Anda di halaman 1dari 16

TITIK MEILASARI

STEP 7
6. Farmakologi
a. Obat Bronkodilator

b. Obat Antihistamin
OBAT RESPIRASI DAN ANTIHISTAMIN
Penggunaan Salbutalamol pada asma Asma adalah penyakit yang disebabkan karena
adanya inflamasi (peradangan) kronis pada saluran pernafasan, yang belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma
antara lain adalah: infeksi saluran pernafasan, alergen (debu, bulu hewan, serbuk sari,
dll), kondisi lingkungan (udara dingin, asap rokok), stress, olahraga berat, obat
(aspirin, NSAIDs, -blocker). Adanya peradangan membuat saluran pernafasan
menjadi sangat sensitif terhadap rangsangan dan mudah mengalami penyempitan.
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif.
Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk
membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah
timbulnya exercise-induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat

olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak beredar di pasaran dengan berbagai merk
dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal, Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin,
Venasma, Volmax, dll. Selain itu, salbutamol juga telah tersedia dalam berbagai
bentuk sediaan mulai dari sediaan oral (tablet, sirup, kapsul), inhalasi aerosol, inhalasi
cair sampai injeksi. Adapun dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
Sediaan oral

Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari


kali sehari

Dewasa

: 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1

kali minum sebesar 8 mg


sensitif sebesar 2 mg

Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4

Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang


Inhalasi aerosol Anak

: 100 mcg (1 hisapan) dan dapat

dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila perlu. Dewasa : 100-200 mcg (1-2
hisapan), 3-4 kali sehari

Inhalasi cair Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg

diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu. Catatan : manfaat terapi ini pada
anak < 18 bulan masih diragukan.
500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

Injeksi subkutan atau intramuscular Dosis :


Injeksi intravena lambat Dosis : 250 mcg,

diulang bila perlu Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk
mengatasi asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi
penyempitan saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup dan
kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat menggunakan cara inhalasi.
Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi
aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang
ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan
ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada
dosis yang dianjurkan, efeknya

mampu bertahan selama 3-5 jam. Beberapa

keuntungan penggunaan salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol, antara lain: v


Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung
masuk ke saluran nafas. v

Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat

yang dibutuhkan lebih kecil jika dibandingkan dengan sediaan oral. v

Efek

samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang
digunakan juga lebih kecil. Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga
memiliki kelemahan yaitu ada kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi
sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas menjadi lebih sedikit dari dosis yang
seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa
digunakan alat yang disebut spacer (penghubung ujung alat dengan mulut). Cara

menggunakan inhalasi aerosol yang benar adalah dengan menghisapnya secara


perlahan dan menahan nafas selama 10 detik sesudahnya. Kontraindikasi dari obat ini
adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap salbutamol maupun salah satu
bahan yang terkandung di dalamnya. Efek samping yang mungkin timbul karena
pamakaian salbutamol, antara lain : gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing,
sakit kepala, kejang, insomnia) : nyeri dada, mual, muntah, diare, anorexia, mulut
kering, iritasi tenggorokan, batuk, gatal, dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk
penderita asma yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme,
diabetes mellitus, gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi,
perlu adanya pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa
memperparah keadaan dan meningkatkan resiko efek samping.

Beberapa hal

penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol untuk mengatasi asma,
adalah sebagai berikut: v

Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki

riwayat alergi terhadap salbutamol atau bahan-bahan lain yang terkandung di


dalamnya. v

Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam

sesudah makan. v

Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun

mengunyahnya. v

Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan

buang 4 semprotan pertama jika menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah
tidak terpakai selama lebih dari 2 minggu. v

Sebaiknya berkumur setiap kali

sehabis mengkonsumsi salbutamol supaya tenggorokan dan mulut tidak kering. v


Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka beri jarak waktu
minimal 1 menit untuk setiap hisapan. v

Simpan obat pada suhu kamar agar stabil

(aerosol: 15-25o C; inhalasi cair: 2-25o C dan sirup: 2-30o C) v

Jika ada dosis

yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat. Namun jika waktu yang ada
hampir mendekati waktu pengonsumsian selanjutnya, lewati pengonsumsian yang
tertinggal kemudian lanjutkan mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah
mengkonsumsi 2 dosis dalam sekali pemakaian. v

Obat-obat golongan beta

blocker, seperti: propanolol, metoprolol, atenolol, dll bisa menurunkan efek


salbutamol.
kortikosteroid

Penggunaan
dosis

tinggi

salbutamol

akan

dosis

tinggi

bersamaan

dengan

meningkatkan

resiko

hipokalemia.

Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan resiko
hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi pula. v
Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor (misal:
isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari pemakaian

obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah konsumsi


salbutamol.

Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka

panjang sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara


terus-menerus untuk melihat apakah obat yang diberikan cocok atau tidak. Ada
kalanya asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu macam obat saja, sehingga perlu
penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan akan salah satu jenis
obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang tentu saja
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. B.

Antihistamin (AH 1)

Anti histamin yang digunakan sebagai anti alergi adalah golongan antagonis reseptor
H1 atau AH1. Secara farmakodinamik, AH1 dapat menghambat efek histamin pada
pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot polos. AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin
endogen berlebihan. Bronkokonstriksi, peninggian permeabilitas kapiler dan edema
akibat histamin dapat dihambat dengan baik. Cara kerja obat antihistamin Histamin
sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan
gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala
alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan
reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan
memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh
antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya
reaksi alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel
endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna,
saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna
dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos
bronkus. Di kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur
pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan dalam menimbulkan gatal dan
inflamasi masih belum jelas. Macam-macam antihistamin
menjadi 2,yaitu : 1.

Antihistamin dibagi

Generasi 1 Obat generasi pertama merupakan obat yang dapat

bekerja baik secara perifer maupun sentral. Efek antikolinergiknya lebih besar
dibandingkan dengan agen nonsedatif. Penghambatan SSP akibat AH1 dapat
bermanifestasi sebagai gejala mengantuk, maupun kewaspadaan turun. Contohnya
adalah

difenhidramin

(Benadryl),

chlorpheniramine

(Chlor-Trimeton),

Ethylenediamines, piperazin, phenothiazines, piperadines. 2.

Generasi 2 Obat

generasi 2 merupakan anti histamin non sedatif yang dikembangkan untuk

mengeliminasi efek samping sedasi dari obat generasi pertama. Obat ini berukuran
besar dan tidak bersifat lipofilik sehingga tidak bisa menembus BBB. Dengan begitu,
efek ke sistem saraf pusatnya lebih kecil. Dibandingkan generasi 1, obat ini memiliki
durasi kerja yang lebih lama dan memiliki spesifisitas reseptor H1 dan atau H2 untuk
menekan efek histamin. Contohnya adalah fexofenadine dan loratidine. Indikasi
Indikasi pemberian AH1 adalah untuk pengobatan simpatomimatik berbagai alergi
dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Efek samping Efek samping yang
disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada dosis terapi meskipun jarang
yang bersifat serius dan bisa hilang bila pengobatan diteruskan. Toleransi individu
juga bisa berbeda-beda terhadap munculnya efek samping. Efek tersering adalah
sedasi, yang kadang justru berguna supaya pasien dapat beristirahat. Pengurangan
dosis atau penggunaan AH1 jenis lain ternyata dapat mengurangi efek sedasi ini. Efek
samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor.
Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping tersebut dapat
berkurang apabila diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu
antihistamin non sedatif, lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan bertambahnya nafsu
makan dan berat badan. Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah
mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada
tangan. Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien
yang

mendapatkan

c. Obat Infeksi

Erythromycin (Eritromisin)

Sediaan:
Tablet 500 mg
Kapsul 250 mg

antihistamin

nonsedatif.

Sirup 200 mg

Komposisi:
-

Tiap tablet Erythromycin mengandung eritromisin etilsuksinat setara dengan eritromisin 500
mg

Tiap kapsul Erythromycin mengandung eritromisin stearat setara dengan eritromisin 250 mg

Tiap 5 ml sirup / suspensi mengandung eritromisin etilsuksinat setara dengan eritromisin


200 mg

Cara Kerja Obat:


Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteri, bersifat bakteriostatik atau bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya
dalam darah. Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang
menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A, Enterococcus, C.
diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap kuman gram-negatif seperti Neisseria,
H. influenzae, B. pertusis, Brucella juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae.
Resistensi silang dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.

