Anda di halaman 1dari 58

TINJAUAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA PADA

PENAMBANGAN INTAN AKIBAT KEBISINGAN DI AREA PERTAMBANGAN


INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG BANJARBARU

DisusunOleh:
Royan Pratama

H1E113201

Mentari Putri Karina

H1E113208

Mumin

H1E113215

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
BANJARBARU
2015

DAFTAR PENGESAHAN
Judul

: TINJAUAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN


LINGKUNGAN KERJA PADA PENAMBANGAN
INTAN AKIBAT KEBISINGAN DI AREA PERTAMBANGAN
INTAN CEMPAKA KELURAHAN SUNGAI TIUNG
BANJARBARU

Nama Mahasiswa

: MENTARI PUTRI KARINA


ROYAN PRATAMA
MUMIN

No.Induk Mahasiswa : H1E113208


H1E113201
H1E113215
Program Studi
Peminatan

: Teknik Lingkungan
: Epidemiologi lingkungan

Disahkan Oleh
Dosen Pembimbing

Dr.Qomariyatus Sholihah,Amd.Hyp.ST.MKes

Rektor Universitas Lambung Mangkurat

Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc

Dekan Fakultas Teknik UNLAM

Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.


Ketua Program Studi Teknik Lingkungan

Dr. Rony Riduan, S.T., M.T.

Dosen Pembimbing Mata Kuliah


Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Dosen Pembimbing Mata Kuliah


Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Prof. Dr. Qomariatus Sholihah, Amd.


Hyp., S.T., Mkes

Nova Annisa. S.Si MS

MAHASISWA

Dosen Pembimbing Mata Kuliah


Kesehatan dan Keselamatan Kerja
M. Royan Pratama K
H1E113201

Prof. Dr. Qomariatus Sholihah,


Amd. Hyp., S.T., Mkes

MAHASISWA

MAHASISWA

Dosen Pembimbing Mata Kuliah Kesehatan dan Keselamat


Mentari Putri Karina
H1E113208

Mumin
H1E113215

Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS,


ST.,M.Si

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang mana atas berkat dan
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas besar ini dengan judul
Tinjauan keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja pada penambangan intan akibat
kebisingan di area pertambangan intan cempaka kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
Tugas besar ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan kelulusan mata kuliah
Epidemiologi di Fakultas Teknik (FT) Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM).
Tersusunnya tugas besar ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih, kepada :
1.

Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp. ST. Mkes selaku dosen pembimbing mata
kuliah Epidemiologi yang telah memberikan waktu dan bimbingan dalam proses
penulisan skripsi ini.

2.

Pihak Pertambangan Intan Cempaka Banjarbaru yang telah bersedia memberikan izin
untuk melaksanakan observasi dalam rangka penyusunan tugas besar ini.

3.

Semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyeleseian tugas besar ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih

membutuhkan banyak masukkan dan kritikan dari beebagai pihak yang sifatnya
membangun dalam memperkaya tugas besar ini.
Namun demikian, penulis berharap semoga ini menjadi sumbangan berguna bagi
ilmu pengetahuan khususnya ilmu Epidemiologi Lingkungan.

Banjarbaru, Oktober 2015

Penulis

DAFTAR ISI
JUDUL ......................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................Vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... Viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................
3
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pertambangan Rakyat .....................................................................................
4
2.1.1 Landasan Hukum Pertambangan Rakyat ............................................. 5
2.1.2 Perjanjian Pertambangan Rakyat ......................................................... 6
2.1.3 Kuasa Pertambangan Rakyat ..............................................................
10
2.1.4 Limbah Pertambangan Rakyat ........................................................... 10
2.1.5 Dampak Pasca Pertambangan ............................................................ 13
2.1.6 Konsep Good Govanance pada Pengelolaan Lingkungan Hidup........14
2.1.7 Kebijakan Lingkungan Hidup Dalam Instrumen Kebijakan Publik ...16
2.1.8 Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Implementasi Kebijakan .....18

2.2 Kesehatan Dan Keselamatan Kerja............................................................... 23


2.2.1 Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja .................... 25
2.2.2 Kecelakaan Akibat Kerja ................................................................... 25
2.3 Kebisingan ................................................................................................... 26
2.3.1 Pengertian Kebisingan ....................................................................... 26
2.3.2 Pengendalian Kebisingan ................................................................... 30
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran ............ 31
2.4 Gangguan Pendengaran ................................................................................ 33
2.4.1 Pengertian Gangguan Pendengaran ....................................................
33
2.4.2 Jenis-Jenis Gangguan Pendengran ..................................................... 34
2.4.3 Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran ........................ 34
2.5 Alat Pelindung Diri ...................................................................................... 35
2.5.1 Pengertian APD .................................................................................. 35
2.5.2 Pemilihan APD ................................................................................... 38
2.5.3 Jenis-Jenis APD ..................................................................................
39
2.5.4 Kebijakan Akibat APD ....................................................................... 40

BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Menggolongkan Bahan - Bahan Galian ........................................................... 10
Tabel 2.2 Kategori Kegiatan Analisis Kualitas Air ......................................................... 13
Tabel 2.3 Analisi SWOT .................................................................................................. 21
Tabel 2.4 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola ...................... 31

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Hubungan Antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan......................... 12
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan ................................. 16
Gambar 2.3 Sistem Kebijakan Publik .............................................................................. 17
Gambar 2.4 Diagram Analisis SWOT .............................................................................. 22

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Dokumentasi
Lampiran 2. Surat Izin
Lampiran 3. Hasil Pengukuran Kebisingan Menggunakan Sound Level Meter
Lampiran 4. Lembar Wawancara
Lampiran 5. Surat Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebisingan di industri pertambangan adalah semua bunyi yang tidak dikehendaki dan
mengganggu bagi para pekerja di area industri. Kebisingan industri dapat disebabkan
mesin yang beroperasi, dan kendaraan yang berlalu di area tersebut. Kebisingan di
industri (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor: Kep-51/MEN/1999). Kategori ini
dibedakan atas waktu paparan kebisingan yang diterima oleh pekerja di area industri.
Semakin tinggi paparan kebisingan yang diterima maka waktu yang diijinkan untuk
menerimanya semakin sebentar, dimulai dengan 85 dBA dengan waktu maksimal paparan
delapan jam, sampai 118 dBA dengan waktu maksimal paparan 14,06 detik. Meninjau
kondisi tingkat kebisingan yang melebihi batas ambang maksimal waktu paparan delapan
jam sehari, maka diperlukan upaya pengendalian paparan kebisingan yang bertujuan
menjaga pekerja dari gangguan pendengaran sedini mungkin dari paparan ketika bekerja
pada area dengan tingkat kebisingan yang tinggi (Huboyo H.S,2008).
Pertambangan di Kalimantan selatan merupakan propinsi yang kaya akan
pertambangan salah satunya adalah intan di pertambangan rakyat di Kecamatan Cempaka
Kota Banjarbaru. Tambang rakyat merupakan tambang yang secara turun menurun
dikerjakan oleh masyarakat atau penduduk setempat baik secara perorangan maupun
secara kelompok dengan manajemen secara tradisional. Aktivitas yang dilaksanakan oleh
masyarakat di Kecamatan Cempaka ini adalah kegiatan penambangan batu, pasir, emas,
batubara dan intan. Salah satu pertambangan intan yang masih ada sampai saat ini adalah
pertambangan rakyat intan masyarakat Cempaka (Yustinus SB, 2008).
Penambangan rakyat intan dahulu dilakukan secara tradisional dengan jumlah
penambangan yang terbatas. Dalam perkembangan selanjutnya penambangan intan ini

menarik orang lain (bukan penduduk sekitar kecamatan Cempaka) untuk ikut melakukan
kegiatan penambangan, mengingat harga dari butiran intan sangat mahal, dengan
banyaknya kegiatan tersebut maka semakin banyak mesin dumping yang digunakan
sehingga menimbulkan kebisingan. Menurut Asad (2005), seiring dengan meningkatnya
perkembangan tersebut, membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia yang salah
satunya adalah terhadap gangguan pendengaran. Dari dampak negatif tersebut dapat
diartikan bahwa sistem keamanan dari kegiatan pertambangan masih belum memadai.
Keamanan bagi pekerja penambangan intan rakyat ini sangat riskan sekali dan
pekerja rentan terhadap risiko keselamatannya. Hal ini karena standar keamanan serta
keselamatan bagi pekerja memang kurang, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Akibatnya,
persentase kemungkinan terpaparnya kebisingan di pertambangan rakyat intan masih
sangat besar.
Hasil observasi yang dilakukan pada lokasi pertambangan rakyat intan Cempaka
Kelurahan Sungai Tiung Banjarbaru, dalam operasionalnya menghasilkan bising melebihi
Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu rata rata mencapai 86,15 dB dengan waktu kerja 7-8
jam perhari dan waktu istirahat selama 1 jam. Kebisingan tersebut dapat menimbulkan
gangguan pendengaran bagi para penambang intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung
Banjarbaru. Maka berdasarkan hal diatas, penelitian tentang keselamatan dan kesehatan
kerja ini dibuat. Penelitian berdasarkan perhitungan ratio kekerapan (frekuensi) cidera
dan keparahan (severity) cidera kecelakaan kerja, mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab kecelakaan kerja akibat kebisingan mesin alat kerja, memberikan usulan
perbaikan keselamatan dan kesehatan kerja pada pertambangan intan cempaka. Ratio
kekerapan (frekuensi) cidera digunakan untuk menghitung frekuensi kecelakaan persatu
juta jam kerja produktif, sedangkan ratio keparahan cidera digunakan untuk menghitung
jumlah hari yang hilang satu juta jam kerja produktif.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang akan di teliti
adalah Apakah ada hubungan kebisingan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
pada penambang intan di Pertambangan Rakyat Intan Cempaka Kelurahan Sungai Tiung
Banjarbaru ?.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui pengaruh keselamatan dan kesehatan
terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan di pertambangan rakyat intan cempaka
kelurahan sungai tiung Banjarbaru.
Adapun Tujuan Khusus penelitian ini dilakukan adalah untuk :
1. Mengukur kebisingan di lingkungan kerja pertambangan rakyat intan cempaka
2.
3.

kelurahan sungai tiung Banjarbaru.


Mendefinisikan gangguan pendengaran yang di alami pekerja tambang intan.
Menganalisis standar keamanan terhadap gangguan pendengaran akibat kebisingan
yang di timbulkan oleh mesin alat kerja.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1.

Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber informasi tentang resiko bahaya
yang terjadi di lingkungan pekerjaan Pertambangan Intan Cempaka Banjarbaru.

2.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
merupakan bahan bacaan bagi peneliti selanjutnya.

3.

