Anda di halaman 1dari 49

BAB I.

PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia
sebagai wujud dari cinta kasih manusia. Anak juga merupakan suatu kebanggan
bagi orangtua. Semua orangtua menginginkan anaknya lahir dengan sehat dan
normal. Tapi ketika mereka mengetahui bahwa ada kekurangan pada anaknya,
anugerah ini akan berubah menjadi suatu masalah, sesungguhnya mereka tidak
mengetahui apa yang sudah Tuhan tuliskan untuk mereka, dan dibalik anugerah
yang mereka anggap masalah ini tersimpan suatu hikmah yang besar.
Autis merupakan salah satu hal yang ditakutkan oleh orangtua. Tanpa kita
sadari, autis telah menjadi masalah yang banyak dialami oleh keluarga diseluruh
dunia. Autis terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita
laki-laki 4 kali lebih besar dibandingkan penderita wanita. Namun bila kaum
wanita mengalaminya, maka penderitaannya akan lebih parah dibandingkan kaum
pria (Maulana, 2007).
Banyak orangtua yang menganggap autis merupakan suatu bencana
bahkan

kutukan

bagi

keluarganya.

Autis

merupakan

suatu

gangguan

perkembangan pervasive. Sebagian besar penderita autis, yakni sekitar 75 persen


termasuk dalam kategori keterlambatan mental. Tetapi sejumlah 10 persen dari
mereka malah dapat digolongkan sebagai orang jenius. Pada anak autis yang
mempunyai inteligensia tinggi, biasa disebut sebagai Asperger . Kelompok ini
adalah kelompok autisme yang mempunyai perkembangan fungsi yang tinggi
yang kemudian disebut High Function. Orang-orang semacam ini memiliki
kemampuan luar biasa dalam berhitung, musik atau seni (Maulana, 2007).
Banyak penyandang autis yang dapat hidup dengan baik di lingkungannya,
bahkan penyandang autis dapat menjadi seseorang yang penting, seperti Oscar
Yura Dompas (28 tahun), beliau adalah Ikon Autis Indonesia pada 2005, alumnus
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Atmajaya
Jakarta, saat ini dia telah mengeluarkan dua buah buku yang berjudul Autistic
Journey, sebuah tulisan esai berbahasa Inggris tentang pengalaman menjalani
autis dalam kehidupan sehari-hari, dan buku Menaklukkan Autis (Andriyos,
2008). Selain Oscar, Osi, seorang penyandang autis berusia 18 tahun, mampu

menggambar dengan sangat baik, dengan warna-warna yang memikat, dan sangat
realis (Mariana, 2006). Teman Osi, Opik, adalah sesama penyandang autisme juga
memamerkan karya-karya, tak kalah dengan karya Osi yang puluhan banyaknya.
Anak autis sama seperti anak-anak yang lain, mereka juga membutuhkan
bimbingan dan dukungan yang lebih dari orangtua dan lingkungan untuk dapat
tumbuh dan berkembang (Danuatmaja, 2003).
Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri, jadi penyandang autis
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003). Istilah autis pertama
kali diungkapkan oleh Leo Kanner (cit Widihastuti, 2007)

seorang dokter

kesehatan jiwa anak pada tahun 1943. Dia menggambarkan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ekolali, mutism, pembalikan
kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan
yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya (Widihastuti, 2007).
Selain diagnosis autis, menurut dr. Sutadi (1998) terdapat juga
pengklasifikasian berat-ringannya autis dengan menggunakan CARS (Childhood
Autisme Rating Scale). Untuk keperluan ilmiah, klasifikasi ini bermanfaat (Yusuf,
2003).
CARS sering digunakan dalam kepentingan klinik sebagai dasar dalam
melakukan pengamatan pada anak autis. CARS ini dikembangkan oleh Eric
Schopler, Robert J. Reichier dan Barbara Rochen Renner tahun 1988 (Rao, 2007).
CARS ini terdiri dari 4 tingkatan, yaitu bukan autis, autis ringan, autis sedang, dan
autis berat. Ada 15 poin yang terdapat dalam CARS.
Telah dikatakan diatas bahwa autis adalah sesuatu yang ditakutkan oleh
orang tua. Seorang anak yang mengalami autis tentu saja akan menyebabkan suatu
kekhawatiran tersendiri untuk keluarganya, terutama ibu. Kecemasan yang
mendalam dapat dialami ibu, terutama bila ia berfikir tentang masa depan
anaknya.
Tapi kecemasan yang dialami setiap ibu belum tentu sama. Mungkin ada
ibu yang dengan lapang dada menerima anaknya apa adanya dan mendidik
2

anaknya dengan lebih baik sehingga anak itu dapat diterima di masyarakat seperti
Oscar, Osi dan Opik. Namun tidak jarang juga seorang ibu yang tidak terima
dengan keadaan anaknya dan tidak merawat anaknya.
Kecemasan

bukanlah

suatu

penyakit

namun

merupakan

suatu

kekhawatiran yang berlebihan. Kecemasan dapat dipicu dari faktor lingkungan


yang diantaranya adalah memiliki anak yang mengalami kekurangan. Faktor ini
akan menyebabkan kecemasan psikososial pada keluarga khususnya pada seorang
ibu.
Kecemasan yang dirasakan seorang ibu dapat disebabkan sukarnya anak
tersebut untuk berinteraksi dengan lingkungannya dan orang lain serta ketakutan
ibu akan kemungkinan anaknya yang tidak bisa sembuh dan akan terus menjadi
seperti itu.
Kecemasan juga di klasifikasikan menjadi 3 tingkatan, yaitu kecemasan
ringan, kecemasan sedang dan kecemasan berat. Uji kecemasan ini akan
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berisikan 50 item (Martaniah,
1994).
Apakah kecemasan ibu ini juga dipengaruhi oleh tingkatan autis anaknya.
Oleh karena itulah penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang tingkatan
autis ini berdasarkan CARS serta hubungannya dengan tingkat kecemasan yang
dialami ibu.
1.2.
Perumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara klasifikasi anak autis berdasarkan CARS
dengan tingkat kecemasan yang dialami ibu.

1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum :
1. Untuk mengetahui klasifikasi anak autis berdasarkan CARS di SLB Bina
Anggita.
2. Untuk mengetahui tingkat kecemasan ibu di SLB Bina Anggita.
3

3. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu di SLB Bina Anggita


1.3.2 Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara klasifikasi anak autis
dengan tingkat kecemasan ibu.
2. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan
ibu tentang autis dengan tingkat kecemasan ibu.
1.4.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain :


1. Menambah pengetahuan tentang autis dan kecemasan.
2. Memberikan gambaran kepada pihak pengelola SLB mengenai klasifikasi
autis berdasarkan CARS.
3. Memberikan gambaran kepada pihak pengelola SLB mengenai tingkat
kecemasan ibu.
4. Memberikan gambaran kepada pihak pengelola SLB mengenai tingkat
pengetahuan ibu.
1.5.
Keaslian Penelitian
Sebelumnya telah dilakukan penelitian lain yang mengarah pada penelitian
ini, yaitu :
1. Sumiarsi, tahun 1999, tentang Tingkat Kecemasan Orangtua Saat Anak
Dirawat Inap Di Instalasi Rawat Inap II RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang.
Subjek yang digunakan adalah semua orangtua yang anaknya sedang dirawat
inap lebih dari tiga hari di IRNA II RSUP Dr. Sardjito dan sampelnya
sebanyak 20 orang. Hasil yang didapatkan adalah : dari faktor tingkat
keparahan penyakit, terdapat 35 persen orangtua yang mengalami kecemasan
tinggi, dari faktor sosial ekonomi, terdapat 25 persen orangtua yang
mengalami kecemasan tinggi, dari faktor tingkat keparahan penyakit pada
orangtua yang berpendidikan SD (sekolah dasar), terdapat 66 persen orangtua
yang mengalami kecemasan tinggi, dari faktor sosial ekonomi orangtua yang
berpendidikan S1/S2, terdapat 78 persen orangtua yang mengalami kecemasan
tinggi, dari faktor pribadi orangtua yang berpendidikan SMA, terdapat 67
persen orangtua yang mengalami kecemasan tinggi. Perbedaan penelitian ini

adalah pada penelitian ini dicari hubungan antara tingkat kecemasan ibu yang
anaknya dirawat inap, dan persamaannya adalah sama-sama mencari tingkat
kecemasan ibu dengan instrument yang sama.
2. Rahmawati, tahun 2005 tentang Hubungan Antara Pola Konsumsi Glutein
dan Kasein dengan Skor CARS (Childhood Autisme Rating Scale) pada Anak
(ASD) Autistik Spectrum Disorder. Penelitian ini merupakan penelitian
cross-sectional yang dilengkapi dengan metode kualitatif untuk mengetahui
pendapat ibu mengenai diet gluten dan kasein. Populasinya adalah semua anak
autis yang sudah terdiagnosis autis dengan menggunakan CARS yang datang
ke PPPTKA (Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak)
Bina Kasih Yogyakarta, sampelnya adalah semua anak yang memenuhi criteria
inklusi. Hasil yang didapatkan : Ada penurunan pola konsumsi gluten dan
kasein sebelum dan sesudah diagnosis, Penelitian ini belum dapat
membuktikan hubungan antara penurunan pola konsumsi glutein dan kasein
dengan penurunan. Perbedaan penelitian ini adalah mengetahui pola konsumsi
glutein dan kasein, dan klasifikasi CARS telah dilakukan oleh PPPTKA,
persamaannya adalah respondennya yaitu anak autis.
3. Retnoningrum, tahun 2008 tentang Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap
Ibu Tentang Autisme Dengan Tingkat Stres Ibu Di SLB Autisme Di
Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang
dilakukan pada empat SLB autisme, sampel telah ditentukan dari awal yaitu
sebanyak 30 anak. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah : tingkat
pengetahuan ibu tentang autisme pada umumnya baik, mayoritas sikap ibu
tentang autisme dikategorikan negatif, mayoritas tingkat stress ibu
dikategorikan rendah, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan ibu tentang autis dengan tingkat stress ibu, terdapat hubungan
yang bermakna antara sikap ibu tentang autisme dengan tingkat stress ibu,
tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dan sikap ibu
tentang autisme terhadap tingkat stress ibu secara bersama-sama. Perbedaan
penelitian ini adalah, penelitian ini juga mencari hubungan antara pengetahuan
ibu, sikap ibu dan tingkat stress ibu dengan anak autisme. Persamaannya
adalah mencari hubungan antara ibu dan anak autisme.
5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Autis
2.1.1

Definisi Autis
Autis adalah suatu gangguan, yang umumnya dimulai dan dialami oleh

seseorang pada masa kanak-kanak (Widihastuti, 2007)


