PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Anak adalah anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia
sebagai wujud dari cinta kasih manusia. Anak juga merupakan suatu kebanggan
bagi orangtua. Semua orangtua menginginkan anaknya lahir dengan sehat dan
normal. Tapi ketika mereka mengetahui bahwa ada kekurangan pada anaknya,
anugerah ini akan berubah menjadi suatu masalah, sesungguhnya mereka tidak
mengetahui apa yang sudah Tuhan tuliskan untuk mereka, dan dibalik anugerah
yang mereka anggap masalah ini tersimpan suatu hikmah yang besar.
Autis merupakan salah satu hal yang ditakutkan oleh orangtua. Tanpa kita
sadari, autis telah menjadi masalah yang banyak dialami oleh keluarga diseluruh
dunia. Autis terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita
laki-laki 4 kali lebih besar dibandingkan penderita wanita. Namun bila kaum
wanita mengalaminya, maka penderitaannya akan lebih parah dibandingkan kaum
pria (Maulana, 2007).
Banyak orangtua yang menganggap autis merupakan suatu bencana
bahkan
kutukan
bagi
keluarganya.
Autis
merupakan
suatu
gangguan
menggambar dengan sangat baik, dengan warna-warna yang memikat, dan sangat
realis (Mariana, 2006). Teman Osi, Opik, adalah sesama penyandang autisme juga
memamerkan karya-karya, tak kalah dengan karya Osi yang puluhan banyaknya.
Anak autis sama seperti anak-anak yang lain, mereka juga membutuhkan
bimbingan dan dukungan yang lebih dari orangtua dan lingkungan untuk dapat
tumbuh dan berkembang (Danuatmaja, 2003).
Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri, jadi penyandang autis
seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003). Istilah autis pertama
kali diungkapkan oleh Leo Kanner (cit Widihastuti, 2007)
seorang dokter
kesehatan jiwa anak pada tahun 1943. Dia menggambarkan gangguan ini sebagai
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ekolali, mutism, pembalikan
kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitive dan stereotipik, rute ingatan
yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya (Widihastuti, 2007).
Selain diagnosis autis, menurut dr. Sutadi (1998) terdapat juga
pengklasifikasian berat-ringannya autis dengan menggunakan CARS (Childhood
Autisme Rating Scale). Untuk keperluan ilmiah, klasifikasi ini bermanfaat (Yusuf,
2003).
CARS sering digunakan dalam kepentingan klinik sebagai dasar dalam
melakukan pengamatan pada anak autis. CARS ini dikembangkan oleh Eric
Schopler, Robert J. Reichier dan Barbara Rochen Renner tahun 1988 (Rao, 2007).
CARS ini terdiri dari 4 tingkatan, yaitu bukan autis, autis ringan, autis sedang, dan
autis berat. Ada 15 poin yang terdapat dalam CARS.
Telah dikatakan diatas bahwa autis adalah sesuatu yang ditakutkan oleh
orang tua. Seorang anak yang mengalami autis tentu saja akan menyebabkan suatu
kekhawatiran tersendiri untuk keluarganya, terutama ibu. Kecemasan yang
mendalam dapat dialami ibu, terutama bila ia berfikir tentang masa depan
anaknya.
Tapi kecemasan yang dialami setiap ibu belum tentu sama. Mungkin ada
ibu yang dengan lapang dada menerima anaknya apa adanya dan mendidik
2
anaknya dengan lebih baik sehingga anak itu dapat diterima di masyarakat seperti
Oscar, Osi dan Opik. Namun tidak jarang juga seorang ibu yang tidak terima
dengan keadaan anaknya dan tidak merawat anaknya.
Kecemasan
bukanlah
suatu
penyakit
namun
merupakan
suatu
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum :
1. Untuk mengetahui klasifikasi anak autis berdasarkan CARS di SLB Bina
Anggita.
2. Untuk mengetahui tingkat kecemasan ibu di SLB Bina Anggita.
3
Manfaat Penelitian
adalah pada penelitian ini dicari hubungan antara tingkat kecemasan ibu yang
anaknya dirawat inap, dan persamaannya adalah sama-sama mencari tingkat
kecemasan ibu dengan instrument yang sama.
2. Rahmawati, tahun 2005 tentang Hubungan Antara Pola Konsumsi Glutein
dan Kasein dengan Skor CARS (Childhood Autisme Rating Scale) pada Anak
(ASD) Autistik Spectrum Disorder. Penelitian ini merupakan penelitian
cross-sectional yang dilengkapi dengan metode kualitatif untuk mengetahui
pendapat ibu mengenai diet gluten dan kasein. Populasinya adalah semua anak
autis yang sudah terdiagnosis autis dengan menggunakan CARS yang datang
ke PPPTKA (Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak)
Bina Kasih Yogyakarta, sampelnya adalah semua anak yang memenuhi criteria
inklusi. Hasil yang didapatkan : Ada penurunan pola konsumsi gluten dan
kasein sebelum dan sesudah diagnosis, Penelitian ini belum dapat
membuktikan hubungan antara penurunan pola konsumsi glutein dan kasein
dengan penurunan. Perbedaan penelitian ini adalah mengetahui pola konsumsi
glutein dan kasein, dan klasifikasi CARS telah dilakukan oleh PPPTKA,
persamaannya adalah respondennya yaitu anak autis.