Merupakan pengalaman bagi penulis dalam membuat tugas besar dan memperluas
wawasan pengetahuan tentang resiko bahaya yang terjadi di lingkungan kerja.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertambangan Rakyat
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan, pasal 1 huruf n, menyebutkan bahwa :
Pertambangan rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan-bahan galian
dari semua golongan a, b, dan c, seperti yang dimaksud pada pasal 3 ayat 1, yang
dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau gotong royong dengan alat-alat
sederhana untuk pencarian sendiri.
Definisi lain tentang pertambangan rakyat dapat kita baca dalam pasal 1 Peraturan
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman
Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B),
adalah:
usaha pertambangan bahan galian strategis (Golongan A) dan vital (Golongan
B) yang dilakukan oleh rakyat setempat yang bertempat tinggal di daerah bersangkutan
untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari yang diusahakan secara sederhana.
Dalam definisi pertama, bahan galian yang dapat diusahakan oleh rakyat setempat
adalah bahan galian strategis, vital, dan c, sedangkan dalam definisi kedua, bahan galian
yang dapat diusahakan oleh rakyat setempat adalah bahan galian strategis dan vital.
Apabila kita menggunakan kerangka berpikir tentang hierarki perundang-undangan,
ketentuan yang lebih tinggi adalah ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 11 Tahun
1967, sedangkan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi merupakan penjabaran
operasional dari UU. Sehingga tidak boleh bertentangan dengan UU. Walaupun dalam
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi hanya membolehkan untuk mengusahakan
bahan galian strategis dan vital, namun rakyat setempat tidak hanya diberikan ijin untuk
mengusahakan bahan galian strategis dan vital, tetapi dapat juga diberikan ijin untuk
mengusahakan bahan galian.
Usaha pertambangan merupakan usaha melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi,
produksi, pemurnian dan penjualan. Bahan galian strategis (golongan a) merupakan
bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta perekonomian Negara.

Sedangkan bahan galian untuk kepentingan pertahanan keamanan serta perekonomian


Negara. Sedangkan bahan galian vital, yaitu bahan galian yang lazim disebut dengan
galian c.
Pertambangan rakyat dilakukan oleh rakyat, artinya petambangan itu dilakukan
oleh masyarakat yang berdomisili di area pertambangan rakyat. Sementara itu, tujuan
kegiatannya adalah untuk meningkatkan kehidupan masyarakat sehari-hari. Usaha
pertambangan rakyat dilakukan secara sederhana, artinya kegiatan pertambangan itu
dengan menggunakan alat-alat sederhana. Jadi, tidak menggunakan teknologi canggih,
sebagaimana halnya dengan perusahaan pertambangan yang mempunyai modal besar dan
memakai teknologi canggih.
2.1.1

Landasan Hukum Pertambangan Rakyat


Eksistensi penambangan rakyat diakui secara yuridis, yaitu diatur dalam pasal 11

UU Nomor 11 Tahun 1967, selanjutnya ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut dalam:
1. Pasal 5 sampai Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967.
2. Pasal 2 dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan
kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996.
3. Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital
(Golongan A dan B).
4. Surat Edaran Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 223 E/201/M.DJP, perihal
Pertambangan Rakyat Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan B).
Surat edaran ini berisi himbauan kepada Gubernur untuk dapat melaksanakan
Peraturan Menteri Pertambangan dan energy Nomor 01 P/201M.PE/1986 tentang
Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan
A dan B). Hal ini bertujuan untuk:
1. Mencegah adanya penambangan oleh rakyat secara lair dengan sistem penambangan
yang merusak keseimbangan lingkungan.
2. Menghilangkan sistem ijon.
3. Mengarahkan dan membina dalam wadah koperasi pertambangan rakyat atau KUD.
4. Agar diketahui, bahwa suatu pertambangan rakyat hanya dapat dilaksanakan oleh
rakyat setempat dengan cara sederhana. Peralatan serta mesin yang digunakan

berkekuatan maksimal 25 PK serta dilarang menggunakan alat berat dan bahan


peledak.
Pada umumnya, penambang rakyat menggunakan perlatan yang sederhana dalam
melakukan eksploitasi terhadap bahan galian, karena keterbatasan modal yang mereka
miliki.
2.1.2

Perijinan Pertambangan Rakyat


Hal yang sangat penting dalam penertiban pertambangan rakyat adalah tentang

perijinan. Ini perlu dilakukan agar dapat mengetahui komitmen para penambang dalam
melakukan aktivitasnya melalui perijinan setempat.
a) Pejabat yang Berwenang Menertibkan Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat
Pasal 5 PP Nomor 32 Tahun1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967,
telah ditentukan, bahwa permintaan ijin pertambangan rakyat diajukan kepada menteri.
Namun, menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan ijin pertambangan rakyat
kepada gubernur. Dengan adanya pelimpahan wewenang, pejabat yang berwenang untuk
menetapkan ijin pertambangan rakyat adalah gubernur.
Sejak bergulirnya otonomi daerah, kewenangan gubernur dalam penetapan ijin
pertambangan rakyat telah dialihkan kepada bupati/walikota. Hal ini dapat dikaji dari
ketentuan Pasal 2 Ayat 3 PP Nomor 32 Tahun 1969, yang menetapkan:
Surat Keputusan Ijin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang
diberikan oleh bupati/walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan usaha
pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas,
melalui tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
Dalam ketentuan ini tidak hanya diatur tentang pejabat yang berwenang untuk
menertibkan ijin pertambangan rakyat, tetapi juga meliputi tahap-tahap aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan itu meliputi tahap-tahap aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Tahapan kegiatan itu meliputi penyellidikan
umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.
b) Prosedur dan Syarat dalam Memperbaiki Kuasa Pertambangan Rakyat.
Persyaratan dalam mengajukan ijin pertambangan rakyat telah diatur dalam
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 tentang

Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan
A dan B) pasal 16, yaitu:
1. Keterangan wilayah usaha pertambangan rakyat yang bersangkutan dengan peta
situasi dengan batas-batas secara jelas.
2. Penjelasan tentang riwayat usaha petambangan yang bersangkutan.
3. Penjelasan tentang tata guna tanah dan surat keterangan tidak keberatan dari
pemilik tanah.
4. Penjelasan tentang penduduk setempat sebagai peserta dalam usaha
pertambangan rakyat atau kelompok pertambanhan rakyat.
5. Jenis bahan galian yang diusahakan.
6. Alat-alat yang digunakan untuk menambang.
Pada Pasal 5 PP Nomor 75 Tahun 200, telah ditentukan prosedur dan persyaratan
untuk mengajukan permintaan ijin pertambangan rakyat. Untuk mendapatkan ijin
pertambangan rakyat, maka yang bersangkutan harus mengajukan permohonan kepada
bupati/walikota dengan menyampaikan keterangan tentang:
1. Wilayah yang akan diusahakan.
2. Jenis bahan galian yang akan diusahakan.
Apabila dibandingkan persyaratan yang akan diajukan oleh Pasal 5 PP Nomor 75
Tahun 2001 diatas, maka persyaratan yang diajukan oleh Peraturan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 01 P/201/M.PE/1986 sangat birokratis. Persyaratan ini
sulit untuk dapat dipenuhi oleh masyarakat setempat, karena mereka tidak mempunyai
keahlian dalam membuat peta situasi. Hal yang dipikirkan oleh masyarakat adalah
bagaimana mereka dapat menambang dengan cepat dan menghasilkan bahan galian, yang
kemudian bahan galian tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Akan tetapi, persyaratan yang tercantum pada pasal 5 PP nomor 75 Tahun 2001
sangat sederhana. Masyarakat setempat akan merasa dimudahkan dalam memenuhi
persyaratan

tersebut.

Dalam

permohonan

penambangan,

masyarakatcukup

menyampaikan kepada bupati/walikota tentang wilayah yang akan diusahakan serta jenis
bahan galian yang akan diusahakan. Biasanya bahan galian yang akan ditambang oleh
masyarakat lokal adalah bahan galian emas serta intan. Bahan galian ini mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi dan cara pengelolaannya sangat sederhana.
c) Luas Wilayah Pertambangan Rakyat

Luas wilayah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada masyarakat diatur
dalam Pasal 13 dan pasal 17 Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 01
P/201/M.PE/1986 tentang Pedoman Pengelolaan Pertambangan Rakyat Bahan Galian
Strategis dan Vital (Golongan A dan B).
Dalam Pasal 13 diatur tentang luas maksimal wilayah pertambangan rakyat yang
diberikan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat dan luas wilayah pertambangan
sungai. Luas maksimal satu wilayah pertambangan rakyat adalah 15 ha. Sementara itu,
luas wilayah pertambangan sungai cukup diukur atau ditetapkan menurut panjang dan
lebar sungai. Selanjutnya, pada pasal 17 telah diatur luas wilayah untuk:
1.
2.
3.
4.

Satu ijin pertambangan rakyat.


Perorangan.
Kelompok masyarakat.
Kopersai.

Luas wilayah untuk satu ijin pertambangan rakyat diberikan maksimal 5 Ha.
Jumlah ijin pertambangan rakyat yang diberikan kepada perorangan hanya untuk satu ijin
pertambangan, sedangkan luas wilayah pertambangan rakyat yang diberikan kepada
perorangan maksimal seluas 5 Ha. Bagi masyarakat setempat hanya diberikan satu ijin
pertambangan rakyat dengan luas maksimal 5 Ha. Bsgi koperasi dapat diberikan 5 (lima)
ijin pertambangan rakyat, dengan luas maksimal 25 Ha.
d) Jangka Waktu Ijin Pertambangan Rakyat
Pasal 5 Ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2001
telah diatur tentang jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Dalam pasal tersebut telah
ditentukan, bahwa ijin pertambangan rakyat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5
(lima) tahun. Jika diperlukan, ijin tersebut dapat diperpanjang untuk jangka
waktu/periode yang sama. Jangka waktu yang diberikan kepada pemegang ijin
pertambangan tidak terbatas.
e) Berakhirnya Ijin Pertambangan Rakyat
Berakhirnya ijin pertambangan adalah tidak berlakunya ijin pertambangan rakyat
yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Berakhirnya ijin pertambangan rakyat
dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sudah habis mas waktunya serta dicabut (Pasal
18 Pertaraturan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 01 P/201/M.PE/1986).

