut
disentesa dari androgen dengan bantuan enzim. Estradiol dikonversi dari
testosteron di dalam sel granulosa dengan bantuan enzim aromatase atas stimulasi
FSH, sedangkan estron dibuat dari androstenadion (Gambar 6) (Johnson & Everitt
1984).

Estron

bersifat

lebih

lemah

daripada

estradiol.

Pada

wanita

pascamenopause estron ditemukan lebih banyak daripada estradiol. Berbagai zat


alami maupun buatan telah ditemukan memiliki aktivitas bersifat mirip estrogen.
Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen, sedangkan bahan
alami dari tumbuhan yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut fitoestrogen.
Estrogen-estrogen ini akan berikatan pada dua jenis reseptor yang dikenal dengan

12

13

estrogen reseptor alpha (ER) dan estrogen reseptor betha (ER) (Ibanez &
Baulieu 2005)

Gambar 6 Steroidogenenesis estorgen pada hewan betina (Sumber : Johnson &


Everitt 1984).
ER dan ER banyak terdapat pada jaringan reproduksi wanita (ovarium,
endometrium, dan payudara), kulit, pembuluh darah tulang dan otak. Pada
reproduksi laki-laki reseptor ini banyak terdapat pada prostat. Pada otak hampir
seluruh bagiannya mengandung reseptor ER kecuali pada hipokampus yang
secara khusus mengandung ER (Brown 2004). Distribusi reseptor estrogen ER
yang tinggi terdapat pada kelenjar prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria,
ginjal, uterus dan testis (Tsourounis 2004).
Susunan syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan
memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis.
Berdasarkan kadarnya dalam plasma, estrogen dapat berperan sebagai kontrol
umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi LH dan FSH, atau sebagai
kontrol umpan balik positif dengan menstimulasi sekresi LH & FSH. Estrogen
juga berperan dalam perilaku seksual. Estrogen mempunyai peran penting pada
metabolisme tulang dengan cara menurunkan reasorbsi dengan menghambat
ekspresi IL-6 yang menstimulasi osteolisis. Dalam sistem kardiovaskuler estrogen

13

14

bermanfaat untuk meningkatkan keseimbangan fisiologis kolesterol dengan


memperbaiki komponen lipoprotein HDL (Yoles et al. 2005). Estrogen terutama
berfungsi dalam proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ dan
jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Menurut Guyton & Hall (1997)
fungsi estrogen adalah sebagai berikut:
a. Pada uterus dan organ kelamin wanita.
Ovarium, tuba fallopi, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar atas
pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna akibat
meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang
semula adalah epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Estrogen
menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya akibatnya
ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum
pubertas
b. Pada tuba fallopi.
Menyebabkan proliferasi tuba fallopi, dan yang paling penting, estrogen
menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang membatasi tuba fallopi.
c. Pada payudara.
Menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan duktus
yang luas, dan deposisi lemak pada payudara.
d. Pada tulang rangka.
Menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoblastik dan laju pertumbuhan
menjadi cepat pada awal pubertas.
e. Pada tulang.
Kekurangan estrogen pada usia tua akan menyebabkan berkurangnya
aktivitas osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfat tulang,
sehingga menyebabkan osteoporosis.
f. Pada pengendapan protein.
Menyebabkan sedikit peningkatan total protein tubuh, terbukti dari adanya
keseimbangan nitrogen yang lebih positif apabila diberikan estrogen.
g. Pada metabolisme dan deposit lemak.
Sedikit meningkatkan laju kecepatan metabolisme. Estrogen menyebabkan
peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan subkutan.

14

15

h. Pada kulit.
Estrogen akan menyebabkan kulit akan berkembang membentuk tekstur yang
halus dan lembut serta menyebabkan kulit lebih vaskular daripada normal.
i. Pada keseimbangan elektrolit.
Menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, namun
efeknya ringan dan jarang bermakna kecuali pada masa kebuntingan.
Peran Estrogen pada Kebuntingan

Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut membantu dalam


mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan mengalami hiperplasi dan
hipertropi akibat estrogen dengan tujuan mempersiapkan kebuntingan. Estrogen
bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah buluh darah ke uterus.
Peningkatan jumlah vaskularisasi pada uterus akan memperlancar aliran darah ke
uterus. Estrogen juga diperlukan dalam hal regulasi progesteron. Kerja
progesteron diinisiasi oleh estrogen. Estrogen dan progesteron secara bersamasama berfungsi dalam memelihara kebuntingan. Estrogen juga memegang peranan
penting terhadap perkembangan fetus selama kebuntingan. Estrogen memicu
pematangan dari organ ginjal, paru, hati, adrenal dan pembentukan plasenta yang
sempurna (Albrecht & Pepe 2007).
Peran Estrogen Terhadap Organogenesis
Diferensiasi gonad dan organ reproduksi terjadi di saat perkembangan
fetus semasa kandungan. Organ reproduksi betina berasal dari perkembangan
duktus Mullerian sedangkan duktus Wolffian akan mengalami atropi. Duktus
Mullerian inilah untuk selanjutnya yang akan membentuk struktur organ
reproduksi betina. Sebaliknya untuk hewan jantan, organ reproduksi berasal dari
perkembangan duktus Wolffian sedangkan duktus Mullerian akan mengalami
regresi. Proses diferensiasi sistem reproduksi pada fetus jantan sangat bergantung
pada kehadiran hormon androgen (Hafez 2000).
Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dapat mempengaruhi
diferensiasi dari organ reproduksi. Pada kasus pemberian diethylstilbestrol (DES)
yang dilakukan pada tikus bunting telah menyebabkan keterlambatan regresi dari
duktus mullerian pada hewan jantan. Duktus mullerian yang tidak sempat hilang

15

16

akan terbawa hingga lahir sehingga menyebabkan struktur genital abnormal pada
tikus jantan. Selain menyebabkan kegagalan diferensiasi sex pada hewan jantan,
paparan estrogen yang berlebih pada kebuntingan juga menyebabkan komplikasi
lain seperti epididymal cysts, meatal stenosis, hypospadias, cryptorchidism and
microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas ini
sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang
mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki resiko lebih
rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat
paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Sedangkan paparan
estrogen disaat prenatal tidak menyebabkan struktur genital abnormal pada hewan
betina. Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan
efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten,
hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004).