3. Retnoningrum, tahun 2008 tentang Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap
Ibu Tentang Autisme Dengan Tingkat Stres Ibu Di SLB Autisme Di
Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional yang
dilakukan pada empat SLB autisme, sampel telah ditentukan dari awal yaitu
sebanyak 30 anak. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah : tingkat
pengetahuan ibu tentang autisme pada umumnya baik, mayoritas sikap ibu
tentang autisme dikategorikan negatif, mayoritas tingkat stress ibu
dikategorikan rendah, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan ibu tentang autis dengan tingkat stress ibu, terdapat hubungan
yang bermakna antara sikap ibu tentang autisme dengan tingkat stress ibu,
tidak terdapat pengaruh yang bermakna antara pengetahuan dan sikap ibu
tentang autisme terhadap tingkat stress ibu secara bersama-sama. Perbedaan
penelitian ini adalah, penelitian ini juga mencari hubungan antara pengetahuan
ibu, sikap ibu dan tingkat stress ibu dengan anak autisme. Persamaannya
adalah mencari hubungan antara ibu dan anak autisme.
5
Definisi Autis
Autis adalah suatu gangguan, yang umumnya dimulai dan dialami oleh
Epidemiologi
Penelitian menunjukkan jumlah penderita autis meningkat dari tahun ke
tahun. Pada 1987, ratio penderita autis 1:5.000. Ini berarti, di antara 5.000 anak,
ada satu anak autistik. Angka ini meningkat tajam, menjadi 1:500 pada 1997,
kemudian jadi 1:150 pada 2000. Para ahli memperkirakan pada 2010 mendatang
penderita autis akan mencapai 60 persen dari keseluruhan populasi di dunia.
Sekitar 80 persen, gejala autis terdapat pada anak laki-laki (Asteria, 2008).
Bila dilihat per negara, di Amerika autis dialami dengan perbandingan
1:150 anak. Angka di Inggris juga menyentak, 1: 100 anak (Messwati, 2008). Di
negara-negara Asia, angka kejadian autis meningkat pesat. Begitu juga di Afrika.
Melihat itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 2 April sebagai World
Autisme Day.
Di Indonesia sampai kini belum ada data yang pasti mengenai jumlah
penyandang autis. Namun berdasarkan pendataan kasar Himpunan autis Indonesia
(Autisme Society of Indonesia /HAI), dalam seminggu setiap poliklinik autis
dikunjungi rata-rata 4-5 penderita baru autis. Diperkirakan angka itu bakal
meningkat tajam, mengingat makin buruknya faktor lingkungan sebagai salah satu
pemicu timbulnya autis (Anonim, 2008).
2.1.3
Etiologi
Sampai saat ini penyebab autis masih merupakan suatu misteri. Berbagai
penelitian terus dikembangkan untuk membuka misteri ini. Sekitar tahun 19501960, timbul teori psikososial yang disebut-sebut sebagai penyebab dari autis,
teori ini mengatakan bahwa autis terjadi akibat orang tua yang dingin, kurang
hangat dan kurang mampu menjalin komunikasi dalam mengasuh anak yang
menyebabkan anak menjadi dingin pula (Widihastuti, 2007).
Namun dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, penelitian tentang penyebab
autis semakin banyak dan berkembang, dengan bantuan kemajuan teknologi
kedokteran dan dibantu dengan otopsi maka akhirnya ditemukan penyebab autis
adalah gangguan susunan saraf pusat. Ditemukan kelainan neuroanatomi pada
beberapa tempat di dalam otak anak autis. Ada tiga lokasi diotak yang mengalami
kelainan, yaitu lobus parietalis, cerebelum, dan sistem limbik.
1. Ditemukan 43 persen dari penyandang autis memiliki kelainan yang khas pada
lobus parietalisnya (Mulana, 2007). Kelainan pada lobus parietalis
menyebabkan anak menjadi tidak peduli pada lingkungannya.
2. Kelainan pada cerebelum (otak kecil), terutama pada lobus VI dan VII,
menyebabkan gangguan pada proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar
berbahasa, dan proses perhatian. Sel Purkinje pada bagian ini menjadi sangat
sedikit, akibatnya produksi serotonin dan dopamine kurang, menyebabkan
kacaunya proses penyaluran informasi didalam otak.
3. Sistem limbik adalah pusat emosi yang letaknya dibagian dalam otak.
Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
Sehingga anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali anak
menjadi sangat agresif atau bahkan sangat pasif. Amygdale juga bertangguang
jawab terhadap rangsangan sensoris seperti pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan, dan rasa takut, sedangkan hippocampus bertanggung
jawab dalam fungsi belajar dan daya ingat, sehingga terjadi kesulitan dalam
menyimpan informasi baru dan menyebabkan anak autis terus melakukan
rutinitas yang sama dan terus menerus (Handojo, 2003).
Penyebab dari kelainan neuroanatomi ini sampai sekarang masih menjadi
perdebatan. Banyak teori yang diungkapkan dari para pakar, antara lain faktor
keturunan (genetik), infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenisasi,
serta polusi udara, air dan makanan. Gangguan ini terjadi pada usia kehamilan
antara 0-4 bulan, yaitu pada fase pembentukan organ-organ (organogenesis),
terutama pada pembentukan organ otak, yaitu setelah 15 minggu umur kehamilan.
Faktor genetik diperkirakan mejadi penyebab utama dari autis, persentasi
dari faktor keturunan adalah 90 persen, kesempatan terkena autis pada saudara
8
kandung dari anak autis adalah 1-8 persen dengan resiko relatifnya adalah 75, hal
ini berarti kemungkinan saudara kandung penyandang autis 75 kali lebih besar
dibandingkan populasi normal untuk dapat menderita autis.