Di dalam Surat Ijin Pertambangan Rakyat, telah ditentukan jangka waktu ijin
pertambangan rakyat. Jangka waktu ijin pertambangan rakyat. Misalnya, jika ijin yang
diberikan oleh bupati/walikota ditetapkan pada tanggal 01 Juni 2005, maka berakhirnya
ijin pertambangan rakyat pada tanggal 01 Mei 2010. Namun, apabila ijin pertambangan
itu diperpanjang, maka jangka waktu kegiatan pertambangan adalah sampai 2015.
Berakhirnya ijin karena dicabut adalah tidak berlakunya lagi ijin pertambangan
rakyat yang diberikan kepada orang, kelompok atau koperasi yang disebabkan oleh
beberapa alasan, yaitu meliputi:
1. Kondisi penambangannya membahayakan bagi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat setempat.
2. Terjadinya persengketaan tentang hak milik tanah yang tidak dapat diselesaikan.
3. Tidak memenuhi petunjuk-petunjuk maupun persyaratan yang telah diberikan
oleh pejabat yang berwenang.
4. Endapan bahan galian sudah habis atau sudah sulit didapat.
5. Untuk kepentingan negara.
Pencabutan ijin pertambangan rakyat untuk kepentingan negara merupakan
pencabutan yang dilakukan oleh pejabat berwenang. Wilayah pertambangan rakyat itu
digunakan untuk kepentingan yang lebih besar dan menguntungkan negara. Misalnya,
wilayah pertambangan rakyat ditingkatkan statusnya, dari pertambangan rakyat menjadi
wilayah kontrak karya atau perjanjian pertambangan batubara.
2.1.3

Kuasa Pertambangan Rakyat


Kuasa pertambangan rakyat merupakan kuasa yang diberikan kepada rakyat

setempat untuk melakukan usaha pertambangan. Usaha penambangan yang diberikan


kepada rakyat setempat meliputi kegiatan; penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan.(Pasal 2 Ayat 3 PP No 75 Tahun
2001)
a.

Kuasa

pertambangan

rakyat

penyelidikan

umum,

merupakan

kuasa

pertambangan yang diberikan kepada masyarakat setempat untuk melakukan


penyelidikan secara geologi umum dengan maksud untuk menetapkan tandatanda adanya bahan galian pada umumnya.
b. Kuasa pertambangan eksplorasi, merupakan wewenang (kuasa) yang diberikan
kepada pejabat berwenang untuk menetapkan lebih teliti/seksama kebenaran

letak
c.

serta

sifatnya,

dalam

kaitannya

dengan

penyelidikan

geologi

pertambangan.
Kuasa pertambangan rakyat eksplorasi, merupakan kuasa pertambangan untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.


d. Kuasa pertambangan rakyat pengolahan dan pemurnian, merupakan kuasa
pertambangan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan
e.

dan memperoleh unsur yang terdapat pada bahan galian itu.


Kuasa pertambangan rakyat pengangkutan dan penjualan, merupakan kuasa
pertambangan untuk memindahkan serta menjual bahan galian hasil pengolahan
dan pemurnian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan atau pemurnian.

2.1.4

Limbah Pertambangan Rakyat


Hasil tambang merupakan suatu komoditi yang mempunyai nilai ekonomis yang

sangat tinggi. Sejak jaman dahulu orang-orang selalu berusaha untuk mendapatkan dan
memanfaatkan sumber daya alam. Tempat dan daerah yang mengandung sumber daya
alam

selalu

dikejar

oleh

penambang

untuk

melakukan

kegiatan

eksploitasi.

(Rahmi,1995). Menggolongkan bahan-bahan galian sebagai berikut:


Tabel 2.1 Menggolangkan bahan-bahan galian.

Galian A

: Merupakan bahan galian strategis, yaitu strategis untuk


perekonomian negara serta pertahanan dan keamanan negara.

Galian B

Contoh: minyak bumi, batubara, uranium dan lain-lain.


: Merupakan bahan galian vital, yaitu dapat menjamin hajad
hidup orang banyak. Contoh: besi, tembaga, emas, perak dan

Galian C

lain-lain.
: Bukan merupakan bahan galian strategis ataupun vital, karena
sifatnya tidak langsung memerlukan pasaranyang bersifat
internasional. Misalnya: marmer, batu kapur, tanah liat, pasir,
yang sepanjang tidak mengandung unsur mineral.

Selanjutnya disebutkan bahwa di dalam merencanakan suatu penambangan harus


memperhatikan beberapa faktor berikut ini:
a.

Keuntungan yang diinginkan oleh perusahaan. Hal ini karena masing-masing


perusahaan mempunyai perbedaan dalam menargetkan keuntungan yang

b.

diperoleh.
Jumlah dan umur tambang yang akan menentukan jumlah produksi

c.
d.

Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir operasinya.
Kemiringan tebing (bench), dengan bantuan dana tentang ukuran dan batas
maksimum dari kedalaman pada akhir operasi, maka kemiringan tebing dapat

e.

diperkirakan berdasarkan data fisik bantuan.


Sripping Ratio. Dalam mendesain, perlu ditentukan barapa luas daerah kuasa

f.

pertambangan yang diminta dan berapa banyak overburden uang dibuang.


Cut of Grade. Kadar terendah yang masih memberikan keuntungan apabila
dieksploitasi.
Limbah penambangan rakyat merupakan buangan dari proses pencucian atau

penyemprotan yang mengandung bahan-bahan organik dan anorganik. Limbah dari


penambangan terdiri dari air, batu, kerikil, pasir, tanah dan lain-lain. Sedangkan hasil dari
pencucian atau penyemprotan adalah berupa pasir atau lumpur.
Tambanga rakyat yang ada di wilayah penelitian terdiri dari tambang intan, dan
batu pasir. Jumlah penambang yang ada di sekitar lokasi akan mempengaruhi kualitas ir.
Semakin tinggi aktivitas penambangan akan mengakibatkan semakin rendahnya kualitas
perairan. Prediksi hubungan antara jumlah penambang dengan kualitas perairan adalah
sebagai fungsi berikut:

Gambar 2.1 Fungsi (x) Hubungan antara Jumlah Penambang vs Kualitas Perairan
(Rahmi, 1995)
Dari gambar di atas dapat diprediksi bahwa semakin kekanan jumlah penambang
semakin banyak, maka kualitas perairan akan semakin menurun (dalam asumsi semua
penambang bekerja).

Pada umumnya pencemaran yang sering terjadi pada perairan tawar, ditimbulkan
oleh masalah masuknya berbagai substansi padatan maupun cair sebagai hasil aktivitas
manusia (Dix dalam Sofarini, 1999). Limbah cair dari suatu kegiatan lingkungan
masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir 0,1%
padanya berupa benda-benda padat terdiri dari zat organik dan anorganik. Limbah cair
adalah benda berbentuk cair yang mengandung padatan, senyawa/larutan yang dihasilkan
di dalam suatu proses pencucian, pemurnian dan atau pengolahan lainnya, bukan
merupakan produk tujuan dari proses itu.
Besarnya konsentrasi padatan, senyawa/larutan tersebut dapat dijadikan acuan
untuk mengetahui berbahaya atau tidaknya limbah bagi lingkungan. Untuk itu perlu
dilakukan analiasis air. Beberapa kategori kegiatam yang memerlukan analisis kualitas air
yaitu:

Tabel 2.2 Kategori Kegiatan Analisis Kualitas Air

2.1.5

Limbah penambangan
Pertanian (termasuk analisis

Fishing
Air limbah apapun

kesuburan tanah)
Aquakultur
Industri
Kolam

Pengoksidan air
Ekologi air, limnologi
Mutu air berbagai bidang

Dampak Pasca Tambang


Kegiatan penambangan rakyat dapat mempengaruhi sifat fisika, kimia serta biologi

tanah maupun air, malalui pengupasan tanah lapisan atas, penambangan, pencucian serta
pembuangan tailing. Di lokasi tambang terbuka misalnya, kegiatan penambangan
mengakibatkan hilangnya atau bepindahnya tanah, sedangkan di lokasi pembuangan
tailing adalah tertimbunnya tanah asli dngan tailing. Dengan demikian sifat tanah
asli/semula berupa menjadi sifat tanah tailing (Rahmi, 1995).
Sistem penambangan rakyat di wilayah Banjarbaru adalah menggunakan sistem
dumping, yaitu suatu cara penambangan dengan mengupas tanah permukaan yang
kemudian dilanjutkan dengan penggalian, namun setelah selesai penambangan, lapisan
tanah atas (top soil) tidak dikembalikan ke tempat asalnya. Secara fisik, keadaan lokasi
bekas tambang sangat buruk, berupa lubang-lubang besar mirip seperti danau dan

dikelilingi tumpukan-tumpukan tanah bekas galian, seperti bukit-bukit kecil yang tidak
beraturan. Dengan kondisi demikian, apabila bekas areal tambang tersebut dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian, maka sangat sulit dalam pengelolaannya. Untuk mengembalikan
kualitas bekas areal sehingga dapat dijadikan lahan pertanian memerlukan investasi yang
sangat besar, yang sebenarnya kewajiban penambang.
Penambangan rakyat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan
menyebabkan terancamnya daerah sekitarnya dari bahaya erosi dan tanah longsor sebagai
hilangnya vegetasi penutup tanah. Pembongkaran lahan secara besar-besaran juga
menyebabkan terjadinya perubahan benatng alam (morfologi dan topografi), yaitu
perubahan sudut panjang dan bentuk lereng. Pengupasan, penimbunan tanah penutup dari
penggalian sumber daya alam menimbulkan perubahan pada drainase, debit air sungai
dan kualitas permukaan pada saat hujan. Menurut (Rahmi,1995), aspek tersebut adalah:
a. Aspek Hidrologi, Pada musim hujan mata air keluar dibanyak tempat pada
lembah-lembah di kaki bukit, tetapi pada musim kemarau sebagian besar dari
mata air tersebut kering karena di sepanjang bukit sebagian besar sudah gundul.
b. Aspek Geologi, Tumpukan batuan penutup (overurden) yang dibiarkan
tertumpuk secara tidak teratur sekitar bukaan tambang megahsilkan bukit-bukit
kecil dan lubang-lubang. Demikian juga bekas bukaan yang tidak ditutup
c.

kembali juga akan menghasilkan lubang yang akan terisi oleh air hujan.
Erosi Tanah, Erosi tanah bersifat permanen dan merupakan salah satu dampak
utama dari aktivitas penambangan. Erosi tanah menimbulkan dampak lanjutan
yaitu menurunnya kesuburan tanah di lahan terbuka sekitar lubang tambang dan

sedimentasi sungai.
d. Longsoran Tanah, Longsoran overburden dan waste rock dapat menimbulkan
dampak lanjutan berupa sedimentasi sungai. Karena jumlah overburden dan
waste rock cukup banyak. Hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan yang
e.

bersifat permanen.
Sedimantasi Sungai, Sedimentasi dari longsoran dan erosi tanah dapat terbawa
oleh air larian yang masuk ke dalam sungai. Meskipun longsoran dan erosi tanah
merupakan dampak yang signifikan, tetapi sedimentasi belum tentu mempunyai

f.

dampak yang signifikan.


Gangguan Estetika Lahan, Kegiatan pertambangan pada umumnya dilakukan
dengan penambangan terbuka. Lokasi kegiatannya berderet-deret di daerah

perbukitan yang memberikan pemandangan deretan lahan terbuka berwarna


g.

coklat, kontras dengan daerah bervegetasi yang nampak hijau.


Pencemaran Air, Pencemaran air baik terhadap air permukaan maupun air tanah
dapat terjadi karena adanya air lindian (leachate) dari timbunan limbah, serta
dari genangan di lubang tambang. Pencemaran pada badan sungai akan
mempengaruhi kualitas air.

