Anda di halaman 1dari 56

Kehamilan ektopik adalah salah satu komplikasi kehamilan di mana ovumyang sudah dibuahi

menempel di jaringan yang bukan dinding rahim.


Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa
ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu,
khususnya pada trimester pertama. Karena manifestasinya yang cukup dramatis, sering kali KET
dijumpai terlebih dahulu bukan oleh dokter-dokter ahli kebidanan, melainkan dokter-dokter yang
bekerja di unit gawat darurat, sehingga entitas ini perlu diketahui oleh setiap dokter. Di masa
lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih
morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun demikian, kehamilan
ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang obstetri. Perkembangan
teknologi fertilitas dan kontrasepsi memang di satu sisi menyelesaikan masalah infertilitas
maupun KB, namun di sisi lain menciptakan masalah baru. Kehamilan ektopik dapat terjadi
sebagai akibat usaha fertilisasi in vitro pada seorang ibu, dan kehamilan ektopik tersebut dapat
menurunkan kesempatan pasangan infertil yang bersangkutan untuk mendapatkan anak pada
usaha berikutnya. Masalah yang lain ialah masalah diagnosis. Tidak semua pusat kesehatan di
negara ini mempunyai fasilitas pencitraan, dan dalam menghadapi pasien yang datang dengan
keluhan maupun tanda KET, tidak semua dokter, terutama primary-care physician, segera
memikirkan KET sebagai salah satu diagnosis banding. Hal ini mengakibatkan keterlambatan
diagnosis dan terapi yang adekuat. Kehamilan ektopik yang belum terganggu juga menjadi
masalah tersendiri, karena seolah-olah menjadi bom waktu dalam tubuh pasien. Hal ini terjadi
bila tidak ada fasilitas diagnostik yang menunjang, seperti yang terjadi di berbagai daerah rural
di Indonesia. Dengan diagnosis yang tepat dan cepat kesejahteraan ibu, bahkan janin, dapat
ditingkatkan.
Definisi
Suatu kehamilan disebut kehamilan ektopik bila zigot terimplantasi di lokasi-lokasi selain cavum
uteri, seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah kehamilan ektopik
terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan pada kehamilan tersebut
sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.

Epidemiologi
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun secara kuantitatif
mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan prevalensi KET cenderung
meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan alat diagnostik canggih, semakin
banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis sehingga semakin tinggi pula insidens dan
prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi pula meningkatkan persentase kehamilan ektopik,
karena keberhasilan kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan
kehamilan ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan keterjadian
kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti fertilisasi in
vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan ektopik. Di Amerika Serikat,
kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241 kehamilan, dan 85-90% kasus
kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.
Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot
menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan kehamilan ektopik antara lain:
riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti
apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolanpenonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun
ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu
ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan
faktor hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban,
sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri. Dikatakan juga bahwa
meningkatnya usia ibu akan diiringi dengan penurunan aktivitas mioelektrik tuba. Teknik-teknik
reproduktif seperti gamete intrafallopian transfer dan fertilisasi in vitro juga sering menyebabkan
implantasi ekstrauterin. Ligasi tuba yang tidak sempurna memungkinkan sperma untuk melewati
bagian tuba yang sempit, namun ovum yang telah dibuahi sering kali tidak dapat melewati
bagian tersebut. Alat kontrasepsi dalam rahim selama ini dianggap sebagai penyebab kehamilan
ektopik. Namun ternyata hanya AKDR yang mengandung progesteron yang meningkatkan

frekuensi kehamilan ektopik. AKDR tanpa progesteron tidak meningkatkan risiko kehamilan
ektopik, tetapi bila terjadi kehamilan pada wanita yang menggunakan AKDR, besar
kemungkinan kehamilan tersebut adalah kehamilan ektopik.

Patofisiologi Kehamilan Tuba


Tempat-tempat implantasi kehamilan ektopik antara lain ampulla tuba (lokasi tersering), isthmus,
fimbriae, pars interstitialis, kornu uteri, ovarium, rongga abdomen, serviks dan ligamentum
kardinal. Zigot dapat berimplantasi tepat pada sel kolumnar tuba maupun secara interkolumnar.
Pada keadaan yang pertama, zigot melekat pada ujung atau sisi jonjot endosalping yang relatif
sedikit mendapat suplai darah, sehingga zigot mati dan kemudian diresorbsi. Pada implantasi
interkolumnar, zigot menempel di antara dua jonjot. Zigot yang telah bernidasi kemudian
tertutup oleh jaringan endosalping yang menyerupai desidua, yang disebut pseudokapsul. Villi
korialis dengan mudah menembus endosalping dan mencapai lapisan miosalping dengan
merusak integritas pembuluh darah di tempat tersebut. Selanjutnya, hasil konsepsi berkembang,
dan perkembangannya tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tempat implantasi,
ketebalan tempat implantasi dan banyaknya perdarahan akibat invasi trofoblas.
Seperti kehamilan normal, uterus pada kehamilan ektopik pun mengalami hipertrofi akibat
pengaruh hormon estrogen dan progesteron, sehingga tanda-tanda kehamilan seperti tanda Hegar
dan Chadwick pun ditemukan. Endometrium pun berubah menjadi desidua, meskipun tanpa
trofoblas. Sel-sel epitel endometrium menjadi hipertrofik, hiperkromatik, intinya menjadi lobular
dan sitoplasmanya bervakuol. Perubahan selular demikian disebut sebagai reaksi Arias-Stella.
Karena tempat implantasi pada kehamilan ektopik tidak ideal untuk berlangsungnya kehamilan,
suatu saat kehamilan ektopik tersebut akan terkompromi. Kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi pada kehamilan ektopik adalah: 1) hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi, 2)
abortus ke dalam lumen tuba, dan 3) ruptur dinding tuba.
Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampullaris, sedangkan
ruptur lebih sering terjadi pada kehamilan pars isthmica. Pada abortus tuba, bila pelepasan hasil

konsepsi tidak sempurna atau tuntas, maka perdarahan akan terus berlangsung. Bila perdarahan
terjadi sedikit demi sedikit, terbentuklah mola kruenta. Tuba akan membesar dan kebiruan
(hematosalping), dan darah akan mengalir melalui ostium tuba ke dalam rongga abdomen hingga
berkumpul di kavum Douglas dan membentuk hematokel retrouterina.
Pada kehamilan di pars isthmica, umumnya ruptur tuba terjadi lebih awal, karena pars isthmica
adalah bagian tuba yang paling sempit. Pada kehamilan di pars interstitialis ruptur terjadi lebih
lambat (8-16 minggu) karena lokasi tersebut berada di dalam kavum uteri yang lebih akomodatif,
sehingga sering kali kehamilan pars interstitialis disangka sebagai kehamilan intrauterin biasa.
Perdarahan yang terjadi pada kehamilan pars interstitialis cepat berakibat fatal karena suplai
darah berasal dari arteri uterina dan ovarika. Oleh sebab itu kehamilan pars interstitialis adalah
kehamilan ektopik dengan angka mortalitas tertinggi. Kerusakan yang melibatkan kavum uteri
cukup besar sehingga histerektomi pun diindikasikan. Ruptur, baik pada kehamilan fimbriae,
ampulla, isthmus maupun pars interstitialis, dapat terjadi secara spontan maupun akibat trauma
ringan, seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Bila setelah ruptur janin terekspulsi ke luar
lumen tuba, masih terbungkus selaput amnion dan dengan plasenta yang masih utuh, maka
kehamilan dapat berlanjut di rongga abdomen. Untuk memenuhi kebutuhan janin, plasenta dari
tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, seperti uterus, usus dan ligamen.
Manifestasi Klinik Kehamilan Tuba
Gejala Subjektif
Sebagian besar pasien merasakan nyeri abdomen, keterlambatan menstruasi dan perdarahan per
vaginam. Nyeri yang diakibatkan ruptur tuba berintensitas tinggi dan terjadi secara tiba-tiba.
Penderita dapat jatuh pingsan dan syok. Nyeri akibat abortus tuba tidak sehebat nyeri akibat
ruptur tuba, dan tidak terus-menerus. Pada awalnya nyeri terdapat pada satu sisi, tetapi setelah
darah masuk ke rongga abdomen dan merangsang peritoneum, nyeri menjadi menyeluruh.
Perdarahan per vaginam berasal dari pelepasan desidua dari kavum uteri dan dari abortus tuba.
Umumnya perdarahan tidak banyak dan berwarna coklat tua. Keterlambatan menstruasi
tergantung pada usia gestasi. Penderita mungkin tidak menyangka bahwa dirinya hamil, atau
menyangka dirinya hamil normal, atau mengalami keguguran (abortus tuba). Sebagian penderita