16

17

Tikus Putih
Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui
sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan
secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan
adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya
dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya (Malole & Pramono 1989).
Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus, galur
Sprague-Dawley (Gambar 7). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats)
berdasarkan Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum

: Chordata

Subfilum : Vertebrata
Kelas

: Mammalia

Ordo

: Rodensia

Famili

: Muridae

Subfamili : Murinae
Genus

: Rattus

Species

: Rattus novergicus

Gambar 7 Rattus novergicus, galur


Sprague-Dawley

Terdapat lima macam basic stock tikus putih (Albino Normay rat,
Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di
laboratorium yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan
Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil,
dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Long Evans lebih kecil ukuran
badannya daripada Sprague Dawley dan memiliki warna yang gelap pada bagian
atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan
ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979). Untuk keperluan penelitian tikus putih
memiliki nilai fisiologis yang telah terdata dengan baik. Informasi nilai fisiologis
dari tikus putih disajikan dalam Tabel 3.

17

18

Tabel 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus


Kriteria
Nilai
Lama/panjang siklus:
Fase 1 diestrusi

60 jam

Fase 2 proestrus (awal)

60 jam

Fase 3 proestrus (akhir)

12 jam

Fase 4 estrus

10-20 jam

Fase 5 metaestrus

8 jam

Durasi total siklus

4-5 hari

Lama estrus

9-20 jam

Waktu ovulasi

8-11 jam sesudah estrus

Lama kebuntingan

21-23 hari

Jumlah anak perinduk

6-10 ekor

Usia lepas sapih


Usia pubertas

21 hari
6 - 8 minggu

Berat organ :
(berat basah dalam g/100 g bobot badan)
Testis (single)

0,05

Ovary (single)
Lain-lain:

0,005

Lama hidup

2-4 tahun

Berat dewasa jantan

300-400 g

Berat dewasa betina

250-300 g

Konsumsi makanan per berat badan, per hari

10 g/100g/hari

Konsumsi minum per berat badan, per hari

10-12/100g/hari

(Sumber : Waynforth & Flecknell 1992 ; Malole & Pramono 1989)

Siklus Estrus Tikus


Siklus estrus tikus berlangsung selama empat sampai enam hari. Meskipun
pemilihan waktu siklus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksteroseptif seperti
cahaya, suhu, status nutrisi dan hubungan sosial. Secara umum siklus estrus pada
tikus dibagi menjadi empat fase (Turner & Bagnara 1976) yaitu fase proestrus,
18

19

estrus, metestrus, dan diestrus. Masing-masing fase ini menggambarkan proses


fisiologis yang berbeda. Keempat fase ini dapat diketahui dari pemeriksaan
preparat apus vagina yang dicirikan oleh keberadaan sel yang dominan pada saat
itu (Tabel 4).
Tabel 4 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih
Fase
Ulasan vagina
proestus
estrus
metestrus
diestrus

Awal: sel-sel berinti banyak


Akhir: sel-sel bertanduk 25 %
Awal: sel-sel bertanduk 75 %
Akhir: sel-sel pavement 25 %
Awal: sel-sel pavement 100%
Akhir:sel-sel pavement dan leukosit
Awal: leukosit
Akhir: leukosit dan sel berinti banyak muncul

(Sumber : Baker et al. 1979)

Proestrus. Stadium ini berlangsung dalam dua tahap yaitu proestrus awal
(60 jam) dan proestrus akhir (12 jam). Stadium ini menandakan akan datangnya
birahi, stadium ini ditandai dengan terjadinya involusi fungsional korpus luteum
dari fase sebelumnya serta pembengkakan praovulasi folikel. Pada fase ini cairan
yang terkumpul didalam uterus akan menyebabkan uterus menjadi sangat
kontraktil . Preparat apus vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang
muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turner & Bagnara 1976) (Gambar
8 a & b).
Estrus, stadium ini merupakan periode berahi. Kopulasi dimungkinkan
pada saat ini karena hanya pada fase ini hewan betina mau didekati oleh pejantan.
Selama estrus terjadi perubahan perilaku seperti telinga yang bergerak-gerak dan
sikap lordosis dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan
jantan. Fase berakhir 9 sampai 15 jam dan dicirikan dengan aktivitas berlari-lari
yang sangat tinggi. Dibawah pengaruh FSH, selusin atau lebih folikel ovari
tumbuh dengan cepat; dengan demikian periode ini merupakan periode yang
didominasi oleh kadar estrogen yang tinggi. Salah satu fungsi estrogen dapat
dilihat pada uterus yang mengalami perbesaran progesif dan mengembung
lantaran akumulasi cairan lumen (Turner & Bagnara 1976). Tingginya kadar
estrogen ini akan menekan sekresi FSH dan sebaliknya merupakan umpan balik

19

20

positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH yang sangat tinggi (LH surge)
sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh
perubahan histologik di dalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal.
Cairan lumen di dalam uterus banyak yang hilang sebelum ovulasi. Apabila
terjadi fertilisasi dan kebuntingan siklus terganggu selama masa gestasi (masa
kebuntingan), yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus. Hewan menjadi estrus
pada akhir kebuntingan, namun siklusnya sekali lagi terganggu sampai
berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976).
Sel-sel menanduk didalam preparat apus vagina dipakai sebagai petunjuk
estrus (Gambar 8 c & d). Sel-sel menanduk ini merupakan gambaran banyaknya
mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina, lapisan permukaannya menjadi
squmosa. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina terdapat massa
seperti keju terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi (Turner &
Bagnara 1976).
Metestrus. Stadium ini terjadi segera sesudah ovulasi, dan merupakan saat
antara estrus dan diestrus yang berakhir 10 sampai 14 jam. Perkawinan biasanya
tidak dimungkinkan pada stadium ini. Ovari mengandung korpus luteum yang
mengandung

sel-sel

lutein

dan

folikel-folikel

kecil;

vaskularisasi

dan

kontraktilitas uterus akan berkurang. Banyak leukosit muncul di dalam lumen


vagina bersama dengan sedikit sel-sel menanduk (Turner & Bagnara 1976)
(Gambar 8 e & f). Pada fase ini produksi estrogen mulai berkurang digantikan
oleh dominasi hormon progesteron yang dihasilkan oleh sel-sel lutein. Estrogen,
progesteron dan inhibin (dihasilkan oleh sel granulosa dari folikel antral yang
matang) pada fase ini akan memberikan efek umpan balik negatif terhadap
hipotalamus dan hipofise anterior sehingga menyebabkan penekanan FSH dan LH
dan perkembangan folikel sejenak terhenti (Guyton & Hall 1997).
Diestrus. Stadium ini berakhir 60 sampai 70 jam, pada masa tersebut
terjadi regresi fungsional korpus luteum. Uterus menjadi kecil, anemik dan sedikit
kontraktil. Mukosa vagina tipis dan banyak ditemukannya leukosit pada preparat
apus vagina. Pada fase ini terjadi regresi korpus luteum yang mengakibatkan
terjadinya penurunan progesteron yang dihasilkan. Rendahnya kadar progesteron
dan estrogen pada fase ini akan merangsang kembali hipotalamus dan hipofise