Pada kehamilan trimester pertama (0-4 bulan), beberapa faktor yang
menjadi pemicu timbulnya autis ini antara lain :
1. Infeksi (toksoplasma, rubella, candida)
2. Keracunan logam berat (Pb, Al, Hg, Cd)
3. Keracunan zat adiktif (MSG, pengawet, pewarna)
Pada proses kelahiran yang lama dimana dapat terjadi gangguan nutrisi
dan oksigenisasi juga menjadi pemicu timbulnya autis. Bahkan sesudah kelahiran
juga masih dapat menjadi pemicu autis, yaitu :
1.
2.
3.
4.
2.1.4
Gejala Autis
Timbulnya autis selalu sebelum usia 30 bulan (Safaria, 2005). Awalnya
orang tua mungkin tidak menyadari gejala-gejala dari autis yang terjadi pada
anaknya, terutama orangtua yang baru memiliki anak. Namun sekarang para
orangtua dapat menilainya dengan melihat beberapa faktor berikut ini (Handojo,
2003) :
1. Anak pada usia kurang dari 30 bulan belum dapat berbicara atau
berkomunikasi.
2. Anak hiperaktif atau cuek terhadap orang tua dan orang lain.
3. Anak tidak dapat atau tidak suka bermain dengan teman sebayanya.
4. Ada perilaku aneh pada anak yang dilakukan berulang-ulang.
Apabila terdapat salah satu faktor diatas, maka anak sebaiknya segera
dikonsultasikan kepada dokter spesialis jiwa anak.
Secara garis besar anak-anak autis memiliki masalah dalam bidang :
1. Komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau bahkan sama sekali tidak ada.
9
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara namun
tiba-tiba sirna begitu saja.
c. Kadang terdapat kata-kata yang digunakan tidak sesuai dengan artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat
dimengerti orang lain.
e. Bicara tidak gunakan sebagai alat komunikasi.
f. Senang meniru atau membeo (ekolali)
g. Bila senang meniru, maka mereka dapat menghafal kata-kata tersebut
dengan sangat baik tanpa mengerti artinya.
h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara atau sedikit berbicara sampai usia
dewasa.
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan.
2. Interaksi sosial.
a. Penyandang autis lebih suka menyendiri.
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
3. Gangguan sensoris.
a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda.
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Pola bermain.
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c. Tidak kreatif, tidak imajinatif.
d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan.
e. Senang dengan benda-benda yang berputar.
f. Dapat sangat lengket dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa kemana-mana.
5. Perilaku.
a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri.
c. Tidak suka pada perubahan.
d. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Emosi.
a. Sering marah-marah, tertawa-tawa, dan menangis tanpa alasan.
b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau keinginanya
tidak terpenuhi.
c. Kadang suka menyerang dan merusak.
d. Kadang anak berperilaku meyakiti diri sendiri.
e. Tidak empati dan tidak peduli dengan perasaan orang lain.
10
Gejala di atas tidak semuanya ada pada anak penyandang autis. Gejala
dapat beraneka ragam sehingga tampak bahwa tidak ada anak autis yang benarbenar sama dalam tingkah lakunya.
2.1.5
Diagnosis Autis
Untuk menditeksi apakah anak mengalami ganggua autis kita perlu
mengetahui kriteria dan gejala gangguan autis. Beberapa kriteria yang dapat
dipakai untuk menditeksi autis antara lain :
1. Tanda-tanda awal Autisme Spectrum Disoders (ADS) oleh S.Harris 1989.
2. CHAT (Checkilst for Autisme in Toddler). Checklist ini dikembangkan
sederhana untuk menolong dokter umum, guru, orang tua, petugas kesehatan
guna menskrining anak sampai usia balita atau dibawah 3 tahun.
3. DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi yang
ke empat).
2.1.6
Terapi Autis
Gangguan diotak tidak dapat disembuhkan, tapi dapat ditanggulangi
dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala-gejala autis dapat dikurangi
bahkan dihilangkan sehingga anak bisa bergaul secara normal, tumbuh sebagai
11
orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina keluarga. Hal ini
dikarenakan intervensi dini membuat sel-sel otak baru tumbuh dan menutup selsel lama yang rusak.
Sangat perlu dipahami oleh orangtua bahwa terapi harus dimulai sedini
mungkin sebelum usia 5 tahun. Perkembangan paling pesat dari otak manusia
terjadi pada usia kurang dari 5 tahun, puncaknya yaitu usia 2-3 tahun. Oleh karena
itu terapi yang dilakukan setelah usia 5 tahun hasilnya akan berjalan lebih lambat.
Pada usia 5-7 tahun, perkembangan otak manusia 25 persen lebih lambat dari usia
sebelumnya. Namun demikian walaupun terapi terlambat dilakukan, anak autis
tetap harus mendapat terapi dari pada tidak sama sekali (Handojo, 2003).
Jika anak autis tidak mendapatkan terapi, maka hingga dewasa gejala yang
ada akan tetap ada bahkan akan bertambah parah. Selain umur, keberhasilan terapi
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
1. Berat ringannya gejala, tergantung dari berat ringannya kelainan di otak.
Semakin ringan gejala semakin besar keberhasilan terapi.
2. Usia anak.
Makin muda umur anak yang mendapat terapi maka semakin besar
kemungkinan terapi berhasil.
3. Kecerdasan anak.
Makin cerdas anak maka semakin cepat anak menangkap hal-hal yang
diajarkan.