Istilah autis pertama kali dikemukakan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner,
psikologi dari Universitas John Hopkins. Beliau menggunakan istilah autis untuk
anak-anak yang secara sosial tidak mau bergaul dan suka tenggelam dalam
kerutinannya sendiri (Suryana, 2004).
Kanner melihat banyak persamaan gejala pada 11 orang pasien kecilnya,
dan yang sangat menonjol adalah anak-anak tersebut sangat asyik dengan dirinya
6

sendiri, seolah-olah mereka hidup dalam dunianya sendiri dan menolak


berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Oleh sebab itu Kanner memakai
istilah Autis yang berarti hidup dalam dunianya sendiri. Autis merupakan suatu
gangguan perkembangan, gangguan pemahaman/gangguan pervasive dan bukan
suatu bentuk penyakit mental (Peters, 2004).
2.1.2

Epidemiologi
Penelitian menunjukkan jumlah penderita autis meningkat dari tahun ke

tahun. Pada 1987, ratio penderita autis 1:5.000. Ini berarti, di antara 5.000 anak,
ada satu anak autistik. Angka ini meningkat tajam, menjadi 1:500 pada 1997,
kemudian jadi 1:150 pada 2000. Para ahli memperkirakan pada 2010 mendatang
penderita autis akan mencapai 60 persen dari keseluruhan populasi di dunia.
Sekitar 80 persen, gejala autis terdapat pada anak laki-laki (Asteria, 2008).
Bila dilihat per negara, di Amerika autis dialami dengan perbandingan
1:150 anak. Angka di Inggris juga menyentak, 1: 100 anak (Messwati, 2008). Di
negara-negara Asia, angka kejadian autis meningkat pesat. Begitu juga di Afrika.
Melihat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April sebagai World
Autisme Day.
Di Indonesia sampai kini belum ada data yang pasti mengenai jumlah
penyandang autis. Namun berdasarkan pendataan kasar Himpunan autis Indonesia
(Autisme Society of Indonesia /HAI), dalam seminggu setiap poliklinik autis
dikunjungi rata-rata 4-5 penderita baru autis. Diperkirakan angka itu bakal
meningkat tajam, mengingat makin buruknya faktor lingkungan sebagai salah satu
pemicu timbulnya autis (Anonim, 2008).

2.1.3

Etiologi
Sampai saat ini penyebab autis masih merupakan suatu misteri. Berbagai

penelitian terus dikembangkan untuk membuka misteri ini. Sekitar tahun 19501960, timbul teori psikososial yang disebut-sebut sebagai penyebab dari autis,
teori ini mengatakan bahwa autis terjadi akibat orang tua yang dingin, kurang

hangat dan kurang mampu menjalin komunikasi dalam mengasuh anak yang
menyebabkan anak menjadi dingin pula (Widihastuti, 2007).
Namun dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, penelitian tentang penyebab
autis semakin banyak dan berkembang, dengan bantuan kemajuan teknologi
kedokteran dan dibantu dengan otopsi maka akhirnya ditemukan penyebab autis
adalah gangguan susunan saraf pusat. Ditemukan kelainan neuroanatomi pada
beberapa tempat di dalam otak anak autis. Ada tiga lokasi diotak yang mengalami
kelainan, yaitu lobus parietalis, cerebelum, dan sistem limbik.
1. Ditemukan 43 persen dari penyandang autis memiliki kelainan yang khas pada
lobus parietalisnya (Mulana, 2007). Kelainan pada lobus parietalis
menyebabkan anak menjadi tidak peduli pada lingkungannya.
2. Kelainan pada cerebelum (otak kecil), terutama pada lobus VI dan VII,
menyebabkan gangguan pada proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar
berbahasa, dan proses perhatian. Sel Purkinje pada bagian ini menjadi sangat
sedikit, akibatnya produksi serotonin dan dopamine kurang, menyebabkan
kacaunya proses penyaluran informasi didalam otak.
3. Sistem limbik adalah pusat emosi yang letaknya dibagian dalam otak.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
Sehingga anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali anak
menjadi sangat agresif atau bahkan sangat pasif. Amygdale juga bertangguang
jawab terhadap rangsangan sensoris seperti pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, dan rasa takut, sedangkan hippocampus bertanggung
jawab dalam fungsi belajar dan daya ingat, sehingga terjadi kesulitan dalam
menyimpan informasi baru dan menyebabkan anak autis terus melakukan
rutinitas yang sama dan terus menerus (Handojo, 2003).
Penyebab dari kelainan neuroanatomi ini sampai sekarang masih menjadi
perdebatan. Banyak teori yang diungkapkan dari para pakar, antara lain faktor
keturunan (genetik), infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenisasi,
serta polusi udara, air dan makanan. Gangguan ini terjadi pada usia kehamilan
antara 0-4 bulan, yaitu pada fase pembentukan organ-organ (organogenesis),
terutama pada pembentukan organ otak, yaitu setelah 15 minggu umur kehamilan.
Faktor genetik diperkirakan mejadi penyebab utama dari autis, persentasi
dari faktor keturunan adalah 90 persen, kesempatan terkena autis pada saudara
8

kandung dari anak autis adalah 1-8 persen dengan resiko relatifnya adalah 75, hal
ini berarti kemungkinan saudara kandung penyandang autis 75 kali lebih besar
dibandingkan populasi normal untuk dapat menderita autis.
Pada kehamilan trimester pertama (0-4 bulan), beberapa faktor yang
menjadi pemicu timbulnya autis ini antara lain :
1. Infeksi (toksoplasma, rubella, candida)
2. Keracunan logam berat (Pb, Al, Hg, Cd)
3. Keracunan zat adiktif (MSG, pengawet, pewarna)
Pada proses kelahiran yang lama dimana dapat terjadi gangguan nutrisi
dan oksigenisasi juga menjadi pemicu timbulnya autis. Bahkan sesudah kelahiran
juga masih dapat menjadi pemicu autis, yaitu :
1.
2.
3.
4.

Infeksi pada bayi


Imunisasi MMR dan Hepatitis B
Keracunan logam berat, MSG, zat pewarna
Penggunaan antibiotik yang berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya
kebocoran usus dan tidak sempurnanya pencernaan kasein dan gluten, kedua
protein hanya terpecah menjadi polipeptid dan terserap kedalam aliran darah
dan menimbulkan efek morfin pada otak anak, yang dapat merusak sel-sel
otak dan membuat fungsi otak terganggu.

2.1.4

Gejala Autis
Timbulnya autis selalu sebelum usia 30 bulan (Safaria, 2005). Awalnya

orang tua mungkin tidak menyadari gejala-gejala dari autis yang terjadi pada
anaknya, terutama orangtua yang baru memiliki anak. Namun sekarang para
orangtua dapat menilainya dengan melihat beberapa faktor berikut ini (Handojo,
2003) :
1. Anak pada usia kurang dari 30 bulan belum dapat berbicara atau
berkomunikasi.
2. Anak hiperaktif atau cuek terhadap orang tua dan orang lain.
3. Anak tidak dapat atau tidak suka bermain dengan teman sebayanya.
4. Ada perilaku aneh pada anak yang dilakukan berulang-ulang.
Apabila terdapat salah satu faktor diatas, maka anak sebaiknya segera
dikonsultasikan kepada dokter spesialis jiwa anak.
Secara garis besar anak-anak autis memiliki masalah dalam bidang :
1. Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau bahkan sama sekali tidak ada.
9

b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara namun
tiba-tiba sirna begitu saja.
c. Kadang terdapat kata-kata yang digunakan tidak sesuai dengan artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat
dimengerti orang lain.
e. Bicara tidak gunakan sebagai alat komunikasi.
f. Senang meniru atau membeo (ekolali)
g. Bila senang meniru, maka mereka dapat menghafal kata-kata tersebut
dengan sangat baik tanpa mengerti artinya.
h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara atau sedikit berbicara sampai usia
dewasa.
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan.
2. Interaksi sosial.
a. Penyandang autis lebih suka menyendiri.
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
3. Gangguan sensoris.
a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda.
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Pola bermain.
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c. Tidak kreatif, tidak imajinatif.
d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
e. Senang dengan benda-benda yang berputar.
f. Dapat sangat lengket dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa kemana-mana.
5. Perilaku.
a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri.
c. Tidak suka pada perubahan.
d. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Emosi.
a. Sering marah-marah, tertawa-tawa, dan menangis tanpa alasan.
b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau keinginanya
tidak terpenuhi.
c. Kadang suka menyerang dan merusak.
d. Kadang anak berperilaku meyakiti diri sendiri.
e. Tidak empati dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.
10

Gejala di atas tidak semuanya ada pada anak penyandang autis. Gejala
dapat beraneka ragam sehingga tampak bahwa tidak ada anak autis yang benarbenar sama dalam tingkah lakunya.
2.1.5

Diagnosis Autis
Untuk menditeksi apakah anak mengalami ganggua autis kita perlu

mengetahui kriteria dan gejala gangguan autis. Beberapa kriteria yang dapat
dipakai untuk menditeksi autis antara lain :
1. Tanda-tanda awal Autisme Spectrum Disoders (ADS) oleh S.Harris 1989.
2. CHAT (Checkilst for Autisme in Toddler). Checklist ini dikembangkan
sederhana untuk menolong dokter umum, guru, orang tua, petugas kesehatan
guna menskrining anak sampai usia balita atau dibawah 3 tahun.
3. DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi yang
ke empat).
2.1.6

Diagnosis Banding Autis


Autis memberikan gambaran yang mirip dengan beberapa penyakit

kejiwaan, antara lain (Safaria, 2005) :


1. Retardasi mental.
Pada retardasi mental seringkali ada perilaku tidak wajar yang mirip dengan
autis infantil. Namun sindrom lengkap autism infantile tidak ada. Apabila
kedua gangguan ini ada, maka dibuat dua diagnosis.
2. Sizofrenia.
Pada skizofrenia terdapat gejala halusinasi, waham, dan pelanggaran asosiasi
atau inkohorensi.
3. Gangguan perkembangan pervasif onset masa anak.
Usia mulai timbulnya gangguan ini lebih dari 30 bulan, dan tidak terdapat
seluruh sindrom lengkap autis infantil.
4. Gangguan perkembangan bahasa tipe reseptif.
Pada gangguan ini anak masih menunjukkan kontak mata dan sering kali
berusaha untuk berkomunikasi dengan gerakan-gerakan.
2.1.7