20

21

anterior untuk mensekresi FSH dan LH dan siklus berulang ke proestrus. Fase
diestrus didominasi oleh sel leukosit dan mulai munculnya sel epitel berinti
(Gambar 8 g & h)
Keempat siklus ini sangat erat kaitannya dengan siklus ovarium. Siklus
ovarium terbagi menjadi fase folikular dan fase luteal. Fase proestrus dan estrus
terletak di dalam fase folikular. Sedangkan fase metestrus dan diestrus terletak di
dalam fase luteal. Di saat fase folikular atas pengaruh dari FSH terjadi
pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Fase proestrus adalah
tingkat perkembangan folikel sampai pertumbuhan maksimal. Fase estrus adalah
fase pematangan folikel de Graaf hingga menunggu ovulasi yang ditandai dengan
tingginya kadar estrogen dan sekresi LH. Fase metestrus adalah fase pembentukan
korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel teka dan granulosa
yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein atas pengaruh
LH. Fase ini ditandai oleh tingginya kadar progesteron yang diperlukan untuk
memelihara kebuntingan jika terjadi fertilisasi. Seandainya tidak terjadi fertilisasi
dan kebuntingan maka korpus luteum akan beregresi. Fase ini disebut fase
diestrus atau fase istirahat (Guyton & Hall 1997).

21

22

Gambar 8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus (a, b), estrus (c,
d), metestrus (e, f) dan diestrus (g, h). Tertandai; Leukocytes (L),
epithelial (E) and cornified cell (C). (Sumber : Marcondes et al. 2002)

22

23

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2007 sampai dengan Juli
2008. Penelitian dilakukan di kandang hewan percobaan FKH dan Laboratorium
Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor
Bahan dan Alat
Hewan yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini adalah tikus
betina bunting paritas kedua dari spesies Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley
berumur 3,5-4 bulan, dengan bobot badan rata-rata 200-250 gram. Bahan yang
digunakan adalah kedelai yang telah digiling halus, aquades, pewarna giemsa,
buffer alkohol, metanol, dan eter. Peralatan yang digunakan adalah spuit, sonde
lambung, gelas objek , mikroskop, cotton bud, timbangan tikus, timbangan
analitik GR-202, perangkat kandang, dan alat diseksi.
Metode Penelitian
Tahap Persiapan
a. Tikus
Tiga puluh ekor tikus betina diadaptasikan terlebih dahulu dalam kandang.
Tikus ditempatkan dalam kandang berukuran 34 x 25 x 12 cm yang beralaskan
sekam dan bertutupkan kawat. Tikus diberi makan secara teratur dengan
kebutuhan diet yang terjaga (feed intake diasumsikan sama), minum ad libitum,
dan ditempatkan pada ruangan dengan perbandingan lama gelap dan terang 14:10,
suhu ruangan 20-25o C dengan kelembaban relatif 40-50% sebagai kondisi
umumnya.
b. Perkawinan
Tikus jantan dan betina (rasio kawin 1:2) dimasukkan ke dalam satu
kandang. Proses perkawinan biasanya terjadi malam hari. Untuk mengetahui
terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Terjadinya perkawinan
diindikasikan dengan ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina. Hari

23

24

ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina ditetapkan sebagai hari


pertama kebuntingan (Turner & Bagnara 1976).
Tahap Perlakuan dan Pengelompokan Hewan Coba
Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian sediaan kedelai mentah
peroral yang diberikan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung.
Sediaan kedelai dibuat dengan mencampurkan 10 gr tepung kedelai kedalam 50
ml aquades. Dosis kedelai yang diberikan adalah 5 mg/Kg BB/ hari. Untuk
menghindari tercekam akibat pemberian kedelai dengan volume yang besar, maka
kedelai diberikan dalam 2 tahap yaitu pada pagi hari dan sore hari dan dilakukan
pada jam yang sama setiap harinya.
Induk tikus yang positif bunting dikelompokkan sesuai perlakuan sebagai
berikut:
Kelompok A : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari mulai pada usia kebuntingan 14
hari hingga usia menyusui 14 hari.
Kelompok B : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari mulai pada usia kebuntingan 14
hari hingga hari kelahiran.
Kelompok C : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari sejak induk melahirkan hingga usia
menyusui 14 hari.
Kelompok D : tidak diberi kedelai.
Anak yang dilahirkan dipelihara bersama induknya sampai usia 21 hari.
Pada umur 21 hari tikus disapih dan dikelompokan (4-5 ekor) sesuai dengan
kelompok induknya. Tikus dipelihara hingga umur 4, 6, dan 8 minggu untuk
pengambilan sampel. Tiap kelompok terdiri dari 5 ekor anak tikus betina,
sehingga total sampel anak betina yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 60
ekor. Tahap perlakuan disajikan dalam diagram (Gambar 9)

24

25

Gambar 9. Diagram tahap perlakuan.


Pengamatan dan Pengambilan Sampel
S

Pengambilan sampel dilakukan pada anak berumur 4 , 6 dan 8 minggu.


Umur 4 minggu adalah model untuk tikus yang belum dewasa ((immature rats),
umur 6 minggu adalah tikus yang mulai pubertas (prepubertal
(prepubertal rats
rats) sedangkan
umur 8 minggu adalah contoh untuk tikus dewasa (mature
(
rats).. Parameter yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pertambahan bobot badan, bobot ovarium
dan bobot uterus. Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel ulas vagina yang
digunakan untuk memeriksa status siklus
si
estrus anak tikus.
a. Pengambilan sampel ulas vagina
Pengambilan
ambilan preparat ulas vagina (pap
(
smear)) bertujuan untuk
mengetahui status siklus estrus anak tikus. Ulas vagina dilakukan dengan cara
mengoleskan cotton buds yang telah dibasahi NaCl fisiologis 0,9% diusapkan
secara perlahan pada dinding vagina tikus. Lalu hasil koleksi dioleskan ke gelas
objek yang bersih. Preparat
reparat kemudian diwarnai, terlebih dahulu dilakukan fiksasi
dalam metanol 10%
% selama 5 menit diikuti Giemsa selama 30 menit lalu dibilas
dengan air mengalir perlahan beberapa detik, kemudian preparat ulas vagina
diamati di bawah mikroskop. Fase siklus estrus diketahui berdasarkan jenis sel
yang dominan terlihat. Fase proestrus didominasi oleh sel epitel berinti. Fase
estrus didominasi oleh sel tanduk. Pada fase metestrus ditemukan sel
sel-sel tanduk
dan leukosit. Sedangkan fase diestrus yang paling dominan
dominan terlihat adalah sel
leukosit (Marcondes et al. 2002).