4. Kemampuan berbahasa dan berbicara.
Tidak semua penyandang autisme berhasil mengembangkan fungsi bicara dan
bahasa, 20 persen penyandang autisme tidak dapat berbicara seumur hidup,
sisanya ada yang bisa berbicara tapi sulit dan kaku dan ada pula yang bisa
lancar berbicara.
5. Intensitas terapi.
Terapi harus dilakukan sangat intensif. Sebaiknya dilakukan 4-8 jam dalam
sehari.
Berikut ini beberapa jenis terapi pada anak autis :
1. Terapi perilaku.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu anak autis agar dapat
menyesuaikan diri dalam masyarakat. Terapi perilaku ini terdiri dari :
a. Terapi okupasi
12
okupasi
akan
menguatkan,
memperbaiki
koordinasi,
dan
memperbaiki
respon
terhadap
lingkungan,
dan
13
15
20
25
Bukan autis
30
35
Ringan
40
45
Sedang
50
55
60
Berat
14
2.3 Kecemasan
2.3.1
Definisi Kecemasan
Kecemasan bukanlah suatu penyakit melainkan suatu gejala. Kebanyakan
Etiologi Kecemasan.
Penyebab dari kecemasan antara lain :
1.
Faktor biologi.
Penelitian biologis pada system neurotransmitter gama aminobutyric acid
Faktor psikososial
Terdapat 2 faktor utama psikososial yang menyebabkan gangguan
15
Gejala Kecemasan.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami
16
mahasiswa yang berfikir dia tidak mampu maka ketika ujian ia menjadi tidak
mampu walaupun ia sudah belajar.
3. Teori behavioral
Berdasarkan teori behavioral, perilaku kecemasan berasal dari rasa frustasi
akan segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
4. Teori perspektif keluarga
Teori keluarga menunjukkan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga.
Kecemasan menunjukkan adanya pola interaksi yang tidak adaptif dalam
sistem keluarga.
5. Teori perspektif biologis
Kecemasan diatur dalam otak oleh reseptor benzodiazepine yang berhubungan
dengan aktivitas Gamma Amino Butyric Acid (GABA).
2.3.5
Diagnosis Kecemasan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan kecemasan pada umumnya adalah
(Ramaiah, 2003) :
1. Kecemasan hebat yang berkepanjangan, paling tidak memiliki 3 dari 4
kategori gejala berikut :
a. Urat saraf semakin tegang
17
Gemetaran, menjadi tegang, rasa sakit pada otot, kelelahan, tidak mampu
bersantai, alis berkedut, selalu mengernyitkan kening, wajah tegang,
gelisah dan resah.
b. Gejala-gejala umum.
Keringat bercucuran, denyut jantung bertambah cepat dan berdegup keras,
tangan dingin dan berkeringat, mulut kering, merasa pusing, kesemutan
pada tangan dan kaki, makin sering buang air kecil, sakit perut, diare, rasa
sakit ditengah perut, dan bernafas cepat.
c. Dugaan kekhawatiran.
Rasa cemas, gelisah, ketakutan, mudah lupa dan mengetahui lebih dulu
bencana.
d. Perhatian.
Perhatian yang meningkat yang mengakibatkan pelengahan pikiran, susah
berkonsentrasi, kurang tidur, mudah marah, tidak sabar dan merasa resah.
2. Merasa cemas berkepanjangan selama setidak-tidaknya satu bulan
3. Tidak ada kaitannya dengan gangguan jiwa seperti depresi.
4. Berusia 18 tahun atau lebih.
2.3.7
Klasifikasi Kecemasan
Klasifikasi tingkat kecemasan menurut Carpenito tahun 2001 (cit Ariyana
2008) :
1. Mild anxiety (cemas ringan).
Cemas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari
dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan
persepsinya. Kemampuan melihat dan mendengar menjadi meningkat. Cemas
ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan kreativitas.
2. Moderate anxiety (cemas sedang)
Cemas sedang memungkinkan seseorang berfokus pada masalah yang sedang
dihadapi dan mengesampingkan yang lain sehingga menyebabkan lapang
persepsi menyempit dan kemampuan melihat dan mendengarnya menurun.
18
Panik.
Pada tingkat ini lahan persepsi sudah tertutup dan orang bersangkutan tidak
dapat melakukan apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan. Terjadi
peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan
dengan orang lain, gangguan persepsi, kehilangan kemampuan berfikir secara
rasional. Panik merupakan pengalaman yang menakutkan dan bisa
melumpuhkan seseorang.
2.3.8
Terapi Kecemasan.
Kecemasan dapat diobati dengan cara :
1. Psikoterapi
Bagi pasien yang secara psikologis bermaksud dan termotivasi untuk mengerti
sumber kecemasannya, psikoterapi mungkin merupakan pengobatan terpilih
(Kaplan, 1997).
Pendekatan psikoterapetik utama untuk gangguan kecemasan umum adalah :
a. Kognitif- perilaku.
Teknik utama yang digunakan dalam pendekatan perilaku adalah relaksasi.
b. Suportif.
Teknik ini menawarkan ketentraman dan kenyamanan bagi pasien.
c. Berorientasi tilikan.
Teknik ini memusatkan untuk mengungkapkan konflik bawah sadar dan
mengenali kekuatan ego.
19
2. Farmakoterapi.
Dua obat utama yang harus dipertimbangkan dalam pengobatan gangguan
kecemasan umum adalah (Kaplan, 1997):
a. Benzodiazepine.