Terapi Autis
Gangguan diotak tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi

dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala-gejala autis dapat dikurangi
bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai
11

orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina keluarga. Hal ini
dikarenakan intervensi dini membuat sel-sel otak baru tumbuh dan menutup selsel lama yang rusak.
Sangat perlu dipahami oleh orangtua bahwa terapi harus dimulai sedini
mungkin sebelum usia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia
terjadi pada usia kurang dari 5 tahun, puncaknya yaitu usia 2-3 tahun. Oleh karena
itu terapi yang dilakukan setelah usia 5 tahun hasilnya akan berjalan lebih lambat.
Pada usia 5-7 tahun, perkembangan otak manusia 25 persen lebih lambat dari usia
sebelumnya. Namun demikian walaupun terapi terlambat dilakukan, anak autis
tetap harus mendapat terapi dari pada tidak sama sekali (Handojo, 2003).
Jika anak autis tidak mendapatkan terapi, maka hingga dewasa gejala yang
ada akan tetap ada bahkan akan bertambah parah. Selain umur, keberhasilan terapi
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Berat ringannya gejala, tergantung dari berat ringannya kelainan di otak.
Semakin ringan gejala semakin besar keberhasilan terapi.
2. Usia anak.
Makin muda umur anak yang mendapat terapi maka semakin besar
kemungkinan terapi berhasil.
3. Kecerdasan anak.
Makin cerdas anak maka semakin cepat anak menangkap hal-hal yang
diajarkan.
4. Kemampuan berbahasa dan berbicara.
Tidak semua penyandang autisme berhasil mengembangkan fungsi bicara dan
bahasa, 20 persen penyandang autisme tidak dapat berbicara seumur hidup,
sisanya ada yang bisa berbicara tapi sulit dan kaku dan ada pula yang bisa
lancar berbicara.
5. Intensitas terapi.
Terapi harus dilakukan sangat intensif. Sebaiknya dilakukan 4-8 jam dalam
sehari.
Berikut ini beberapa jenis terapi pada anak autis :
1. Terapi perilaku.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu anak autis agar dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat. Terapi perilaku ini terdiri dari :
a. Terapi okupasi
12

Terapi ini bertujuan membantu anak autis yang memiliki kemampuan


motorik kurang baik antara lain gerak gerik kasarnya dan kurang luwes.
Terapi

okupasi

akan

menguatkan,

memperbaiki

koordinasi,

dan

keterampilan otot halus anak.


b. Terapi bicara.
Bagi penyandang autis terap bicara (speech therapy) merupakan suatu
keharusan, karena semua penyandang autis mempunyai keterlambatan
bicara dan gangguan berbahasa. Terapi ini dapat membantu anak dalam
melancarkan otot-otot mulut sehingga anak dapat berbicara lebih baik.
Salah satu metode yang digunakan adalah metode ABA (Lovaas).
c. Terapi bermain
Yaitu mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.
2. Terapi biomedik
Terapi biomedik terdiri dari :
a. Terapi medikamentosa.
Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan memperbaiki
komunikasi,

memperbaiki

respon

terhadap

lingkungan,

dan

menghilangkan perilaku yang aneh.


b. Terapi biomedis.
Terapi ini bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh, melalui diet
dan pemberian vitamin. Terapi ini dilakukan berdasarkan banyaknya
gangguan fungsi tubuh yang dialami anak autisme.
3. Sekolah (pendidikan khusus)
Anak-anak autis akan mendapatkan terapi-terapi diatas pada sekolah khusus.
Pada sekolah ini, anak autis akan ditangani oleh satu terapis, bahkan pada
anak yang baru mendapatkan terapi, satu anak ditangani oleh dua orang
terapis.
4. Sosialisasi ke sekolah reguler
Penyandang autis yang telah dapat bersosialisasi dapat dicoba untuk masuk
kedalam sekolah regular sesuai dengan umurnya.
5. Peran keluarga.
Orangtua atau keluarga juga memegang peranan penting dalam terapi autis.
Komunikasi antara orangtua dan dokter atau terapis akan sangat membantu
dalam melaksanakan terapi. Orangtua juga harus memperkaya dirinya dengan
pengetahuan tentang autis, terutama tentang bagaimana penanganan yang tepat
bagi anaknya.

13

2.2 Childhood Autisme Rating Scale


Childhood Autisme Rating Scale (CARS) merupakan suatu test yang
digunakan untuk menilai tingkatan autis. CARS ini dikembangkan oleh Eric
Schopler, Robert J. Reichier, dan Barbara Rochen Renner. Tes ini didisain untuk
membantu dalam membedakan gejala kelainan autis dengan gejala dari penyakit
lainnya (Rao, 2007).
Penemuan dari CARS ini dimulai tahun 1966, awal mula CARS ini
dikembangkan dari kriteria Kanner (1943) dan Creak (1964), dan karakteristik
gejala dari anak autis. Barulah tahun 1988 CARS ini terbentuk oleh Schopler,
Reichler, & Renner. CARS ini terdiri dari 15 item, yaitu:
1. Hubungan dengan orang lain/kemampuan bergaul
2. Imitasi atau meniru
3. Respon emosi
4. Penggunaan tubuh.
5. Penggunaan obyek.
6. Adaptasi terhadap perubahan
7. Respon penglihatan.
8. Respon pendengaran
9. Respon kecap, cium, sentuhan.
10. Takut atau gelisah
11. Komunikasi verbal atau kemampuan berbicara.
12. Mimik dan ekspresi
13. Aktivitas
14. Kepandaian
15. Kesan menyeluruh
Tiap masing-masing item memiliki skala nilai :
1 : sesuai dengan umur anak (normal)
2 : abnormal ringan
3 : abnormal sedang
4 : abnormal berat
1,5; 2,5; 3,5 : diantara keduanya.
Total skor CARS berkisar dari 15-60, apabila skor lebih dari 30 maka anak
tersebut termasuk autis.
PENILAIAN
Skor

15

20
25
Bukan autis

30

35
Ringan

40

45
Sedang

50

55
60
Berat

14

2.3 Kecemasan
2.3.1

Definisi Kecemasan
Kecemasan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala. Kebanyakan

orang mengalami kecemasan pada waktu-waktu tertentu dalam kehidupannya.


Biasanya kecemasan muncul sebagai reaksi normal terhadap situasi yang sangat
menekan, dan arena itu dapat berlangsung sebentar saja.
Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan; ia memperingatkan
adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil
tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan, 1997).
Menurut kamus saku kedokteran Dorlan, kecemasan (anxiety) adalah
perasaaan keprihatinan, ketakpastian, dan ketakutan tanpa stimulus yang jelas,
dikaitkan dengan perubahan fisiologis (takikardi, berkeringat, tremor dan lainlain).
Menurut DSM-IV gangguan kecemasan umum merupakan kekhawatiran
yang berlebihan dan meresap, disertai oleh berbagai gejala somatik, yang
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau
penderitaan yang jelas bagi pasien.
Kecemasan dapat dikelompokkan dalam gangguan jiwa nerosa yaitu suatu
kesalahan penyesuaian diri secara emosional karena tidak dapat diselesaikan suatu
konflik tak sadar (Maramis, 2004).
2.3.2

Etiologi Kecemasan.
Penyebab dari kecemasan antara lain :

1.

Faktor biologi.
Penelitian biologis pada system neurotransmitter gama aminobutyric acid

(GABA), serotonin dan norepinefrin berpengaruh terhadap kejadian kecemasan.


2.

Faktor psikososial
Terdapat 2 faktor utama psikososial yang menyebabkan gangguan

kecemasan, yaitu kognitif perilaku dan psikoanalitik. Perilaku menyatakan bahwa


kecemasan adalah respon secara tidak tepat dan tidak akurat terhadap bahaya yang

15

dihadapi. Sedangkan psikoanalitik menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu


gejala konflik bawah sadar yang tidak dapat dipecahkan.
2.3.3

Gejala Kecemasan.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami

gangguan kecemasan antara lain sebagai berikut (Hawari, 2004) :


1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah
tersinggung.
2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah mudah terkejut.
3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
6. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang,
pendengaran berdenging, berdebar-debar sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.
2.3.4

Faktor Predisposisi Kecemasan.


Menurut Stuart & Suden 1995 (cit Ariyana, 2008) beberapa teori yang

dapat memicu terjadinya kecemasan antara lain:


1. Teori psikoanalitik (Freud, 1969)
Menurut teori psiokoanalitik, kecemasan dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Kecemasan primer yang dimulai sejak bayi lahir dan berlanjut, misalnya
pada saat lapar dan haus yang tidak terpenuhi.
b. Kecemasan subsequent yang terjadi karena adanya konflik antara elemen
kepribadian yaitu Id dan superego. Id mewakili insting, superego mewakili
hati nurani, sedangkan ego menengahi konflik yang terjadi antara kedua
elemen yang bertentangan. Timbulnya kecemasan merupakan tanda
adanya bahaya pada elemen ego.
2. Teori interpersonal (Sullivan, 1953)
Menurut teori interpersonal kecemasan timbul dari perasaan ketidakmampuan
diri sendiri dan gambaran negatif dari konsep diri. Misalnya: seorang

16

mahasiswa yang berfikir dia tidak mampu maka ketika ujian ia menjadi tidak
mampu walaupun ia sudah belajar.
3. Teori behavioral
Berdasarkan teori behavioral, perilaku kecemasan berasal dari rasa frustasi
akan segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
4. Teori perspektif keluarga
Teori keluarga menunjukkan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga.
Kecemasan menunjukkan adanya pola interaksi yang tidak adaptif dalam
sistem keluarga.
5. Teori perspektif biologis
Kecemasan diatur dalam otak oleh reseptor benzodiazepine yang berhubungan
dengan aktivitas Gamma Amino Butyric Acid (GABA).

