Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberculosis paru sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan


yang masih sulit terpecahkan. Tuberculosis paru masih merupakan suatu ancaman
terutama pada negara-negara yang sedang berkembang. Angka kematian sejak
awal abad ke-20 mulai berkurang sejak diterapkannya prinsip pengobatan dengan
perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita.1
Insidens penyakit tuberculosis dan mortalitas yang disebabkannya
menurun drastis setelah diketemukannya kemoterapi. Tetapi, pada tahun-tahun
terakhir ini penurunan itu tidak terjadi lagi bahkan insidens penyakit ini
cenderung meningkat. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
sosioekonomi, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan (seperti
alkoholisme, tuna wisma, naiknya infeksi HIV/AIDS), dimana peningkatan
insidens lebih nyata pada kelompok minoritas dan pengungsi yang masuk ke
Amerika Serikat dari negara-negara dimana tuberculosis merupakan penyakit
endemik.1
Pada tahun 1986, tercatat 22.786 kasus tuberculosis yang dilaporkan ke
Centers for Disease Control (CDC). Angka ini menunjukkan insidens sebesar
9,4/100.000 penduduk Amerika serikat-suatu kenaikan sebesar 2,6% (tambahan
567 kasus) dibandingkan dengan tahun 1985. Menurut CDC, ini adalah kenaikan
angka kesakitan tuberculosis paling besar sejak 1953 di Amerika Serikat.2
Di Indonesia berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun 1980,
penyakit ini masih tergolong 4 besar. Selain itu diketahui juga bahwa 75%
penderita tuberculosis paru berasal dari golongan tenaga kerja produktif (umur 1560 tahun) dan berasal dari golongan ekonomi lemah. Di negara maju seperti
Amerika Serikat, angka kesakitan yang tercatat pada tahun 1976 sebesar 15,9 dari
100.000 penduduk.2

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini


masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh
dunia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) tahun 2011
mengenai perkiraan kasus TB secara global disebutkan bahwa pada tahun 2010
terdapat insidensi TB sebanyak 8,59,2 juta kasus per tahun,1 sedangkan pada
tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.
Berdasarkan hal tersebutlah maka penanganan TB sangat peru dilakukan
dengan pendekatan kedokteran meyeluruh melalui mekanisme kedokteran
keluarga. Sehingga para penderita TB dapat disembuhkan dan mengurangi
insidensi tertularnya penyakit tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tuberkulosis

adalah

penyakit

yang

disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium tuberculosis.1,2,3,4
B. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency . Laporan WHO tahun
2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di
dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per
100.000 pendduduk, seperti terlihat pada tabel 1.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau
angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti
tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Tabel 1. Perkiraan insidens TB dan angka mortaliti, 2002

Jumlah kasus

Kasus per 100


000 penduduk

(Ribu)

Pembagian daerahSemua
WHO
kasus
(%)
Afrika

Sputum Semua Sputum


positif kasus positif
(%)

Kematian akibat
TB (termasuk
kematian TB pada
penderita HIV)
Jumlah
(Ribu)

Per 100
000
penduduk

2354
(26)

1000

350

149

556

83

Amerika

370 (4)

165

43

19

53

Mediteranian
timur

622 (7)

279

124

55

143

28

Eropa

472 (5)

211

54

24

73

Asia Tenggara

2890
(33)

1294

182

81

625

39

Pasifik Barat

2090
(24)

939

122

55

373

22

Global

8797
(100)

2887

141

63

1823

29

3 di dunia untuk jumlah


Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor

satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.
C. Etiologi
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis ini berbentuk batang
lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora atau tidak berkapsul. Bakteri ini
berukuran panjang 1-4m dan lebar 0,3-0,6 m. Dinding M. Tuberculosis sangat
kompleks terdiri atas lapisan lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama
dinding sel adalah asam mikolat, lilin kompleks, polisakarida, trehalosa dimikolat
dan mycobakterial sulfolipid yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberkolosis bersifat tahan
asam.2,4