tidak mengeluhkan keterlambatan haid karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya.
Kadang-kadang pasien merasakan nyeri yang menjalar ke bahu. Hal ini disebabkan iritasi
diafragma oleh hemoperitoneum.
Temuan objektif
Pada kasus-kasus yang dramatis, sering kali pasien datang dalam keadaan umum yang buruk
karena syok. Tekanan darah turun dan frekuensi nadi meningkat. Darah yang masuk ke dalam
rongga abdomen akan merangsang peritoneum, sehingga pada pasien ditemukan tanda-tanda
rangsangan peritoneal (nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire). Bila
perdarahan berlangsung lamban dan gradual, dapat dijumpai tanda anemia pada pasien.
Hematosalping akan teraba sebagai tumor di sebelah uterus. Dengan adanya hematokel
retrouterina, kavum Douglas teraba menonjol dan nyeri pada pergerakan (nyeri goyang porsio).
Di samping itu dapat ditemukan tanda-tanda kehamilan, seperti pembesaran uterus.
Diagnosis
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. KET harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia
reproduktif mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut bawah
yang gradual, disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah keterlambatan haid, dan pada
pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang
porsio, atau massa di samping uterus. Adanya riwayat penggunaan AKDR, infeksi alat
kandungan, penggunaan pil kontrasepsi progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat
faktor-faktor risiko lainnya memperkuat dugaan KET. Namun sebagian besar pasien menyangkal
adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas.
Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan denyut jantung janin
dengan kavum uteri yang kosong, maka diagnosis pasti dapat ditegakkan. USG transvaginal
dapat mendeteksi tubal ring (massa berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang
mengelilingi pusat yang hipoekhoik); gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan
ektopik. USG transvaginal juga memungkinkan evaluasi kavum pelvis dengan lebih baik,
termasuk visualisasi cairan di kavum Douglas dan massa pelvis.

Kadar hCG membantu penegakan diagnosis, meskipun tidak ada konsensus mengenai kadar hCG
yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik dapat dibedakan dari kehamilan
normal dengan pemeriksaan kadar hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG
serum meningkat dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan
yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable, dan peningkatan
sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable. Fenomena ini, bila disertai dengan
terdeteksinya kavum uteri yang kosong, mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara
klinis, penegakan diagnosis KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis, karena
dapat mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu, peningkatan kadar hCG serum dua kali
lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7 kehamilan. Oleh sebab itu, umumnya
yang diperiksakan adalah hCG kualitatif untuk diagnosis cepat kehamilan.
Dengan adanya USG dan pemeriksaan kadar hCG yang lebih akurat, kuldosentesis sudah tidak
terlalu sering dilakukan. Meskipun demikian, tindakan tersebut masih dilakukan bila tidak ada
fasilitas USG atau bila pada pemeriksaan USG kantong gestasi tidak berhasil terdeteksi.
Kadar progesteron pada kehamilan nonviable memang menurun, namun penurunan kadar
progesteron tersebut tidak dapat membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens.
Diagnosis juga dapat ditegakkan secara bedah (surgical diagnosis). Kuretase dapat dikerjakan
untuk membedakan kehamilan ektopik dari abortus insipiens atau abortus inkomplet. Kuretase
tersebut dianjurkan pada kasus-kasus di mana timbul kesulitan membedakan abortus dari
kehamilan ektopik dengan kadar progesteron serum di bawah 5 ng/ml, -hCG meningkat
abnormal (< 2000 mU/mL) dan kehamilan uterin tidak terdeteksi dengan USG transvaginal.
Diagnosis secara bedah juga dapat dilakukan dengan laparoskopi dan laparotomi. Laparotomi
umumnya dikerjakan bila keadaan hemodinamik pasien tidak stabil.
Diagnosis Banding
Keadaan-keadaan patologis baik di dalam maupun di luar bidang obstetri-ginekologi perlu
dipikirkan sebagai diagnosis banding KET. Kelainan bidang obstetri-ginekologi yang didiagnosis
banding dengan KET antara lain abortus, kista ovarii terpuntir, perdarahan uterin disfungsional,

endometriosis, salpingitis, ruptur kista luteal dan penyakit trofoblastik gestasional. Penyakit di
luar bidang obstetri-ginekologi yang manifestasinya menyerupai KET adalah apendisitis.
Penatalaksanaan Kehamilan Tuba
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi kehamilan
dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari
penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan
kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik dan
tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant management),
penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.
Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien -hCG. Padabdengan
kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG yangbpenatalaksanaan ekspektasi,
kehamilan ektopik dini dengan kadar stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab
itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini.
Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan -hCG yang
menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak adabektopik dengan kadar perdarahan intraabdominal atau
ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak -hCG awal harus kurangbmelebihi 3.5 cm. Sumber
lain menyebutkan bahwa kadar dari 1000 mIU/mL, dan diameter massa ektopik tidak melebihi
3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba.
Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan dan sel
hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki syarat-syarat
berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak ada aktivitas

jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum Douglas, harus teratur
menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi,
tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan
intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak
memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa
metode terminasi kehamilan ektopik secara medis.
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan, termasuk
penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel
trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan
dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi kehamilan tersebut. Seperti
halnya dengan penatalaksanaan medis untuk kehamilan ektopik pada umumnya, kandidatkandidat untuk terapi methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar
dan profil darah yang normal. Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis
secara umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada
usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien
harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan,
dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan. Selain itu, tandatanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien
harus sesegera mungkin menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga
dilarang. Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi,
antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang.
Beberapa prediktor keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron,
aktivitasbdisebutkan dalam literatur antara lain kadar jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi
dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber lain
bahwa hanya kadar -hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan
terapi,b -hCG serial dibutuhkan. Pada hari-hari pertama setelah dimulainyabpemeriksaan
pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen yang diakibatkan
pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma yang
meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi -hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam

14-21bdengan analgetik nonsteroidal. hari setelah pemberian methotrexate. Pada hari-hari


pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat
edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Setelah terapi -hCG
masih perlu diawasi setiap minggunya hingga kadarnya dibberhasil, kadar bawah 5 mIU/mL.
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang
diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah
sebesar 1 mg/kg (intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan
dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg
(intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel
tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi methotrexate
dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi per laparoskopi tepat ke dalam
massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling
ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari berhasil
menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi methotrexate
sebelumnya.
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif terapi medis
kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi
larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya
injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan
glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga alternatif ini jarang digunakan.
Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba yang belum
terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik terganggu,

pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk
menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana integritas tuba
dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan. Pembedahan
konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain
itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat
bagi pembedahan per laparoskopi.
Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang berdiameter kurang
dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear
sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah
insisi hasil konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan
yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian
dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel
membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi.
Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih singkat dan
insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah. Meskipun demikian angka
keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba
pada kedua grup tidak berbeda secara bermakna.
Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada salpingotomi insisi
dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal
prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.
Salpingektomi