2.3.5

Faktor Presipitasi Kecemasan


Menurut Ann tahun 1996 (cit Ariyana, 2008), beberapa faktor presipitasi

timbulnya kecemasan antara lain:


1. Ancaman terhadap integritas fisik yaitu stres karena ketidakmampuan
fisiologis dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyebab internal: fungsi
tubuh, eksternal: penyakit, cedera, trauma fisik.
2. Ancaman terhadap konsep diri, secara internal: perubahan peran; eksternal:
kehilangan seseorang, perubahan lingkungan atau status sosial ekonomi.
2.3.6

Diagnosis Kecemasan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan kecemasan pada umumnya adalah

(Ramaiah, 2003) :
1. Kecemasan hebat yang berkepanjangan, paling tidak memiliki 3 dari 4
kategori gejala berikut :
a. Urat saraf semakin tegang

17

Gemetaran, menjadi tegang, rasa sakit pada otot, kelelahan, tidak mampu
bersantai, alis berkedut, selalu mengernyitkan kening, wajah tegang,
gelisah dan resah.
b. Gejala-gejala umum.
Keringat bercucuran, denyut jantung bertambah cepat dan berdegup keras,
tangan dingin dan berkeringat, mulut kering, merasa pusing, kesemutan
pada tangan dan kaki, makin sering buang air kecil, sakit perut, diare, rasa
sakit ditengah perut, dan bernafas cepat.
c. Dugaan kekhawatiran.
Rasa cemas, gelisah, ketakutan, mudah lupa dan mengetahui lebih dulu
bencana.
d. Perhatian.
Perhatian yang meningkat yang mengakibatkan pelengahan pikiran, susah
berkonsentrasi, kurang tidur, mudah marah, tidak sabar dan merasa resah.
2. Merasa cemas berkepanjangan selama setidak-tidaknya satu bulan
3. Tidak ada kaitannya dengan gangguan jiwa seperti depresi.
4. Berusia 18 tahun atau lebih.
2.3.7

Klasifikasi Kecemasan
Klasifikasi tingkat kecemasan menurut Carpenito tahun 2001 (cit Ariyana

2008) :
1. Mild anxiety (cemas ringan).
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari
dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Kemampuan melihat dan mendengar menjadi meningkat. Cemas
ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreativitas.
2. Moderate anxiety (cemas sedang)
Cemas sedang memungkinkan seseorang berfokus pada masalah yang sedang
dihadapi dan mengesampingkan yang lain sehingga menyebabkan lapang
persepsi menyempit dan kemampuan melihat dan mendengarnya menurun.

18

Beberapa kemampuan menjadi tertutup tetapi masih bisa dilakukan dengan


petunjuk.
3. Severe anxiety (cemas berat)
Cemas berat sangat mempengaruhi lahan persepsi seseorang. Seseorang
cenderung berfokus pada hal-hal yang kecil dan tidak dapat berfikir tentang
hal lain. Semua perilaku yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi rasa
cemas dan perlu arahan untuk berfokus pada area lain.
4.

Panik.
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah tertutup dan orang bersangkutan tidak
dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan. Terjadi
peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, gangguan persepsi, kehilangan kemampuan berfikir secara
rasional. Panik merupakan pengalaman yang menakutkan dan bisa
melumpuhkan seseorang.

2.3.8

Terapi Kecemasan.
Kecemasan dapat diobati dengan cara :

1. Psikoterapi
Bagi pasien yang secara psikologis bermaksud dan termotivasi untuk mengerti
sumber kecemasannya, psikoterapi mungkin merupakan pengobatan terpilih
(Kaplan, 1997).
Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan umum adalah :
a. Kognitif- perilaku.
Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan perilaku adalah relaksasi.
b. Suportif.
Teknik ini menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien.
c. Berorientasi tilikan.
Teknik ini memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan
mengenali kekuatan ego.

19

2. Farmakoterapi.
Dua obat utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan
kecemasan umum adalah (Kaplan, 1997):
a. Benzodiazepine.
Kira-kira 25-30 persen dari semua pasien tidak berespon dan dapat terjadi
toleransi dan ketergantungan.
b. Buspirone.
Kemungkinan besar efektif pada 60-80 persen pasien dengan gangguan
kecemasan umum.
Jika pengobatan dengan kedua obat diatas tidak efektif maka pengobatan
dengan suatu obat trisiklik atau antagonis adrenergik-beta dapat dipertimbangkan.
Alternative

lain

adalah

menggunakan

obat

kombinasi

seperti

benzodiazepine dan buspirone atau salah satu obat tersebut dengan obat trisiklik
atau satu antagonis adrenergik-beta.

2.4 Landasan Teori


Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dibahas diatas, diketahui bahwa
autis merupakan suatu gangguan yang menyebabkan anak tidak mampu untuk
berinteraksi dengan orang lain. Autis juga memiliki tingkatan (klasifikasi)
menurut ringan, sedang dan beratnya berdasarkan CARS. Kecemasan atau
kekhawatiran yang berlebihan ini juga memiliki klasifikasi ringan, sedang dan
beratnya berdasarkan T-MAS.
Lahirnya seorang anak yang mengalami suatu kekurangan termasuk dalam
faktor predisposisi kecemasan, yaitu teori perspektif keluarga yang dapat
menyebabkan kecemasan psikososial pada ibu. Sehingga klasifikasi anak autis
dimungkinkan dapat mempengaruhi tingkat kecemasan yang dialami ibu.
2.5 Kerangka Teori
Kecemasan ibu

Tingkat kecemasan ibu

Ringan
Sedang

20

Berat
Lapar, haus, bertentangan dengan hati nurani.
Faktor predisposisi

Ketidakmampuan diri sendiri


Frustasi
Masalah dalam keluarga

Anak autis

Klasifikasi berdasarkan CARS

Ringan

Sedang

Berat

Gambar 1 : kerangka teori penelitian (modifikasi dari Freud, Sullivan, Ariyana)


2.6 Kerangka Konsep
Variabel bebas
Klasifikasi Anak Autis

Variabel tergantung
Tingkat Kecemasan Ibu

Variable pengganggu
Umur ibu.
Waktu pendidikan anak
Usia anak pertama kali terdiagnosis.
Usia anak saat ibu menyadari kelainan pada anak
Tingkat pendidikan ibu.
Tingkat pengetahuan ibu.
Status pekerjaan ibu

21

Gambar 2 : kerangka konsep penelitian.


2.7 Hipotesis
1. Klasifikasi anak autis berdasarkan CARS ada hubungannya dengan tingkat
kecemasan ibu, semakin berat klasifikasi autis maka semakin berat pula
kecemasan yang dialami ibu.
2. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang autis dengan
tingkat kecemasan yang terjadi pada ibu, semakin baik pengetahuan ibu maka
semakin ringan kecemasan ibu.

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non-ekperimental yang bersifat
analitik, untuk mengetahui klasifikasi autis serta hubungannya dengan kecemasan
yang terjadi pada ibu. Rancangan penelitian menggunakan metode cross sectional.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak autis, populasi terjangkau adalah anak autis
yang berada di SLB Bina Anggita, sampelnya adalah anak autis beserta ibunya
yang ada di SLB Autisme Bina Anggita ini berjumlah 29 orang. Subjeknya adalah
yang memenuhi kriteria berikut ini:
3.2.1

Kriteria inklusi.

1. Anak autis
a. Anak autis yang terdaftar di SLB Bina Anggita.

22

b. Bersedia jadi responden.


2. Ibu
a. Ibu kandung dari anak autis.
b. Bersedia jadi responden.
3.2.2

Kriteria eksklusi.

1. Anak autis
a. Anak autis yang sedang dalam keadaan sakit.
b. Anak autis dengan kecacatan atau keterbatasan fisik.
2. Ibu
a. Ibu dalam keadaan sakit atau pergi ke luar kota.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1

Variabel bebas :
1. Klasifikasi autis.

3.3.2

Variabel tergantung :
1. Tingkat kecemasan ibu.

3.3.3

Variabel pengganggu :
1. Umur ibu.
2. Waktu pendidikan anak
3. Usia anak pertama kali terdiagnosis.
4. Usia anak saat ibu menyadari kelainan pada anak
5. Tingkat pendidikan ibu.
6. Tingkat pengetahuan ibu.
7. Status pekerjaan ibu.
3.4 Definisi Operasional

1. Klasifikasi autis, yaitu penggolongan anak autis dengan metode CARS yang
dilakukan dengan pengamaan tingkah laku anak autis yang bersekolah di SLB
Bina Anggita, CARS ini terdiri dari 15 hal yang diamati dan hasilnya :
Skor

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

23

Bukan autis
Ringan
Sedang
Berat
Pengamatan CARS ini akan dibantu seorang teknisi dan juga didampingi guru
yang mendidik anak anak autis ini sehari-hari. Teknisi akan membantu dalam
pelatihan dan pengisian CARS serta setiap tingkah laku yang diamati akan
ditanyakan kembali pada gurunya (crosscheck).
2. Tingkat kecemasan ibu, maksudnya ialah tingkat kekhawatiran dan ketakutan
berlebihan yang dirasakan seorang ibu akibat dari klasifikasi anak autisnya
dan yang akan diukur dengan metode T-Mas yang terdiri dari 50 pertanyaan
dan hasilnya :
<7

: kecemasan ringan

7-19

: kecemasan sedang

>19

: kecemasan berat.

Untuk mengukur tingkat kecemasan ini beserta pertanyaan lainnya akan


dilakukan dengan pemberian kuesioner kepada ibu dan diisi langsung oleh ibu
saat itu juga.
3. Usia anak pertama kali terdiagnosis, yaitu tahun saat anak pertama kali
diperiksakan dan pertama kali didiagnosis menderita autis dikurangi tahun
kelahiran anak. Usia anak pertama kali terdiagnosis ini akan diklasifikasikan
berdasarkan usia terbaik anak mendapatkan terapi, yaitu
a. <3 tahun
b. >3 tahun
4. Usia anak saat ibu menyadari kelainan pada anak, yaitu tahun saat ibu
menyadari kelainan pada anak dikurangi tahun kelahiran anak. Usia ini akan
diklasifikasikan berdasarkan usia terbaik anak saat ibu menyadari adanya
kelainan pada anak, yaitu :
a. <2 tahun
b. >2 tahun
5. Umur ibu, yaitu tahun saat dilakukannya penelitian dikurangi tahun kelahiran
ibu. Umur ibu ini akan diklasifikasikan berdasarkan data statistik, yaitu :
a. 30-39 tahun
b. 40-49 tahun

24

6. Waktu pendidikan anak, yaitu lamanya anak autis mendapatkan pendidikan di


SLB Bina Anggita. Waktu ini akan diklasifikasikan berdasarkan teori
penyesuaian diri menjadi :
a. <6 bulan
b. >6 bulan
7. Tingkat pendidikan ibu, yaitu pendidikan sekolah ibu yang terakhir. Tingkat
pendidikan ibu dibagi menjadi :
a.
b.
c.
d.

Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Akademi/Perguruan Tinggi

8. Tingkat pengetahuan ibu, yaitu tingkat pengetahuan atau wawasan yang


dimiliki ibu tentang autisme. Tingkat pengetahuan ini akan diujikan dengan
mengisi kuesioner yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan jawaban Benar
atau Salah. Kuesioner ini diambil dari penelitian Retnoningrum yang telah
diuji validitasnya dengan nilai r = 0,361. Penilaian kuesioner ini akan dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Pengetahuan kurang (<33,33)
b. Pengetahuan cukup (33,33-66,67)
c. Pengetahuan baik (>66,67).
9. Status pekerjaan ibu yaitu kegiatan ibu saat ini. Status pekerjaan ini akan
dikalsifikasikan berdasarkan SDKI, yaitu :
a. Ibu rumah tangga
b. Bukan ibu rumah tangga
3.5 Cara Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara :
1. Pengamatan langsung pada anak autis (data primer).
2. Memberikan keusioner secara langsung pada ibu yang anaknya telah
diklasifikasikan (data primer).
3.6 Instrumen Penelitian

25

1. Klasifikasi autis
Untuk melakukan pengklasifikasian anak autis berdasarkan CARS dilakukan
dengan pengamatan langsung kepada anak autis, ada 15 hal yang akan diamati
dalam pemeriksaan ini. Pengamatan ini akan dibantu oleh seorang teknisi dan
hasil pengamatan akan ditenyakan ulang kepada guru yang mendidik anak
autis tersebut sehari-hari.
Total skor CARS berkisar dari 15-60, apabila skor lebih dari 30 maka anak
tersebut termasuk autis.
Penggolongannya adalah :
Skor

15
20
Bukan autis

25

30
35
Ringan

40

45
Sedang

50

55
Berat

60

2. Tingkat kecemasan ibu.


Untuk mengukur tingkat kecemasan ibu digunakan alat ukur berupa kuesioner
TMAS (Taylor Manifest Anxiety Scale). Kuesioner ini terdiri dari 50
pertanyaan, dan tiap pertanyaan dijawab YA atau TIDAK.
Setiap jawaban yang sesuai akan bernilai 1 dan total nilainya adalah 50. Nilai
yang diperoleh dibagi menjadi 3, yaitu :
<7

: kecemasan ringan

7-19

: kecemasan sedang

>19

: kecemasan berat.

Ketentuan ini dibuat oleh Spielberger pada tahun 1971 (Martaniah, 1994).
Keuntungan menggunakan TMAS yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan relatif cepat dan kuesioner diisi sendiri oleh
responden karena hanya responden yang tahu keadaan sebenarnya.
3. Tingkat pengetahuan ibu
Untuk menilai tingkat pengetahuan ibu digunakan kuesioner yang telah dibuat
oleh Retnoningrum. Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan yang yang
masing-masing pertanyaan memiliki jawaban Benar atau Salah. Tiap

26

jawaban yang sesuai akan berniali 1, skor dari jawaban ini akan digolongkan
menjadi 3, yaitu :
Pengetahuan kurang : <33,33
Pengetahuan cukup : 33,33-66,67
Pengetahuan baik : >66,67

3.7 Tahap Penelitian


Tabel 1 : tabel tahap penelitian.
Keterangan
Desember

Januari

Bulan
Februari Maret April

Mei

1. Tahap persiapan
a. Pembuatan
proposal
b. Konsultasi
c. Seminar proposal
d. Penyelesaian
administrasi
2. Tahap pelaksanaan
a. Pengamatan anak
autisme
b. Penyebaran
kuesioner ibu
3. Tahap penyelesaian
a. Analisis data
b. Pembuatan laporan
27

hasil
c. Seminar hasil
3.8 Rencana Analisis Data
Rencana analisis data penelitian ini dilakukan dengan bantuan program
SPSS. Pada penelitian ini terdapat 2 kelompok data berpasangan, maka uji
statistik yang digunakan adalah uji chi-square. Namun bila syarat uji Chi-square
ini tidak terpenuhi maka analisis data yang digunakan adalah uji fisher.
3.9 Kelemahan dan Kesulitan Penelitian
3.9.1

Kelemahan Penelitian

1. Hasil penelitian hanya berlaku pada populasi penelitian, dengan demikian


belum dapat digeneralisasikan secara umum sehingga perlu dilakuakn
penelitian lebih lanjut dengan populasi dan jumlah sampel yang lebih
besar yaitu lebih dari 30 sampel.
2. Bias belum bisa dikendalikan karena faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi kecemasan antara lain, penerimaan anak di lingkungan
keluarga dan masyarakat, kedudukan anak dalam keluarga (status anak),
penyakit lain yang diderita anak, kebudayaan, pengaruh dari orang lain,
sosial ekonomi serta faktor kepribadian ibu tidak diteliti secara rinci.
2.9.2

Kesulitan Penelitian

1. Untuk

melakukan

penelitian

klasifikasi

CARS

perlu

dilakukan

pengamatan pada anak, hal ini cukup sulit dilakukan terutama pada anak
yang hiperaktif.
2. Sulitnya mengumpulkan dan meminta waktu kepada ibu untuk mengisi
kuesioner karena ibu biasanya hanya mengantar dan menjemput anak dan
hanya beberapa ibu yang menunggu anaknya.
3.10

Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti akan selalu terikat dengan etika


penelitian. Peneliti berusaha menghormati hak-hak subjek penelitian yang
meliputi :
28

1. Informed

consent

(persetujuan

setelah

penjelasan).

Peneliti

memberikan informasi dan proses penelitian sehingga responden


mengerti dan dapat berpartisipasi dalam penelitian.
2. Menjaga kerahasiaan responden
3. Diharapkan dapat memberikan manfaat kepada responden.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan disebuah sekolah luar biasa autis yang berada
di Yogyakarta, yaitu SLB autis Bina Anggita. Sekolah ini terletak di Jl. Garuda
143 Wonocatur, Banguntapan, Bantul.
Sekolah berlangsung dari hari senin hingga kamis, hari jumat dan sabtu
digunakan untuk sosialisasi ke masyarakat, dan kegiatan rekreatif seperti
berenang. Sistem pengajaran yang digunakan di sekolah ini adalah satu murid satu
guru. Di sekolah ini juga dibedakan menjadi tingkat TK, SD hingga kelas 5, dan
sedang direncanakan untuk membuat kelas 6 dan SMP.
Metode pembelajaran yang digunakan tergantung pada kesulitan murid
masing-masing, misalnya seorang murid yang tidak bisa berbicara maka metode
pembelajaran yang digunakan dengan media gambar atau media kertas yang
terdiri dari huruf-huruf.

29

Setiap harinya sekolah ini dibagi menjadi dua sesi, sesi pagi bagi murid
yang TK dan sesi siang untuk anak kelas 1, 2, 3, 4, dan 5 juga bagi murid yang
telah masuk ke sekolah regular. Bagi murid yang masuk pagi, tiap pagi dilakukan
senam, setelah itu murid akan diberi sarapan sesuai diet masing-masing, setelah
itu baru pelajaran dimulai. Tiap-tiap murid memiliki satu buk harian yang akan
diisi oleh guru masing-masing tentang perkembangan anak hari itu.
Bagi murid muslim, di sekolah ini mereka juga mengajarkan ibadah, hal
yang diajarkan disekolah ini antara lain setiap mau pulang anak-anak diajarkan
membaca ayat-ayat pendek, dan siang hari anak-anak diajak sholat dzuhur
berjamaah.

4.2 Analisis Univariat


4.2.1

Karakteristik Responden
Responden penelitian ini adalah murid dan ibunya. Jumlah murid yang

terdapat di sekolah ini adalah 29 orang, namun tidak semuanya adalah anak autis,
ada 2 anak yang bukan terdiganosis autisme. Dari 27 murid yang ada, terdapat 2
murid yang tidak tinggal dengan orang tuanya dan 2 murid lagi yang orang tuanya
tidak dapat ditemui. Jadi keseluruhan murid dan orang tua yang digunakan
sebagai responden adalah 23 orang.
Tabel 2 : distribusi frekuensi karakteristik penelitian di SLB autis Bina Anggita
tahun 2009
Karakteristik
Frekuensi
Persen (%)
1. Umur anak saat ibu menyadari kelainan pada
anak
<2 tahun
>2 tahun

18

78,3

21,7

30

2. Umur anak terdiagnosis


<3 tahun

18

78,3

>3 tahun

21,7

<6 bulan

13,0

>6 bulan

20

87,0

30-39 tahun

12

52,2

40-49 tahun

11

47,8

Tamat SMP + SMA

30,4

Akademi/Perguruan tinggi

16

69,6

Ibu rumah tangga

18

78,3

Bukan ibu rumah tangga

21,7

3. Waktu pendidikan anak

4. Umur ibu

5. Tingkat pendidikan ibu

6. Status pekerjaan ibu

Sumber : data primer


Dari tabel diatas, terdapat 18 anak (78,3%) yang berumur kurang dari 2
tahun saat ibu menyadari kelainan pada anaknya, dan 5 anak (21,7%) yang
berumur lebih dari 2 tahun, dan terdapat 18 anak (78,3%) yang terdiagnosis autis
diumur kurang dari 3 tahun serta 5 anak (21,7%) yang terdiagnosis lebih dari 3
tahun.
Semakin cepat ibu menyadari kelainan pada anaknya maka akan semakin
cepat ibu akan memeriksakan anaknya dan semakin cepat anaknya terdiagnosis
maka akan semakin cepat ibu akan mencari terapi dan jalan keluar lainnya untuk
anaknya. Apabila ibu menyadari anaknya mengalami kelainan saat anak berumur
kurang dari 2 tahun, maka diagnosis akan tegak sebelum anak berumur 3 tahun,
dan ini akan lebih baik karena dapat dengan segera diterapi, karena terapi yang
baik segera dilakukan sebelum usia anak 5 tahun, hal ini disebabkan karena otak
anak berkembang sangat pesat pada umur ini terutama umur 2-3 tahun (Handojo,
2003).
31

Setelah anak terdiagnosis, salah satu jalan keluarnya adalah dengan


memasukkan anak ke sekolah khusus autis. Apabila anak cepat mendapatkan
terapi maka anak akan membaik dengan cepat pula. Oleh karena itulah lebih
banyak ibu yang menyadari kelainan pada anak dibawah 2 tahun dan anak yang
terdiagnosis dibawah 3 tahun.
Jumlah anak yang telah bersekolah di SLB autis ini kurang dari 6 bulan
sebanyak 3 anak (13,0%) dan diatas 6 bulan sebanyak 20 anak (87,0%). Menurut
DSM-IV, proses penyesuaian diri terhadap lingkungan baru dapat berlangsung
selama 3 bulan, namun kecemasan dapat saja terjadi kurang dari 6 bulan (Kaplan,
1997). Oleh karena itu anak yang telah bersekolah di sekolah khusus ini lebih
banya diatas 6 bulan, karena mereka telah dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan baru mereka.
Umur ibu sebagai responden berkisar antara 30-39 tahun sebanyak 12
orang (52,2%) dan antara 40-49 tahun sebanyak 11 orang (47,8%). Menurut
Retnoningrum (2008), umur-umur tersebut adalah umur dimana seorang ibu mulai
menemukan kelompok sosial, dan dalam kelompok ini ibu akan mulai bertukar
informasi kepada ibu-ibu lainnya, dan ini memungkinkan akan memepengaruhi
pengetahuan dan pandangan ibu tentang autis terhadap kondisi yang dialami
anaknya.
Tingkat

pendidikan

ibu

didominasi

dengan

tingkat

pendidikan

akademi/perguruan tinggi, yaitu sebanyak 16 orang (69,9%) dan jumlah ibu yang
tamat SMP dan SMA adalah 7 orang (30,4%). Hal ini sesuai dengan penelitian
Retnoningrum (2008), dikatakan bahwa tingkat pendidikan ibu yang memiliki
anak autis dengan presentase terbesar adalah perguruan tinggi, yaitu 70 persen.
Menurut Shalahudin tahun 1990, orang tua yang berpendidikan akan lebih
mengerti kebutuhan yang tepat dalam mengasuh anaknya (cit Retnoningrum,
2008).
Menurut status pekerjaan ibu sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga,
yaitu sebanyak 18 orang (78,3%) dan ibu yang bekerja sebanyak 5 orang(21,7%).
Mengasuh anak autis secara umum berdampak pada karier ibu dalam bekerja, hal
ini sependapat dengan penelitian Retnoningrum (2008).
32