Indikasi:
-

Infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri,
seperti: tonsilitis, abses peritonsiler, faringitis, laringitis, sinusitis, bronkitis akut dan kronis,
pneumonia, dan bronkiektasis

Infeksi telinga seperti otitis media dan eksternal, dan mastoiditis

Infeksi pada mulut

Infeksi mata

Infeksi kulit dan jaringan lunak

Infeksi saluran pencernaan

Infeksi lainnya: osteomielitis, uretritis, GO, sifilis, limfagranuloma venerum, difteri, dan
prostatitis

Kontraindikasi :

Hipersensitif terhadap eritromisin, penyakit hati, porfiria

Dosis:
-

Dewasa :
250 mg 4 x sehari, atau 500 mg 2 x sehari (maksimal 4 gr untuk ingeksi berat)

Anak:
30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (maksimal 60-100 mg/kgBB/hari untuk infeksi
berat)

Peringatan dan Perhatian :


-

Hati-hati penggunaan eritromisin pada penderita gangguan fungsi hati dengan atau tanpa
penyakit kuning dan penderita ginjal.
Pengobatan eritromisin jangka panjang dapat menimbulkan resistensi kuman.
Hati-hati pemberian eritromisin pada wanita hamil dan menyusui. Eritromisin dapat
menembus barier plasenta, karena itu pemberian pada wanita hamil hanya bila benar-benar
diperlukan.

Efek Samping :
-

Efek samping yang umum terjadi adalah gangguan saluran pencernaan seperti nyeri
epigastrik, mual, muntah, dan diare.
Kadang-kadang terjadi anafilaksis, dan nefritis interstisial.
Kadang-kadang terjadi gangguan pendengaran jika digunakan dalam dosis besar atau pada
gangguan fungsi ginjal atau pada pasien usia lanjut.
Reaksi hipersensitif termasuk ruam kulit, demam obat dan eosinofilia.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.

6. Farmakologi
a. Obat Bronkodilator

b. Obat Antihistamin
OBAT RESPIRASI DAN ANTIHISTAMIN
Penggunaan Salbutalamol pada asma Asma adalah penyakit yang disebabkan karena
adanya inflamasi (peradangan) kronis pada saluran pernafasan, yang belum diketahui
secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma
antara lain adalah: infeksi saluran pernafasan, alergen (debu, bulu hewan, serbuk sari,
dll), kondisi lingkungan (udara dingin, asap rokok), stress, olahraga berat, obat
(aspirin, NSAIDs, -blocker). Adanya peradangan membuat saluran pernafasan
menjadi sangat sensitif terhadap rangsangan dan mudah mengalami penyempitan.
Salbutamol merupakan salah satu bronkodilator yang paling aman dan paling efektif.
Tidak salah jika obat ini banyak digunakan untuk pengobatan asma. Selain untuk
membuka saluran pernafasan yang menyempit, obat ini juga efektif untuk mencegah
timbulnya exercise-induced broncospasm (penyempitan saluran pernafasan akibat
olahraga). Saat ini, salbutamol telah banyak beredar di pasaran dengan berbagai merk
dagang, antara lain: Asmacare, Bronchosal, Buventol Easyhaler, Glisend, Ventolin,
Venasma, Volmax, dll. Selain itu, salbutamol juga telah tersedia dalam berbagai
bentuk sediaan mulai dari sediaan oral (tablet, sirup, kapsul), inhalasi aerosol, inhalasi

cair sampai injeksi. Adapun dosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
Sediaan oral

Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari

Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari


kali sehari

Dewasa

: 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1

kali minum sebesar 8 mg


sensitif sebesar 2 mg

Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4

Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang


Inhalasi aerosol Anak

: 100 mcg (1 hisapan) dan dapat

dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila perlu. Dewasa : 100-200 mcg (1-2
hisapan), 3-4 kali sehari

Inhalasi cair Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg

diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu. Catatan : manfaat terapi ini pada
anak < 18 bulan masih diragukan.
500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu

Injeksi subkutan atau intramuscular Dosis :


Injeksi intravena lambat Dosis : 250 mcg,

diulang bila perlu Sediaan inhalasi cair banyak digunakan di rumah sakit untuk
mengatasi asma akut yang berat, sedangkan injeksi digunakan untuk mengatasi
penyempitan saluran nafas yang berat. Bentuk sediaan lain, seperti tablet, sirup dan
kapsul digunakan untuk penderita asma yang tidak dapat menggunakan cara inhalasi.
Dari berbagai bentuk sediaan yang ada, pemberian salbutamol dalam bentuk inhalasi
aerosol cenderung lebih disukai karena selain efeknya yang cepat, efek samping yang
ditimbulkan lebih kecil jika dibandingkan sediaan oral seperti tablet. Bentuk sediaan
ini cukup efektif untuk mengatasi serangan asma ringan sampai sedang, dan pada
dosis yang dianjurkan, efeknya

mampu bertahan selama 3-5 jam. Beberapa

keuntungan penggunaan salbutamol dalam bentuk inhalasi aerosol, antara lain: v


Efek obat akan lebih cepat terasa karena obat yang disemprotkan/dihisap langsung
masuk ke saluran nafas. v

Karena langsung masuk ke saluran nafas, dosis obat

yang dibutuhkan lebih kecil jika dibandingkan dengan sediaan oral. v

Efek

samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan sediaan oral karena dosis yang
digunakan juga lebih kecil. Namun demikian, penggunaan inhalasi aerosol ini juga
memiliki kelemahan yaitu ada kemungkinan obat tertinggal di mulut dan gigi
sehingga dosis obat yang masuk ke saluran nafas menjadi lebih sedikit dari dosis yang
seharusnya. Untuk memperbaiki penyampaian obat ke saluran nafas, maka bisa
digunakan alat yang disebut spacer (penghubung ujung alat dengan mulut). Cara
menggunakan inhalasi aerosol yang benar adalah dengan menghisapnya secara
perlahan dan menahan nafas selama 10 detik sesudahnya. Kontraindikasi dari obat ini
adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap salbutamol maupun salah satu
bahan yang terkandung di dalamnya. Efek samping yang mungkin timbul karena

pamakaian salbutamol, antara lain : gangguan sistem saraf (gelisah, gemetar, pusing,
sakit kepala, kejang, insomnia) : nyeri dada, mual, muntah, diare, anorexia, mulut
kering, iritasi tenggorokan, batuk, gatal, dan ruam pada kulit (skin rush). Untuk
penderita asma yang disertai dengan penyakit lainnya seperti: hipertiroidisme,
diabetes mellitus, gangguan jantung termasuk insufisiensi miokard maupun hipertensi,
perlu adanya pengawasan yang lebih ketat karena penggunaan salbutamol bisa
memperparah keadaan dan meningkatkan resiko efek samping.

Beberapa hal

penting yang perlu diketahui oleh para pengguna salbutamol untuk mengatasi asma,
adalah sebagai berikut: v

Sebaiknya tidak menggunakan obat ini jika memiliki

riwayat alergi terhadap salbutamol atau bahan-bahan lain yang terkandung di


dalamnya. v

Untuk sediaan oral, sebaiknya diminum 1 jam sebelum atau 2 jam

sesudah makan. v

Telan tablet salbutamol dan jangan memecah maupun

mengunyahnya. v

Untuk sediaan inhalasi, kocok dulu sebelum digunakan dan

buang 4 semprotan pertama jika menggunakan inhaler baru atau inhaler yang sudah
tidak terpakai selama lebih dari 2 minggu. v

Sebaiknya berkumur setiap kali

sehabis mengkonsumsi salbutamol supaya tenggorokan dan mulut tidak kering. v


Jika dibutuhkan lebih dari 1 hisapan dalam sekali pemakaian, maka beri jarak waktu
minimal 1 menit untuk setiap hisapan. v