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang sudah
terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Salpingektomi
diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1) kehamilan ektopik mengalami ruptur
(terganggu), 2) pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi,
4) telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan
sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang, 8) kehamilan
heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm. Reseksi massa hasil konsepsi dan
anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu.
Metode ini lebih dipilih daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan
jaringan parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan
perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil
konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria
tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi
dipisahkan dari mesosalping.
Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari fimbrae tanpa
melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah tekanan dengan alat
aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan lepas dari implantasinya.
Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak
dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
VARIAN-VARIAN KEHAMILAN EKTOPIK
Kehamilan Abdominal
Hampir semua kasus kehamilan abdominal merupakan kehamilan ektopik sekunder akibat ruptur
atau aborsi kehamilan tuba atau ovarium ke dalam rongga abdomen. Implantasi primer di dalam
rongga abdomen amatlah jarang. Mortalitas akibat kehamilan abdominal tujuh kali lebih tinggi
daripada kehamilan tuba, dan 90 kali lebih tinggi daripada kehamila intrauterin. Morbiditas
maternal dapat disebabkan perdarahan, infeksi, anemia, koagulasi intravaskular diseminata

(DIC), emboli paru atau terbentuknya fistula antara kantong amnion dengan usus. Pada
kehamilan abdominal yang khas, plasenta yang telah menembus dinding tuba secara bertahap
membuat perlekatan baru dengan jaringan serosa di sekitarnya, namun juga mempertahankan
perlekatannya dengan tuba. Pada beberapa kasus, setelah ruptur tuba plasenta mengadakan
implantasi di tempat yang terpisah dari tuba dalam rongga abdomen. Kehamilan abdominal dapat
juga terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio sesaria, dan pada kasus ini kehamilan berlanjut di
balik plika vesikouterina. Diagnosis kehamilan abdominal berawal dari indeks kecurigaan yang
tinggi. Temuan-temuan ultrasonografik berikut, meskipun tidak patognomonis, harus segera
membuat kita berpikir akan suatu kehamilan abdominal: 1) tidak tampaknya dinding uterus
antara kandung kemih dengan janin, 2) plasenta terletak di luar uterus, 3) bagian-bagian janin
dekat dengan dinding abdomen ibu, 4) letak janin abnormal, dan 5) tidak ada cairan amnion
antara plasenta dan janin. MRI dan CT-scan dapat memberikan visualisasi yang jauh lebih baik
daripada USG.
Kehamilan ekstrauterin lanjut memiliki peluang kelahiran hidup sebesar 10-25%, namun angka
malformasi kongenital pada bayi ekstrauterin cukup tinggi akibat oligohidramnios, dan hanya
50%-nya dapat bertahan hidup lebih dari satu minggu. Kelainan kongenital yang ditemukan
umumnya berupa abnormalitas wajah, kranium dan ekstremitas. Kehamilan abdominal pula
memberikan ancaman-ancaman kesehatan bagi si ibu. Oleh sebab itu, terminasi sedini mungkin
sangat dianjurkan. Janin yang mati namun terlalu besar untuk diresorbsi dapat mengalami proses
supurasi, mumifikasi atau kalsifikasi. Karena letak janin yang sangat dekat dengan traktus
gastrointestinal, bakteri dengan mudah mencapai janin dan berkembang biak dengan subur.
Selanjutnya, janin akan mengalami supurasi, terbentuk abses, dan abses tersebut dapat ruptur
sehingga terjadi peritonitis. Bagian-bagian janin pun dapat merusak organ-organ ibu di
sekitarnya. Pada satu atau dua kasus yang telah dilaporkan, janin yang mati mengalami proses
mumifikasi, menjadi lithopedion, dan menetap dalam rongga abdomen selama lebih dari 15
tahun. Penanganan kehamilan abdominal sangat berisiko tinggi. Penyulit utama adalah
perdarahan yang disebabkan ketidakmampuan tempat implantasi plasenta untuk mengadakan
vasokonstriksi seperti miometrium. Sebelum operasi, cairan resusitasi dan darah harus tersedia,
dan pada pasien harus terpasang minimal dua jalur intravena yang cukup besar. Pengangkatan
plasenta membawa masalah tersendiri pula. Plasenta boleh diangkat hanya jika pembuluh darah

yang mendarahi implantasi plasenta tersebut dapat diidentifikasi dan diligasi. Karena hal tersebut
tidak selalu dapat dilaksanakan, dan lepasnya plasenta sering mengakibatkan perdarahan hebat,
umumnya plasenta ditinggalkan in situ. Pada sebuah laporan kasus, plasenta yang lepas sebagian
terpaksa dijahit kembali karena perdarahan tidak dapat dihentikan dengan berbagai macam
manuver hemostasis. Dengan ditinggalkan in situ, plasenta diharapkan mengalami regresi dalam
4 bulan. Komplikasi-komplikasi yang sering terjadi adalah ileus, peritonitis, pembentukan abses
intraabdomen dan infeksi organ-organ sekitar plasenta, serta preeklamsia persisten. Regresi
plasenta dimonitor dengan -hCG serum. Pemberianbpencitraan ultrasonografi dan pengukuran
kadar methotrexate untuk mempercepat involusi plasenta tidak dianjurkan, karena degradasi
jaringan plasenta yang terlalu cepat akan menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik, yang
selanjutnya dapat mengakibatkan sepsis. Embolisasi per angiografi arteri-arteri yang mendarahi
tempat implantasi plasenta adalah sebuah alternatif yang baik.
Kehamilan Ovarium
Kehamilan ektopik pada ovarium jarang terjadi. Pada tahun 1878, Spiegelberg merumuskan
criteria diagnosis kehamilan ovarium: 1) tuba pada sisi ipsilateral harus utuh, 2) kantong gestasi
harus menempati posisi ovarium, 3) ovarium dan uterus harus berhubungan melalui ligamentum
ovarii, dan 4) jaringan ovarium harus ditemukan dalam dinding kantong gestasi. Secara umum
faktor risiko kehamilan ovarium sama dengan faktor risiko kehamilan tuba. Meskipun daya
akomodasi ovarium terhadap kehamilan lebih besar daripada daya akomodasi tuba, kehamilan
ovarium umumnya mengalami ruptur pada tahap awal. Manifestasi klinik kehamilan ovarium
menyerupai manifestasi klinik kehamilan tuba atau perdarahan korpus luteum. Umumnya
kehamilan ovarium pada awalnya dicurigai sebagai kista korpus luteum atau perdarahan korpus
luteum. Kehamilan ovarium terganggu ditangani dengan pembedahan yang sering kali mencakup
ovariektomi. Bila hasil konsepsi masih kecil, maka reseksi parsial ovarium masih mungkin
dilakukan. Methotrexate dapat pula digunakan untuk terminasi kehamilan ovarium yang belum
terganggu.
Kehamilan Serviks