4.2.2

Klasifikasi CARS
Setelah dilakukan pengamatan, dapat dilihat klasifikasi murid autis di SLB

autis Bina Anggita pada tabel berikut :


Tabel 3 : klasifikasi autis berdasarkan CARS di SLB autis Bina Anggita tahun
2009
Klasifikasi CARS
Frekuensi
Persen (%)
Autis ringan
11
47,8
Autis sedang + berat
12
52,2
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa klasifikasi CARS di SLB
Autis Bina Anggita terdiri dari autis ringan sebanyak 11 murid (47,8%) dan autis
sedang hingga berat sebanyak 12 murid (52,2%). Data ini didapatkan dengan
pengamatan langsung kepada muridnya serta dengan tanya jawab pada guru yang
menanganinya. Jumlah murid dengan autis ringan lebih sedikit dikarenakan murid
yang sudah bisa bersosialisasi telah memasuki sekolah regular, dan murid dengan
autis ringan hingga berat tetap bersekolah di SLB ini.

4.2.3

Tingkat Kecemasan Ibu


Kecemasan yang terjadi pada ibu di SLB autis Bina Anggita dapat dilihat

pada tabel di bawah ini :


Tabel 4 : tingkat kecemasan ibu di SLB autis Bina Anggita tahun 2009
Tingkat Kecemasan Ibu
Frekuensi
Persen (%)
Kecemasan ringan + sedang
15
65,2
Kecemasan berat
8
34,8
Sumber : data primer
Tingkat kecemasan ibu di SLB autis ini juga terdiri dari kecemasan ringan
hingga sedang sebanyak 15 orang (65,2%) dan yang mengalami kecemasan berat
sebanyak 8 orang (34,8%). Saat tanya jawab dengan ibu-ibu wali murid, mereka
mengatakan bahwa mereka sudah sangat terbantu dengan adanya SLB autis ini,
sehingga kecemasan mereka sudah mulai berkurang, dan akhirnya didapatkan ibuibu yang mengalami kecemasan berat lebih sedikit.

33

4.2.4

Tingkat Pengetahuan Ibu


Tingkat pengetahuan ibu di SLB autis Bina Anggita tentang autis terlampir

pada tabel di bawah ini :


Tabel 5 : tingkat pengetahuan ibu di SLB autis Bina Anggita tahun 2009
Tingkat Pengetahuan Ibu
Frekuensi
Persen (%)
Pengetahuan cukup
5
21,7
Pengetahuan baik
18
78,3
Sumber : data primer
Tingkat pengetahuan ibu tentang autis di SLB autis Bina Anggita terdiri
dari pengetahuan cukup dan baik, yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak 5
orang (21,7%) dan pengetahuan baik sebanyak 18 orang(78,3%). Hal ini sesuai
dengan penelitian Retnoningrum (2008), didapatkan ibu dengan pengetahuan
tentang autis yang baik sebanyak 50 persen. Baiknya pengetahuan ibu tentang
autis ini diakui oleh beberapa ibu karena setelah anaknya terdiagnosis autis, maka
ibu akan memperkaya diri dengan pengetahuan tentang autis.
Pengetahuan tentang autis sangat penting bagi orang tua yang memiliki
anak autis karena akan membantu dalam menangani perilaku dan mencari terapi
untuk anaknya.
4.2.5

Saat Paling Mencemaskan Pada Ibu


Saat-saat yang paling mencemaskan yang dialami ibu di SLB autis Bina

Anggita antara lain :


Tabel 6 : saat paling mencemaskan di SLB autis Bina Anggita tahun 2009
Saat Paling Mencemaskan
Frekuensi
Persen (%)
Saat ibu pertama kali menyadari kelainan pada
10
43,5
anak
Saat anak terdiagnosis autis
13
56,5
Sumber : data primer
Perasaan paling cemas yang dirasakan ibu paling besar dirasakan saat anak
terdiagnosis yaitu sebanyak 13 orang (56,5%), dengan beberapa alasan antara lain:
Karena saat pertama kali anak saya terdiagnosis autisme, saya merasa
hilang sudah masa depannya, karena saat itu saya betul-betul tidak paham
dengan namanya penyakit autis, hanya garis besarnya saja dan saya merasa
penyakit itu tdak dapat disembuhkan

34

saat itu segala pikiran berkecamuk, dan timbul pertanyaan-pertanyaan, apa


yang harus saya lakukan? Terapi dimana? Bagaimana menyikapi keluarga dan
lingkungan? Mau bertanya kepada siapa?. Kemudian saya bangkit dan
mencari-cari jalan keluar dengan membaca buku, dan dukungan dari keluarga
dan teman-teman
karena saya tidak tahu apa itu autis, apalagi dengan gejala-gejala atau
keanehan yang ada pada anak saya
Sisanya 10 orang (43,5%) menyatakan paling cemas pada saat ibu
menyadari kelainan pada anaknya, dengan beberapa pendapat antara lain :
karena anak saya adalah tumpuan dan harapan hidup saya, kalau dia
terganggu saya jadi deg-degan dan khawatir dan siapapun orang tua pasti
merasakan semua ini
Dimanapun setiap orang tua pasti merasa sedih bila mengetahui anaknya
mengalami gangguan dalam perkembangannya yang tidak sesuai dengan
perkembangan anak-anak lainnya
Khawatir dengan masa depan anak nantinya
Jadi,

dengan

minimnya

informasi

tentang

autis

di

masyarakat

menyebabkan ibu yang anaknya terdiagnosis autis lebih banyak mengalami


kecemasan karena mereka tidak mengetahui apa autis itu sebenarnya.
4.3 Analisis Bivariat
4.3.1

Hubungan Antara Klasifikasi Autis Dengan Tingkat Kecemasan Ibu.

Gambaran tingkat kecemasan ibu terhadap klasifikasi atau penggolongan


anaknya berdasarkan CARS dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 7: Hubungan antara klasifikasi autis dengan tingkat kecemasan ibu di SLB
autis Bina Anggita tahun 2009
Variabel
Tingkat kecemasan ibu Nilai p Odds
Interval
ratio kepercayaan
Kecemasan Kecemasan
(OR)
(IK 95%)
berat
ringan +
n (%)
sedang
n (%)
Klasifikasi CARS
Autis sedang +
5 (21,7)
7 (30,4)
0,67
1,9
0,33-11,01
berat

35

Autis ringan
Sumber : data primer

3 (13,1)

8 (34,8)

0,67

1,0

0,33-11,01

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki anak autis sedang
hingga berat lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak
7 orang (30,4%), dan ibu yang memiliki anak autis ringan lebih banyak
mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak 8 orang (34,8%)
Dari nilai OR

menggambarkan bahwa autis sedang hingga berat

menyebabkan kecemasan berat 1,9 kali dari pada autis ringan (nilai OR sebesar
1,9 dengan IK 95% 0,33-11,01). Walaupun secara statistik tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara klasifikasi CARS dengan tingkat kecemasan ibu
(p>0,05). Hasil yang tidak signifikan ini bisa saja disebabkan karena jumlah
sampel yang sedikit, dan tidak menyingkirkan faktor lain yang dapat
menyebabkan kecemasan ibu.
Salah satu faktor predisposisi kecemasan berasal dari keluarga, yaitu
adanya konflik yang berasal dari dalam keluarga (Ramaiah, 2003), hal ini sama
menurut Stuart & Sundeen tahun 1995 (cit Ariyana, 2008) faktor predisposisi
kecemasan antara lain adalah perspektif keluarga. Selain itu faktor presipitasi
kecemasan selain dari internal juga berasal dari eksternal. Seorang anak yang
mengalami autis dan telah diklasifikasikan dapat meinimbulkan konflik yang
terjadi dalam keluarga dan merupakan faktor yang berasal dari eksternal.
Kecemasan akan berkurang apabila ditemukan cara untuk menghilangkan
sumber dari kecemasan tersebut. Salah satu terapi kecemasan adalah berorientasi
tilikan, yaitu dengan mengunggkap konflik yang terjadi dan menemukan jalan
keluarnya (Kaplan, 1997).
Dengan adanya sekolah autis, ibu sudah merasa aman karena telah
menemukan salah satu jalan keluar terhadap penyebab kecemasannya dengan
memasukkan anak mereka ke sekolah yang tepat. Oleh karena itulah klasifikasi
anak autis tidak ada hubungannya dengan tingkat kecemasan yang terjadi pada
ibu.

36

4.3.2

Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Ibu Dengan Tingkat


Kecemasan Ibu
Tingkat kecemasan yang dialami ibu berdasarkan tingkat pengetahuan ibu

dapat dilihat pada tabel berikut :


Tabel 8: Hubungan antara pengetahun ibu dengan tingkat kecemasan ibu di SLB
autis Bina Anggita tahun 2009
Variabel
Tingkat kecemasan ibu Nilai p Odds
Interval
ratio kepercayaan
Kecemasan Kecemasan
(OR)
(IK 95%)
berat
ringan +
n (%)
sedang
n (%)
Tingkat pengetahuan ibu
Pengetahuan cukup
2 (8,7)
3 (13,0)
1,00
1,3
0,17-10,25
Pengetahuan baik
6 (26,1)
12 (52,2)
1,00
1.0
0,17-10,25
Sumber : data primer
Ibu dengan pengetahuan cukup lebih banyak mengalami kecemasan ringan
hingga sedang sebanyak 3 orang (13,0%). Sedangkan ibu dengan pengetahuan
baik juga banyak yang mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak 12
orang (52,2%).
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ibu yang cukup
dapat menyebabkan kecemasan berat hingga sedang 1,3 kali dibandingkan dengan
pengetahuan baik (OR 1,3 dengan IK 95% 0,17-10,25), namun secara statistik
tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan tingkat
kecemasan ibu (p=1,00)
Pengetahuan yang luas pada ibu akan mempengaruhi penerimaan ibu
terhadap kondisi anaknya dan memberikan kasih sayang, perhatian dan dapat
memahami perkembangan anak sejak dini (Daryati, 2007).
Menurut Nasution tahun 1999, salah satu faktor yang mempengaruhi
pengetahuan adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan maka akan
mudah menerima hal baru dan akan mudah menyesuaikan dengan hal baru
tersebut (cit Retnoningrum, 2008). Dalam penelitian ini tingkat pendidikan ibu
mayoritas adalah tamat akademi/perguruan tinggi, dan tingkat pengetahuan ibu
tergolong baik.