2.1.6

Konsep Good Govenance pada Pengelolaan Lingkungan Hidup


Berkaitan dengan good governance, , Mardiasmo (2002) mengemukakan bahwa

orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, di


mana pengertian dasarnya adalah ke pemerintahan yang baik. Kondisi ini berupaya untuk
menciptakan suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung

jawab

sejalan

dengan

prinsip

demokrasi,

efisiensi,

pencegahan

penyimpangan baik secara politik maupun administratif.


Tuntutan reformasi mengharuskan aparatur negara untuk mewujudkan administrasi
negara yang mempu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan
fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menurut prinsip good
governance. Karakteristik good governance adalah:
1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi
yang mewakili kepentingannya.
2. Rule of Law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu,

terutama hukum hak asasi manusia.


3. Transparency. Transparansi yang dibangun atas kebebasan arus informasi.
4. Responsivenes. Setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan harus mencoba untuk melayani setiap stakeholder.


5. Consesus Orientation. Good Governance menjadi perantara kepentingan yang

berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas,
baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.
6. Equity. Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau
menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and Efficiency. Lembaga-lembaga serta prosesnya, menghasilkan

produk yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan
sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan

masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stakeholders.


Kedelapan karakteristik good governance dapat dianalogikan juga menjadi
karakteristik setiap pemerintahan daerah yang diperlukan dalam penyelenggaraan
ontonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah diperlukan sumber daya manusia
aparatur pemerintah daerah memiliki karakteristik yang mampu mewujudkan
karakteristik good governance.
2.1.7

Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Instrumen Kebijakan Publik


Menurut Anderson dalam Winarno (1989), kebijakan pada dasarnya adalah arah

tindakan yang mempunyai maksud dan tujuan, ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan. Selanjutnya
Anderson memberikan gambaran bahwa suatu permasalahan baru akan menjadi
permasalahan

kebijakan

(polocy

problem),

bila

problem-problem

itu

dapat

membangkitkan orang banyak untuk melakukan tindakan terhadap problema-problema


tersebut.
Hubungan antara kebijakan publik dengan kebijakan lingkungan hidup dalam
implementasinya digambarkan oleh Dunn (2001) adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Bagan/Kerangka Pemikiran Implementasi Kebijakan (Dunn, dalam


Tangkillsan, 2004).
Berdasarkan bagan/kerangka pemikiran dihubungkan dengan permasalahan yang
dianalisis sebagai berikut:
a. Public Policy, merupakan rangkaian pilihan yang harus saling berhubungan
(termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan
dan pejabat pemerintah. Kemudian diformulasikan dalam bidang-bidang mulai

dari pertahanan, energi, kesehatan sampai pendidikan, kesejahteraan dan


b.

kejahatan.
Policy stakeholder, yaitu para individu dan atau kelompok individu yang
mempunyai andil dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan (misalnya kelompok
warga negara, perserikatan birokrasi partai politik, agen-agen pemerintah,

c.

pimpinan terpilih dan para analis kebijakan.


Policy Environment, problem-problem di sekeliling isu kebijakan yang terjadi
dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pembuatan kebijakan dan kebijakan publik.
Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialiktis, berarti
bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak
terpisahkan di dalam prakteknya.

Gambar 2.3 Sistem Kebijakan Publik (Tangkillisan, 2004)


a. Input, sumber daya-sumber daya yang digunakan sebagai ujung tombak dalam
proses administrasi maupun organisasi pelaksana.
b. Process, merupakan interaksi antar kator, yakni antara instansi teknis sebagai
pelaksana dengan pengusaha serta masyarakat.
c. Output, yaitu hasil yang diharapkan memberikan dampak positif kepada
pemerintah dan masyarakat sebagai penerima manfaat.
Permasalahan lingkungan yang sering timbul seperti pencemaran air, banjir,
sedimentasi, erosi dan lain-lain pada hakikatnya muncul akibat terabaikannya salah satu

dari ketiga fungsi tersebut dalam memanfaatkan lingkungan. Oleh karena itu, Dinas
Pertambangan dan Lingkungan Hidup Kota Banjarbaru sebagai satu-satunya instansi
pengelola lingkungan di Kota Banjarbaru harus memiliki visi dan misi yang jelas dalam
mengelola lingkungan hidup.
Tujuan upaya penanganan terhadap dampak lingkungan di Kota Banjarbaru harus
didasarkan atas prinsip pelestarian sumber daya lingkungan dan memperbaiki atau
meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Sehingga pembangunan disegala sektor yang
dilakukan harus berdasarkan prinsip berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Dari
prinsip tersebut dijabarkan tujuan penanganan dampak lingkungan, yaitu:
a. Terpeliharanya fungsi lingkungan hidup dalam usaha menignkatkan daya
b.

dukung dan daya tampung lingkungan.


Pengendalian fdan penanggulangan pencemaran yang telah dan diperkirakan

c.

akan terjadi akibat suatu kegiatan.


Memperbaiki kualitas lingkungan akibat terjadinya kerusakan sehingga dapat

d.

berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya.


Peningkatan pencarian informasi tentang kuantitas dan kualitas SDA, serta

tingkat kerusakan alam dan kemampuan daya dukung alam.


e. Meningkatkan kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat.
Sasaran umum pengendalian dampak lingkungan yang harus dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
a. Terciptanya SDA yang lestari dalam usaha meningkatkan daya dukung dan daya
b.
c.

tampung lingkungan.
Terkendalinya pencemaran yang disebabkan suatu kegiatan dari berbagai sektor.
Tercapainya tujuan perbaikan SDA sebagai akibat kerusakan yang timbul oleh

d.

kegiatan pembangunan.
Terciptanya kualitas kelembagaan, SDM dan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup.

e.
2.1.9

Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Implementasi Kebijakan

Lingkungan Hidup
Implementasi kebijakan lingkungan menurut tangkillisan (2004) hidup merupakan
rangkaian proses penerjemahan dari kebijakan lingkungan hidup yang direspon berupa
tindakan para pelaku lingkungan hidup secara konsisten dalam rangka pencapaian dan
sasaran yang telah digariskan oleh kebijakan.
1.
Variabel Kebijakan

Kebijakan penanganan lingkungan hidup merupakan salah satu kebijakan publik


yang berupaya mengelola lingkungan hidup di Kota Banjarbaru secara efektif. Kebijakan
ini bertujuan, agar mampu menekan tingkat pencemaran pada titik minimal, yang dicapai
melalui kesesuaian antar target dan hasil yang dicapai serta respons masyarakat terhadap
masalah lingkungan.
Dalam menganalisis implementasi terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan
hiudp, maka perlu dilakukan pemilihan variabel independen, yaitu: kotrol masyarakat,
sanksi hukum serta komitmen pengusaha. Ketiga variabel tersebut didasarkan atas
pemikiran:
a. Kontrol dari pihak masyarakat dibutuhkan karena mereka adalah pihak
langsung terkena dampak dari pencemaran lingkungan hidup yang terjadi.
b. Suatu kebijakan akan berjalan efektif jika ada penerapan sanksi hukum yang
jelas dan konsisten untuk membuat para pelaku atau para pelanggar patuh dan
tidak akan mengulangi perbuatan pencemaran lingkungan.
c. Komitmen pengusaha dibutuhkan karena sebab dari pencemaran kegiatannya,
sehingga pencegahan pencemaran hanya terjadi jika pihak pengusaha
2.

terintegrasi dan ramah lingkungan.


Kontrol Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Civil Society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah

kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi masyarakat dan gerakangerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya independen dalam negara. Jadi,
civil society adalah sebuah masyarakat, baik secara individual maupun kelompok dalam
suatu negara yang mampu berinteraksi secara independen.
Berperannya kontrol masyarakat akan berfungsi secara maksimal pada konteks
masyarakat yang menerapkan civil society dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Masyarakat dapat melakukan partisipasi dalam pembentukan dan
implementasi kebijakan publik dalam suatu negara.
Kontrol masyarakat dalam kebijakan lingkungan hidup yang menerapkan civil
society dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok dalam suatu wilayah
pemerintahan yang mampu berinteraksi dengan pemerintah secara independen untuk
melakukan kontrol terhadap kebijakan yang telah ditetapkan.
3.
Sanksi Hukum (Law Enforcement) di Bidang Lingkungan Hidup

Sudikno Mertokusumo (1984) berpendapat, bahwa kesadaran hukum yang rendah


pada pelanggaran hukum, sedangkan makin tinggi kesadaran hukum semakin tinggi
ketaatan hukumnya. Adanya hukum harus ditaati, dilaksanakan, dan ditegakkan.
Kesadarn hukum lingkungan dapat dibangun melalui pendidikan formal, non
formal, dan informal. Sedangkan pendidikan berjalan secara terus-menerus yang tidak
ada henti-hentinya sepanjang manusia hidup (long life education). Ini berarti
pembangunan kesadaran hukum lingkungan juga akan berjalan dalam waktu yang lama
atau tidak pernah berhenti sepanjang lingkungan hidup ingin dikelola dengan baik oleh
manusia.
4.
Komitmen Pengusaha terhadap Kebijakan Lingkungan Hidup
Pengusaha merupakan pelaku yang bertanggung jawab atas terganggunya fungsi
lingkungan hidup, sehingga harus dilakukan pengawasan terhadap pengusaha. Hal ini
dimaksudkan untuk menignkatkan kesadaran hukum lingkungan pengusaha, ke depan
akan membantu menignkatkan kualitas lingkungan di Kota Banjarbaru.
Upaya kesadaran hukum lingkungan bagi pengusaha selayaknya dilakukan melalui
penataan sukarela (voluntary compliance) sesuai dengan yang tersirat dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:
a. Sistem Pendanaan Lingkungan (Pasal 8)
b. Perangkat Manajemen Lingkungan yang Bersifat Dinamis (Pasal 10)
c. Penghargaan Lingkungan (Pasal 10)
d. Mengenai Teknologi Bersih/Produksi Bersih (Pasal 10)
e. Audit Lingkungan (Pasal 5, 19, 29)
Konsep penegakan hukum lingkungan hanya akan berjalan denngan baik jika
pengawasan terhadap penataan persyaratan per-UU-an dari perijinan yang dilaksanakan
secara terprogram. Hal ini yang melatar belakangi Menteri Lingkungan Hidup
menetapkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 07 Tahun 2001
tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup
Daerah.
a.
Analisis SWOT
SWOT merupakan alat (tool) yang dapat dipakai untuk menganalisis kualitatif
(Kodoatie, 2003). Sedangkan menurut rangkuti (1997), analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi kebijakan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength) dan peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness)
dan ancaman (Threats)

Tabel 2.3 Analisi SWOT

Kuadran 1

Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan.