Kehamilan serviks juga merupakan varian kehamilan ektopik yang cukup jarang. Etiologinya
masih belum jelas, namun beberapa kemungkinan telah diajukan. Burg mengatakan bahwa
kehamilan serviks disebabkan transpor zigot yang terlalu cepat, yang disertai oleh belum siapnya
endometrium untuk implantasi. Dikatakan pula bahwa instrumentasi dan kuretase mengakibatkan
kerusakan endometrium sehingga endometrium tidak lagi menjadi tempat nidasi yang baik.
Sebuah pengamatan pada 5 kasus kehamilan serviks mengindikasikan adanya hubungan antara
kehamilan serviks dengan kuretase traumatik dan penggunaan IUD pada sindroma Asherman.
Hubungan serupa juga tercermin pada fakta bahwa Jepang, di mana angka kuretase juga tinggi,
memiliki angka kehamilan serviks yang tertinggi di antara negara-negara lain. Kehamilan serviks
juga berhubungan dengan fertilisasi in-vitro dan transfer embrio. Pada kehamilan serviks,
endoserviks tererosi oleh trofoblas dan kehamilan berkembang dalam jaringan fibrosa dinding
serviks. Lamanya kehamilan tergantung pada tempat nidasi. Semakin tinggi tempat nidasi di
kanalis servikalis, semakin besar kemungkinan janin dapat tumbuh dan semakin besar pula
tendensi perdarahan hebat. Perdarahan per vaginam tanpa rasa sakit dijumpai pada 90% kasus,
dan sepertiganya mengalami perdarahan hebat. Kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi
20 minggu. Prinsip dasar penanganan kehamilan serviks, seperti kehamilan ektopik lainnya,
adalah evakuasi. Karena kehamilan serviks jarang melewati usia gestasi 20 minggu, umumnya
hasil konsepsi masih kecil dan dievakuasi dengan kuretase. Namun evakuasi hasil konsepsi pada
kehamilan serviks sering kali mengakibatkan perdarahan hebat karena serviks mengandung
sedikit jaringan otot dan tidak mampu berkontraksi seperti miometrium. Bila perdarahan tidak
terkontrol, sering kali histerektomi harus dilakukan. Hal ini menjadi dilema, terutama bila pasien
ingin mempertahankan kemampuan reproduksinya. Beberapa metode-metode nonradikal yang
digunakan sebagai alternatif histerektomi antara lain pemasangan kateter Foley, ligasi arteri
hipogastrika dan cabang desendens arteri uterina, embolisasi arteri dan terapi medis. Kateter
Foley dipasang pada kanalis servikalis segera setelah kuretase, dan balon kateter segera
dikembangkan untuk mengkompresi sumber perdarahan. Selanjutnya vagina ditampon dengan
kasa. Beberapa pakar mengusulkan penjahitan serviks pada jam 3 dan 9 untuk tujuan hemostasis
(hemostatic suture) sebelum dilakukan kuretase. Embolisasi angiografik arteri uterina adalah
teknik yang belakangan ini dikembangkan dan memberikan hasil yang baik, seperti pada sebuah
laporan kasus kehamilan serviks di Italia24. Sebelum kuretase dilakukan, arteri uterina
diembolisasi dengan fibrin, gel atau kolagen dengan bantuan angiografi. Pada kasus tersebut,

perdarahan yang terjadi saat dan setelah kuretase tidak signifikan. Seperti pada kehamilan tuba,
methotrexate pun digunakan untuk terminasi kehamilan serviks. Methotrexate adalah modalitas
terapeutik yang pertama kali digunakan setelah diagnosis kehamilan serviks ditegakkan. Namun
pada umumnya methotrexate hanya memberikan hasil yang baik bila usia gestasi belum
melewati 12 minggu. Methotrexate dapat diberikan secara intramuskular, intraarterial maupun
intraamnion.
Kehamilan Ektopik Heterotipik
Kehamilan ektopik di sebuah lokasi dapat koeksis dengan kehamilan intrauterin. Kehamilan
heterotipik ini sangat langka. Hingga satu dekade yang lalu insidens kehamilan heterotipik
adalah 1 dalam 30,000 kehamilan, namun dikatakan bahwa insidensnya sekarang telah
meningkat menjadi 1 dalam 7000, bahkan 1 dalam 900 kehamilan, berkat perkembangan teknikteknik reproduksi. Kemungkinan kehamilan heterotipik harus dipikirkan pada kasus-kasus
sebagai berikut: 1) assisted reproduction technique, 2) bila hCG tetap tinggi atau meningkat
setelah dilakukan kuretase pada abortus, 3) bila tinggi fundus uteri melampaui tingginya yang
sesuai dengan usia gestasi, 4) bila terdapat lebih dari 2 korpus luteum, 5) bila terdeteksi pada
USG adanya kehamilan ektra- dan intrauterin

Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi di luar rahim (uterus). Hampir 95% kehamilan
ektopik terjadi di berbagai segmen tuba Falopii, dengan 5% sisanya terdapat di ovarium, rongga
peritoneum atau di dalam serviks. Apabila terjadi ruptur di lokasi implantasi kehamilan, maka
akan terjadi keadaan perdarahan masif dan nyeri abdomen akut yang disebut kehamilan ektopik
terganggu.
Diagnosis
Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah sedang
Kesadaran menurun
Pucat
Hipotensi dan hipovolemia
Nyeri abdomen dan pelvis
Nyeri goyang porsio

Serviks tertutup
Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG.
Faktor Predisposisi
Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Riwayat operasi di daerah tuba dan/atau tubektomi
Riwayat penggunaan AKDR
Infertilitas
Riwayat inseminasi buatan atau teknologi bantuan reproduktif (assisted reproductive
technology/ART)
Riwayat infeksi saluran kemih dan pelvic inflammatory disease/PID
Merokok
Riwayat abortus sebelumnya
Riwayat promiskuitas
Riwayat seksio sesarea sebelumnya
Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau Ringer Laktat (500 mL
dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama.
Segera rujuk ibu ke rumah sakit.

b. Tatalaksana Khusus
Segera uji silang darah dan persiapan laparotomi (lihat lampiran A.20).
Saat laparotomi, lakukan eksplorasi kedua ovarium dan tuba fallopii:
o Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi (eksisi bagian tuba
yang mengandung hasil konsepsi)
o Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan melakukan salpingostomi untuk
mempertahankan tuba (hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk penggunaan kontrasepsi.
Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu. Atasi anemia dengan pemberian tablet besi
sulfas ferosus 60 mg/hari selama 6 bulan.

SYOK
1.

A.

Pengertian

Syok adalah suatu keadaan dimana oksigenasi jaringan dan perfusi jaringan tidak adekuat yang
disebabkan karena adanya gangguan sirkulasi.
Syok adalah proses patofisiologi kompleks yang sering berasal dari syindrom disfungsi dan
kematian beberapa organ.
Syok yaitu hambatan di dalam peredaran darah perifer yang menyebabkan perfusi jaringan tak
cukup untuk memenuhi kebutuhan sel akan zat makanan dan membuang sisa metabolisme
( Theodore, 93 ), atau suatu perfusi jaringan yang kurang sempurna.
Syok merupakansuatu keadaan klinis akibat perfusi ajringan yang tidak adekuat.
1.

B.

Patofisiologi

Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya berupa lemahnya aliran
darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-macam penyebab. Syok
dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling berkaitan yaitu ; jantung,
volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena. Jika salah satu faktor ini
kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya
tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah
jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi perifer meningkat.
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :5,10
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan
perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi
dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet
dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk
menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi
meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah

jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke
ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan
filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga
menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor
utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi
gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah
menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk
metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan
vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran
darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan
trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC =
Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak.
Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya
toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok
(vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan
penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul
sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi
juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi
anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan
timbunan asam karbonat di jaringan.

3. Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki.
Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi,
jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema
interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
1.

C.

Derajat Syok

Menentukan derajat syok


1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan
tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya
perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak
dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini
terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran
relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua
pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda
hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).
1.

D.

Tahapan Syok

Tahapan syok
1.

Tahap awal

Aktivitas sistim saraf simpatis melawan sistim saraf parasimpatis.

Ditandai oleh vasokonstriksi selektif: ginjal, otot, kulit dan splanknik -> memperbaiki

sirkulasi otak dan jantung

Penurunan aliran darah koroner mengakibatkan metabolisme anaerob dan dilatasi arteri

Ginjal melepaskan hormon epinefrin, merepinefrin, glikokortikoid, renin angiotensin


aldosteron

Pituitari anterior yang menyebabkan sekresi ADH

Peningkatan produksi energi, volume sirkulasi, dan konstraktilitas menyebabkan


peningkatan CO

1.

Tahap lanjut

Bila kompensasi awal gagal, vasokonstriksi berlanjut dengan penurunan MPA menyebabkan
perfusi jaringan tidak adekuat dan hipoksia. Metabolisme anaerob sistemik memproduksi asam
laktat sehingga menyebabkan asidosis metabolik. Penurunan produksi ATP menyebabkan
gangguan transpor membran sehingga terjadi edema sel dan ruptur sel. Respon renal berlanjut
sehingga memperburuk fungsi jantung. Keadaan ini menyebabkan penurunan CO.
1.