37

Semua ibu yang memiliki anak autis pasti pernah mendapatkan


pengetahuan tentang autis. Selain itu, untuk kemajuan anaknya maka setelah
terdiagnosis maka ibu akan segera mencari informasi tentang autis. Dengan
informasi-informasi ini akan mengurangi kecemasan pada ibu. Oleh karena itu
tingkat pengatahuan ibu tidak berhubungan dengan kecemasan ibu.
Hal ini dapat disebabkan karena bisa saja disebabkan karena jumlah
sampel yang sedikit, dan tidak menyingkirkan faktor lain yang dapat
menyebabkan kecemasan ibu.
4.3.3

Hubungan Tingkat Kecemasan Ibu Dengan Variabel Lainnya


Gambaran tingkat kecemasan ibu terhadap variabel lainnya dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 9: Hubungan tingkat kecemasan ibu dengan variabel lainnya di SLB autis
Bina Anggita tahun 2009
Variabel
Tingkat kecemasan ibu Nilai p Odds
Interval
ratio kepercayaan
Kecemasan Kecemasan
(OR)
(IK 95%)
berat
ringan +
n (%)
sedang
n (%)
1. Umur anak saat ibu
menyadari kelainan
>2 tahun
3(13,0)
2 (8,7)
0,30
3,9
0,49-30,76
<2 tahun
5 (21,7)
13 (56,5)
0,30
1,0
0,49-30,76
2. Umur anak
terdiagnosis
>3 tahun
3 (13,0)
2 (8,7)
0,30
3,9 0,49-30,67
<3 tahun
5 (21,7)
13 (56,5)
0,30
1,0 0,49-30,67
3. Waktu pendidikan
anak
<6 bulan
2 (8,7)
1 (4,3)
0,27
4,7
0,35-61,83
>6 bulan
6 (26,1)
14 (60,9)
0,27
1,0
0,35-61,83
38

4. Umur ibu
40-49 tahun
30-39 tahun
5. Tingkat pendidikan
ibu
Tamat SMP + SMA
Akademi/Perguruan
tinggi
6. Status pekerjaan ibu
Bukan ibu rumah
tangga
Ibu rumah tangga
Sumber : data primer

4 (17,4)
4 (17,4)

7 (30,4)
8 (34,8)

1,00
1,00

1,1
1,0

0,20-6,37
0,20-6,37

3 (13,0)
5 (21,7)

4 (17,4)
11 (47,8)

0,66
0,66

1,6
1,0

0,26-10,31
0,26-10,31

1 (4,3)

4 (17,4)

0,62

0,4

0,36-4,28

7 (30,4)

11 (47,8)

0,62

1,0

0,36-4,28

Menurut Ann tahun 1996 (cit Ariyana, 2008) faktor yang dapat
menimbulkan kecemasan dapat berasal dari dalam diri sendiri (internal) dan dari
luar diri sendiri (eksternal). Kecemasan yang terjadi pada ibu dapat berasal dari
dalam dirinya sendiri seperti umur ibu, tingkat pendidikan ibu, dan status
pekerjaan ibu. Sedangkan yang merupakan faktor eksternal dapat berupa umur
anak saat ibu menyadari kelainan yang terjadi pada anak, umur anak terdiagnosis
serta waktu pendidikan anak di SLB tersebut.
Semua faktor diatas yang memungkinkan mempengaruhi kecemasan pada
ibu telah diuji dengan pengujian Fisher, dan hasilnya tidak didapatkan hasil yang
signifikan. Hal ini mungkin terjadi akibat sampel yang digunakan sedikit, dan ini
juga tergantung dari faktor penyebab kecemasan lainnya.
Teori psikoanalitik yang dikemukakan Freud, yaitu kecemasan subsequent
dapat terjadi akibat konflik antara elemen-elemen kepribadian yaitu Id dan
superego, Id mewakili insting manusia dan superego mewakili hati nurani (Stuart
& Suden 1995 (cit Ariyana, 2008)). Kepribadian manusia sangat berbeda-beda,
oleh karena itu kecemasan yang terjadi pada ibu juga tergantung pada kepribadian
ibu tersebut.
Ibu yang menyadari anaknya mengalami kelainan saat anak berumur
dibawah 2 tahun mayoritas mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak
13 orang (56,6%). Sedangkan ibu yang menyadari kelainan pada anaknya saat
anak berumur diatas 2 tahun lebih banyak mengalami kecemasan berat sebanyak 3
orang (13,0%).
39

Bila dilihat dari umur anak terdiagnosis, sebanyak 13 ibu (56,5%)


mengalami kecemasan ringan hingga sedang saat anaknya terdiagnosis sebelum
umur 3 tahun. Anak yang baru terdiagnosis setelah umur 3 tahun, lebih banyak
ibu mengalami kecemasan berat yaitu 3 ibu (13,0%).
Nilai OR yang didapatkan dari kedua variabel ini adalah 3,9 dengan IK
95% 0,49-30,76. Berarti ibu yang menyadari kelainan anaknya diatas umur 2
tahun dan anak yang terdiagnosis diatas umur 3 tahun menyebabkan kecemasan
berat 3,9 kali dibandingkan dengan ibu yang menyadari kelainan pada anak
kurang dari 2 tahun dan usia anak terdiagnosis kurang dari 3 tahun. Meskipun
kedua variabel ini tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik
terhadap kecemasan ibu karena nilai p (0,30).
Saat ibu menyadari terdapat kelaianan pada anaknya, maka ibu akan
segera memeriksakan keadaan anaknya dan diagnosis dapat ditegakkan. Pada
awal ibu menyadari kelainan pada anaknya, apalagi setelah anak terdiagnosis
menderita autis ibu akan mengalami shock dan kekhawatiran yang sangat
terhadap kondisi anaknya, namun selanjutnnya ibu akan berusaha untuk menerima
keadaan anaknya dengan mencari informasi tentang autis dan mencari terapi yang
terbaik untuk anaknya. Hal ini dilakukan ibu untuk menghilangkan rasa
kekhawatiran tersebut.
Semakin cepat anak diketahui memiliki kelainan, semakin cepat diagnosis
ditegakkan, dan anak segera mendapatkan terapi maka akan semakin baik
prognosisnya.
Karena itu adalah masa lalu dan kini anak telah mendapatkan terapi dan
sekolah yang baik, maka umur anak saat ibu menyadari kelainan pada anaknya
dan umur anak saat terdiagnosis tidak berhubungan dengan kecemasan pada ibu.
Selain itu kecemasan ibu juga dapat dipengaruhi oleh lamanya waktu anak
telah bersekolah di SLB autis ini, yaitu bila anak telah bersekolah kurang dari 6
bulan lebih banyak ibu mengalami kecemasan berat yaitu 2 ibu (8,7%), dan bila
anak telah bersekolah diatas 6 bulan sebanyak 14 ibu (60,9%) mengalami
kecemasan ringan hingga sedang.

40

Bila dilihat dari nilai OR, anak yang bersekolah kurang dari 6 bulan dapat
menimbulkan kecemasan berat sebanyak 4,7 kali dibandingkan dengan anak yang
bersekolah lebih dari 6 bulan (OR 4,7 dengan IK 95 % 0,35-61,83). Walaupun bila
dilihat dari nilai p (0,27) tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kecemasan yang terjadi pada ibu mungkin akan berkurang akibat sudah
lamanya anak bersekolah, dengan demikian anak akan terus mendapatkan terapi.
Namun mungkin ada beberapa ibu yang justru merasa cemas anaknya lama
bersekolah di SLB autis karena ibu merasa tidak ada kemajuan pada anaknya dan
bila anak terus bersekolah disekolah khusus maka anak akan terus tidak dapat
bersosialisasi.
Menurut DSM-IV, 3 bulan merupakan waktu untuk dapat melakukan
penyesuaian diri, namun penyesuaian diri ini dapat berlanjut hingga kurang dari 6
bulan (Kaplan, 1997). Dengan berjalannya waktu, maka akan teradi proses
penyesuaian dan proses ini dapat mengurangi kecemasan yang terjadi pada ibu.
Sehingga tidak terdapat hubungan kecemasan dengan lamanya waktu anak
bersekolah.
Ibu yang berumur dibawah 39 tahun lebih banyak mengalami kecemasan
ringan hingga sedang sebanyak 8 orang (34,8%) dan ibu yang berumur diatas 39
tahun lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga berat sebenyak 7 orang
(30,4%).
Ibu yang berumur 40-49 tahun akan menyebabkan kecemasan berat
sebanyak 1,1 kali dari pada ibu yang berumur 30-39 tahun, hal ini dapat dilihat
dari nilai OR 1,1 dengan IK 95% 0,20-6,37. Meskipun Dalam penelitian ini tidak
didapatkan hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan tingkat kecemasan
yang terjadi pada ibu, dengan nilai p 1,00 (p>0,05).
Ibu yang usianya telah tua mungkin akan memberikan dampak kecemasan
yang lebih, karena ibu akan mulai berfikir apabila ia sudah meninggal maka siapa
yang akan menjaga anaknya, atau bisa saja terjadi sebaliknya dengan
bertambahnya umur maka ibu akan semakin dewasa dan akan semakin bisa
menerima keadaan anaknya.