Kira-kira 25-30 persen dari semua pasien tidak berespon dan dapat terjadi
toleransi dan ketergantungan.
b. Buspirone.
Kemungkinan besar efektif pada 60-80 persen pasien dengan gangguan
kecemasan umum.
Jika pengobatan dengan kedua obat diatas tidak efektif maka pengobatan
dengan suatu obat trisiklik atau antagonis adrenergik-beta dapat dipertimbangkan.
Alternative
lain
adalah
menggunakan
obat
kombinasi
seperti
benzodiazepine dan buspirone atau salah satu obat tersebut dengan obat trisiklik
atau satu antagonis adrenergik-beta.
Ringan
Sedang
20
Berat
Lapar, haus, bertentangan dengan hati nurani.
Faktor predisposisi
Anak autis
Ringan
Sedang
Berat
Variabel tergantung
Tingkat Kecemasan Ibu
Variable pengganggu
Umur ibu.
Waktu pendidikan anak
Usia anak pertama kali terdiagnosis.
Usia anak saat ibu menyadari kelainan pada anak
Tingkat pendidikan ibu.
Tingkat pengetahuan ibu.
Status pekerjaan ibu
21
Kriteria inklusi.
1. Anak autis
a. Anak autis yang terdaftar di SLB Bina Anggita.
22
Kriteria eksklusi.
1. Anak autis
a. Anak autis yang sedang dalam keadaan sakit.
b. Anak autis dengan kecacatan atau keterbatasan fisik.
2. Ibu
a. Ibu dalam keadaan sakit atau pergi ke luar kota.
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1
Variabel bebas :
1. Klasifikasi autis.
3.3.2
Variabel tergantung :
1. Tingkat kecemasan ibu.
3.3.3
Variabel pengganggu :
1. Umur ibu.
2. Waktu pendidikan anak
3. Usia anak pertama kali terdiagnosis.
4. Usia anak saat ibu menyadari kelainan pada anak
5. Tingkat pendidikan ibu.
6. Tingkat pengetahuan ibu.
7. Status pekerjaan ibu.
3.4 Definisi Operasional
1. Klasifikasi autis, yaitu penggolongan anak autis dengan metode CARS yang
dilakukan dengan pengamaan tingkah laku anak autis yang bersekolah di SLB
Bina Anggita, CARS ini terdiri dari 15 hal yang diamati dan hasilnya :
Skor
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
23
Bukan autis
Ringan
Sedang
Berat
Pengamatan CARS ini akan dibantu seorang teknisi dan juga didampingi guru
yang mendidik anak anak autis ini sehari-hari. Teknisi akan membantu dalam
pelatihan dan pengisian CARS serta setiap tingkah laku yang diamati akan
ditanyakan kembali pada gurunya (crosscheck).
2. Tingkat kecemasan ibu, maksudnya ialah tingkat kekhawatiran dan ketakutan
berlebihan yang dirasakan seorang ibu akibat dari klasifikasi anak autisnya
dan yang akan diukur dengan metode T-Mas yang terdiri dari 50 pertanyaan
dan hasilnya :
<7
: kecemasan ringan
7-19
: kecemasan sedang
>19
: kecemasan berat.
24
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Akademi/Perguruan Tinggi
25
1. Klasifikasi autis
Untuk melakukan pengklasifikasian anak autis berdasarkan CARS dilakukan
dengan pengamatan langsung kepada anak autis, ada 15 hal yang akan diamati
dalam pemeriksaan ini. Pengamatan ini akan dibantu oleh seorang teknisi dan
hasil pengamatan akan ditenyakan ulang kepada guru yang mendidik anak
autis tersebut sehari-hari.
Total skor CARS berkisar dari 15-60, apabila skor lebih dari 30 maka anak
tersebut termasuk autis.
Penggolongannya adalah :
Skor
15
20
Bukan autis
25
30
35
Ringan
40
45
Sedang
50
55
Berat
60
: kecemasan ringan
7-19
: kecemasan sedang
>19
: kecemasan berat.
Ketentuan ini dibuat oleh Spielberger pada tahun 1971 (Martaniah, 1994).
Keuntungan menggunakan TMAS yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan pemeriksaan relatif cepat dan kuesioner diisi sendiri oleh
responden karena hanya responden yang tahu keadaan sebenarnya.
3. Tingkat pengetahuan ibu
Untuk menilai tingkat pengetahuan ibu digunakan kuesioner yang telah dibuat
oleh Retnoningrum. Kuesioner ini terdiri dari 10 pertanyaan yang yang
masing-masing pertanyaan memiliki jawaban Benar atau Salah. Tiap
26
jawaban yang sesuai akan berniali 1, skor dari jawaban ini akan digolongkan
menjadi 3, yaitu :
Pengetahuan kurang : <33,33
Pengetahuan cukup : 33,33-66,67
Pengetahuan baik : >66,67
Januari
Bulan
Februari Maret April
Mei
1. Tahap persiapan
a. Pembuatan
proposal
b. Konsultasi
c. Seminar proposal
d. Penyelesaian
administrasi
2. Tahap pelaksanaan
a. Pengamatan anak
autisme
b. Penyebaran
kuesioner ibu
3. Tahap penyelesaian
a. Analisis data
b. Pembuatan laporan
27
hasil
c. Seminar hasil
3.8 Rencana Analisis Data
Rencana analisis data penelitian ini dilakukan dengan bantuan program
SPSS. Pada penelitian ini terdapat 2 kelompok data berpasangan, maka uji
statistik yang digunakan adalah uji chi-square. Namun bila syarat uji Chi-square
ini tidak terpenuhi maka analisis data yang digunakan adalah uji fisher.