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis


D. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Penyebaran tuberkulosis ini terjadi pada penderita yang belum pernah
terinfeksi sebelumnya. Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas
akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni
disebut sarang primer (afek primer). Peradangan akan kelihatan dari sarang primer
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) yang diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfangitis regional). Afek primer
bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer
kompleks primer ini akan mengalami salah satu hal berikut:

a. Sembuh tanpa mengalami cacat sama sekali (restitution ad intergum)


b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
c. Mengalami penyebaran dengan cara:
1) Perkontinuitatum adalah penyebaran di sekitar paru yang terserang kuman
tuberkulosis tersebut .
2) Bronkogen adalah penyebaran baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
3) Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan bias sembuh
secara spontan akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran
ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis
tuberculosis. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan TB pada alat tubuh
lainnya, misalnya tulang, ginjal , alat genitalia dan lain-lain.2
2. Tuberkulosis Post Primer
Tuberkulosis

post

primer

akan

muncul

bertahun-tahun

setelah

tuberculosis primer. Biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB post primer ini
memiliki nama yang bermacam-macam yaitu tuberculosis bentuk dewasa,
localized tuberculosis, TB menahun dan sebagainya. Tuberkulosis ini dimulai
dengan sarang dini yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonia
kecil. Sarang pneumonia ini akan mengikuti salah satu hal berikut:
a) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
b) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebabkan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi
pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang
tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan keju
dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
c) Sarang pneumoni meluas meluas dan membentuk jaringan keju
(jaringan kaseosa).2,5

E. Faktor Risiko Penyakit TB


Faktor risiko adalah suatu determinan yang diperlukan sehingga dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya masalah kesehatan atau penyakit.
Karakteristik tertentu dari golongan penduduk yang mempunyai risiko untuk
terjangkitnya penyakit TB lebih besar bila dibandingkan dengan golongan
lain , faktor risiko tersebut meliputi :
a. Usia
Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada
perbedaan kejadian TB Paru Namun setelah melewati usia pubertas hingga
dewasa terdapat perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB
sebagian besar ( 75%) menyerang kelompok usia produktif, kelompok
ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut juga di temukan
pada penelitian kasus kontak TB yang dilakukan oleh Chandra Wibowo dkk
di RSUP Manado di mana dari 15 orang penderita, 14 orang (93,33%) berusia
produktif (19-55 tahun) dan hanya 1 orang (6,67%) berusia 56 tahun.
(Dinkes 2010).
b. Jenis Kelamin
Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai
usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia
tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia
subur.
Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika
dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB
Paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada jenis
kelamin. Pada wanita prevalensi menyeluruh lebih rendah dan peningkatan
seiring dengan usia adalah kurang tajam di bandingkan dengan pria. Pada
wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang.
Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai
60 tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra Wibowo di RSUP
Manado menemukan bahwa pada laki-laki mendapatkan TB Paru Pada kasus
kontak 0, 36 kali pada perempuan.

Menurut Ismen MD 2000 dalam Chandra Wibowo dkk 2004 bahwa


penelitian di negara maju didapatkan laki-laki memiliki risiko tertular akibat
kontak lebih besar dari pada perempuan. Sebaliknya di negara berkembang
diperkirakan sama, bahkan perempuan sedikit lebih banyak karena berbagai
alasan sosial budaya.
Peran perempuan di sini cukup penting, karena selain merawat penderita
TB Paru di rumah, suka melakukan aktivitas rumah tangga untuk anak, suami
dan anggota keluarga lain sehingga penularan dapat dengan mudah dan cepat
menular ke anggota keluarga lain.
c. Perilaku
Menurut Skiner perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Berdasarkan batasan peilaku dari
Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatau respons seseorang (organisme)
terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit,
sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.
Ada beberapa tori tentang perilaku yaitu :
1) Teori Lawrence Green
Gren mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu
faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3
faktor:
1.

Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam


pegetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling faktor), yang terwujud dalam lingkungan


fisik tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan
sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (reforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2) Teori WHO
Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang
itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 alasan pokok:
1. Pengetahuan
Pengetahuan di peroleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang
lain.
2. Kepercayaan
Kepercayaan sering atau diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek.
Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa
adanya pembuktian terlebih dahulu.
3. Sikap
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek sikap sering
diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
4. Orang penting sebagai referensi
Perilaku orang, lebih-lebih perilaku anak kecil lebih banyak dipengaruhi
oleh orang-orang yang dianggap penting.
5. Sumber-sumber daya (resources)
Sumber daya disini mencakup fasilitas-fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau
kelompok masyarakat.
6. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber di
dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life)
yang pada umumnya disebut kebudayaan.
7. Perubahan (Adopsi) Perilaku atau Indikatornya
Adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif
lama. Secara teori perubahan atau seseorang menerima atau mengadopsi
perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 tahap:
a) Pengetahuan
Dikelompokkan menjadi:
1. pengetahuan tentang sakit dan penyakit.
2. pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan.
3. pengetahuan tentang kesehatan lingkungan
b) Sikap

10

Dikelompokkan menjadi:
1.
2.
3.
c)

sikap terhadap sakit dan penyakit.


sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
sikap terhadap kesehatan lingkungan.
Praktek dan Tindakan
Indikatornya yakni:

1.
2.
3.
d.

tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit


tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
Status Ekonomi
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan
akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan
penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian
terbesar dari seluruh pengeluaran Rumah tangga. Akan tetapi untuk negara
yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk
biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran
non makan lainnya.
Income per kapita sebulan adalah pendapatan rata-rata per bulan dibagi
dengan jumlah tanggungan. Menurut BPS Propinsi Sumatera Barat income

berkapita yaitu :
a) Gakin < Rp. 180.669
b) Non Gakin Rp. 180.669
Menurut Elvina Karyadi (2002) dari SEAMEO-TROPMEND pusat kajian
gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya menyatakan
bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan
penyakit TB Paru. yang disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu
juga kebutuhan akan rumah yang tidak layak, ditambah dengan penghuni
yang ramai dan sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit
terutama penyakit saluran pernafasan seperti penyakit TB Paru. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten Zalmi di Puskesmas Padang Pasir
pada tahun 2008 didapatkan hasil pada keadaan ekonomi miskin kelompok
kasus adalah 75,0% sedangkan pada kelompok kontrol hanya 15,6%.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mery Susanti di

11

Puskesmas Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah tahun 2008 didapatkan


hasil yang ekonomi miskin terkena TB paru sebanyak 87,1% dan 16,1 tidak
TB Paru.
e. Status Gizi
Terjadi hubungan timbal balik antara penyakit infeksi dengan keadaan gizi
kurang. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi, dan keadaan gizi
yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umum terkait
dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan
( Jhon C dkk, 2002)
f. Kondisi Sanitasi Rumah
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar atau pokok manusia yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau tempat hunian yang digunakan untuk
berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya (Menkes, 1999).
Kondisi rumah yang baik penting untuk mewujudkan masyarakat yang
sehat. Rumah dikatakan sehat apabila memenuhi persyaratan empat hal pokok
berikut :
1) Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang
gerak yang cukup dan terhindar dari sebisingan yang mengganggu.
2) Memenuhi kebutuhan Psikologis seperti Privace yang cukup dan
komunikasi yang baik antar penghuni rumah.
3) Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi
penyediaan air bersih,pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,bebas
dari vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang tidak berlebihan,sinar
matahari yang cukup.
4) Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar rumah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar Musadad dkk (2001)
yang melakukan penelitian hubungan faktor lingkungan rumah dengan
kejadian penularan TB Paru di rumah tangga, dari penelitian tersebut kondisi
didapatkan bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti rumah
yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko 3,7 kali dibandingkan
dengan rumah yang dimasuki sinar matahari.

12

1. Kepadatan hunian
Ukuran luas ruangan suatu rumah sangat terkait dengan luas lantai
bangunan rumah, dimana luas lantai bangunan rumah yang sehat harus cukup
untuk penghuni didalamnya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya akan menyebabkan overcrowded. Hal ini tidak sehat,
sebab disamping meyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, jika salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menularkan kepada
anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila
dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota keluarga)
(Soekidjo, 2007).

Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah dinyatakan dengan


m2/orang. Luas minimum perorang sangat relatif, tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimum 10
m2/orang, sehingga untuk satu keluarga yang mempunyai 5 orang anggota
keluarga dibutuhkan luas rumah minimum 50m2, sementara untuk kamar tidur
diperlukan luas lantai minimum 3m2/orang. Dalam hubungan dengan
penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan infeksi
silang ( Cross infektion ). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan
kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara akan lebih
cepat terjadi. (Suryono,2005 ).
2. Ventilasi atau Penghawaan
Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk mendapatkan Ventilasi
atau penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan
luas lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari
luas lantai. Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan.

13

b. Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap dari
sampah atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain lain.
c. Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak
menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya di depan
jendela atau pintu.
3. Jenis lantai
Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai
rumah yang ada di Indonesia bermacam macam tergantung kondisi daerah
dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan
semen sampai kepada pasangan lantai keramik. Dari beberapa jenis lantai
diatas, maka jenis lantai tanah jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat
lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik untuk berkembang
biaknya kuman TB Paru ( Suryono, 2005).
4. Kelembaban Udara
Rumah dinyatakan sehat dan nyaman, apabila suhu udara dan kelembaban
udara ruangan sesuai dengan suhu tubuh manusia normal. Suhu udara dan
kelembaban ruangan sangat dipengaruhi oleh penghawaan dan pencahayaan.
Penghawaan yang kurang atau tidak lancar akan menjadikan ruangan terasa
pengap atau sumpek dan akan menimbulkan kelembaban tinggi dalam
ruangan.
Selanjutnya untuk mengatur suhu udara dan kelembaban suatu ruangan
normal bagi penghuni dalam melakukan kegiatannya, perlu memperhatikan:
keseimbangan penghawaan antara volume udara yang masuk dan keluar,
pencahayaan yang cukup pada ruangan dengan perabotan tidak bergerak dan
menghindari perabotan yang menutupi sebagian besar luas lantai ruangan
(Kepmen Perumahan dan Prasarana Wilayah, 2002).
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar
22 30C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab (Menkes, 1999)