Kebijakan tersebut memiliki peluang dan kekuatan sehingga
dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus
diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan

Kuadran 2

pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy)


Meskipun menghadapi berbagai ancaman, kebijakan ini
memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus
diterapkan

adalah

menggunakan

kekuatan

untuk

memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara strategi

Kuadran 3

diversifikasi.
Kebijakan mengahadapi peluang pasar yang sangat besar,
tetapi

dilain

pihak,

dapat

menghadapi

beberapa

kendala/kelemahan internal. Fokus strategi kebijakan ini


adalah meminimalkan masalah-masalah internal sehingga

Kuadran 4

dapat merebut peluang yang lebih baik.


Ini merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan,
kebijakan tersebut menhadapi berbagai ancaman dan
kelemahan internal.

Gambar 2.4 Diagram Analisis SWOT


Penelitian menunjukkan bahwa kinerja kebijakan dapat ditentukan oleh kombinasi
faktor internal dan eksternal (Rangkuti, 2005). Kedua faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam analisis SWOT. Dari analisis secara makro, posisi permasalahan

pengelolaan penambangan rakyat ini ada 4 (empat) strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan, yaitu:
1) Strategi yang meningkatkan indikator kekuatan (S), dengan cara memanfaatkan
indikator peluang-peluang (O) yang dimiliki, disebut dengan strategi S-O.
2) Suatu strategi yang menignkatkan indikator kekuatan (S) untuk meminimalkan
ancaman-ancaman (T) yang muncul, dikenal dengan strategi S-T.
3) Strategi yang meminimalkan kelemahan (W) yang ada dengan memanfaatkan
peluang-peluang (O) yang dimiliki, ini disebut dengan strategi W-O.
4) Strategi mengurangi kelemahan (W) yang dimiliki untuk memperkecil atau
b.

menghilangkan ancaman (T) yang muncul, disebut dengan strategi W-T.


Prinsip Pengelolaan Lingkungan dengan Indikator POAC
Menurut Asdak (2004), pengelolaan lingkungan suatu wilayah dapat digunakan

indikator (Planning Organizing Actuating Controlling).


a.Planning (Perencanaan)
Perencanaan yang disusun dalam rangka pengelolaan lingkungan secara terpadu
terhadap suatu wilayah.
b.Organizing (Pengorganisasian)
Pengorganisasian dimaksudkan

agar

pelaksanaan

kegiatan

pengelolaan

lingkungan suatu wilayah lebih efektif dan efisien, dalam arti masing-masing
pihak yang terlibat dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan bertanggung
jawab.
c.Actuating (Pelaksanaan)
Pada tahap pelaksanaan, program-program yang dirancang harus menunjukkan
adanya:
1. Optimasi pemanfaatan sumber daya secara efisien.
2. Dorongan pelaksanaan konservasi sumber daya

alam

dalam

penambangan.
3. Menigkatnya peran stakeholder dan kelembagaan yang terlibat.
d.Controlling (Pengawasan)
Tujuan pengelolaan lingkungan pada suatu wilayah adalah keberlanjutan
pembangunan (sustainable development) dengan asas keterpaduan, maka
pengendalian pengelolaan lingkungan tersebut meliputi:
1. Pengendalian dan pengawasan melekat, secara bersama (sharing
control) dan kemitraan (parnertshipcontrol).
2. Hasil pemantauan dan evaluasi digunakan untuk peninjauan kebijakan
dan perencanaan program lanjutan.
3. Mendorong partisipasi dan pengawasan publik dalam aktivitas
pemantauan evaluasi.

4. Pengembangan Sistem Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan


Hidup (SISDA-LH) untuk memperoleh informasi yang lengkap
mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam serta lingkungan
hidup melalui invebtarisasi dan evaluasi serta penguatan sistem
informasi.
2.2 Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja (k3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan
suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas
setinggi-tingginya. Maka dari itu k3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang
pekerjaan tanpa kecuali. Upaya k3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko
terjadinya kecelekaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan. Dalam pelaksanaan
k3 sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu manusia, bahan, dan metode yang
digunakan, yang artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam mencapai
penerapan k3 yang efektif dan efisien.
Sebagai bagian dari ilmu kesehatan kerja, penerapan k3 dipengaruhi oleh empat
faktor yaitu adanya organisasi kerja, administrasi k3, pendidikan dan pelatihan,
penerapan prosedur dan peraturan di tempat kerja, dan pengendalian lingkungan kerja.
Dalam ilmu kesehatan kerja, faktor lingkungan kerja merupakan salah satu faktor terbesar
dalam mempengaruhi kesehatan pekerja, namun demikian tidak bisa meninggalkan faktor
lainnya yaitu perilaku.
Perilaku seseorang dalam melaksanakan dan menerapkan k3 sangat berpengaruh
terhadap efisiensi dan efektivitas keberhasilan k3. Demikian juga yang terjadi pada
oekerja reaktor nuklir, dimana tingkat kepatuhan terhadap peraturan dan pengarahan k3
akan mempengaruhi perilaku terhadap penerapan prinsip k3 dalam melakukan
pekerjaannya. ( Setyawati L, 1996 ).
Menurut

sumamur

(1993)

kesehatan

kerja

merupakan

spesialisasi

ilmu

kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan agar pekerja/ masyarakat


pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun
sosial dengan usaha preventif atau kuratif terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum.

Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin banyak berubah, bukan sekedar
kesehatan pada sektor industri saja melainkan juga mengarah kepada upaya kesehatan
untuk semua orang dalam melakukan pekerjaannya (total health of all at work).
Keselamatan kerja atau occupational safety, dalam istilah sehari hari sering disebur
dengan safety saja, secara filosofi diartikan sebagai suatau pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja
pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi
keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.Keselamatan kerja adalah
keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses
pengolahannya, landasan tempat akerja dan lingkungannya serta cara-caramelkukan
pekerjaan ( Sumakmur, 1996 ).
Keselamatan kerja ditujukan untuk menghindari adanya kecelakaan kerja disuatu
tempat. Menurut Salah satu pakar Sabdodadi ( 1981 ), kecelakaan kerja dapat terjadi
tindakan seseorang yang ceroboh sehingga membahayakan atau pemaparan terhadap alat
dan mesin yang dalam keadaaan tidak begitu baik. Penyediaan alat- alat pengaman
sebagai pelindung di sekeliling bagian- bagian yang bergerak harus di pertimbangkan
dengan sangat hati- hati ( Smith dan Wilkes, 1978 ).
2.2.1

Tujuan Keselamatan Dan Kasehatan Kerja (K3)


Adapun tujuan dari K3, yaitu :

a.

Melindungi karyawan atau tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam


melakukan

pekerjaan

untuk

keselamatan

dan

kesejahteraan

hidup

&

meningkatkan produksi atau produktivitas nasional.


b. Bisa menjamin keselamatan hidup atau kesejahteraan setiap orang yang berada
di tempat kerja.
c.

Sumber-sumber dari produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan


efisien.

2.2.2

Kecelakaan Akibat Kerja

A. Definisi Kecelakaan Akibat Kerja

Kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan pada suatu
pekerjaan di tempat kerja, artinya bahwa kecelakaan kerja terjadi di sebabkan oleh
pekerjaan atau pada saat bekerja yang tidak terduga, tidak di kehendaki dan dapat
menyebabkan kerugian baik jiwa maupun harta benda.
B. Klasifikasi Dalam Kecelakaan Akibat Kerja
Klasifikasi kecelakaan akibat kerja, karena pada kenyataanya kecelakaan yang
disebabkan akibat kerja biasanya tidak disebabkan hanya satu faktor saja, tetapi banyak
faktor yang memicu atau saling berkaitan yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan.
kecelakaan akibat kerja diklasifikasikan menjadi 4 macam golongan, yaitu:

a. Klasifikasi Menurut jenis Kecalakaan akibat Kerja.


Contohnya : Terjatuh, Tertimpa benda jatuh, Terjepit, Pengaruh suhu
tinggi, Terkena arus listrik, dll.
b. Klasifikasi Menurut Penyebab Kecelakaan Akibat Kerja
Contohnya : Mesin misalnya mesin pembangkit tenaga listrik, Alat angkut
dan alat angkat, Peralatan lain misalnya instalasi pendingin
dan alat-alat listrik, dll.
c. Klasifikasi Menurut Sifat luka atau Kelainan
Contohnya : Patah tulang, Dislokasi atau keseleo, Regang otot atau urat, Memar dan
luka dalam lain, Amputasi, Luka-luka lain, Luka di permukaan, Gegar
dan remuk, Luka bakar, Keracunan-keracunan mendadak (akut), Akibat
cuaca, Mati lemas, Pengaruh arus listrik, Pengaruh radiasi, Luka-luka yang
banyak dan berlainan sifatnya.
d. Klasifikasi Menurut letak Kelainan atau Luka Di Tubuh
Contohnya : Kepala, Leher, Badan, Anggota atas, Anggota bawah,
Banyak tempat, Kelainan umum.
2.3 Kebisingan
2.3.1

Pengertian kebisingan

Beberapa ahli mendefinisikan bising secara subyektif sebagai bunyi yang tidak
diinginkan, tidak disukai, dan mengganggu. Secara obyektif bising terdiri atas getaran
bunyi kompleks yang terdiri atas berbagai frekuensi dan amplitudo, baik yang getarannya
bersifat periodik maupun nonperiodik (Jenny. Bashirudin,2009). Menurut Kepmenaker
No. Kep-51/Men/1999, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat proses produksi dan alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu
dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Nomor:
Kep-51/MEN/1999,1999). Bising mempunyai suatu frekuensi atau jumlah getar per detik
yang dituliskan dalam Hertz, dan satuan intensitas yang dinyatakan dalam desibel (dB).
Berkaitan dengan pengaruhnya terhadap manusia, bising mempunyai satuan waktu atau
lama pajanan yang idnyatakan dalam jam per hari atau jam per minggu (Jenny.
Bashirudin,2009).
Efek suara terhadap kerusakan pendengaran yang ditimbulkan tergantung pada
frekuensi, tingkat tekanan suara, dan lama pendengaran. Secara umum tingkat tekanan
suara yang permanen pada 85 dB dan tidak ada perlindungan pada telinga dapat
menyebabkan kerusakan pendengaran (Zander, 1972 ). Sedangkan di Amerika Serikat,
menurut OHSA ( Occuptional Safety and Health Administration ) ditetapkan 90 dB (A)
sebagai batas maksimum yang diijinkan dengan lama pendengaran 8 jam terus menerus.
Suara dapat diukur secara obyektif, tetapi kebisingan merupakan fenomena yang
subyektif. Alat Ukur yang dipakai untuk pengukuran tingkat suara adalah Sound Level
Meter ( Bridger, 1995 ). Mekanisme kerja SLM, apabila ada benda bergetar maka akan
menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditanngkap oleh alat ini,
selaanjutnya akan menggerakkan meter penunjuk. Audiometer adalah alat untuk
mengukur ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaaan audiometri.
Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat didengar
telinga.
Adapun nilai ambang batas kebisingan adalah angka dB yang dianggap aman untuk
sebagian tenaga kerja bila bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Surat edaran menteri
tenaga kerja, transimgrasi dan koperasi No. SE-01 /MEN /1978, nilai ambang bata untuk
tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata- rata yang masih dapat
diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap dalam

waktu terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Waktu
maksimum bekerja adalah sebegai berikut :