41

Orang tua pada umumnya akan merasa pesimis dengan masa depan
anaknya karena anak dengan kelainan autis akan menetap seumur hidup. Namun
ada beberapa orang tua yang menyadari keterbatasan pada anaknya dan
menerimanya apa adanya sehingga harapan yang mereka miliki terhadap anak
mereka menjadi lebih realistik (Retnoningrum, 2008).
Ibu yang lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga sedang
dengan tingkat pendidikan tamat SMP dan SMA sebanyak 4 orang (17,4%). Ibu
dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi lebih banyak mengalami
kecemasan ringan hingga sedang sebanyak 11 orang (47,8%).
Ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki akses yang lebih mudah
untuk mendapatkan informasi tentang kondisi anaknya, serta dapat mengambil
keputusan yang lebih baik (Allen, et al., 2001 (cit Retnoningrum, 2008)). Tingkat
pendidikan ibu yang tinggi, diimbangi juga dengan baiknya pengetahuan ibu
tentang autis. Maka dengan demikian kecemasan yang terjadi akan semakin
berkurang.
Nilai OR variabel ini adalah 1,6 dengan IK 95% 0,26-10,31, berarti ibu
dengan pendidikan tamat SMP dan SMA menyebabkan 1,6 kali mengalami
kecemasan berat dari pada ibu dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan
tinggi. Meskipun dalam penelitian ini nilai p yang didapatkan adalah 0,66, berarti
nilai p lebih besar dari pada 0,05yang berarti bahwa secara statistik tidak terdapat
hubungan antara umur ibu dengan tingkat kecemasan ibu.
Kecemasan ringan hingga sedang lebih banyak dialami ibu yang hanya
sebagai ibu rumah tangga sebanyak 11 orang (47,8%) dan ibu yang bekerja
sebanyak 4 orang (17,4%).
Setelah dilakukan uji Fisher pada penelitian ini, didapatkan nilai p 0,62
dan OR 0,4 dengan IK 95% 0,36-4,28. Dari nilai OR dapat dilihat bahwa ibu yang
bukan ibu rumah tangga dapat menyababkan terjadi kecemasan berat sebanyak 0,4
kali dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Meskipun dilihat dari nilai p bahwa
secara statistik status pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan tingkat kecemasan
ibu.

42

Dikatakan sebelumnya bahwa memiliki anak autis akan berdampak pada


karier ibu. Peran ibu dalam keberhasilan anak autis sangat penting. Jangan ada
hari yang terlewati tanpa interaksi dengan anak (Wijaya, 2006).
Ibu akan lebih memberikan perhatiannya kepada anak, dengan demikian
ibu akan lebih mengetahui kondisi anak. Kecemasan yang terjadi pada ibu
mungkin bisa berkurang dengan semakin dekatnya ibu dengan anak dan semakin
tahunya ibu tentang kondisi anaknya. Sehingga status pekerjaan ibu tidak
berhubungan dengan kecemasan yang terjadi pada ibu.
Dari nilai OR yang didapatkan, faktor yang meningkatkan resiko
kecemasan berat pada ibu adalah lamanya anak bersekolah, umur anak saat ibu
menyadari kelainan pada anak, umur anak terdiagnosis, klasifikasi anak autis,
tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, umur ibu dan yang terakhir adalah status
pekerjaan ibu. Meskipun tidak didapatkan hubungan yang bermakna secara
statistik antara variabel tersebut dengan tingkat kecemasan yang terjadi pada ibu.
Tidak adanya hasil yang signifikan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,
seperti terjadi kesalahan dalam pengolahan data dan pelaksanaan penelitian, tidak
disingkirkannya faktor-faktor lain yang juga dapat menimbulkan kecemasan pada
ibu (seperti penerimaan anak di lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan
anak dalam keluarga (status anak), penyakit lain yang diderita anak, kebudayaan,
pengaruh dari orang lain, sosial ekonomi serta faktor kepribadian ibu tidak diteliti
secara rinci), dan jumlah sampel yang sedikit.

43

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
1. Klasifikasi autis di SLB autis Bina Anggita pada umumnya tergolong autis
sedang hingga berat.
2. Tingkat kecemasan yang terjadi pada ibu mayoritas adalah kecemasan ringan
hingga sedang.
3. Tingkat pengetahuan ibu tentang autis di SLB autis Bina Anggita tergolong
baik.
4. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kalsifikasi anak autis
berdasarkan CARS dengan tingkat kecemasan ibu.

44

5. Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan ibu dengan tingkat


pendidikan ibu.
6. Faktor paling dominan yang dapat menyebabkan kecemasan berat pada ibu
adalah waktu pendidikan anak.
5.2 Saran
1. Untuk SLB autis Bina Anggita, perlu dilakukan suatu rutinitas kelompok
diskusi untuk orang tua dan guru agar orang tua dan guru bisa bertukar
informasi, berbagi pengalaman dan saling mengungkapkan masalah-masalah
pada anak yang mungkin dapat diselesaikan bersama.
2. Untuk SLB autis Bina Anggita perlu diadakan diskusi dengan para ahli autis
tentang keadaan anak atau ahli kejiwaan lainnya untuk menyelesaikan konflik
yang tidak hanya terjadi pada anak, tapi juga pada orang tua ataupun guru,
mengingat kegiatan ini sangat jarang diadakan dan banyaknya konflik atau
masalah yang terjadi pada ibu dan guru.
3. Untuk peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian dengan sampel yang
lebih banyak daripada yang sudah dilakukan.
4. Untuk peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian apakah ada hubungan
perubahan klasifikasi berdasarkan CARS saat ini dan saat terdiagnosis dengan
kecemasan ibu saat ini dan saat terdiagnosis.
5. Untuk peneliti selanjutnya perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor
lain yang mungkin dapat memepengaruhi kecemasan yang terjadi pada ibu
selaian faktor yang telah diteliti, seperti penerimaan anak di lingkungan
keluarga dan masyarakat, kedudukan anak dalam keluarga (status anak),
penyakit lain yang diderita anak, kebudayaan, pengaruh dari orang lain, sosial
ekonomi serta faktor kepribadian ibu tidak diteliti secara rinci

45

DAFTAR PUSTAKA
Andriyos, Benny. 2008. Oscar Yura Dompas Ikon Autisme Indonesia.
http://www.mediaindonesia.com/. Printout tanggal 30 Juni 2008.
Anonim. 2008. Apa Itu Autisme. http://www.rumahautis.com/. Printout tanggal 3
November 2008.
Ariyana,

Desi.

2008.

Gangguan

Kecemasan.

http://www.desiariyana.blogspot.com/. Printout tanggal 30 Januari 2009.


Asteria. 2008. Memanusiakan Anak Autistik. http://www.inilah.com/. Printout
tanggal 3 November 2008.
Budhiman, Melly. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme Dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Majalah Nirmala : Jakarta.
Budiarto, Eko. 2003. Metodologi Penelitian Kedokteran. EGC : Jakarta.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2008. Statistik untuk Kedokteran Dan Kesehatan Jilid
Satu Edisi 3. Salemba Medika : Jakarta.
Danuatmaja, Bonny. 2003. Terapi Anak Autis Di Rumah. Puspa swara : Jakarta.
46

Daryati,

Elia.

2007.

Apakah

Autis

Bisa

Disembuhkan?.

http://www.pikiranrakyatonline.com/. Printout tanggal 7 April 2009.


Handojo, Y. 2003. Autisma : Petunjuk Praktis Dan Pedoman Materi Untuk
Mengajar Anak Normal, Autis Dan Perilaku Lain. PT Bhuana Ilmu
Populer : Jakarta.
Hawari, Dadang. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa Dan Kesehatan Jiwa Edisi 3. PT
Dana Bhakti Prima Yasa : Yogyakarta.
Judarwanto,

Widodo.

2006.

Deteksi

Dini

Dan

Skrening

Autis.

http://www.autism.blogsome.com/. Printout tanggal 30 Juni 2008.


Kaplan & Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid Dua Edisi 7. Binarupsa Aksara :
Jakarta.
Kusuma, Hembing Wijaya. 2004. Psikoterapi Anak Autisma. Pustaka Populer
Obor : Jakarta.
Maramis, W F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press :
Surabaya.
Mariana, Lita. 2006. Ciri-Ciri Autisme. http://www.litamarianasweblog.com/.
Printout tanggal 3 November 2008.
Martaniah, S. M, 1994, Penelitian Tentang Kecemasan Siswa-Siswa Yang
Bersekolah Di SMA Di DIY, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis. Kata Hati : Yogyakarta.
Messwati, Elok Dyah. 2008. Boom! Autisme Terus Meningkat. http://www.kompas.com/.
Printout tanggal 3 November 2008.
Peters, Theo. 2004. Autisme Hubungan Pengetahuan Teoritis dan Intervensi
Pendidikan Bagi Penyandang Autis. Dian Rakyat : Jakarta.
Rahmawati, 2005, Hubungan Antara Pola Konsumsi Glutein dan Kasein dengan
Skor CARS (CHILDHOOD AUTISME RATING SCALE) pada Anak (ASD)

47

Autistik Spectrum Disorder, Tesis, Program Pasca Sarjana, Fakultas


Kedokteran Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Ramaiah, Savitri. 2003. Kecemasan Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Pustaka
Populer Obor : Jakarta.
Rao,

L.Dhanyasi.

2007.

Childhood

Autism

Rating

Scale.

http://www.wikipedia.com/. Printout tanggal 8 Mei 2008.


Riswanto. 2008. Autis bisa diterapi. http://www.autisfamily.blogspot.com/.
Printout tanggal 13 Januari 2008.
Retnoningrum, 2008, Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Ibu Tentang
Autisme Dengan Tingkat Stres Ibu Di SLB Autisme Di Yogyakarta, Skripsi,
Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Safaria, Triantoro. 2005. Autisme : Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna
Bagi Orangtua. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Sastroasmoro, Sudigdo. 2008. Dasar-Dasar Metodelogi Penelitian Klinis Edisi 3.
Sagung Seto : Jakarta.
Sumiarsi, 1999,

Tingkat Kecemasan Orangtua Saat Anak Dirawat Inap Di

Instalasi Rawat Inap II RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta, Karya Tulis Ilmiah,
Program Pendidikan D-IV Perawat Pendidik, Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Suryana, Agus. 2004. Terapi Autisme, Anak Berbakat, dan Anak Hiperaktif.
Progres : Jakarta.
Widihastusi, Setiati. 2007. Pola Pendidikan Anak Autis. CV Datamedia :
Yogyakarta.
Wijaya, Nurwachid Subchan. 2006. Pemahaman Tentang Autisme Terhadap
Penerimaan

Orang

Tua

Yang

Memiliki

Anak

Autisme.

http://

fpsikologi.wisnuwardhana.ac.id/. Printout tanggal 7 April 2009.

48

Yayasan Autisme Indonesia. 2008. Apa Yang Perlu Kita Ketahui Tentang Autisme.
http://www.autisme.or.id/. Printout tanggal 30 Juni 2008.
Yusuf,

Elvi

Andriani.

2003.

Autisme

Masa

Kanak.

http://www.library.usu.ac.id/modules. Printout tanggal 30 Juni 2008.

49

Anda mungkin juga menyukai