3.9 Kelemahan dan Kesulitan Penelitian
3.9.1
Kelemahan Penelitian
Kesulitan Penelitian
1. Untuk
melakukan
penelitian
klasifikasi
CARS
perlu
dilakukan
pengamatan pada anak, hal ini cukup sulit dilakukan terutama pada anak
yang hiperaktif.
2. Sulitnya mengumpulkan dan meminta waktu kepada ibu untuk mengisi
kuesioner karena ibu biasanya hanya mengantar dan menjemput anak dan
hanya beberapa ibu yang menunggu anaknya.
3.10
Etika Penelitian
1. Informed
consent
(persetujuan
setelah
penjelasan).
Peneliti
29
Setiap harinya sekolah ini dibagi menjadi dua sesi, sesi pagi bagi murid
yang TK dan sesi siang untuk anak kelas 1, 2, 3, 4, dan 5 juga bagi murid yang
telah masuk ke sekolah regular. Bagi murid yang masuk pagi, tiap pagi dilakukan
senam, setelah itu murid akan diberi sarapan sesuai diet masing-masing, setelah
itu baru pelajaran dimulai. Tiap-tiap murid memiliki satu buk harian yang akan
diisi oleh guru masing-masing tentang perkembangan anak hari itu.
Bagi murid muslim, di sekolah ini mereka juga mengajarkan ibadah, hal
yang diajarkan disekolah ini antara lain setiap mau pulang anak-anak diajarkan
membaca ayat-ayat pendek, dan siang hari anak-anak diajak sholat dzuhur
berjamaah.
Karakteristik Responden
Responden penelitian ini adalah murid dan ibunya. Jumlah murid yang
terdapat di sekolah ini adalah 29 orang, namun tidak semuanya adalah anak autis,
ada 2 anak yang bukan terdiganosis autisme. Dari 27 murid yang ada, terdapat 2
murid yang tidak tinggal dengan orang tuanya dan 2 murid lagi yang orang tuanya
tidak dapat ditemui. Jadi keseluruhan murid dan orang tua yang digunakan
sebagai responden adalah 23 orang.
Tabel 2 : distribusi frekuensi karakteristik penelitian di SLB autis Bina Anggita
tahun 2009
Karakteristik
Frekuensi
Persen (%)
1. Umur anak saat ibu menyadari kelainan pada
anak
<2 tahun
>2 tahun
18
78,3
21,7
30
18
78,3
>3 tahun
21,7
<6 bulan
13,0
>6 bulan
20
87,0
30-39 tahun
12
52,2
40-49 tahun
11
47,8
30,4
Akademi/Perguruan tinggi
16
69,6
18
78,3
21,7
4. Umur ibu
pendidikan
ibu
didominasi
dengan
tingkat
pendidikan
akademi/perguruan tinggi, yaitu sebanyak 16 orang (69,9%) dan jumlah ibu yang
tamat SMP dan SMA adalah 7 orang (30,4%). Hal ini sesuai dengan penelitian
Retnoningrum (2008), dikatakan bahwa tingkat pendidikan ibu yang memiliki
anak autis dengan presentase terbesar adalah perguruan tinggi, yaitu 70 persen.
Menurut Shalahudin tahun 1990, orang tua yang berpendidikan akan lebih
mengerti kebutuhan yang tepat dalam mengasuh anaknya (cit Retnoningrum,
2008).
Menurut status pekerjaan ibu sebagian besar ibu adalah ibu rumah tangga,
yaitu sebanyak 18 orang (78,3%) dan ibu yang bekerja sebanyak 5 orang(21,7%).
Mengasuh anak autis secara umum berdampak pada karier ibu dalam bekerja, hal
ini sependapat dengan penelitian Retnoningrum (2008).
32
4.2.2
Klasifikasi CARS
Setelah dilakukan pengamatan, dapat dilihat klasifikasi murid autis di SLB
4.2.3
33
4.2.4
34
dengan
minimnya
informasi
tentang
autis
di
masyarakat
35
Autis ringan
Sumber : data primer
3 (13,1)
8 (34,8)
0,67
1,0
0,33-11,01
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa ibu yang memiliki anak autis sedang
hingga berat lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak
7 orang (30,4%), dan ibu yang memiliki anak autis ringan lebih banyak
mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak 8 orang (34,8%)
Dari nilai OR
menyebabkan kecemasan berat 1,9 kali dari pada autis ringan (nilai OR sebesar
1,9 dengan IK 95% 0,33-11,01). Walaupun secara statistik tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara klasifikasi CARS dengan tingkat kecemasan ibu
(p>0,05). Hasil yang tidak signifikan ini bisa saja disebabkan karena jumlah
sampel yang sedikit, dan tidak menyingkirkan faktor lain yang dapat
menyebabkan kecemasan ibu.
Salah satu faktor predisposisi kecemasan berasal dari keluarga, yaitu
adanya konflik yang berasal dari dalam keluarga (Ramaiah, 2003), hal ini sama
menurut Stuart & Sundeen tahun 1995 (cit Ariyana, 2008) faktor predisposisi
kecemasan antara lain adalah perspektif keluarga. Selain itu faktor presipitasi
kecemasan selain dari internal juga berasal dari eksternal. Seorang anak yang
mengalami autis dan telah diklasifikasikan dapat meinimbulkan konflik yang
terjadi dalam keluarga dan merupakan faktor yang berasal dari eksternal.