82 dB
85 dB
88 dB
91 dB
97 dB
100 dB

: 16 jam per hari


: 8 jam per hari
: 4 jam per hari
: 2 jam per hari
: 1 jam per hari
: jam per hari

( Bilman Ir, 1997 )


Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi dapat dibedakan menjadi :
1. Bising yang kontinu dan spektrum bunyi yang luas. Bising ini relatif tetap dalam
batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut- turut. Misalnya mesin,
kipas angin, dan dapur pijar.
2. Bising dan kontinu yang spektrum bunyi yang sempit. Bising ini juga relatif tetap,
akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi tertentu saja ( pada Frekuensi 500,
1000 dan 4000 Hz ). Mislanya gergaji serkuler dan katup gas.
3. Bising terputus- putus ( Intermitten ). Bisisng disini tidak terjadi secara terus
menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas,
kebisingan di lapangan terbang.
4. Bising Implusif. Bising jenis ini memikili perubahan tekana suara melebihi 40 dB
dalam waktu yang sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya.
Misalnya tembakan, suara ledakan mercon dan meriam.
5. Bising Implusif berulang. Sama dengan bising implusif, hanya saja disini terjadi
secara berulang- ulang. Misalnya Mesin tempa.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
1. Bising yang mengganggu ( Irritating Noise ) Intensitas tidak terlalu keras.
Misalnya mendengkur.
2. Bising yang menutupi ( Masking Noise ). Merupakan bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas. Secara tidak Langsung bunyi ini akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda
bahaya tenggelam dalam bising dari sumber lain.
3. Bising yang merusak ( damaging / injorius noise ). Adalah bunyi yang
intensitasnya melampaui NAB. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan
fungs pendengaran.

( KCM, Kebisingan ).
Adapun pengaruh bising terhadap tenaga kerja yaitu, bising menyebabkan berbagai
gangguan tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan
komunikasi dan ketulian, atau ada yang menggolongkan gangguannya yang berupa
gangguan auditori, misalnya gangguan terhadap pendengaran dan gangguan non auditori
seperti komunikasi terganggu, ancaman bahaya keselamatan, menurunnya perfomance
kerja, kelelahan dan stress.
Untuk lebih rincinya lagi, maka dapat digambarkan dampak bising terhadap kesehatan
bagi pekerja sebagai berikut:
1. Gangguan Fisioligis adalah gangguan yang dapat berupa peningkatan tekanaa
darah, peningkatan nadi, besarnya metabolisme, kosntruksi pembuluh darah kecil
terutama pada bagian kaki, dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
2. Gangguan psikologis yaitu dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, emosi dan lain lain. Pemaparan jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan penyakit psikomatik seperti gastristis, penyakit jantung koroner dan
lain lain.
3. Gangguan Komunikasi ini menyebabkan terganggunya pekerjaan, bahkan
mungkin terjadi kesalahan, terutama bagi pekerjaan baru yang belum
berpengalaman. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung akan
mengakbitkan bahaya terhadap keslematan dan kesehatan kerja, karena tidak
mendengar teriakan atau isyarat tanda bahaya dan tentunya akan dapat
menurunkan mutu dan memperlambat aktifitas kerja.
4. Gangguan Keseimbangan ini mengakibatkan gangguan fisioligis sperti kepala
pusing, mual, muntah- muntah dan lain- lain.
5. Gangguanterhadap pendengaran ( Ketulian ) diantara sekian banyak gangguan
yang ditimbulkan oleh bising, gangguan terhadap pendengaran dalah gangguan
yang paling serius karena dapat menyebabkan hilangnya pendengaran atau
ketulian. Ketulian dapat bersifat progresif atau awalnya bersifat sementara tapi
bila bekerja terus menerus di tempat bising tersebut maka daya dengar akan
menghilang secara menetap atau tuli.
Menurut definisi kebisingan, apabila suatu suara yang mengganggu orang yang
sedang membaca atau mendengarkan musik, maka suara itu adalah kebisingan bagi orang
itu atau meskipun orang orang lain mungkin terganggu oleh suara tersebut. Meskipun

pengaaruh suara banyak yang berkaitan denga faktor- faktor psikologis dan emosional
( Departemen Kesehatan RI ).
Sumber kebisingan secara global dapat dibedakan, yaitu kebisingan yang
ditimbulkan industri baik ringan maupun berat dan bising yang ditimbulkan oleh
kemajuan transportasi (Yustinus SB, 2008). Di tempat kerja, sumber kebisingan berasal
dari peralatan dan mesin-mesin. Peralatan dan mesin-mesin dapat menimbulkan
kebisingan karena (Huboyo H.S, 2008):
a. Mengoperasikan mesinmesin produksi yang sudah cukup tua.
b. Terlalu sering menoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi
dalam perioe operasi cukup panjang.
c. Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi sekedarnya. Misalnya
mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.
d. Melakukan modifikasi atau perubahan atau pergantian secara parsial pada
komponen-komponen

mesin

produksi

tanpa

mengidahkan

kaidah-kaidah

keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin


tiruan.
e. Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat
(terbalik atau tidak rapat), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin
(bad connection).
f. Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya.
2.3.2
Pengendalian Kebisingan
Pengendalian kebisingan meliputi dua kelompok, yaitu (Ada,2008;Huboyo
H.S,2008; Laras DP,2011) :
a. Pengendalian secara teknis
Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media yang dilalui
bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja. Pengendalian bising pada sumbernya
merupakan pengendalian yang sangat efektif dan hendaknya dilakukan pada sumber
bising yang paling tinggi.
b. Pengendalian secara administrasi
Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar oleh kebisingan
dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang lebih rendah, pelatihan bagi
pekerja terhadap bahaya kebisingan dan mengatur waktu istirahat. Pengaturan waktu
istirahat berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51/Men/1999 tentang nilai

ambang batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang diperkenankan
ditampilkan dalam tabel 2.4 (Mallapiang F,2008).
Tabel 2.4 Nilai Ambang Batas Iklim Kerja Indeks Suhu Basah dan Bola
No

Pengaturan waktu kerja ISSB (C)


Beban Kerja
setiap jam
Waktu
Waktu
Kerja
Bekerja

2
3
4
2.3.3

terus

menerus (8
jam/hari)
75%
50%
25%

Istirahat

Ringan

Sedang

Berat

30

26,7

25

25%
50%
75%

30,6
31,4
32,2

28
29,4
31,1

25,9
27,9
30

Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pendengaran


Gangguan pendengaran akibat kebisingan di pengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1.

Penggunan Obatobatan
Penggunan obat obatan lebih dari 14 hari baik diminum maupun melalui

suntikan

menyebabkan

terjadinya

gangguan

pendengaran.

Obat-obatan

yangmempengaruhi organ pendengaran pada umumnya adalah jenis antibiotik


aminoglikosid yang mempunyai efek ototoksik, obat obatan tersebut adalah neomisin,
kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin yang berpengaruh pada komponen akusti.
2.

Umur
Pada usia lanjut, sedang sakit atau anak berumur antara 4 sampai 6 tahun, dipandang

lebih sensitif terhadap gangguan kebisingan dibanding kelompok usia lain. Orang yang
berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat ngangguan kebisingan
dibanding kelompok usia lain. Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah
tuli akibat bising. Pada orang lanjut usia, gangguan pendengaran biasanya disebabkan
oleh fungsi organ pendengaran yang menurun ataau disebut presbiakusis (sekitar 1,85%).
3.

Penyakit

a.

Otitis Media, Suatu peradanga telinga tengah yang terjadi akibat infeksi bekateri
Streptococcus pneumoniae, Haemopilus influenzae, atau Staphylococcus aureus.
Otitis media juga dapat timbul akibat infeksi virus (otitis media infeksiosa) yang
biasanya dengan antibiotik, atau terjadi akibat alergi (otitis media serosa) yang dapat

b.

diobati dengan antihistamin dengan atau tanpa antibiotik.


Tinnitus, Tinnitus adalah suara berdenging di satu atau dua telinga. Tinnitus dapat
timbul pada penimbunan kotoran telinga atau presbiakusis, kelebihan aspirin dan

c.

infeksi telinga.
Hipertensi, Para penderita penyakit darah tinggi, dimana sel sel pembuluh darah
sekitar tlinga ikut tegang dan mengeras, juga harus selalu memperhatikan kesehatan
telingannya. Sebab, berkurangnya oksigen yang masuk lebih memudahkan sel sel

d.

pendengaran mati.
Influenza
Penyakit Influenza dapat menyebabkan gangguan pada telinga karna lubang yang

menghubungkan telinga bagian tengah dan hidung (tuba eustakius) mengalami


peradangan atau bahkan mampet.
4.

Alat Pelindung Telinga


Pengendalian kebisingan terutama ditujukan bagi mereka yang dalam kesehariannya

menerima kebisingan. Karena daerah utama kerusakan akibat kebisingan pada manusia
adalah pendengaran (telinga bagian dalam), maka metode pengendaliannya dengan
memanfaatkan alat bantu yang bisa meredukasi tingkat kebisingan yang masuk ketelinga
bagian luar dan bagian tengah sebelum masuk ke telinga bagian dalam.
5. Ruangan Tempat Pengukuran
Pemerikasaan harus dilakukan dalam ruangan kedap suara atau ditempat yang sunyi
dengan intensitas suara yang sesuai dengan persyaratan, yaitu latar belakang kebisingan
tidak lebih dari 40 dB.
6. Jenis Kebisingan
Kebisingan bernada tinggi lebih menggangu daripada kebisingan bernada rendah,
lebih lebih yang terputus putus atauyang datangnya secara tiba tiba dan tidak terduga.
Kebisingan impulsif yang berintensitas tinggi dapat menyebabkan rusaknya alat
pendengar. Kerusakan dapat terjadi pada gendang pendengaran atau tulang tulang halus
di telinga tengah.

7.