14

Hasil penelitian Jelalu (2008) menunjukkan bahwa 73,7% kejadian


tuberkulosis paru pada orang dewasa di Kabupaten Kupang dipengaruhi oleh
4 variabel, salah satunya adalah kelembaban rumah.
5. Pencahayaan
Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat
kelembaban didalam rumah. Pencahayaan yang kurang akan menyebaban
kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat
berkembang biaknya kuman TBC.
Cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah dalam jumlah cukup
berfungsi untuk memberikan pencahayaan secara alami.,Cahaya matahari
dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen dalam rumah, termasuk basil
tuberkulosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk
cahaya yang cukup yaitu dengan intensitas cahaya minimal 60 lux atau tidak
menyilaukan. Jalan masuk cahaya minimal 15%-20% dari luas lantai yang
terdapat dalam ruangan rumah.
Cahaya matahari dimungkinkan masuk ke dalam rumah melalui jendela
rumah ataupun genteng kaca. Cahaya yang masuk juga harus merupakan sinar
matahari pagi yang mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan
kuman, dan memungkinkan lama menyinari lantai bukannya dinding
(Soekidjo, 2007).
Persyaratan

pencahayaan

rumah

sehat

menurut

Kemenkes

No.

829/Menkes/SK/VII/1999 adalah pencahayaan yang meliputi pencahyaan


alami dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung yang dapat menerangi
seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak
menyilaukan mata. Cahaya efektif dari sinar matahari dapat diperoleh dari
jam 08.00 sampai dengan jam 16.00.
Keadaaan rumah tidak cukup cahaya dan memiliki lantai tanah/semen
retak juga memiliki proporsi tuberkulosis paru yang besar (Badan Litbangkes,
2012).
F. Klasifikasi
1. Tuberkulosis Paru

15

Tuberkulosis Paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tidak


termasuk pleura.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

(BTA) TB paru dapat dibagi

atas2,5:
a. TB Paru BTA Positif yaitu:
1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif
2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.
b. TB Paru BTA Negatif:
1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainanradiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
menunjukkan M. tuberkulosis positif.
Berdasarkan tipe pasien (riwayat pengobatan sebelumnya) TB paru dapat
dibagi atas2,:
a. Kasus baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Kasus kambuh adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB Paru dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif.
c. Kasus defaulted atau drop out
Kasus drop out adalah penderita yang telah menjalani pengobatan 1
bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal

16

Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan.
e. Kasus kronik
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori II dengan
pengawasan yang baik.
f. Kasus bekas TB
-

Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan
lebih mendukung.

Pada kasus yang gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat


pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi.
2. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru (misalnya

selaput otak, kelenjar limfe, pleura, pericardium, persendian, tulang, kulit, usus,
saluran kemih, ginjal, alat kelamin dll). Diagnosis sebaikanya berdasarkan atas
kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi.2,5
G. Penegakkan diagnosis
Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya.2,3,5
1. Gejala klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala local ialah gejala
respiratori (sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratori (gejala lokal)
-

Batuk 2 minggu

Batuk darah

17

Sesak napas

Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi dimulai dari tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronchus belum
terlibat dalam proses penyakit maka mungkin pasien tidak ada gejal batuk. Batuk
yang pertama terjadi akibat iritasi bronchus dan selanjutnya batuk diperlukan
untuk membuang dahak keluar.
b. Gejala sistemik

Demam
-

Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat
badan menurun.