Kecemasan akan berkurang apabila ditemukan cara untuk menghilangkan
sumber dari kecemasan tersebut. Salah satu terapi kecemasan adalah berorientasi
tilikan, yaitu dengan mengunggkap konflik yang terjadi dan menemukan jalan
keluarnya (Kaplan, 1997).
Dengan adanya sekolah autis, ibu sudah merasa aman karena telah
menemukan salah satu jalan keluar terhadap penyebab kecemasannya dengan
memasukkan anak mereka ke sekolah yang tepat. Oleh karena itulah klasifikasi
anak autis tidak ada hubungannya dengan tingkat kecemasan yang terjadi pada
ibu.
36
4.3.2
37
Tabel 9: Hubungan tingkat kecemasan ibu dengan variabel lainnya di SLB autis
Bina Anggita tahun 2009
Variabel
Tingkat kecemasan ibu Nilai p Odds
Interval
ratio kepercayaan
Kecemasan Kecemasan
(OR)
(IK 95%)
berat
ringan +
n (%)
sedang
n (%)
1. Umur anak saat ibu
menyadari kelainan
>2 tahun
3(13,0)
2 (8,7)
0,30
3,9
0,49-30,76
<2 tahun
5 (21,7)
13 (56,5)
0,30
1,0
0,49-30,76
2. Umur anak
terdiagnosis
>3 tahun
3 (13,0)
2 (8,7)
0,30
3,9 0,49-30,67
<3 tahun
5 (21,7)
13 (56,5)
0,30
1,0 0,49-30,67
3. Waktu pendidikan
anak
<6 bulan
2 (8,7)
1 (4,3)
0,27
4,7
0,35-61,83
>6 bulan
6 (26,1)
14 (60,9)
0,27
1,0
0,35-61,83
38
4. Umur ibu
40-49 tahun
30-39 tahun
5. Tingkat pendidikan
ibu
Tamat SMP + SMA
Akademi/Perguruan
tinggi
6. Status pekerjaan ibu
Bukan ibu rumah
tangga
Ibu rumah tangga
Sumber : data primer
4 (17,4)
4 (17,4)
7 (30,4)
8 (34,8)
1,00
1,00
1,1
1,0
0,20-6,37
0,20-6,37
3 (13,0)
5 (21,7)
4 (17,4)
11 (47,8)
0,66
0,66
1,6
1,0
0,26-10,31
0,26-10,31
1 (4,3)
4 (17,4)
0,62
0,4
0,36-4,28
7 (30,4)
11 (47,8)
0,62
1,0
0,36-4,28
Menurut Ann tahun 1996 (cit Ariyana, 2008) faktor yang dapat
menimbulkan kecemasan dapat berasal dari dalam diri sendiri (internal) dan dari
luar diri sendiri (eksternal). Kecemasan yang terjadi pada ibu dapat berasal dari
dalam dirinya sendiri seperti umur ibu, tingkat pendidikan ibu, dan status
pekerjaan ibu. Sedangkan yang merupakan faktor eksternal dapat berupa umur
anak saat ibu menyadari kelainan yang terjadi pada anak, umur anak terdiagnosis
serta waktu pendidikan anak di SLB tersebut.
Semua faktor diatas yang memungkinkan mempengaruhi kecemasan pada
ibu telah diuji dengan pengujian Fisher, dan hasilnya tidak didapatkan hasil yang
signifikan. Hal ini mungkin terjadi akibat sampel yang digunakan sedikit, dan ini
juga tergantung dari faktor penyebab kecemasan lainnya.
Teori psikoanalitik yang dikemukakan Freud, yaitu kecemasan subsequent
dapat terjadi akibat konflik antara elemen-elemen kepribadian yaitu Id dan
superego, Id mewakili insting manusia dan superego mewakili hati nurani (Stuart
& Suden 1995 (cit Ariyana, 2008)). Kepribadian manusia sangat berbeda-beda,
oleh karena itu kecemasan yang terjadi pada ibu juga tergantung pada kepribadian
ibu tersebut.
Ibu yang menyadari anaknya mengalami kelainan saat anak berumur
dibawah 2 tahun mayoritas mengalami kecemasan ringan hingga sedang sebanyak
13 orang (56,6%). Sedangkan ibu yang menyadari kelainan pada anaknya saat
anak berumur diatas 2 tahun lebih banyak mengalami kecemasan berat sebanyak 3
orang (13,0%).
39
40
Bila dilihat dari nilai OR, anak yang bersekolah kurang dari 6 bulan dapat
menimbulkan kecemasan berat sebanyak 4,7 kali dibandingkan dengan anak yang
bersekolah lebih dari 6 bulan (OR 4,7 dengan IK 95 % 0,35-61,83). Walaupun bila
dilihat dari nilai p (0,27) tidak didapatkan hubungan yang signifikan.
Kecemasan yang terjadi pada ibu mungkin akan berkurang akibat sudah
lamanya anak bersekolah, dengan demikian anak akan terus mendapatkan terapi.
Namun mungkin ada beberapa ibu yang justru merasa cemas anaknya lama
bersekolah di SLB autis karena ibu merasa tidak ada kemajuan pada anaknya dan
bila anak terus bersekolah disekolah khusus maka anak akan terus tidak dapat
bersosialisasi.