25

26

b. Koleksi uterus dan ovarium


Sebelum dikorbankan tikus dibius terlebih dahulu menggunakan eter.
Tikus dimatikan dengan cara cervical dislocation. Pembedahan dilakukan pada
bagian abdomen. Otot beserta kulit digunting lurus sejajar linea alba mulai dari
bagian perineal terus ke anterior hingga diaphragma. Otot abdomen dikuakkan ke
sisi kiri dan kanan lalu difiksir. Uterus dicari dibawah usus kemudian dipreparir
bersamaan ovarium. Sebelum ditimbang organ dibersihkan dari lemak
mesentericus. Ovarium dipisahkan dari uterus dan masing-masing ditimbang
bobotnya menggunakan timbangan digital. Bobot yang didapatkan merupakan
bobot basah organ. Setelah ditimbang organ kemudian dimasukkan dalam larutan
buffer formalin.
Analisa data
Data yang diperoleh dianalisa dan dibandingkan dengan menggunakan
metode analysis of variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel &
Torrie 1991)

26

27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Hadirnya Siklus Estrus Anak


Pengaruh pemberian kedelai selama kebuntingan terhadap siklus estrus
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Persentase terhadap hadirnya siklus estrus anak tikus
8 minggu pada masing-masing kelompok perlakuan
4 Minggu
6 Minggu
Belum ada siklus 0%
Ada siklus
100%
Klp P
E
M
D
P
E
M
D
P

pada usia 4, 6, dan


8 Minggu
Ada siklus
100%
E
M
D

43%

57%

28,5%

43%

28,5%

25%

12,5%

37,5%

25%

14%

14%

72%

28,5%

71,5%

57%

43%

14%

86%

100%

Keterangan :

Klp= kelompok, A=kedelai saat bunting dan laktasi, B=kedelai saat bunting,
C=kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol). P= proestrus,
E= estrus, M= metestrus, D= diestrus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tikus umur 4 minggu, belum


terjadi pembukaan vagina (vaginal opening) dan belum adanya siklus. Tabel 5
menunjukkan bahwa pemberian kedelai selama kebuntingan tidak mempengaruhi
usia pubertas hal ini terlihat karena pada semua perlakuan siklus estrus dapat
dilihat pada usia 6 minggu. Peristiwa estrus pertama kali merupakan tanda bahwa
tikus telah memasuki usia pubertas. Usia pubertas dari anak tikus dalam penelitian
ini tidak diketahui kapan secara pasti karena pemeriksaan ulas vagina tidak
dilakukan setiap hari, namun dalam interval 2 minggu. Usia pubertas pada tikus
umumnya dicapai pada umur 6-8 minggu (Malole & Pramono 1989).
Hasil yang didapat menunjukan bahwa sebagian besar anak tikus pada
umur 6 minggu berada pada fase metestrus dan diestrus. Sedangkan untuk umur 8
minggu siklus estrus lebih bervariasi. Kelompok A dan C lebih banyak berada
pada fase proestrus dan estrus. Sedangkan kelompok B dan D berada pada fase
metestrus dan diestrus. Fase proestrus dan estrus disebut fase folikuler sedangkan
fase metestrus dan diestrus disebut fase luteal. Pada fase folikuler uterus akan
akan mengalami pembesaran dan mengembung akibat akumulasi cairan akibat
pengaruh estrogen (Turner & Bagnara 1976). Sejalan dengan penurunan kadar
estrogen pada fase metestrus dan diestrus uterus akan mengecil dan akumulasi

27

28

cairan di uterus makin berkurang. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap
pengukuran bobot uterus dan ovarium.
Kehadiran agen estrogenik pada tahap awal perkembangan anak dapat
memacu berbagai reaksi dalam tubuh salah satunya merangsang percepatan
pertumbuhan organ reproduksi. Manifestasi yang ditimbulkan dari hal ini adalah
kemungkinan terjadinya perubahan onset pubertas (usia datangnya pubertas).
Hughes et al. (2004) mengatakan paparan DES (dietilstilbestrol) pada saat
kebuntingan dan laktasi telah menyebabkan perubahan onset pubertas dan jarak
anogenital (anogenital distance) pada saat lepas sapih. Namun hal ini tidak terjadi
pada pemberian kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kedelai tidak
meyebabkan terjadinya percepatan usia pubertas.
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak
Pertambahan bobot badan 4-6 minggu dan 6-8 minggu pada 4 kelompok
perlakuan disajikan pada Tabel

6. Hasil yang disajikan merupakan rataan

persentase SE (standard error)


Tabel 6 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina pada usia 4-6 dan
6-8 minggu
% pertambahan bobot badan
Usia
Kelompok A Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
134,08 33,06b
54,07 9,22 a

4-6 minggu
6-8 minggu

119,67 26,74b
49,11 10,87 a

35,275,04a
35,29 13,77 a

34,667,18a
30,0615,01 a

Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa hasil
berbeda nyata (p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C=
kedelai saat laktasi, D= tidak m25endapat asupan kedelai (kontrol)

150

4-6 M

100

6-8 M

50
0

Gambar 10 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina pada usia 4-6

dan 6-8 minggu.


Berdasarkan tabel pertambahan bobot badan diatas dapat dilihat bahwa
pada kelompok A yaitu kelompok anak tikus yang berasal dari induk yang diberi

28

29

asupan kedelai selama kebuntingan dan laktasi memiliki pertambahan bobot


badan tertinggi dibandingkan kelompok B, C, dan D. Dalam selang waktu dua
minggu yakni dari umur 4 minggu hingga umur 6 minggu bobot badan anak tikus
kelompok A naik sebesar 134 % dan kelompok B sebesar 119%. Hasil ini jika
dibandingkan dengan kelompok C dan D berbeda nyata (p<0,05). Kelompok C
yaitu anak tikus yang berasal dari induk yang diberi asupan kedelai hanya pada
periode laktasi saja memiliki pertambahan bobot badan yang cenderung sama
dengan kelompok kontrol. Pertambahan bobot badan kelompok C hanyan sebesar
35% sedangkan pada kelompok D sebesar 34%. Secara keseluruhan hasil ini
menunjukkan bahwa faktor pemberian asupan kedelai pada induk hanya
berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan anak dari induk yang diberi
kedelai pada masa kebuntingan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh efek
fitoestrogen dari kedelai yang ikut berperan dalam merangsang perkembangan
fetus semasa kebuntingan. Fitoestrogen juga mempunyai pengaruh yang baik pada
lingkungan mikro uterus sehingga mendukung perkembangan embrio atau fetus.
Hal ini yang menyebabkan anak memiliki penampilan yang bagus pada saat lahir.
Bobot lahir anak yang tinggi hasil pemberian isoflavon pada kebuntingan telah
dilaporkan pada penelitian Garvita (2005). Penampilan yang bagus di saat lahir
menyebabkan anak tumbuh lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak yang
tidak mendapat asupan fitoestrogen di saat kebuntingan. Pemberian kedelai di
saat kebuntingan diduga berpengaruh terhadap produksi air susu dari induk terkait
dengan kandungan fitoestrogen yang berperan terhadap laktogenesis. Proses
laktogenesis dimulai sejak masa kebuntingan yang mana sangat dipengaruhi oleh
estrogen.