2. Pemeriksaan fisis
Pada tuberculosis paru kelainan yang didapat sesuai dengan luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan atau awal perkembangan penyakit umumnya tidak
(sulit) ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di lobus
superior, terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain
suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah. 2,5

Gambar 2. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior2


3. Pemeriksaan bakteriologi
a. Bahan pemeriksaan

18

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB. Bahan untuk


pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan jaringan
biopsi.2,3,5
b. Cara pengumpulan dahak
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
-

Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

Pagi (keesokan harinya)

Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Atau setiap pagi 3 hari berturut-turut

c. Cara pemeriksaan dahak


Pemeriksaan bakteriologi dari specimen dahak dan bahan lain dapat
dilakukan dengan cara:
1) Mikroskopis
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak 3 kali pemeriksaan ialah:
-

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA Positif

1 kali positif, 2 kali negative ulang BTA 3 kali kemudian bila 1 kali positif,
2 kali negative BTA positif, atau bila 3 kali negative BTA negative

2) Biakan kuman
Biakan dimaksudkan untuk mendapat diagnosis pasti dan dapat
mendeteksi M. Tuberculosis dan Mycobacterium lainnnya.3,4,6
4. Pemeriksaan radiologi
Pmeriksaan standard ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi:
foto lateral, oblik, CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks tuberculosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk. Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif2,4,5:
-

Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
noduler

19

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umunya), bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:


-

Fibrotic

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura.


5. Pemeriksaan penunjang lain2,4,5
1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi
pleura untuk membantu menegakkan diagnosis dimana terdapat sel limfosit yang
dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
- biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
- biopsi pleura
- biopsi jaringan paru
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indicator yang
spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) jam pertama dan jam ke 2 dapat
digunakan sebagai indicator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada
proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan diagnosis
TB. Limfosit pun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulins
Uji tuberculin yang positif menunjukkan ada infeksi TB. Namun uji
tuberculin ini kurang sensitive pada orang dewasa.
H. Penatalaksanaan
1. Pengobatan Suportif/simptomatik
Bila keadaaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat inap pasien dapat
dirawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau simptomatik
untuk mengatasi gejala atau keluhan. Misalnya pemberian vitamin, obat
antipiretik jika ada demam, obat gejala batuk dan sesak napas atau keluhan lain.
Terapi umum yaitu istirahat, stop merokok, hindari polusi.2

20

2. Medikamentosa obat anti TB (OAT)


Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan
fase lanjutan (4 atau 7 bulan). Obat yang dipakai yaitu2,5:
a. Lini 1: INH, rifampisin, pirazinamid, streptomycin dan etambutol
b. Lini 2: kanamicin, amikasin, kuinolon dan lain-lain
Tabel 2. Jenis dan dosis OAT4
Obat

R
H
Z
E
S

Dosis

Dosis

yg Dosis

(mg/kgBB/hr

dianjurkan

maksima

(mg/kgBB/hr

8-12
4-6
20-30
15-20
15-18

)
10
5
25
15
15

(mg)
600
300

Dosis (mg) / kgBB


< 40

1000

40-60

300
150
750
750
Sesuai

> 60

450
300
1000
1000
750

600
450
1500
1500
1000

BB
Tabel 3. Dosis OAT kombinasi dosis tetap
BB

Fase intensif 2 bulan

30-37
38-54
55-70
>71

Fase

lanjutan

Harian

Harian

3x/minggu

bulan
Harian

(RHZE)

(RHZ)

(RHZ)

(RH)

(150/75/400/275

150/75/40

150/150/50

150/75

(RH)

)
2
3
4
5

0
2
3
4
5

0
2
3
4
5

2
3
4
5

150/150
2
3
4
5

3x/mingg

Kategori 1 untuk:
-

Penderita TB paru baru , sputum BTA positif

Penderita TB paru, sputum BTA negatif, rontgen positif dengan kelainan paru
luas

Penderita TB ekstra paru berat

diterapi dengan 2 RHZE/ 4RH atau 2 RHZE/ 6HE atau 2 RHZE/4 R3H3

Kategori 2 untuk:

21

Penderita kambuh

Penderita gagal pengobatan

Penderita putus berobat

Diterapi dengan
o 2RHZES/1 RHZE / 5 RHE
o 2RHZES/1 RHZE / 5 R3H3E3

Kategori 3 untuk:
-

Penderita baru TB paru, sputum BTA negatif, rontgen positif


dengan kelainan paru tidak luas

Penderita TB ekstra paru ringan diterapi dengan:


o 2 RHZE / 4RH
o 6 RHE
o 2 RHZE / 4 R3H3

Kategori 4 untuk:
-

Penderita TB kronik, diterapi dengan RHZES / sesuai uji


resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat Lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)

MDR TB (sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau H seumur


hidup).3,4,6

3. Evaluasi pengobatan
a) Evaluasi klinis
-

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan


selanjutnya setiap bulan

Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit

Evaluasi klinis meliputi keluhan berat badan, pemeriksaan fisis.

b) Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)


-

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu: sebelum


pengobatan dimulai, setelah fase intensif dan pada akhir pengobatan

Bila ada fasiliti biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

c) Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)