Menurut DSM-IV, 3 bulan merupakan waktu untuk dapat melakukan
penyesuaian diri, namun penyesuaian diri ini dapat berlanjut hingga kurang dari 6
bulan (Kaplan, 1997). Dengan berjalannya waktu, maka akan teradi proses
penyesuaian dan proses ini dapat mengurangi kecemasan yang terjadi pada ibu.
Sehingga tidak terdapat hubungan kecemasan dengan lamanya waktu anak
bersekolah.
Ibu yang berumur dibawah 39 tahun lebih banyak mengalami kecemasan
ringan hingga sedang sebanyak 8 orang (34,8%) dan ibu yang berumur diatas 39
tahun lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga berat sebenyak 7 orang
(30,4%).
Ibu yang berumur 40-49 tahun akan menyebabkan kecemasan berat
sebanyak 1,1 kali dari pada ibu yang berumur 30-39 tahun, hal ini dapat dilihat
dari nilai OR 1,1 dengan IK 95% 0,20-6,37. Meskipun Dalam penelitian ini tidak
didapatkan hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan tingkat kecemasan
yang terjadi pada ibu, dengan nilai p 1,00 (p>0,05).
Ibu yang usianya telah tua mungkin akan memberikan dampak kecemasan
yang lebih, karena ibu akan mulai berfikir apabila ia sudah meninggal maka siapa
yang akan menjaga anaknya, atau bisa saja terjadi sebaliknya dengan
bertambahnya umur maka ibu akan semakin dewasa dan akan semakin bisa
menerima keadaan anaknya.
41
Orang tua pada umumnya akan merasa pesimis dengan masa depan
anaknya karena anak dengan kelainan autis akan menetap seumur hidup. Namun
ada beberapa orang tua yang menyadari keterbatasan pada anaknya dan
menerimanya apa adanya sehingga harapan yang mereka miliki terhadap anak
mereka menjadi lebih realistik (Retnoningrum, 2008).
Ibu yang lebih banyak mengalami kecemasan ringan hingga sedang
dengan tingkat pendidikan tamat SMP dan SMA sebanyak 4 orang (17,4%). Ibu
dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan tinggi lebih banyak mengalami
kecemasan ringan hingga sedang sebanyak 11 orang (47,8%).
Ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki akses yang lebih mudah
untuk mendapatkan informasi tentang kondisi anaknya, serta dapat mengambil
keputusan yang lebih baik (Allen, et al., 2001 (cit Retnoningrum, 2008)). Tingkat
pendidikan ibu yang tinggi, diimbangi juga dengan baiknya pengetahuan ibu
tentang autis. Maka dengan demikian kecemasan yang terjadi akan semakin
berkurang.
Nilai OR variabel ini adalah 1,6 dengan IK 95% 0,26-10,31, berarti ibu
dengan pendidikan tamat SMP dan SMA menyebabkan 1,6 kali mengalami
kecemasan berat dari pada ibu dengan tingkat pendidikan akademi/perguruan
tinggi. Meskipun dalam penelitian ini nilai p yang didapatkan adalah 0,66, berarti
nilai p lebih besar dari pada 0,05yang berarti bahwa secara statistik tidak terdapat
hubungan antara umur ibu dengan tingkat kecemasan ibu.
Kecemasan ringan hingga sedang lebih banyak dialami ibu yang hanya
sebagai ibu rumah tangga sebanyak 11 orang (47,8%) dan ibu yang bekerja
sebanyak 4 orang (17,4%).
Setelah dilakukan uji Fisher pada penelitian ini, didapatkan nilai p 0,62
dan OR 0,4 dengan IK 95% 0,36-4,28. Dari nilai OR dapat dilihat bahwa ibu yang
bukan ibu rumah tangga dapat menyababkan terjadi kecemasan berat sebanyak 0,4
kali dibandingkan dengan ibu rumah tangga. Meskipun dilihat dari nilai p bahwa
secara statistik status pekerjaan ibu tidak berhubungan dengan tingkat kecemasan
ibu.
42
43
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Andriyos, Benny. 2008. Oscar Yura Dompas Ikon Autisme Indonesia.
http://www.mediaindonesia.com/. Printout tanggal 30 Juni 2008.
Anonim. 2008. Apa Itu Autisme. http://www.rumahautis.com/. Printout tanggal 3
November 2008.
Ariyana,
Desi.
2008.
Gangguan
Kecemasan.
Daryati,
Elia.
2007.
Apakah
Autis
Bisa
Disembuhkan?.
Widodo.
2006.
Deteksi
Dini
Dan
Skrening
Autis.
47
L.Dhanyasi.
2007.
Childhood
Autism
Rating
Scale.
Instalasi Rawat Inap II RSUD Dr. Sardjito Yogyakarta, Karya Tulis Ilmiah,
Program Pendidikan D-IV Perawat Pendidik, Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Suryana, Agus. 2004. Terapi Autisme, Anak Berbakat, dan Anak Hiperaktif.
Progres : Jakarta.
Widihastusi, Setiati. 2007. Pola Pendidikan Anak Autis. CV Datamedia :
Yogyakarta.
Wijaya, Nurwachid Subchan. 2006. Pemahaman Tentang Autisme Terhadap
Penerimaan
Orang
Tua
Yang
Memiliki
Anak
Autisme.
http://
48
Yayasan Autisme Indonesia. 2008. Apa Yang Perlu Kita Ketahui Tentang Autisme.
http://www.autisme.or.id/. Printout tanggal 30 Juni 2008.
Yusuf,
Elvi
Andriani.
2003.
Autisme
Masa
Kanak.
49