Masa Kerja
Resiko gangguan pendengaran pada tingkat kebisingan 75 dB untuk papran harian

selama 8 jam dapat diabaikan, bahkan pada tingkat paparan sampai 80 dBtidak ada
peningkatan subyek dengan gangguan pendengaran. Akibat tetapi pada 85 dB ada
kemungkinan bahwa setelah 5 tahun berkerja, 1% pekerja akan mengalami gangguan
pendengaran (Cholidah, 2005). Salah satu alat pengukur kebisingan adalah Sound Level
Meter yaitu alat yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya tekanan suara atau
intensitas suara dengan lokasi tetap atau waktu pengukuran tertentu. Alat itu dapat
mengukur kebisingan antara 30-130 dB dan frekuensi 20-20.000 Hz. Keras dan intensitas
kebisingan dinyatakan dalam desibel (dB) (Novi A, 2004).
Kebisingan ditempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan gangguan
sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan
penurunan produktivitas tenaga kerja dangan lama papran dan masa kerja lama. Pada
masa kerja selama 5 tahun bekerja, 1% pekerja akan mengalami gangguan pendengaran
(Cholidah, 2005).
Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan deteksi dini untuk pencegahan
karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup besar. Pemerikasaan
gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat, dan hati hati untuk
menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan kompensasi kepada tenaga kerja
(Novi A, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Laras Dyah Permaningtyas (2011) pada pekerja
home industry di kelurahan Purbalingga Lor bahwa kejadian Noise Induced Hearing Loss
(NIHL) lebih banyak diderita oleh pekerja yang memiliki lama masa kerja lebih dari 10
tahun dibandingkan dengan yang kurang dari 10 tahun
(Laras DP, 2011).
2.4 Gangguan Pendengaran
2.4.1 Pengertian gangguan pendengaran.

Kerusakan pendengaran karena kebisingan sebenarnya adalah kerusakan pada indera


pendengaran dengan resiko penurunan daya dengar yang akhirnya dapat menjadi tuli
menetap yang tidak dapat disembuhkan. Oleh karena itu, menghindari kebisigan yang
berlebihan adalah satu-satunya cara yang tepat untuk mencegah kerusakan pendengaran.
Namun dalam sesuatu proses produksi hal ini tidak dapat dilaksanakan. Pengaruh
kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik fisis, waktu berlangsung dan
waktu kejadianya. Pengaruh tersebut berbentuk gangguan yang dapat menurunkan
kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman manusia.
2.4.2

Jenis-jenis gangguan pendengaran

Jenis gangguan pendengaran yang di timbulkan kebisingan yaitu :


a.

Gangguan pendengaran konduktif


Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat

mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi
pada kenal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis,
fenestra rotunda dan tuba aurlitiva.
b.

Gangguan pendengaran sensorineural


Gangguan jenis ini umumya irreversible karena terdapat masalah di telinga begian

dalam dan saraf pendengaran.


c.

Gangguan pendengran campuran


Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis

konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan


pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural, lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media, kedua
gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama, misalnya
sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam.
2.4.3

Pemeriksa dan diagnosis gangguan pendengaran

trauma kepala yang berat

Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu dipengaruhi
suara bisisng disekitarnya. Menurut Guyton dan Hail, cara melakukan pemeriksaan nya
adalah :

a.

Tes Rinne
Membandingkan antara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telingga

responden. Garputala digetarkan, tangkainya diletakan di prosesus mastoideus. Setelah


tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 cm. Bila masih terdengar
disebut rinne positif. Bila tidak terdengar disebut rinne negatif.
b.

Tes Weber
Membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Caranya yaitu

garputala digetarkan dan tangkai garputala diletakkan di garis tangah kepala (di virtex,
dahi, pangkal hidung dan di dagu). Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pda
salah satu telinga disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan
ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada lateralisasi.
c.

Tes Schwabach
Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal)

dengan probandus. Caranya garputala digetarkan, tangkai garputala diletakkan pada


prosesus mastoidus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai garputala segera
dipindahkan pada prosesus mastoidus telinga pemeriksa yang pendengaranya normal.
Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut schwabach memendek, bila tidak
pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksa diulang dengan cara sebaliknya, yaitu
garputala diletakkan pada prosesus mastoidus pemeriksa lebih dahulu. Bila penderita
masih dapat mendengar bunyi disebut schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut schwabach sama dengan
pemeriksa.
2.5 Alat Pelindung Diri
2.5.1 Pengertian APD

Setiap kegiatan yang bersangkutan dengan faktor manusia, mesin dan bahan yang
melalui tahapan proses memiliki tingkat risiko bahaya dengan tingkatan risiko berbedabeda yang akan memungkinkan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja tersebut disebabkan karena adanya sumber-sumber
bahaya akibat dari aktivitas kerja di tempat kerja. Tenaga kerja atau karyawan merupakan
aset perusahaan yang sangat penting dalam proses produksi, sehingga perlu diupayakan
agar derajat kesehatan tenaga kerja selalu dalam keadaan optimal.
Rata-rata umumnya di semua tempat kerja selalu terdapat sumber-sumber bahaya.
Hampir tidak ada tempat kerja yang sama sekali bebas dari sumber bahaya. Sumbersumber bahaya perlu dikendalikan atau diminimalisasi untuk mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-sumber bahaya, maka sumbersumber bahaya tersebut harus ditemukan.
Adapun untuk menemukan dan menentukan lokasi bahaya potensial yang dapat
mengakibatkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, maka perlu diadakan identifikasi
sumber bahaya potensial yang ada di tempat kerja. Pengendalian tersebut merupakan
faktor-faktor bahaya yang dilakukan untuk meminimalkan bahkan menghilangkan
penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja yaitu dengan cara pengendalian teknis dan
administratif, tetapi banyak perusahaan atau pekerja tambang yang menolak untuk
melaksanakan pengendalian tersebut dengan alasan biaya yang mahal.
Maka perusahaan tersebut mengupayakan dengan merekomendasikan Alat
Pelindung Diri (APD) sebagai tindakan proteksi dini terhadap bahaya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja yang timbul ditempat kerja. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
sebenarnya merupakan alternatif terakhir bagi pihak perusahaan untuk melindungi tenaga
kerjanya dari faktor dan potensi bahaya.
Alat Pelindung Diri adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh
pekerja untuk melindungi seluruh atau seabagian tubuhnya dari kemungkinan adanya
pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (Tarwaka, 2008).
Alat Pelindung diri merupakan suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang berfungsi mengisolasi tenaga

kerja dari bahaya di tempat kerja. Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis
pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu di utamakan.
Namun kadangkadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya,
sehingga digunakan alat-alat pelindung diri
(Milos Nedved dan Imamkhasani, 1991).
Alat pelindung haruslah enak dipakai, tidak mengggangu kerja dan memberikan
perlindungan yang efektif. hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemakaian alat
pelindung diri, yaitu:
1.

Pengujian mutu
Alat pelindung diri harus memenuhi standar yang telah ditentukan untuk menjamin
bahwa alat pelindung diri akan memberikan perlindungan sesuai dengan yang
diharapkan. Semua alat pelindung diri sebelum dipasarkan harus diuji lebih dahulu
mutunya.

2. Pemeliharaan alat pelindung diri


Alat pelindung diri yang akan digunakan harus benar-benar sesuai dengan kondisi
tempat kerja, bahaya kerja dan tenaga kerja sendiri agar benar-benar dapat memberikan
perlindungan semaksimal mungkin pada tenaga kerja.
3. Ukuran harus tepat
Adapun untuk memberikan perlindungan yang maksimum pada tenaga kerja, maka
ukuran alat pelindung diri harus tepat. Ukuran yang tidak tepat akan menimbulkan
gangguan pada pemakaiannya.
4. Cara pemakaian yang benar
Sekalipun alat pelindung diri disediakan oleh perusahaan, alat-alat ini tidak akan
memberikan manfaat yang maksimal bila cara memakainya tidak benar. Tenaga kerja
harus diberikan pengarahan tentang :
a. Manfaat dari alat pelindung diri yang disediakan dengan potensi bahaya yang ada.
b. Menjelaskan bahaya potensial yang ada dan akibat yang akan diterima oleh tenaga
kerja jika tidak memakai alat pelindung diri yang diwajibkan.
c. Cara memakai dan merawat alat pelindung diri secara benar harus dijelaskan pada
tenaga kerja.
d. Perlu pengawasan dan sanksi pada tenaga kerja menggunakan alat pelindung diri.

e. Pemeliharaan alat pelindung diri harus dipelihara dengan baik agar tidak
menimbulkan kerusakan ataupun penurunan mutu.
f. Penyimpaan alat pelindung diri harus selalu disimpan dalam keadaan bersih
ditempat yang telah tersedia, bebas dari pengaruh kontaminasi.

2.5.2

Pemilihan Alat Pelindung Diri


Pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri harus memperhatikan aspek-aspek

sebagai berikut (Tarwaka, 2008).


1). Aspek Teknis, meliputi :
a. Pemilihan berdasarkan jenis dan bentuknya. Jenis dan bentuk alat pelindung diri
harus disesuaikan dengan bagian tubuh yang dilindungi.
b. Pemilihan berdasarkan mutu atau kualitas. Mutu alat pelindung diri akan
menentukan tingkat keparahan dan suatu kecelakaan dan penyakit akibat kerja
yang mungkin terjadi. Semakin rendah mutu alat pelindung diri, maka akan
semakin tinggi tingkat keparahan atas kecelakaan atau penyakit akibat kerja
yang terjadi. Adapun untuk menetukan mutu suatu alat pelindung diri dapat
dilakukan melalui uji laboratorium untuk mengetahui pemenuhan terhadap
standar.
c. Penentuan jumlah alat pelindung diri. Jumlah yang diperlukan sangat tergantung
dari jumlah tenaga kerja yang terpapar potensi bahaya di tempat kerja. Idealnya
adalah setiap pekerja menggunakan alat pelindung diri sendiri-sendiri atau tidak
dipakai secara bergantian.
d. Teknik penyimpanan dan

pemeliharaan.

Penyimpanan

investasi

untuk

penghematan dari pada pemberian alat pelindung diri.


2). Aspek Psikologis
Di samping aspek teknis, maka aspek psikologis yang menyangkut masalah
kenyamanan dalam penggunaan alat pelindung diri juga sangat penting untuk
diperhatikan. Timbulnya masalah baru bagi pemakai harus dihilangkan, seperti terjadinya
gangguan terhadap kebebasan gerak pada saat memakai alat pelindung diri. Penggunaan
alat pelindung diri tidak menimbulkan alergi atau gatal-gatal pada kulit, tenaga kerja

tidak malu memakainya karena bentuknya tidak cukup menarik.Ketentuan pemilihan alat
pelindung diri meliputi (Tarwaka, 2008) :
a. Alat pelindung diri harus dapat memberikan perlindungan yang adekuat terhadap
bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja.
b. Berat alat hendaknya seringan mungkin dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa
c.
d.
e.
f.

ketidaknyamanan yang berlebihan.