22

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan sebelum pengobatan


dimulai, setelah fase intensif dan pada akhir pengobatan

d) Evaluasi efek samping secara klinis


-

Bila mungkin sebaiknya dari awal dilakukan pemeriksaan fungsi hati,


fungsi ginjal dan darah lengkap

Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin; fungsi ginjal: ureum, kreatinin dan
gula darah serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan

Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol


(jika ada keluhan)

e) Evaluasi keteraturan berobat


-

Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan


minum atau tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan mengenai penyakit dan keteraturan berobat

Ketidakteraturan berobat akan menimbulkan masalh resistensi

f) Evaluasi pasien telah sembuh


Kriteria sembuh:
-

BTA mikroskopis 2 kali negatif (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan adekuat

Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan

Bila ada fasiliti biakan, maka criteria ditambah biakan negatif


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi

minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh. Hal ini untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala
setelah dinyatakan sembuh) sedangkan evaluasi foto toraks 6, 12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
I. Komplikasi

23

Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis,


pneumotoraks, gagal napas. Komplikasi TB ekstraparu: pleuritis, efusi pleura,
perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe, kor pulmonale.6
J. Prognosis
Dubia: tergantung derajat berat , kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri,
gizi status imun, komordibitas.6
K. Pencegahan
1. Memisahkan makanan dengan penderita TB Paru
2. Memisahkan alat makan yang dipakai penderita TB Paru
3. Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat batuk
4. Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru
5. Membuka jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam keluarga
6. Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga
7. Tempat khusus yang disediakan untuk pasien TB Paru membuang dahak saat
batuk.2

24

BAB III
KUNJUNGAN RUMAH
Tempat kunjungan rumah

: Wilayah Puskesmas Abeli

Waktu kunjungan

: Senin, 18 Agustus 2014

A. Data Identitas Keluarga Pasien


Nama

: Ny. Aswati

Umur

: 44 Tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Pendidikan

: S.1

Alamat

: Kelurahan Talia, RT 003/ RW001

Suku

: Bungku

Agama

: Islam

Status

: Janda

B. Karakteristik Demografi Keluarga


Susunan keluarga
Penderita tinggal di kelurahan talia, lingkungan rumah penderita cukup
padat. Sejak sakit, penderita tinggal bersama orang tua dan ketiga saudaranya,
kedua anaknya.
Tabel.4 Daftar Anggota Keluarga Serumah
No
.

Nama

1 Tn. Patudalli

Keduduka
n
Keluarga
KK

Sex Umur

2 Ny. Salasiah

Ibu

(tahun)
70
tahun
63
tahun

Pendidika
n
terakhir
SR

Pekerjaan

Ket.

Pensiunan

sehat

SR

Pensiunan

sehat

25

3 Ny. Aswati

Anak

5 Ny. Sarniati

Anak

6 Ny. Herniati

Anak

7 Ny. Asmawati

Cucu

8 An. Ridwan

Cucu

9 By. Rani

Cucu

10 By. Rini

Cucu

44
tahun
30
tahun
26
tahun
25
tahun
9
tahun
2
bulan
2
bulan

S.1

Tidak ada

sakit

D.3

Guru

sehat

D.3

Wiraswasta

sehat

D.3

petugas gizi

sehat

SD

Diagram 1. Genogram keluarga.

= Pasien
C. Anamnesis dan Penatalaksanaan yang telah diberikan
a. Anamnesis
1. Keluhan utama
: Batuk
2. Riwayat penyakit
:
Pasien mengeluh batuk sejak 6 bulan yang lalu, batuk disertai banyak
lendir. Pasien juga mengeluhkan pernah batuk bercampur darah. Keluhan lain
yang juga dialami pasien adalah sesak napas, keringat malam, nafsu makan
berkurang, dan merasakan berat badan menurun. Pada saat merasakan gejalagejala tersebut pasien langsung berobat ke dokter praktek spesialis penyakit
dalam, kemudian disarankan untuk melakukan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan dahak di puskesmas terdekat dan foto thoraks. Kemudian pasien
memutuskan ke Puskesmas Abeli pada pertengahan bulan Maret untuk melakukan
pemeriksaan dahak dengan hasil BTA (+), dan pemeriksaan foto thoraks