Tahap irreversible

Kompensasi tidak mampu mempertahankan perfusi otak jantung. Depresi fungsi miokard
berlanjut. Iskemia otak menyebabkan depresi fungsi neuron sehingga kehilangan mekanisme
kompensasi neuronal sentral. Vasokonstriksi mikrosirkulasi menyebabkan penurunan veneus
return.
Syok Hivopolemik
1.

Definisi

Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan penurunan volume
intravascular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraselular dan ekstraseluler. Cairan
intra seluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan tubuh ekstraseluler
ditemukan dalam salah satu kompartemen intravascular dan intersisial. Volume cairan interstitial
adalah kira-kira 3-4x dari cairan intravascular. Syok hipovolemik terjadi jika penurunan volume
intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akanmenggambarkan kehilangan 750 ml sampai 1300 ml
pada pria dgn berat badan 70 kg. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan
darah yang cepat (syok hemoragik).

1.

b.

Etiologi

Kehilangan darah

Dapat akibat eksternal seperti melalui luka terbuka


Perdarahan internal dapat menyebabkan syok hipovolemik jika perdarahan ini diodalam
thoraks, abdomen, retroperitoneal atau tungkai atas
Kehilangan Plasma merupakan akibat yang umum dari luka bakar, cidera berat atau

inflamsi peritoneal
Kehilangan cairan dapat disebabkan oleh hilangnya cairan secara berlebihan melalui jalur

gastrointestinal, urinarius, atau kehilangan lainnya tanpa adanya penggantian yang


adekuat.
3.

Patofisiologi Syok Hipovolemik

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama
sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem

hematologi berespon

dengan mengaktivasi

kaskade

terhadap

kehilangan

koagulasi

dan

darah

vasokonstriksi

yang

berat

pembuluh

dan

akut

darah (melalui

pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan
tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan
fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem

kardiovaskuler pada

awalnya

berespon

terhadap

syok

hipovolemik

dengan

meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi


pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus
aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan
mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari
apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang
selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik,
yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan
retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik
Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai
respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan
konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH
menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.
1.

d.

Tanda-tanda Klinis

Status mental

Perubahan dalam sensorium merupakan tanda khas dari stadium syok. Ansietas, tidak tenang,
takut, apatis, stupor, atau koma dapat ditemukan. Kelainan-kelainan ini menunjukkan adanya
perfusi cerebal yang menurun.

Tanda-Tanda Vital

Tekanan darah
Perubahan awal dari tekanan darah akibat Hipovolemia adalah adanya pengurangan selisih
antara tekanan siastolik dan sistolik. Ini merupakan akibat adanya peningkatan tekanan diastolic
yang disebabkan oleh vasokontraksi atas rangsangan simpatis. Tekanan sistolik dipertahankan
pada batas normal sampai terjadinya kehilngan darah 15-25 %.
Denyut Nadi
Takikardi postural dan bahkan dalam keadaan berbaring adalah karakteristik untuk syok.
Tatikardi dapat tidak ditemukan pada pasien yang diobati dengan beta bloker.

Pernafasan
Takipneu adalah karakteristik, dan alkalosis respiratorius sering ditemukan pada tahap awal syok.

Kulit

Kulit dapat terasa dingin, pucat, dan berbintik-bintik. Secara keseluruhan mudah berubah
menjadi pucat.
Vena-vena ekstremitas menunjukkan tekanan yang rendah ini yang dinamakan vena perifer
yang kolaps. Tidak ditemukan adanya distensi vena jugularis.

Gejala Lain

Pasien mengeluh mual, lemah atau lelah. Sering ditemukan rasa haus yang sangat.
1.

Tahap Syok Hipovolemik


Tahap I :

terjadi bila kehilangan darah 0-10% (kira-kira 500ml)

Terjadi kompensasi dimana biasanya Cardiak output dan tekanan darah masih dapat
Dipertahankan

Tahap II:

terjadi apabila kehilanagan darah 15-20%

tekanan darah turun, PO2 turun, takikardi, takipneu, diaforetik, gelisah, pucat.

Tahap III

bila terjadi kehilengan darah lebih dari 25%

terjadi penurunan : tekanan darah, Cardiak output,PO2, perfusi jaringan secara cepat

terjadi iskemik pada organ

terjadi ekstravasasi cairan

f.

KLASIFIKASI

Absolut

kehilangan darah dan seluruh Komponennya

Trauma
Pembedahan
Perdarahan gastrointestinal

Kehilangan plasma

Luka bakar
Lesi luas

kehilangan cairantubuh lain

Muntah hebat
Diare berat
Diuresis massive
Relatif

kehilangan integritas pembuluh Darah

Ruptur limpa
Fraktur tulang panjang
Atau pelvis
Pankreatitis hemoragi
Hemothorax / hemoperitoneum
Diseksi arteri

Peningkatan permeabilitas Membran kapiler

Sepsis
Anaphylaxis
Luka bakar

penurunan tekanan osmotik koloid

Pengeluaran sodium hebat


Hypopituitarism
Cirrhosis
Obstruksi intestinal
1.

a.

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Solusio plasenta Kehamilan ektopik


Aneurisma abdominal Perdarahan post partum
Aneurisma thoracis Trauma pada kehamilan
Fraktur femur Syok hemoragik
Fraktur pelvis Syok hipovolemik
Gastritis dan ulkus peptikum Toksik
Plasenta previa
1.

b.

MASALAH LAIN YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN

Perdarahan gastrointestinal
Trauma tembus
1.

c.

LANGKAH DIAGNOSIS

Pemeriksaan Laboratorium

Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dlakukan, langkah diagnosis selanjutnya


tergantung pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik, dan stabilitas dari kondisi
pasien itu sendiri.

Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain: analisis Complete
Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa),

PT, APTT, AGD, urinalisis (pada pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan.
Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
Pemeriksaan Radiologi

Pasien dengan hipotensi dan/atau kondisi tidak stabil harus pertama kali diresusitasi
secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada pemeriksaan radiologi dan menjadi
intervensi segera dan membawa pasien cepat ke ruang operasi.

Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala hipovolemia langsung
dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber perdarahan.

Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan ultrasonografi di


unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi
perdarahan gastrointestinal, sebaiknya dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage
harus dilakukan. Foto polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau
Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk
selanjutnya mencari sumber perdarahan.

Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia subur. Jika pasien
hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi bedah dan ultrasonografi pelvis harus
segera dilakukan pada pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok
hipovolemik akibat kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun pernah dilaporkan.

Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari foto polos dada
awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography, aortografi, atau CT-scan dada.

Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan FAST (Focused
Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan pada pasien yang stabil atau
tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan pada pasien yang stabil.

Jika dicurigai fraktur tulang panjang, harus dilakukan pemeriksaan radiologi.

1.

d.

Penanganan Sebelum di Rumah Sakit

Penatalaksanaan

Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di
rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah
cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai
penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk
mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.

Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra
servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan
ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan
darah.

Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien
ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit.
Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit,
dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan
seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.

Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma),
menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.

Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran
balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun
oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada
pasien dengan syok hipovolemik.

Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi.


Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat
dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat
pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera
pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus
dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military
Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak
kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok
hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an,
American College of Surgeon Commite on Trauma memasukkan penggunaannya

sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok.
Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan
penggunaan MAST. American College of Surgeon Commite on Trauma tidak lama
merekomendasikan penggunaan MAST.
Pemantauan

Parameter dibawah ini harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan : denyut jantung,
Frekuensi pernafasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP) dan pengeluaran urin.
Pengeluaran urin yang kurang dari 30ml/jam (atau 0,5 ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal
yang tidak adekuat
Penatalaksanaan pernafasan

Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau
Kanula. Jalan napas yang bersih harus dipertahankan dengan posisi kepala dan mandubula yang
tepat dan aliran pengisapan darah dan sekret yang sempurna. Penentuan gas darah arterial harus
dilakukan untuk mengamati ventilasi dan oksigenasi. Jika ditemukan kelainan secara klinis atau
laboratorium analisis gas darah, pasien harus diintubisi dan diventilasi dengan ventilator yang
volumenya terukur. Volume tidal harus diatur sebesar 12 sampai 15 ml/kg, frekuensi pernapasan
sebesar

12-16 permenit. Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar

100mmHg. Jika pasien melawan terhadap ventilator, maka obat sedatif atatu pelumpuh otot
harus diberikan. Jika cara pemberian ini gagal untuk menghasilkan oksigenase yang adekuat,
atau jika fungsi paru-paru menurun harus menambahkan 3-10 cm tekanan ekspirasi akhir positif

Pemberian cairan

1.