Alat harus dapat dipakai secara fleksibel.
Bentuknya harus cukup menarik.
Alat pelindung tahan lama untuk pemakaian yang lama.
Alat tidak menimbulkan bahaya-bahaya tambahan bagi pemakainya, yang

dikarenakan bentuknya yang tidak tepat atau karena salah dalam penggunaanya.
g. Alat pelindung harus memenuhi standar yang telah ada. Alat tersebut tidak
membatasi gerakan dan presepsi sensoris pemakaiannya. Suku cadangnya mudah
didapat guna mempermudah pemeliharaannya.
2.5.3

Jenis-Jenis Alat Pelindung Diri


Jenis-jenis alat pelindung diri berdasarkan fungsinya terdiri dari beberapa

macam. Alat pelindung diri yang digunakan tenaga kerja sesuai dengan bagian tubuh
yang dilindungi, antara lain :
1). Alat Pelindung Kepala
Digunakan untuk melindungi rambut terjerat oleh mesin yang berputar dan untuk
melindungi kepala dari terbentur benda tajam atau keras, bahaya kejatuhan benda atau
terpukul benda yang melayang, percikan bahan kimia korosif, panas panas sinar
matahari.
2). Alat Pelindung Mata
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi mata dari percikan bahan
kimia korosif, debu dan partikel-partikel kecil yang melayang di udara, gas atau uap
yang dapat menyebabkan iritasi mata, radiasi gelombang elektronik, panas radiasi
sinar matahari, pukulan atau benturan benda keras.
3). Alat Pelindung Telinga
Alat pelindung jenis ini digunakan untuk mengurangi intensitas yang masuk
kedalam telinga.
4). Alat Pelindung Pernafasan

Alat pelindung jenis ini digunakan untuk melindungi pernafasan dari resiko
paparan gas, uap, debu, atau udara terkontaminasi atau beracun, korosi atau yang
bersifat rangsangan. Sebelum melakukan pemilhan terhadap suatu alat pelindung
pernafasan yang tepat, maka perlu mengetahui informasi tentang potensi bahaya atau
kadar kontaminan yang ada di lingkungan kerja. Hal-hal yang perlu diketahui antara
lain.
5). Alat Pelindung Tangan
Digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari dari benda tajam
atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus listrik. Sarung
tangan terbuat karet untuk melindungi kontaminasi terhadap bahan kimia dan arus
listrik; sarung tangan dari kain/katun untuk melindungi kontak dengan panas dan
dingin.
6). Alat Pelindung Kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dan bagian lainnya dari benda-benda keras,
benda tajam, logam/kaca, larutan kimia, benda panas, kontak dengan arus listrik.
7). Pakaian Pelindung
Digunakan untuk melindungi seluruh atau bagian tubuh dari percikan api, suhu
panas atau dingin, cairan bahan kimia. Pakaian pelindung dapat berbentuk apron yang
menutupi sebagian tubuh pemakainya yaitu mulai daerah dada sampai lulut atau
overall yaitu menutupi suluruh bagian tubuh. Apron dapat terbuat dari kain dril, kulit,
plastik PVC/polyethyline, karet, asbes atau kain yang dilapisi alumunium. Apron tidak
boleh digunakan di tempat-tempat kerja dimana terdapat
mesin-mesin yang berputar.
8). Sabuk Pengaman Keselamatan
Digunakan untuk melindungi tubuh dari kemungkinan terjatuh dari ketinggian,
seperti pekerjaan mendaki, memanjat dan pada pekerjaan kontruksi bangunan
(Tarwaka, 2008).
2.5.4

Kebijakan Tentang APD

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108 menyatakan


bahwa Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan
dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan

martabat manusia serta nilai-nilai agama. Oleh karena itu upaya perlindungan terhadap
pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan kegiatan/proses di tempat kerja
perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.
Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan
penggunaan alat pelindung diri (APD). Penggunaan APD di tempat kerja sendiri telah
diatur melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang
penggunaan APD adalah antara lain :
a. Pasal 3 ayat 1 butir f menyatakan bahwa salah satu syarat-syarat keselamatan
kerja adalah dengan cara memberikan alat pelindung diri (APD) pada pekerja.
b. Pasal 9 ayat 1 butir c menyatakan bahwa pengurus (perusahaan) diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja baru tentang alat-alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
c. Pasal 12 butir b menyatakan bahwa tenaga kerja diwajibkan untuk memakai alat
pelindung diri (APD).
d. Pasal 12 butir e menyatakan bahwa pekerja boleh mengatakan keberatan apabila
alat pelindung diri yang diberikan diragukan tingkat keamanannya.
e. Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki suatu tempat kerja,
diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat
pelindung diri yang diwajibkan.
f. Pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan untukm
mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan
pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi
setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjukpetunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli
keselamatan kerja.
Peraturan lain yang mengatur penggunaan APD adalah Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 01/Men/1981, disebutkan dalam pasal 4 ayat 3, bahwa
pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya untuk
mencegah penyakit akibat kerja.
Begitu pula dalam pasal 5 ayat 2 disbutkan bahwa tenaga kerja harus memakai alatalat perlindungan diri yang diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan detail dalam


bentuk peraturan-peraturan.
Kepastian hukum yang kuat akan memberikan kemantapan dalam pengawasan.
Karena apabila diberi teguran dan peringatan tidak dihiraukan maka perangkat
peraturanlah yang akan berperan dalam hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang
berkaitan dengan situasi kerja merupakan upaya yang dilakukan dalam meningkatkan
efektifitas pelaksanaan program K3 di sebuah perusahaan.

Lampiran 1. Dokumentasi

Gambar 1. Mesin yang digunakan di Pertambangan Intan Cempaka

Gambar 2. Mesin yang digunakan di Pertambangan Intan Cempaka

Gambar 3. Kegiatan wawancara pada pekerja Pertambangan Intan

Gambar 4. Kegiatan observasi di wilayah Tambang Intan Cempaka

Gambar 5. Pengukuran Kebisingaan menggunakan Sound Level Meter

Lampiran 3. Hasil Pengukuran Kebisingan Menggunakan Sound Level Meter

SAMPEL

dB

Titik A (Mesin)

110,3

Titik B

83,3

Titik C

79,3

Titik D

77,3

Titik E

71,5

Titik F

95,2

Rata - Rata

86.15

Lampiran 4. Lembar Wawancara


LEMBAR WAWANCARA RESPONDEN PENELITIAN
Tanggal Wawancara :
Nomor Responden :
(diisi oleh peneliti)
A. Identitas Diri
Nama

Jenis Kelamin

Umur / tgl lahir : ............ tahun / .........................


Pendidikan :
Lama Kerja :
Waktu Kerja : ............ jam / hari
Waktu Istirahat : ............ jam / hari
Alamat

Status

B. Data Khusus
1. Apakah pertambangan ini menghasilkan debu :
a. Ya
b. Tidak
2. Apakah debu tersebut mengganggu aktivitas warga sekitar :
a. Ya
b. Tidak
3. Apakah di pertambangan ini sudah menerapkan K3 :
a. Ya
b. Tidak
4. Menurut saudara, apakah ada hubungan kebisingan terhadap ketulian :
a. Ya
b. Tidak
5. Apakah saudara tahu penyebab ketulian :
a. Ya
b. Tidak
6. Menurut saudara, apakah ada hubungan kebisingan terhadap tinitus (telinga
berdengung) :
a. Ya
b. Tidak
7. Menurut saudara, apakah ada hubungan kebisingan terhadap vertigo (kepala
berputar) :
a. Ya

b. Tidak

8. Apakah saudara merasa mengalami gangguan pendengaran karena kebisingan


selama bekerja :
a. Ya
b. Tidak
9. Gangguan apa saja yang saudara alami dengan pendengaran saudara :
a. Susah mendengar pembicaraan orang lain
b. Telinga berdengung
c. Telinga terasa panas
10. Apakah saudara terganggu akibat kebisingan yang ditimbulkan suara mesin
ketika bekerja :
a. Ya
b. Tidak
11. Apakah selama bekerja saudara menggunakan alat pelindung diri :
a. Ya
b. Tidak
12. Alasan tidak menggunakan alat pelindung diri (jika tidak memakai alat pelindung
diri) :
a. Mengganggu aktivititas
b. Tidak tahu alasannya apa
c. Tidak tau kegunaannya
d. Merasa tidak perlu
13. Sewaktu bekerja, apakah saudara mengalami kesulitan berbicara dengan pekerja
tambang lainnya :
a. Ya
b. Tidak
14. Pernahkah saudara memeriksakan kondisi telinga saudara ke dokter :
a. Ya
b. Tidak
15. Bila pernah, bagaimana hasil pemeriksaan pada alat pendengaran saudara kepada
dokter :
a. Baik

b. Kurang baik

16. Menurut saudara, seberapa jauh radius debu dari lokasi pertambangan :
......................................................................................................................
17. Adakah cara untuk mengurangi dampak kebisingan di pertambangan intan ini :
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...............................................................................
18. Bagaimana penanganan pertama bila terjadi kecelakaan kerja?
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...............................................................................

19. Apa saja penyakit yang sering menyerang pekerja tambang?


...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...................................................................................................................................
...............................................................................
20. Apakah pertambangan intan ini sudah menerapkaan k3 yang sudah sesuai dengan
standar keamanan yang ada ?

Lampiran 5. Surat Pernyataan Ketersediaan Menjadi Responden

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN


MENGIKUTI PENELITIAN
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama
Usia

:
:

Alamat

Tempat kerja :
Setelah membaca/mendapatkan penjelasan saya memahami sepenuhnya tentang penelitian
Judul penelitian

: Tinjauan Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja pada

Penambangan intan akibat kebisingan di area pertambangan Intan Cemapaka Kelurahan Sungai
Tiung Banjarbaru
Nama Peneliti

: Mentari Putri Karina

H1E113208

Mumin

H1E113215

Royan Pratama

H1E113201

Dengan ini saya menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara sukarela sebagai
responden penelitian dan mengisi dengan jujur. Data yang diminta dalam penelitian ini dijamin
kerahasiaannya. Saya tidak akan menuntut apapun kepada pihak-pihak yang terlibat langsung
dalam penelitian ini.
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan yang sadar tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun.
Banjarbaru,..........................2015
Peneliti,

Tim Penulis

Responden Penelitian,

....................................

SOAL
1. Disebut Apakah Alat Ukur Kebisingan ?
a. Sound System
b. Soundcloud
c. Sound Level Meter
d. Anemometer
e. Termometer
2. Ada Berapa Zona Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.718 Tahun 1987
Tentang Kebisingan ?
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
e. 5
3. Manakah Tipe Kebisingan Yang Tepat Dalam KMNLH 1996 ?
a. Kebisingan Kontinyu
b. Kebisingan Semi Kontinyu
c. Kebisingan Residual
d. Kebisingan Asap
e. Kebisingan Implusif
4. Sebutkan Jenis Jenis Akibat Kebisingan Terhadap Kesehatan ?
a. Akibat Psikologis
b. Akibat Keteledoran
c. Akibat Semi Permanen
d. Akibat Tekanan Suara
e. Akibat Biologis

5. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.718 Tahun 1987, Zona A Yang Meliputi
Tempat Kesehatan Dan Rumah Sakit Berada Dalam Tingkat Kebisingan Berapa
DB ?
a. 35-45 DB
b. 45-50 DB
c. 55-60 DB
d. 65-70 DB
e. 75-80 DB

Anda mungkin juga menyukai