sehat
sehat
sehat

26

menunjukkan penyakit TB Aktif. Sekarang pasien telah mengkonsumsi OAT 5


bulan, pasien rutin minum obat dengan pengawas minum obat adalah anak pasien.
3. Riwayat penyakit terdahulu
: Tidak ada
4. Riwayat penyakit keluarga
: Ibu menderita penyakit diabetes mellitus
dan katarak serta ayah pasien menderita penyakit hipertensi.
b. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum
: Baik, tampak kurus
- Kesadaran
: Kompos Mentis
- Tanda Vital :
o TD
: 110/70 mmHg
o N
: 78 x/m
o P
: 18 x/m
o S
: 37 C
Status Generalisata
- Kepala : Normosefalus
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Hidung: Tidak tampak sekret
- Telinga: Kedua telinga tidak tampak sekret
- Leher : Tidak tampak pembesaran KGB regional, kelenjar tiroid tidak
tampak membesar.
- Kulit :Tidak ada kelainan
- Thoraks
o Paru :
Inspeksi: dada simetris kira=kanan, retraksi intercosta (-)
Auskultasi: BP : Bronkovesikuler ; BT : Rh+/- Wh : -/Palpasi: Vocal premitus normal kiri = kanan
Perkusi: sonor kiri=kanan
o Jantung : Bunyi jantung I -II reguler dan tidak terdengar gallop maupun
murmur
- Abdomen : Tampak datar ikut gerak napas, bising usus terdengar normal
- Hepar-lien tidak teraba membesar
- Ekstremitas : Pada kedua ekstremitas tidak tampak edema dan akral hangat
- Tinggi badan : 145 cm
- Berat badan : 34 Kg
- Status gizi : Gizi Kurang ( IMT= 16,17 kg/m2)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan dahak (16 Maret 2014) : BTA (+)
Pemeriksaan foto thoraks : TB Aktif
d. Diagnosis kerja
TB Paru
e. Penatalaksanann

27

Promotif
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit TB Paru,

pentingnya keteraturan minum obat sehingga pasien dapat cepat sembuh, serta
menganjurkan kepada pasien untuk menjalankan pola hidup sehat dengan
mengkonsumsi makanan yang bergizi, melakukan olahraga ringan secara rutin,
dan mengurangi aktivitas yang berat serta sedapat mungkin menghindari stress.
- Preventif
Menjalankan pola hidup bersih dan sehat dengan tidak membuang dahak
disembarang tempat dan menggunakan ember yang sudah diberikan larutan
antiseptic dan diisi air bila ingin membuang dahak serta biasakan selalu membuka
jendela sehingga ada cahaya matahari yang masuk. Memotivasi untuk rutin
minum obat secara teratur. Menutup mulut dengan sapu tangan ketika batuk,
memakai masker, memisahkan alat-alat makanan dengan yang digunakan oleh
orang satu rumah. Menghindari paparan asap rokok baik di rumah maupun di
lingkungan rumah.
- Kuratif
Terapi medikamentaso
Obat OAT kategori 1 : 2RHZE/4H3R3
Terapi non medikamentosa
Menjalankan pola hidup sehat yaitu dengan mengkonsumsi makanan bergizi,
-

olahraga, dan menghindari stress.


Rehabilitatif
Minum obat secara teratur serta memberikan motovasi kepada pasien agar tetap
semangat untuk berobat sampai sembuh.

f. Prognosis
Dubia ad bonam
D. Identifikasi Fungsi-Fungsi Keluarga
1. Fungsi Biologis dan Reproduksi
Berdasarkan hasil wawancara didapatkan informasi bahwa semua anggota
keluarga dalam keadaan sehat kecuali pasien. Penderita adalah seorang janda dan
mempunyai 2 orang anak.
2. Fungsi Psikologis
Pasien mempunyai hubungan yang baik dengan semua anggota keluarga.
Jika ada waktu luang pasien memanfaatkan untuk menonton tv, dan kumpul
bersama keluarga. Tetapi pasien tidak mempunyai hubungan yang baik dengan

28

mantan suaminya. Jika ada masalah pribadi biasanya dibicarakan secara


musyawarah bersama anggota keluarga yang lain
3. Fungsi Pendidikan
Pendidikan terakhir penderita adalah S-1 Ekonomi, saudara-saudara yang
lain juga bersekolah sampai perguruan tinggi.
4. Fungsi Sosial
Penderita tinggal di kawasan yang tidak padat penduduk. Hubungan
dengan tetangga terjalin baik.
5. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Saat ini sumber penghasilan keluarga adalah dari ayah pasien yang
memilik pensiunan dan dari saudara-saudara pasien. Dengan penghasilan tersebut
pemenuhan kebutuhan keluarga pasien sudah terpenuhi. Sebelum sakit pasien
bekerja di suatu swalayan, setelah sakit pasien sudah tidak bekerja.
6. Fungsi Religius
Sebagian anggota keluarga melakukan ibadah di rumah atau di mesjid
dekat dari rumah penderita. Tidak ada ruangan khusus untuk ibadah di rumah.
E. Pola Konsumsi Makan Penderita dan Keluarga
Frekuensi makan penderita dan keluarga teratur yaitu 3 kali sehari.
Makanan di beli di pasar berupa ikan, beras, sayur yang kemudian diolah oleh ibu,
adik, serta anak pasien, terkadang pasien juga mengkonsumsi buahan. Saat ini
pasien makan dengan alat makan terpisah dengan anggota keluarga lain.
F. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Sebelum sakit pasien merupakan seorang pekerja keras, pasien bekerja di
suatu swalayan. Menurut informasi dari pasien, pada waktu tinggal di rumah
lama, pasien memiliki tetangga samping rumah yang merupakan penderita TB.
Dari riwayat penyakit keluarga tidak ada satupun keluarga yang
menderita penyakit TB.
Keluarga pasien merupakan keluarga yang cukup peduli dengan
kesehatan karena setiap merasa sakit mereka membawa anggota keluarganya ke
puskesmas, rumah sakit, bahkan tempat praktek dokter.
G. Identifikasi Lingkungan Rumah
Rumah penderita terletak di permukiman yang padat. Secara umum
rumah terdiri 1 ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi yang terletak