Simpan obat pada suhu kamar agar stabil

(aerosol: 15-25o C; inhalasi cair: 2-25o C dan sirup: 2-30o C) v

Jika ada dosis

yang terlewat, segera minum salbutamol yang terlewat. Namun jika waktu yang ada
hampir mendekati waktu pengonsumsian selanjutnya, lewati pengonsumsian yang
tertinggal kemudian lanjutkan mengkonsumsi salbutamol seperti biasa. Jangan pernah
mengkonsumsi 2 dosis dalam sekali pemakaian. v

Obat-obat golongan beta

blocker, seperti: propanolol, metoprolol, atenolol, dll bisa menurunkan efek


salbutamol.
kortikosteroid

Penggunaan
dosis

tinggi

salbutamol

akan

dosis

tinggi

bersamaan

dengan

meningkatkan

resiko

hipokalemia.

Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan resiko
hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi pula. v
Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor (misal:
isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius. Hindari pemakaian
obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah konsumsi
salbutamol.

Asma merupakan penyakit yang membutuhkan terapi jangka

panjang sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap perkembangannya secara


terus-menerus untuk melihat apakah obat yang diberikan cocok atau tidak. Ada

kalanya asma tidak cukup diatasi hanya dengan satu macam obat saja, sehingga perlu
penambahan obat (kombinasi obat). Maka dari itu, pengetahuan akan salah satu jenis
obat saja tidak cukup karena masih banyak obat selain salbutamol yang tentu saja
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. B.

Antihistamin (AH 1)

Anti histamin yang digunakan sebagai anti alergi adalah golongan antagonis reseptor
H1 atau AH1. Secara farmakodinamik, AH1 dapat menghambat efek histamin pada
pembuluh darah, bronkus dan bermacam otot polos. AH1 bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin
endogen berlebihan. Bronkokonstriksi, peninggian permeabilitas kapiler dan edema
akibat histamin dapat dihambat dengan baik. Cara kerja obat antihistamin Histamin
sudah lama dikenal karena merupakan mediator utama timbulnya peradangan dan
gejala alergi. Mekanisme kerja obat antihistamin dalam menghilangkan gejala-gejala
alergi berlangsung melalui kompetisi dengan menghambat histamin berikatan dengan
reseptor H1 atau H2 di organ sasaran. Histamin yang kadarnya tinggi akan
memunculkan lebih banyak reseptor H1. Reseptor yang baru tersebut akan diisi oleh
antihistamin. Peristiwa molekular ini akan mencegah untuk sementara timbulnya
reaksi alergi. Reseptor H1 diketahui terdapat di otak, retina, medula adrenal, hati, sel
endotel, pembuluh darah otak, limfosit, otot polos saluran nafas, saluran cerna,
saluran genitourinarius dan jaringan vaskular. Reseptor H2 terdapat di saluran cerna
dan dalam jantung. Sedangkan reseptor H3 terdapat di korteks serebri dan otot polos
bronkus. Di kulit juga terdapat reseptor H3 yang merupakan autoreseptor, mengatur
pelepasan dan sintesis histamin. Namun, peranan dalam menimbulkan gatal dan
inflamasi masih belum jelas. Macam-macam antihistamin
menjadi 2,yaitu : 1.

Antihistamin dibagi

Generasi 1 Obat generasi pertama merupakan obat yang dapat

bekerja baik secara perifer maupun sentral. Efek antikolinergiknya lebih besar
dibandingkan dengan agen nonsedatif. Penghambatan SSP akibat AH1 dapat
bermanifestasi sebagai gejala mengantuk, maupun kewaspadaan turun. Contohnya
adalah

difenhidramin

(Benadryl),

chlorpheniramine

(Chlor-Trimeton),

Ethylenediamines, piperazin, phenothiazines, piperadines. 2.