Penggantian cairan harus dimulai dengan memasukkan larutan ringer laktat atau larutan
garam fisiologis secara cepat. Umumnya paling sidikt 1-2 liter larutan RL harus diberikan
dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagio bila dibutuhkan. Jika hipotensi
dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini merupakan indikasi bahwa kehilangan
darah sudah minimal. Jika hipotensi tetap berlangsung harus dilakukan tranfusi darah pada
pasien ini secepat miungkin dan kecepatan serta jumalah yang diberikan disesuaikan dari
respon yang dipantau.

2.

Celana militer anti syok (MAST = Military Antishock Trousers)

Tekanan berlawanan eksternal dengan pakaian MAST bermanfaat sebagai terapi tambahan pada
terapi penggantian cairan. Pakaian MAST ini dikenakan pada kedua tungkai atau abdoomen
pasien, dan masing-masing ketiga kompartemen individual ini dapat dikembungkan. Pakaian ini
meristribusikan darah dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral dan mengurangi darah arterial
ke tungkai dengan memprkecil diameter pembuluh darah.

Kontra indikasi pemakaian MAST

Edema paru yang bersamaan


Kehamilan . Ini hanya ber4laku pada kompartemen abdomen

Hal yang peerlu diperhatikan

Pakaian mast dapat meningkatkan kejadian perdarahan karena cidera diafragmatik.


Pemakaian yang lama (24-48 jam) pada tungkai yang cedera dapat menyebabkan timbulnya
sindrom kompartemen pada fascia.

Vasopresor

Pemakain vasopresor pada penangan syok hipovolemik akhir-akhir ini kurang disukai alasannya
adalah bahwa ha ini akan lebih megurangi perfusi jaringan. Vasopresor dapat diberikan sebagai
tindakana sementara untuk meningkatkan tekanan darah sampai mendapatkan cairan pengganti
yang adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi pasien yang lebih tua dengan penyakit koroner
atau penyakit pembuluh darah otak yang berat, hal yang digunakan adalah Norepineorin 4-8 Mg
yang dilarutkan dalam 500 ml 5% dekstrosa dalam air ( D5W, atau metaraminor, 5-10 ml yang
dilarutkan dalam 500ml D5W yang bersifat pasokonstriktor predominan dengan efek yang
minimal pada jantung.
Dosis harus disesuaikan dengan tekanan darah.
1.

Komplikasi

Sekuel neurologi

Kematian

ASUHAN KEPERAWATAN

1.

1.

Pengkajian

1.

Pengkajian primer

Airway: penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai adanya
obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat dianggap
jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti
snoring.

Breathing: frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara napas,
kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada
dada.

Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi. Pada pasien
dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang hematemesis,
melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang lama,
dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan
hematemesis harus ditentukan.

Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai hal
berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam
(termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita
usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes
kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.

Disability: nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil. Gejala-gejala syok
seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya dinilai pada semua
pasien. Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh
darah. Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke
punggung. Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri
punggung, atau nyeri panggul.

Exposure: Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi
lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat

tertumbuk kemudi kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan


kendaraan bermotor)
2.

Pengkajian sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat menggunakan
format AMPLE (alergi, medikasi, past illness, last meal, dan environment). Pemeriksaan fisik
dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti foto thoraks,dll.
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus
dievaluasi

untuk

tanda-tanda

dan

gejala-gejala

syok.

Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini
menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga
pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan perfusi
kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak mengalami
takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang hilang.
Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata.
Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan
klasifikasi awal.
1.

Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.

Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.

Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar
10%

Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan


tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan .

Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang

menyebabkan

peningkatan

resistensi

pembuluh

darah

perifer

dan

selanjutnya

meningkatkan tekanan darah diastolik.

Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah


sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan
atau agitasi.

Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik.

Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi


menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine
yang keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan
pucat.

Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

2.

Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)

3.

Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)

4.

Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)

Pada pasien dengan trauma, perdarahan biasanya dicurigai sebagai penyebab dari syok. Namun,
hal ini harus dibedakan dengan penyebab syok yang lain. Diantaranya tamponade jantung (bunyi
jantung melemah, distensi vena leher), tension pneumothorax (deviasi trakea, suara napas
melemah unilateral), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, jarang takikardi, dan defisit
neurologis)
Ada empat daerah perdarahan yang mengancam jiwa meliputi: dada, perut, paha, dan bagian luar
tubuh:

Dada sebaiknya diauskultasi untuk mendengar bunyi pernapasan yang melemah, karena
perdarahan yang mengancam hidup dapat berasal dari miokard, pembuluh darah, atau
laserasi paru.

Abdomen seharusnya diperiksa untuk menemukan jika ada nyeri atau distensi, yang
menunjukkan cedera intraabdominal.

kedua paha harus diperiksa jika terjadi deformitas atau pembesaran (tanda-tanda fraktur
femur dan perdarahan dalam paha).

Seluruh tubuh pasien seharusnya diperiksa untuk melihat jika ada perdarahan luar.

Pada pasien tanpa trauma, sebagian besar perdarahan berasal dari abdomen. Abdomen
harus diperiksa untuk mengetahui adanya nyeri, distensi, atau bruit. Mencari bukti adanya
aneurisma aorta, ulkus peptikum, atau kongesti hepar. Juga periksa tanda-tanda memar
atau perdarahan.

Pada pasien hamil, dilakukan pemeriksaan dengan speculum steril. Meskipun, pada
perdarahan trimester ketiga, pemeriksaan harus dilakukan sebagai double set-up di ruang
operasi. Periksa abdomen, uterus,atau adneksa

DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL MENURUT NANDA

Defisit volume cairan

Penurunan curah jantung

Resiko infeksI

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.

2010.

Memahami

tanada

dan

Gejala

Syok

anafilaktik. http://www.blogdokter.net/2010/06/20/memahami-tanda-dan-gejala-syokanafilaktik/. Diakses tanggal 28 Maret 2011


Anonim. 2012. Syok Hipovolemik. http://nursingbegin.com/penatalaksanaan-syok-hipovolemik/.
diadopsi dari Paul Kolecki, MD, FACEP, As
...

Berbagi Informasi
Sabtu, 29 Desember 2012
Syok hipovolemik

BAB I
Pendahuluan

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi
yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik). Kehilangan
darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat
merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik.
Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara
signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari
dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta
abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan
(selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain
gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas. Pembahasan utama dari artikel ini adalah syok
hipovolemik akibat kehilangan darah dan kontraversi mengenai penanganannya.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terbentuk atau dihasilkan dari kondisi perfusi
jaringan yang tidak adekuat. Penyebabnya terkadang tidak saling berhubungan langsung,
misalnya hipoperfusi menginduksi ketidakseimbangan antara jumlah pengiriman dan kebutuhan
oksigen atau substrat yang dibutuhkan yang akan menyebabkan disfungsi selular. Kelemahan
tingkat seluler ini akhirnya menginduksi produksi dan pelepasan mediator inflamasi yang
kemudian akan mempengaruhi perfusi dengan cara lain seperti merubah fungsi dan struktur di
tingkat mikrovaskular. Hal ini akan menghasilkan suatu lingkaran setan pada proses perfusi yang
akan berdampak pada abnormalitas distribusi aliran darah, lebih lanjut dapat menyebabkan
kegagalan multi organ, dan apabila proses ini tidak diintervensi akan menyebabkan kematian.
Manifestasi klinis dari shock ini adalah suatu hasil, atau suatu bagian, dari respon neuroendokrin
autonom terhadap hipoperfusi seiring dengan kegagalan fungsi organ yang diinduksi oleh
disfungsi selular tadi.
Syok adalah suatu sindrom akut yang timbul karena disfungsi kardiovaskular dan
ketidakmampuan sistem sirkulasi memberi O2 dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme organ vital. Syok menyebabkan perfusi jaringan tidak adekuat / hipoksia selular,
metabolisme selular abnormal, dan kerusakan homeostatis mikrosirkulasi
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:

Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-rata) kurang
dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih.

Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang
jelek.
Syok dapat diklasifikasikan sebagai syok hipovolemik, kardiogenik, distributif dan syok
obtruktif. Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang
mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Syok distributif
terjadi ketika volume darah secara abnormal berpindah tempat dalam vaskular seperti ketika
darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer. Syok Obtruktif Ketidakmampuan ventrikel
untuk mengisi selama diastol sehingga secara nyata menurunkan volumesekuncup dan rendahnya
curah jantung
Di sini akan dibicarakan mengenai syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh
hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada: 2

Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.

Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menyebabkan kehilangan darah yang
besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000-1500 ml perdarahan.

Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma
atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:

o Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.


o Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
o Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah
yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus
perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki

serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis
merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama.3
2.2 Patofisiologi
Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan
menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga dapat terjadi
karena kehilangan cairan tubuh yang lain.
Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri
pada akhir sistol yang akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output).
Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana
terjadi vasokontriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin memburuk. Pada luka bakar yang
luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam lepuh.
Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada
ileus obstruksi dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada dibetes atau
penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan.
Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis
purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah
mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan
bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang,
tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak)
dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahanperubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf
simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume
intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan
dehidrasi interstitial. Dengan demikain, tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan adalah
menormalkan kembali volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular
hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial, dengan
akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang kurang. Pengembalian
volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila diberikan kombinasi cairan koloid (darah,
plasma, dextran, dsb) dan cairan garam seimbang.

2.3 Manifestasi Klinis


Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,
besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan takikardia.
Kehilangan volume yang cukup besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada pasien usia
lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang cepat atau singkat.

Pada pasien dengan kemungkinan syok akibat hipovolemik, riwayat penyakit penting untuk
menentukan penyebab yang mungkin dan untuk penanganan lansung. Syok hipovolemik akibat
kehilangan darah dari luar biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam
kemungkinan tidak nyata, seperti pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan
status mental.

Gejala-gejala syok seperti kelemahan, penglihatan kabur, dan kebingungan, sebaiknya


dinilai pada semua pasien.

Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan beberapa informasi lain akan
memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu (misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi
kendaraan, gangguan kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor).

Jika sadar, pasien mungkin dapat menunjukkan lokasi nyeri.

Tanda vital, sebelum dibawa ke unit gawat darurat sebaiknya dicatat.

Nyeri dada, perut, atau punggung mungkin menunjukkan gangguan pada pembuluh darah.

Tanda klasik pada aneurisma arteri torakalis adalah nyeri yang menjalar ke punggung.
Aneurisma aorta abdominalis biasanya menyebabkan nyeri perut, nyeri punggung, atau nyeri
panggul.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, mengumpulan keterangan tentang


hematemesis, melena, riwayat minum alkohol, penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yang
lama, dan koagulopati (iatrogenik atau selainnya) adalah sangat penting. Kronologi muntah dan
hematemesis harus ditentukan. Pada pasien dengan hematemesis setelah episode berulang
muntah yang hebat kemungkinan mengalami Sindrom Boerhaave atau Mallory-Weiss tear,

sedangkan pasien dengan riwayat hematemesis sejak awal kemungkinan mengalami ulkus peptik
atau varises esophagus.

Jika suatu penyebab ginekologik dipertimbangkan, perlu dikumpukan informasi mengenai


hal berikut: periode terakhir menstruasi, faktor risiko kehamilan ektopik, perdarahan pervaginam
(termasuk jumlah dan durasinya), produk konsepsi pada saluran vagina, dan nyeri. Semua wanita
usia subur sebaiknya menjalani tes kehamilan, untuk meyakinkan apakah mereka hamil. Tes
kehamilan negatif bermakna untuk menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik.
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara bersamaan, sistem sirkulasi harus
dievaluasi

untuk

tanda-tanda

dan

gejala-gejala

syok.

Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai indikator utama syok; hal ini
menyebabkan diagnosis lambat.
Mekanisme kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan
hingga pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan, dan
perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker mungkin tidak
mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
Klasifikasi perdarahan telah ditetapkan, berdasarkan persentase volume darah yang
hilang. Namun, perbedaan antara klasifikasi tersebut pada pasien hipovolemik sering tidak nyata.
Penanganan sebaiknya agresif dan langsung lebih berkaitan pada respon terapi dibandingkan
klasifikasi awal
a.

Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.

Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi pernapasan.

Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar 10%

b.

Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)


Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan tekanan
nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan .

Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah
diastolik.

c.

Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)


Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.

Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.

Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

d.

Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)


Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi
menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar,
penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.

Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.


Stadium Syok Hipovolemik

a.

Syok Reversibel dini dan kompensasi

Mean arterial pressure turun 10 15 mmHg

Berkurangnya volume darah sirkulasi (25 35%) 1000 ml

Sistem saraf pusat terangsang; keluarnya katekolamin

Untuk menjaga tekanan darah : terjadi peningkatan denyut jantung dan kontraktilitasnya;
meningkatnya vasokontriksi perifer

Sirkulasi terjaga, tetapi hanya bisa dipertahankan dalam waktu singkat tanpa membahayakan
jaringan

Penyebab yang mendasari syok harus diketahui dan dikoreksi atau akan berlanjut ke stadium
berikutnya

b.

Syok intermediat atau progresif

MAP selanjutnya turun (20%)

Bertambahnya kehilangan cairan tubuh (1800 2500 ml)

Vasokontriksi berlanjut dan menimbulkan defisiensi oksigen

Tubuh akan menjalani metabolisme anaerob yang membentuk asam laktat sebagai produk
buangan.

Tubuh meningkatkan denyut jantung dan vasokontriksi

Jantung dan otak menjadi hipoksia

Efek yang lebih berat terhadap jaringan lainnya yang menjadi : iskemia dan anoksia

Status asidosis dengan hiperkalemia terjadi

Memerlukan penanganan yang cepat

c.

Syok refrakter atau ireversibel

Jaringan anoksia, kematian sel tersebar luas

Bahkan dengan pengembalian tekanan darah dan volume cairan, terdapat sangat banyak
kerusakan untuk mengembalikan hemostasis jaringan.

Kematian seluler menimbulkan kematian jaringan, kegagalan organ vital dan kematian
terjadi

2.4 Pemeriksaan Laboratorium-Hematologi


Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk menentukan kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit. Akan tetapi, resusitasi cairan tidak boleh ditunda menunggu hasil pemeriksaan.
Hematokrit pasien dengan syok hipovolemik mungkin rendah, normal, atau tinggi, tergantung
pada penyebab syok.
Jika pasien mengalami perdarahan lambat atau resusitasi cairan telah diberikan, nilai
hematokrit akan rendah. Jika hipovolemia karena kehilangan volume cairan tubuh tanpa
hilangnya sel darah merah seperti pada emesis, diare, luka bakar, fistula, hingga mengakibatkan

cairan intravaskuler menjadi pekat (konsentarted) dan kental, maka pada keadaan ini nilai
hematokrit menjadi tinggi.
2.5 Diagnosis Diferensial
Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi pada hampir semua
organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada trauma cedera. Syok hipovolemik
perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak
jarang terjadi pada pasien yang dirawat di Unit Gawat Darurat.
Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit dingin, berkeriput, oligurik, dan takikardia. Jika
pada anamnesa dinyatakan pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik
sebaiknya dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk
pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa 50% intravena
atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena.
2.6Penatalaksanaan
a.