Estrogen

bersama-sama

progesteron

adalah

hormon-hormon

mammogenik yang mengatur perkembangan kelenjar mamae (Hafez 2000).


Pertambahan bobot badan yang tinggi pada kelompok A dan B mungkin juga
dikarenakan tingginya produksi susu induk sehingga anak mendapat asupan
nutrisi yang lebih baik jika dibandingkan kelompok lainnya.
Menurut Hardjopranjoto (1995) bahwa pada metabolisme tubuh estrogen
meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan, sehingga dapat
menstimulasi pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot
badan dan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk meningkatkan metabolisme

29

30

karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Peningkatan bobot badan oleh
fitoestrogen juga pernah dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruhlen
(2007) yang menyatakan bahwa fitoestrogen dalam makanan dapat meningkatkan
kadar estradiol serum mencit dan mengakibatkan fetal estrogenization syndrome
dan obesity. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh positif
pemberian kedelai pada saat kebuntingan terhadap pertambahan bobot badan.
Pada umur 8 minggu kelompok A dan B pertumbuhan badannya mulai
berangsur menurun, sedangkan untuk kelompok C dan D pertambahan bobot
badan cenderung tetap dibandingkan minggu sebelumnya. Pertambahan bobot
badan umur 6-8 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara
keempat perlakuan. Dapat dikatakan bahwa setelah 6 minggu pengaruh dari
kedelai mulai berkurang terhadap pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan
oleh faktor makanan dari luar, karena pada usia ini anak tikus sudah mencari
makannya sendiri.
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium Anak
Bobot ovarium anak tikus umur empat, enam, dan delapan minggu hasil
pemberian fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok
perlakuan tertera dalam Tabel 7 berikut ini. Hasil yang diberikan merupakan
rataan SE.
Tabel 7 Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu
Usia
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu

Kelompok A
0,024 0,003b
0,0380,002 b
0,0640,012c

Rataan bobot ovarium (gr)


Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
0,032 0,002c 0,019 0,001a 0,015 0,01a
0,0450,002 b 0,0280,004 a 0,0250,001 a
0,0420,004ab 0,0620,045bc 0,034 0,021a

Nilai P
0,0001
0,0001
0,015

Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata
(p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi,
D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)

30

31

0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0

Kelompok A
Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
4 Minggu

6 Minggu

8 Minggu

Gambar 11 Rata-rata bobot ovarium tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu.

Seperti yang dilihat pada Tabel 7 diatas, pada usia 4 minggu bobot
ovarium tertinggi terjadi pada kelompok B dan berbeda nyata terhadap semua
kelompok (p<0,5). Bobot ovarium kelompok B adalah sekitar dua kali lebih
tinggi jika dibandingkan kontrol. Kelompok A memiliki bobot ovarium kedua
tertinggi, hasil ini berbeda nyata terhadap kelompok C dan D. Sedangkan pada
kelompok C dan D tidak terdapat perbedaan yang berarti. Pola yang sama juga
diperlihatkan pada umur 6 minggu. Hal ini dapat di lihat bahwa kelompok A dan
B tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Karena kelompok A juga diberi
kedelai pada saat kebuntingan. Tingginya bobot ovarium pada kelompok B diduga
merupakan efek dari fitoestrogen kedelai yang di dapat anak semasa kebuntingan.
Ini membuktikan bahwa fitoestrogen memang dapat dipindahkan dari induk
kepada anaknya melalui

plasenta pada saat kebuntingan. Sedangkan bobot

ovarium yang didapat pada tikus umur 8 minggu menunjukkan pola yang berbeda
dibandingkan minggu sebelumnya. Pola bobot ovarium pada umur ini
diperkirakan bukan atas pengaruh fitoestrogen dari kedelai. Tingginya bobot
ovarium pada kelompok A dan C karena tikus sedang berada pada fase proestrus
dan estrus dari hasil pemeriksaan ulas vagina. Keadaan ini menyebabkan adanya
dugaan

bahwa

estrogen

endogenous

yang

dihasilkan

berperan

dalam

meningkatkan bobot ovarium.


Tingginya bobot ovarium akibat pemberian fitoestrogen kedelai adalah
karena fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen pada ovarium dan
dengan cara mengaktivasi sel dan menginduksi produksi dan proliferasi sel-sel

31

32

ovarium akan terjadi penambahan jumlah sel dalam ovarium yang akan
meningkatkan massa ovarium (Suttner et al. 2005). Penambahan bobot ovarium
diperkirakan berasal dari penambahan sel-sel mesenkhim dan sel-sel folikuler
ovarium disertai dengan peningkatan kadar carian dalam ovarium. Cairan ini
berupa transudat dari serum dan mukopolisakarida yang disekresikan oleh sel-sel
granulosa. Peningkatan bobot ovarium juga tidak terlepas dari peran daidzein
(fitoestrogen kedelai) yang mampu mengurangi atresia dari sel-sel folikuler
(Suttner et al. 2005).
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus Anak
Bobot uterus anak tikus umur 4, 6 dan 8 minggu hasil pemberian
fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok perlakuan tertera
dalam Tabel 8. Hasil yang diberikan merupakan rataan SE.
Tabel 8 Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu
Umur
4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu

Kelompok A

0,034 0,005b
0,051 0,005 b
0,248 0,090b

Rataan bobot uterus (gr)


Kelompok B
Kelompok C
Kelompok D
0,038 0,007b
0,065 0,002 c
0,138 0,015ab

0,016 0,0003a
0,024 0,002 a
0,414 0,048c

0,019 0,001a
0,030 0,001 a
0,040 0,003a

Nilai P
0,005
0,0001
0,0007

Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata
(p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi,
D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)

0,5
0,4

Kelompok A

0,3

Kelompok B

0,2

Kelompok C

0,1

Kontrol

0
4 Minggu

6 Minggu

8 Minggu

Gambar 12 Rata-rata bobot uterus anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu.