Generasi 2 Obat

generasi 2 merupakan anti histamin non sedatif yang dikembangkan untuk


mengeliminasi efek samping sedasi dari obat generasi pertama. Obat ini berukuran
besar dan tidak bersifat lipofilik sehingga tidak bisa menembus BBB. Dengan begitu,
efek ke sistem saraf pusatnya lebih kecil. Dibandingkan generasi 1, obat ini memiliki
durasi kerja yang lebih lama dan memiliki spesifisitas reseptor H1 dan atau H2 untuk

menekan efek histamin. Contohnya adalah fexofenadine dan loratidine. Indikasi


Indikasi pemberian AH1 adalah untuk pengobatan simpatomimatik berbagai alergi
dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan. Efek samping Efek samping yang
disebabkan oleh penggunaan AH1 dapat muncul pada dosis terapi meskipun jarang
yang bersifat serius dan bisa hilang bila pengobatan diteruskan. Toleransi individu
juga bisa berbeda-beda terhadap munculnya efek samping. Efek tersering adalah
sedasi, yang kadang justru berguna supaya pasien dapat beristirahat. Pengurangan
dosis atau penggunaan AH1 jenis lain ternyata dapat mengurangi efek sedasi ini. Efek
samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 adalah vertigo, tinitus, lelah,
penat, inkordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euforia, gelisah, insomnia, dan tremor.
Efek samping lain yang sering muncul adalah nafsu makan berkurang, mual, muntah,
keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare. Efek samping tersebut dapat
berkurang apabila diberikan sewaktu makan. Penggunaan astemizol, suatu
antihistamin non sedatif, lebih dari 2 minggu dapat menyebabkan bertambahnya nafsu
makan dan berat badan. Efek samping lain yang mungkin muncul oleh AH1 adalah
mulut kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, dan lemah pada
tangan. Insiden efek samping karena efek antikolinergik lebih sedikit pada pasien
yang

mendapatkan

c. Obat Infeksi

Erythromycin (Eritromisin)

Sediaan:
Tablet 500 mg
Kapsul 250 mg
Sirup 200 mg

Komposisi:

antihistamin

nonsedatif.

Tiap tablet Erythromycin mengandung eritromisin etilsuksinat setara dengan eritromisin 500
mg

Tiap kapsul Erythromycin mengandung eritromisin stearat setara dengan eritromisin 250 mg

Tiap 5 ml sirup / suspensi mengandung eritromisin etilsuksinat setara dengan eritromisin


200 mg

Cara Kerja Obat:


Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja dengan menghambat sintesis protein
bakteri, bersifat bakteriostatik atau bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya
dalam darah. Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang
menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A, Enterococcus, C.
diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap kuman gram-negatif seperti Neisseria,
H. influenzae, B. pertusis, Brucella juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae.
Resistensi silang dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.

Indikasi:
-

Infeksi saluran pernapasan bagian atas dan bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri,
seperti: tonsilitis, abses peritonsiler, faringitis, laringitis, sinusitis, bronkitis akut dan kronis,
pneumonia, dan bronkiektasis

Infeksi telinga seperti otitis media dan eksternal, dan mastoiditis

Infeksi pada mulut

Infeksi mata

Infeksi kulit dan jaringan lunak

Infeksi saluran pencernaan

Infeksi lainnya: osteomielitis, uretritis, GO, sifilis, limfagranuloma venerum, difteri, dan
prostatitis

Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap eritromisin, penyakit hati, porfiria

Dosis:

Dewasa :
250 mg 4 x sehari, atau 500 mg 2 x sehari (maksimal 4 gr untuk ingeksi berat)

Anak:
30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis (maksimal 60-100 mg/kgBB/hari untuk infeksi
berat)

Peringatan dan Perhatian :


-

Hati-hati penggunaan eritromisin pada penderita gangguan fungsi hati dengan atau tanpa
penyakit kuning dan penderita ginjal.
Pengobatan eritromisin jangka panjang dapat menimbulkan resistensi kuman.
Hati-hati pemberian eritromisin pada wanita hamil dan menyusui. Eritromisin dapat
menembus barier plasenta, karena itu pemberian pada wanita hamil hanya bila benar-benar
diperlukan.

Efek Samping :
-

Efek samping yang umum terjadi adalah gangguan saluran pencernaan seperti nyeri
epigastrik, mual, muntah, dan diare.
Kadang-kadang terjadi anafilaksis, dan nefritis interstisial.
Kadang-kadang terjadi gangguan pendengaran jika digunakan dalam dosis besar atau pada
gangguan fungsi ginjal atau pada pasien usia lanjut.
Reaksi hipersensitif termasuk ruam kulit, demam obat dan eosinofilia.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta: Bagian Farmakologi

Anda mungkin juga menyukai