29

diluar. Atap rumah pasien terbuat dari seng berdinding papan, dan berlantai
semen. Rumah pasien terletak di daerah pinggiran laut di kelurahan talia. Secara
umum penerangan tidak memadai, kebersihan dalam rumah cukup dan barangbarang tersusun rapi. Sumber air minum, cuci dan masak dari sumur. Jumlah
kamar mandi 1 yang terletak diluar rumah.
H. Analisis Kasus
Berdasarkan hasil kunjungan rumah pada tanggal 18 Agustus 2014,
didapatkan bahwa pasien merupakan penderita TB Paru yang seudah menjalani
pengobatan 5 bulan. Pasien berusia 44 tahun. Saat sakit pasien tinggal bersama
keluarganya. Secara umum rumah tergolong kurang sehat karena tidak tersedia
ventilasi dan pencahayaan yang cukup, tetapi secara umum rumah tampak bersih
dan rapi. Rumah pasien di lingkungan yang tidak padat penduduk. Secara umum
keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit TB paru.
Sebelum sakit, pasien tinggal bertiga bersama kedua anaknya di rumah
yang menurut pasien cukup sederhana. Pasien juga mengakui kalau tetangga di
rumah lamanya ada yang menderita TB Paru tetapi pasien menyangkal kalau
sering kontak dengan tetangganya tersebut.
Saat ini pasien tinggal dirumah orang tuanya yang cukup padat olehnya
itu sangat perlu dilakukan usaha-usaha untuk menghindari penularan penyakit
tersebut kepada anggota keluarga yang lain. Dengan demikian melalui home visit
pada pasien ini dilakukan beberapa intervensi yaitu edukasi tentang penyakit TB
itu sendiri, cara penularan dan pencegahannya. Memberi tahu kepada keluarga
untuk memisahkan alat makan pasien dengan anggota keluarga lainnya, jika batuk
disarankan untuk selalu menutup mulut, dan tidak membuang dahak disembarang
tempat. Saat ini pasien sudah menjalani pengobatan OAT selama 5 bulan.
Selama 5 bulan pasien minum obat secara teratur dan tidak pernah putus obat.
Selama mengkonsumsi obat selama 5 bulan keadaan pasien cukup membaik dan
merasakan gejala penyakit TB sudah mulai berkurang. Selain itu, sangatlah perlu
disampaikan kepada keluarga untuk tetap mendukung dan memotivasi pasien
untuk menyelesaikan pengobatan 6 bulan dan kembali melakukan pemeriksaan
dahak untuk memastikan kesembuhan pasien.

30

BAB IV
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis.
2. Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.
3. Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan
kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien.
4. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak
sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi
juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang
terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
5. Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip OAT harus
diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. 2007
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberculosis [Serial online] [cited 2014 August 18]. Available
from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
3. Asmono, N. TB Paru. [Serial online] [cited 2014 August 18]. Available from

http://id.scribd.com/doc/130533234/51493208-Referat-TB-Paru
4. Amin J, Bahar, A. Tuberculosis Paru. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI. 2006
5. CIM. Tuberkulosis. Jakarta: PT medinfocomm Indonesia. 2010
6. Soegondo, dkk. Panduan pelayanan medik. Jakarta: PAPDI. 2010

32

LAMPIRAN

Dokumentasi 1. Anamnesa Pasien

Dokumentasi 2. Ruang tamu

33

Dokumentasi 3. Kamar tidur beberapa anggota keluarga

Dokumentasi 4. Dapur

34

Dokumentasi 5. Tempat penampungan air

Anda mungkin juga menyukai