Sejalan dengan hasil sebelumnya pola grafik rata-rata bobot uterus pada
umur 4 minggu tidak berbeda jauh dibandingkan grafik hasil bobot ovarium
dimana bobot tertinggi didominasi oleh kelompok A dan B yang berbeda nyata

32

33

jika dibandingkan kelompok C dan D (p<0,05). Sedangkan untuk kelompok C dan


D sendiri relatif memiliki bobot uterus yang cenderung sama. Begitu pula hasil
bobot uterus pada umur 6 minggu menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Ini
menunjukkan efek fitoestrogen masih dapat terlihat pada usia 6 minggu. Hasil ini
membuktikan terdapat pengaruh yang nyata fitoestrogen kedelai dalam
meningkatkan bobot uterus selama kebuntingan. Kelompok B memiliki bobot
uterus lebih tinggi sekitar 1,8 kali dibandingkan kontrol pada umur 4 dan 6
minggu.
Hasil bobot uterus yang didapat pada tikus umur 8 minggu menunjukkan
pola yang berbeda dari minggu sebelumnya. Pada minggu ini dapat dilihat bahwa
bobot uterus tinggi pada kelompok A dan C. Dari pemeriksaan ulas vagina
diketahui bahwa kelompok A dan C sedang berada dalam fase estrus. Pada tikus
yang sedang estrus terdapat akumulasi cairan didalam lumen uterus yang akan
menyebabkan meningkatnya berat basah organ (Hafez 2000). Fitoestrogen kedelai
seperti halnya estrogen memiliki aktivitas uterothrophic yang menyebabkan
peningkatan massa uterus (Ford et al. 2006). Santell et al. (1997) membuktikan
adanya hubungan ketergantungan dosis (dose-dependent) terhadap peningkatan
bobot uterus oleh fitoestrogen (Santell et al. 1997). Genestein (isoflavon) bekerja
dalam cara yang sama dengan estradiol, yaitu dengan berikatan pada ER dan
komplek reseptor:ligand untuk menginduksi ekspresi dari gen yang responsif
terhadap estrogen (estrogen-responsive gens), sehingga terjadi peningkatan massa
uterus. Efek ini masih terlihat dengan pemberian fitoestrogen genestein pada dosis
375 g/g diet (Santell et al. 1997). Pada penelitian ini tidak diketahui berapa dosis
fitoestrogen yang sampai pada anak.

Pemberian fitoestrogen kedelai tidak

dilakukan pada anak melainkan kepada induk. Sejumlah fitoestrogen pada induk
akan mengalami degradasi dan penurunan selama perjalananya dari tubuh induk
hingga akhirnya sampai ke tubuh anak. Penurunan ini terutama terjadi ketika
proses absorbsi ditubuh induk, kadarnya dalam serum, kemampuan perfusi pada
plasenta, kadarnya yang bisa hadir didalam susu (Franke & Custer 1996), dan
kemampuan absorbsi oleh anak tikus (Hughes et al. 2004). Paparan efektif oleh
fitoestrogen kedelai pada anak tikus tidak diketahui, karena pemerikasaan serum
tidak dilakukan.

33

34

Prinsip kerja hormon dipengaruhi oleh reseptor. Hormon hanya akan


bekerja seandainya di dalam sel target memiliki reseptor hormon tersebut
(Ganong 2002). Fitoestrogen walaupun bukan hormon namun karena strukturnya
yang mirip dengan estradiol dapat pula menduduki reseptor estrogen dan mampu
menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison et al. 1999).
Organ yang dipengaruhi fitoestrogen antara lain adalah ovarium, uterus, testis,
prostat, dan beberapa organ lainnya (Tsourounis 2004) . Walaupun affinitas
terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu
menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Kim et al. (1998) berpendapat
aktivitas dan implikasi klinis fitoestrogen sangat tergantung pada jumlah reseptor
estrogen, letak reseptor estrogen, dan kosentrasi estrogen endogen yang mampu
bersaing.
Dua parameter yang digunakan dalam penelitian ini yakni bobot ovarium,
dan bobot uterus adalah komponen yang dipengaruhi secara langsung oleh
fitoestrogen. Pada kelompok B yakni kelompok yang mendapat asupan kedelai
selama bunting menunjukkan bahwa terdapat hubungan pemberian fitoestrogen
selama kebuntingan dengan peningkatan pertumbuhan dan kinerja reproduksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Todaka et al. (2005) tentang pemaparan
fitoestrogen pada fetus dan status fitoestrogen antara induk dan fetus pada saat
kebuntingan telah menunjukkan bukti bahwa fitoestrogen dapat ditransfer dari
induk ke fetus. Di dalam serum fetus dapat ditemukan genestein, daidzein, equol,
dan coumestrol (fitoestrogen kelompok isoflavon) dengan detection rates secara
berurutan sebesar 100%, 80%, 35%, dan 0%. Kadar genestein dan daidzein lebih
tinggi pada cord (tali pusar) dibandingkan maternal serum, dan hal ini
berkebalikan untuk equol dimana kadarnya lebih tinggi di maternal serum.
Penelitian ini melaporkan pula bahwa terdapat perbedaan tingkat metabolit dan
eskresi fitoestrogen antara induk dan fetus. Fitoestrogen cenderung bertahan lebih
lama di dalam tubuh fetus dibandingkan tubuh induk. Penelitian yang dilakukan
oleh Degen et al. (2002) juga mengatakan hal yang sama, bahwa plasenta tidak
mempunyai barier terhadap genestein atau estrogenik isoflavon lainnya karena
struktur molekulnya mirip dengan estrogen endogenus yang berukuran kecil
sehingga mampu dengan mudah berdifusi menembus membran plasenta.

34

35

Sedangkan pemberian fitoestrogen pada periode laktasi tidak berpengaruh


terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi. Beberapa teori yang dapat
menjelaskan hal ini adalah dikarenakan fitoestrogen dalam serum tidak bisa
menembus barier alveol sehingga tidak bisa dipindahkan melalui susu. Teori yang
lain mengatakan bahwa fitoetrogen dapat ditransfer melalui air susu namun
kadarnya kecil sekali sehingga paparan efektif tidak tercapai (Lewis et al 2002).
Untuk memberikan efek yang nyata, maka fitoestrogen perlu ditransfer dalam
jumlah yang cukup antara induk dan anak. Anak akan menerima sejumlah
fitoestrogen melalui plasenta pada pemberian kedelai sewaktu bunting, dan
setelah dilahirkan anak akan menerima fitoestrogen lewat susu induk. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi kadar fitoestrogen pada anak. Misalnya ketika
terjadi stress, sekresi susu induk akan berkurang yang berarti sedikit pula
fitoestrogen yang akan didapatkan oleh anak. Begitu juga pada saat kebuntingan,
perfusi fitoestrogen dari induk-anak melalui plasenta diantaranya dipengaruhi
faktor seperti tekanan darah, pH, flow rate (laju aliran darah), jenis plasenta,
barier plasenta, besar molekul. (Thomson 2005).