Penanganan Sebelum di Rumah Sakit


Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di
rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera
lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang
sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah
yang lebih lanjut.
Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra
servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke
tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien
ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan
definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang
membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat
dipindahkan sangat berbahaya. Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada

pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan
sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran
balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun
oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien
dengan syok hipovolemik.
Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi.
Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan
ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien
sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak
jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam
perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
b.

Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:
(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan
saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih
lanjut, dan (3) resusitasi cairan.

1.

Memaksimalkan penghantaran oksigen


Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan
frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi
(seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus
segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan
pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang
mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Jalur intravena dapat ditempatkan
pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan
menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan
kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus.

Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk
pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas
darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid
isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20
ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.

Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien
perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan
dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada,
infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah diberikan.

Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan
darah. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus
berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan
kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah
memiringkan pasien yang sedang hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan
memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi
Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi
aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.

Autotransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan
untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan
trauma, darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.

2.

Kontrol perdarahan lanjut


Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah.
Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan
secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang
ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat
diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk
menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di
ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah
digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia,
gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk
penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan.

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan
ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.

Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan
penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu
untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

3.

Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi
masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada
resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin,
fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.

Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan


menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah
pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang interstitial dan ruang
intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi
faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)

Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume
intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum
menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.

Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma,
dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya
dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi
edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan
perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama
perawatan, atau kelangsungan hidup.

Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta
menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian
di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan
dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan
resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau
Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi
adalah harga cairan tersebut.

Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat
atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa
memperhatikan penyebab yang mendasari.

c.

Obat-obatan
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.

1.

Somatostatin (Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel
epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek
yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat
hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.

Dosis dewasa bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus
selanjutnya maintenance 2-5 hari jika berhasil. Pada anak-anak tidak dianjurkan.
Interaksi dengan Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek
obat ini. Kontraindikasi pemberian obat ini adalah orang yang Hipersensitif terhadap
somatostatin
Pada Kehamilan Resiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak
diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada resiko terhadap
janin. Pemberian obat ini dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih
mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan
defek konduksi jantung.
2.

Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang
sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama. Digunakan sebagai tambahan penanganan
non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan
ileum), atau pankreas.
Dosis dewasa 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu dapat dilanjutkan dengan bolus
intravena 50 mcg penanganan hingga 5 hari. Anak-anak 1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam
dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
Kontraindikasinya hipersensitivitas. Resiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi
telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal,
termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih;
hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon
pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah
dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hatihati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi.
d.

Terapi Cairan

Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk
mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan
yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka
mortalitas.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang
memadai. Mulailah dengan memberikan infus Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya,
ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross
test. Perdarahan berat adalah kasus gawat darurat yang membahayakan jiwa. Jika hemoglobin
rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah.
Resusitasi cairan yang cepat merupakan landasan untuk terapi syok hipovolemik. Sumber
kehilangan darah atau cairan harus segera diketahui agar dapat segera dilakukan tindakan. Cairan
infus harus diberikan dengan kecepatan yang cukup untuk segera mengatasi defisit atau
kehilangan cairan akibat syok. Penyebab yang umum dari hipovolemia adalah perdarahan,
kehilangan plasma atau cairan tubuh lainnya seperti luka bakar, peritonitis, gastroenteritis yang
lama atau emesis, dan pankreatitis akuta.
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit,
dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut
kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah
satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan
isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk
resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien
kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar. 4

Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid,
dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan
kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi,
dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan
edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. 4
Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang
paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan
sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara
untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat
terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada
hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat
sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti
sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien
sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat.
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti
kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian.

Pertimbangan untuk transfusi darah pada kadar Hb 7-10 g/dl adalah bila pasien akan
menjalani operasi yang menyebabkan banyak kehilangan darah serta adanya gejala dan tanda
klinis dari gangguan transportasi oksigen yang dapat diperberat oleh anemia.

Kehilangan darah akut sebanyak <25% volume darah total harus diatasi dengan
penggantian volume darah yang hilang. Hal ini lebih penting daripada menaikkan kadar Hb.
Pemberian cairan pengganti plasma (plasma subtitute) atau cairan pengembang plasma (plasma
expander) dapat mengembalikan volume sirkulasi sehingga mengurangi kebutuhan transfusi,
terutama bila perdarahan dapat diatasi.
Pada perdarahan akut dan syok hipovolemik, kadar Hb bukan satu-satunya pertimbangan
dalam menentukan kebutuhan transfusi sel darah merah. Setelah pasien mendapat koloid atau
cairan pengganti lainnya, kadar Hb atau hematokrit dapat digunakan sebagai indikator apakah
transfusi sel darah merah dibutuhkan atau tidak.
Sel darah merah diperlukan bila terjadi ketidakseimbangan transportasi oksigen, terutama
bila volume darah yang hilang >25% dan perdarahan belum dapat diatasi. Kehilangan volume
darah >40% dapat menyebabkan kematian. Sebaiknya hindari transfusi darah menggunakan
darah simpan lebih dari sepuluh hari karena tingginya potensi efek samping akibat
penyimpanan.2 Darah yang disimpan lebih dari 7 hari memiliki kadar kalium yang tinggi, pH
rendah, debris sel tinggi, usia eritrosit pendek dan kadar 2,3-diphosphoglycerate rendah.
Pertimbangan dalam memutuskan jumlah unit transfusi sel darah merah:2

Menghitung berdasarkan rumus umum sampai target Hb yang disesuaikan dengan penilaian
kasus per kasus.

Menilai hasil/efek transfusi yang sudah diberikan kemudian menentukan kebutuhan


selanjutnya.
Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami berbagai masalah yang menyebabkan 1)
peningkatan kebutuhan oksigen, seperti kenaikan katekolamin, kondisi yang tidak stabil, nyeri;
2) penurunan penyediaan oksigen, seperti hipovolemia dan hipoksia. Tanda dan gejala klasik
anemia berat (dispnea, nyeri dada, letargi, hipotensi, pucat, takikardia, penurunan kesadaran)
sering timbul ketika Hb sangat rendah. Tanda dan gejala anemia serta pengukuran transportasi
oksigen ke jaringan merupakan alasan transfusi yang lebih rasional.

BAB III
KESIMPULAN

Syok Hipovolemik terjadi akibat terganggunya sistem sirkulasi


Bisa terjadi akibat perdarahan, Kehilangan Plasma dan kehilangan cairan ekstrasel
Penatalaksanaan utama adalah segera mungkin resusitasi cairan

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sudoyo, W Aru,dkk. Syok Hipovolemik .Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1. Pusat
Penerbitan FKUI. Jakarta. 2006. Hal:183-184

2.

Kolecki P. Hypovolemic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/760145, 11 Maret 2010

3.

Guyton,C Arthur ,Hall, E John. Syok sirkulasi dan Fisiologi Pengobatannya. Dalam ;
Fisiologi Kedokteran ,textbook of medical physiology. Edisi 11. EGC. Jakarta. 2006. Hal:359371

4.

Price, A Sylvia, Wilson, M Lorraine. Gangguan Volume,Osmolalitas, dan Elektrolit


Cairan.Dalam

Patofisiologi

Konsep

Klinis

Proses-Proses

Penyakit.Edisi

Vol.1.EGC.Jakarta.2006.Hal:328-373
5.

Sjamsuhidajat,

R,

Jong

2.EGC.Jakarta.2005.118-124

de

Wim. Syok.Dalam:

Buku

Ajar

Ilmu

Bedah.Edisi

6.

Anonimous.Syok Hipovolemik.Diambil dari http : // asramamedicafkunhas. blogspot. com/


2009/06/syok-hipovolemik.html. Maret 2011

7.

Karmila.Syok diambil dari http:// http://mimilatahzan-karmila.blogspot.com/ . Maret 2011


okdimur hariadi di 18.56

Anda mungkin juga menyukai