35

36

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian kedelai
dengan aplikasi oral sebesar 5mg/Kgbb pada induk tikus selama bunting dapat
meningkatkan kinerja reproduksi berupa laju pertumbuhan bobot badan, bobot
ovarium dan bobot uterus anak tikus usia 4 dan 6 minggu. Sedangkan pada
kelompok induk yang diberi kedelai semasa laktasi tidak berbeda nyata dengan
kontrol. Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif dalam
peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai pada
saat bunting dibandingkan dengan menyusui.
Saran
Untuk mendukung hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan
seperti informasi kadar fitoestrogen dalam serum anak (radio immuno assay
test/RIA). Penghitungan bobot kering, analisa RNA/DNA organ disarankan juga
dilakukan. Untuk melihat efek fitoestrogen kedelai khususnya pada tikus diatas
umur 6 minggu sebaiknya tikus dilakukan ovariectomy terlebih dahulu untuk
mengurangi pengaruh dari estrogen endogenous. Sebagai bahan pertimbangan
untuk studi pada manusia, penting juga untuk diperhatikan adalah respon dosis,
umur pada saat paparan, dan panjangnya paparan fitoestrogen yang berbeda antara
hewan dan manusia.

36

37

DAFTAR PUSTAKA
AAK.1989. Kedelai. Yogyakarta: Kanisius.
Achadiat CM. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. http://www.klinik.net
[Januari 2008]
Albrecth ED, and Pepe GJ. 2007. Estrogen maintains pregnancy, triggers fetal
maturation.
http://www.sciencedaily.com/news/health_medicine/pregnancy_and_chil
dbirth/[20 Oktober 2008].
American Heart Association. 2000. Fitoestrogen and cardiovascular health. JACC.
35(6): 1403-10.
Andra. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. Http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=40 [ januari 2008].
Anonima. 2008. Rahasia sebutir kedelai. http://www.indomedia.com/bpost
/092003/2/ragam/art-1.htm [Januari 2008]
Anonimb.2008. Kedelai (Glycine max L.Merr). http:// www. wikipedia.org.com
[juli 2008]
Baker HJ, Lindsey JR and Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Volume I:
Biology and Diseases. Academic Press: New York dan London.
Brown DJ.2004. Is black cohos a selective estrogen modulator?. Herbal Gram.
61:33-35.
Degen GH, Janning P, Diel P, Michna H, and Bolt HM. 2002. Transplacental
transfer of the phytoestrogen daidzein in DA/Han rats. Arch Toxicol.
76(1):23-9.
Franke AA, and Custer LJ. 1996. Daidzein and genistein concentrations in human
milk after soy consumption. Clin Chem. 42:955-964
Ford JA Jr, Clark Sg, Walters EM, Wheeler MB and Hurley WL. 2006.
Estrogenic effects of genistein on reproductive tissues of ovariectomized
gilts. J Anim Sci. 84:834-842
Ganong

WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. HM Djauhari


Widjajakusumah, editor. Brahman U Pendit, penerjemah. Jakarta: EGC.

Garvita RV. 2005. Efektifitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5,10,15, hari)
tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

37

38

Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati
Setiawan, editor. Jakarta: EGC.
Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelpia: Lea & Febiger.
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga
University Press.
Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, and Henson MC. 1999. Effect of genistein
on steroid hormon production in the pregnant rhesus monkey. Society for
Experimental Biology and Medicine vol 222.
Heinnermen J. 2003. Khasiat Kedelai Bagi Kesehatan Anda. Jakarta: Prestasi
Pustakarya.
Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, and Davise V. 2004. Effects of genistein
or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine
organization in the rat. Exp Biol Med; 229:108117
Ibanez C. and Baulieu EE. 2005. Mechanisms of Action of Sex Steroid Hormones
and Their Analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, Ed. Current
management of the menopause. London: Taylor & Francis.
Jennylen. 2005. Chemical detail of most common phytoestrogens.
http://www3.interscience.wiley.com/phytoestrogen [Desember 2008]
Johnson M, dan Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd edition. London dan
Beccles: William Clowes Limited.
Johnston I . 2003. Phytochem Functional Foods. CRC Press Inc. Hal 66-68.
Kim H, Peterson TG, and Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy
isoflavone genestein: emerging role of its effects through transforming
grwoth factor beta signaling. Am J Clin Nutr. 68:1418S-1425S.
K1ig1er B. 2003. Black Cohosh. American Family Physician : 68(1): 114 - 6.
Lewis RW et al. 2002. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal
development of the rat. Toxicol Sci 71:7483.
Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di
Laboratorium. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi-Institut
Pertanian Bogor.
Marcondes FK, Bianchi FJ, and Tanno AP. 2002. Determination of the estrous
cycle phases of rats: some helpful considerations. Braz J Biol
62(4A):609-614.

38

39

Myers P and Armitage D. 2004. Rattus norvegicus (on-line), animal diversity


web.
Http://animaldiversity.ummz.edu/site/accounts/information/rattus_norveg
icus.html [Agustus 2008]
Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels in feed increase fetal serum estradiol
resulting in the fetal estrogenization syndrome and obesity in cd-1
mice. Environ Health Perspect. 116(3): 322328
Santell RC, Chang YC, Muralee GN and William GH. 1997. Dietary genistein
exerts estrogenic effects upon the uterus, mammary gland and the
hypothalamic/pituitary axis in rats. J Nutr. 127: 263269
Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp
Biol Med 208:5-3
Speroff L and Fritz MA. 2005. Postmenopausal Hormone Therapy. Dalam :
speroff L, Fritz MA, eds. Clinical Gynecologic endocrinology and
infertility 7nd edit. Philadelphia: lippincott Wilianms & Willkins. Hal.
689-777.
Steel RGD dan Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Jakarta: gramedia.
Suttner AM, Danilovich NA, Banz WJ,
and Winters TA. 2005. Soy
Phytoestrogens: effects on ovarian function [Abstract]. Society for the
Study of Reproduction.
Thomson BM. 2005. Human health implications of exposure to xenoestrogens
from food [Tesis]. Chirstchurch New Zealand: University of Canterbury.
Todaka E et al. 2005. Fetal exposure to phytoestrogensThe difference in
phytoestrogen status between mother and fetus. Environmental Research.
99(2):195-203
Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetrict and
Genycology 44(4):836-42
Turner CD dan Bagnara JJ. 1976. Endokrinologi Umum. Harjoso, penerjemah.
Surabaya: Airlangga University Press
Vincenzo R, Bruno M, Matteo F, Elena V, and Cesare C. 2005. Estrogens and
male reproduction. http://www.endotext.org/male/male17/male17.htm#
Exposureexcessestrogensanimals [Agustus 2008].
Waynforth HB and Flecknell PA.1992. Experimental and Surgical Technique in
the Rat. San Diego: Academic Press Inc.

39

40

Widodo J. 2005. Isoflavon, makanan ajaib. http://www.pdpersi.co.id [Agustus


2008]
Wolf. 2005. Fitoestrogens-value and significance during menopause. Dalam:
Fischl FH, penyunting. Menopause andropause. Http.//www.kup.at/cdbuch/8-inhalt.html [Agustus 2008]
Yildiz F . 2005. Phytoestrogens in Functional Foods. Francis: Taylor & Francis
Ltd. Hal 3-5, 210-211
Yoles I et al. 2005. Tofupill/Femarelle (DT56a): a new fito-selective estrogen
receptor modulator-Like substance for the treatment of postmenopausal
bone loss. Pub Med. Http//www.pubmed./ [Januari 2008]

40

41

LAMPIRAN

41

42

Lampiran 1 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap pertambahan bobot badan


anak tikus betina

Lampiran 1.1 Analisa pertambahan bobot badan 4-6 minggu

bunting
dan
menyusui
bunting
menyusui
kontrol
Total

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

134,6801

73,93281

33,06376

42,8804

5
5
6
21

119,6771
35,2752
34,6625
78,8637

59,81342
11,28079
17,59163
64,55984

26,74937
5,04492
7,18175
14,08811

45,4090
21,2683
16,2012
49,4764

Sum of
Squares

df

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Minimum

Maximum

226,4798

54,91

209,33

193,9453
49,2822
53,1238
108,2510

69,30
23,25
15,54
15,54

222,27
48,90
56,27
222,27

Mean Square

Between Groups

45128,292

15042,764

Within Groups

38231,177

17

2248,893

Total

83359,469

20

Sig.

6,689

,003

Lampiran 1.2 Analisa pertambahan bobot badan 6-8 minggu


Std.
Deviation

Std.
Error

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Mean

53,9580

3,53324

1,58012

49,5709

bunting dan
menyusui
bunting

Minimum

Maximum

58,3451

49,00

58,79

49,6780

15,05506

6,73283

30,9847

68,3713

33,36

67,63

menyusui

35,8160

11,45161

5,12132

21,5969

50,0351

28,30

55,65

kontrol

35,3960

17,50971

7,83058

13,6548

57,1372

20,39

55,67

20

43,7120

14,63207

3,27183

36,8640

50,5600

20,39

67,63

Total

Sum of
Squares

df

Mean Square

Between Groups

1360,382

453,461

Within Groups

2707,472

16

169,217

Total

4067,854

19

F
2,680

Sig.
,082

42

43

Lampiran 2 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot ovarium anak


2.1 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 4 minggu

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

,024220

,0058785

,0026290

,016921

N
bunting dan
laktasi
bunting

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Minimum

Maximum

,031519

,0186

,0312

,032520

,0052007

,0023258

,026063

,038977

,0260

,0400

laktasi

,019040

,0027700

,0012388

,015601

,022479

,0172

,0239

kontrol

,015100

,0025436

,0011375

,011942

,018258

,0118

,0186

20

,022720

,0077882

,0017415

,019075

,026365

,0118

,0400

Total

Sum of
Squares
,001

Mean Square
,000

Within Groups

,000

16

,000

Total

,001

19

Between Groups

df

F
14,953

Sig.
,000

2.2 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 6 minggu


N

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

bunting
dan
menyusui
bunting

,038320

,0051412

,0022992

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound
,029936
,042704

,044820

,0042175

,0018861

,039583

menyusui

,024620

,0048920

,0021878

kontrol

,028080

,0025163

Total

20

,032960

,0092967

Sum of
Squares

Minimum

Maximum

,0313

,0441

,050057

,0409

,0513

,018546

,030694

,0201

,0327

,0041253

,022956

,029204

,0238

,0296

,0020788

,028609

,037311

,0201

,0513

df

Mean Square

Between Groups

,001

,000

Within Groups

,000

16

,000

Total

,002

19

24,063

Sig.
,000

43

44

2.3 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 8 minggu


95% Confidence
Interval for Mean
Std.
Std.
Lower
Upper
N
Mean Deviation
Error
Bound
Bound
bunting dan
5 ,06438
,027393 ,012251
,03037
,09839
laktasi
bunting
5 ,04196
,010493 ,004693
,02893
,05499
laktasi
5 ,06280
,009960 ,004454
,05043
,07517
kontrol
Total

Minimum

Maximum

,045

,110

,031

,054

,054

,080

,03358

,004834

,002162

,02758

,03958

,025

,037

20

,05068

,019798

,004427

,04141

,05995

,025

,110

Sum of
Squares
,004

Mean Square
,001

Within Groups

,004

16

,000

Total

,007

19

Between Groups

df

F
4,768

Sig.
,015

Lampiran 3 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot uterus anak


3.1 Analisa bobot Uterus pada tikus umur 4 minggu

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

,034068

,0111590

,0049905

,020212

N
bunting dan
laktasi
bunting

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Minimum

Maximum

,047924

,0227

,0500

,038380

,0159461

,0071313

,018580

,058180

,0208

,0595

laktasi

,016120

,0007155

,0003200

,015232

,017008

,0152

,0171

kontrol

,019400

,0017833

,0007975

,017186

,021614

,0178

,0214

20

,026992

,0131948

,0029504

,020817

,033167

,0152

,0595

Total

Between Groups

Sum of
Squares
,002

df
3

Mean Square
,001
,000

Within Groups

,002

16

Total

,003

19

F
6,198

Sig.
,005

44

45

3.2 Analisa bobot uterus pada tikus umur 6 minggu

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

,051440

,0116234

,0051981

,037008

N
bunting dan
laktasi
bunting

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Minimum

Maximum

,065872

,0402

,0676

,065240

,0044366

,0019841

,059731

,070749

,0601

,0710

laktasi

,024360

,0042864

,0019169

,019038

,029682

,0182

,0300

kontrol

,030200

,0023611

,0010559

,027268

,033132

,0268

,0331

20

,042810

,0179178

,0040065

,034424

,051196

,0182

,0710

Total

Sum of
Squares
,005

Between Groups

df
3

Mean Square
,002
,000

Within Groups

,001

16

Total

,006

19

F
40,171

Sig.
,000

3.3 Analisa bobot uterus pada tikus umur 8 minggu

Mean

Std.
Deviation

Std.
Error

,24742

,201036

,089906

-,00220

N
bunting dan
laktasi
bunting

95% Confidence
Interval for Mean
Lower
Upper
Bound
Bound

Minimum

Maximum

,49704

,077

,580

,13786

,034562

,015457

,09495

,18077

,091

,173

laktasi

,41400

,108074

,048332

,27981

,54819

,330

,560

kontrol

,03978

,007466

,003339

,03051

,04905

,033

,051

20

,20977

,177610

,039715

,12664

,29289

,033

,580

Total

Sum of
Squares

df

Mean Square

Between Groups

,386

,129

Within Groups

,213

16

,013

Total

,599

19

F
9,647

Sig.
,001

45

Anda mungkin juga menyukai