Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besara terjadi akibat dari
kecelakaan lalu lintas (Mansejoer, 2007).
Cedera kepala masih menjadi masalah utama morbiditas dan mortalitas
pada populasi dunia berumur dibawah 45 tahun (Warner & engelhard, 2007).
Penyebab terbanyak cedera kepala adalah kecelakaan bermotor, terpeleset, dan
bahkan jatuh, sebagian besar (80 %) cedera kepala ringan sedangkan cedera
kepala sedang 10 % dan cedera kepala berat 10 % (Jagoda dan Bruns,2006).
Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak 296.678
orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang (20,17%) dan
cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari sejumlah kasus
tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit (Haddad,
2012).
Di Amerika diperkirakan anga kejadian cedera kepala yang terjadi yaitu
1,56 juta kasus cedera kepala 20.000 pasien di rawat inap dan 51.000 pasien
meninggal dunia pada tahun 2003 (Brown, at.al, 2006). Cidera kepala akan
menjadi masalah yang sangat besar di dalam kalangan masyarakat dunia
meskipun masalah medis sudah berkembang pesat dan maju pada abat 21 ini
(PERDOSI, 2006).

Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cedera
kepala paling sering dan penyakit nourologik yang paling serius diantara penyakit
nourologik lainya, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan
jalan raya. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunya akibat cedera
kepala dan lebih dari 700.000 mengalami cidera cukup berat yang memerlukan
perawatan dirumah sakit (Brunner & Suddarth, 2002).
Jenis cedera kepala antara lain : Cedera kepala ringan, cedera kepala
sedang, cedera kepala berat. Asuhan cedera kepala baik cedera kepala ringan
sedang dan berat harus ditangani dengan serius karena berkaitan dengan otak yang
dapat mengakibatkan gangguan pada sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendeteksi
adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari adanya cedera kepala
(Smeltzer and bare, 2002).
Di Indonesia prevalensi angkah kejadian secara nasional adalah 8,2%
prevalensi tertinggi adalah di daerah Sulawesi Selatan 12,8 %. Penyebab cedera
terbanyak yaitu jatuh 40,9% dan kecelakaan sepeda motor 40,6 %, selanjutnya
penyebab cedera karena tekanan benda tajam/tumpul 7,3%, transportasi darat lain
7,1% dan kejatuhan 2,5%. Sedangkan untuk penyebab yang belum disebutkan
proporsinya karena angkah kejadian yang sangat kecil. Penyebab cedera akibat
transportasi sepeda motor tertinggi ditemukan di Bengkulu 56,4% dan terendah di
Papua 19,4%. Sedangkan prevalensi cedera umum di Bengkulu sebesar 5,8% dan
prevalensi geger otak di Bengkulu sebesar 0,9% (Kemenkes RI, 2013).
Pada survey awal peneliti menemukan angka kejadian di ruangan ICU
RSUD M.YUNUS Bengkulu dengan persentase 34 orang pada tahun 2012,

kemudian pada tahun 2013 angka kejadian meningkat menjadi 75 orang dengan
status cedera kepala sedangkan pada tahun 2014 angkah kejadian meningkat
menjadi 90 orang dengan persentase peningkatan 5 % dari tahun 2013.
Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks
bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan
karena struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk,
dengan konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan
syaraf, pembuluh darah dan tulang (Retnaningsih, 2008).
Cedera kepala dapat mengakibatkan berbagai komplikasi dan bahkan
kematian jika tidak di tangani sesegera mungkin. Cedera kepala merupakan suatu
trauma yang terjadi akibat benturan benda yang keras dan jika tidak ditangani
secara tepat cedera kepala dapat mengakibatkan kematian. Berbagai komplikasi
ringan maupun komplikasi berat yang dapat terjadi jika tidak di tanangi dengan
sesegera mungkin. Adapun komplikasi yang dapat terjadi akibat dari cedera yaitu,
kepala Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral yang diakibatkan oleh edema
serebral, peningkatan TIK. Gangguan pertukaran gas akibat dari kerusakan pusat
pernafasan di medula oblongata/cedera jaringan otak, Pola nafas tidak efektif yang
disebabkan oleh gangguan atau kerusakan pusat pernafasan di medula
oblongata/cedera jaringan otak. Resiko ketidak seimbangan suhu tubuh sebagai
akibat dari cedera/trauma jaringan otak. Nyeri akut diakibatkan oleh ada agen
injuri fisik. Adanya agen injury fisik yang mengakibatkan terjadinya resiko infeksi
sebagai manifestasi klinis dari perdarahan serebral. Hambatan mobilitas fisik
berhubungan

dengan

penurunan

kekuatan

danketahanan.

Risiko

cidera

berhubungan Defisit personal hygine kelemahan fisik, penurunan kesadaran.

Schell dan Puntillo (2006) mengatakan bahwa perawat kritis memegang


peran penting dalam mengelola tujuan-tujuan untuk pasien yang berhubungan
dengan perawatan akhir hidup yang nyaman dan memberikan pengobatan untuk
memperpanjang hidup. Mereka dapat menjadi advokat pasien ketika mereka yakin
dan kondisi pasien menunjukkan bahwa perawatan yang nyaman seharusnya
menjadi tujuan utama. Dalam menurunkan angkah kematian pada pasien yang
mengalami perawatan intensive.
Intensive Care Unit (ICU) merupakan unit rumah sakit yang memberikan
perawatan intensif dan monitoring yang ketat bagi pasien kritis. ICU memiliki
teknologi yang canggih seperti monitor jantung dengan dukungan mesin komputer
dan ventilator mekanis (Potter & Perry, 2010).
Perawat sebagai orang yang selalu berada 24 jam dengan klien, memiliki
peranan penting dalam menerapkan asuhan keperawatan klien dengan cedera
kepala berat. Dalam hal ini, peran perawat sangat dibutuhkan untuk membantu
klien yang mengalami cedera kepala berat. Peran perawat antara lain promotif,
kuratif, dan rehabilitative. Bukan hanya peran perawat, tetapi keluarga juga sangat
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan klien, karena keluarga adalah orang
terdekat yang berada di dekat klien dan sangat bertanggung jawab terhadap
perawatan anggota keluarganya yang menderita cedera kepala berat (Muttaqin,
2008).
Tingginya

angka

kejadian

peningkatan

kecelakaan

yang

dapat

meningkatkan angka kejadian cedera kepala dan dari hasil pengamatan selama
periode praktik keperawatan serta komplikasi tertentu yang mungkin dapat terjadi
pada pasien dengan cidera kepala tidak dapat mendapatkan penangan segera,

maka penulis tertarik untuk melakukan pengelolaan kasus asuhan keperawatan


yang akan dituangkan dalam bentuk studi kasus dengan judul asuhan keperawatan
pada pasien cedera kepala.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat
study kasus dengan judul ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PASIEN
CEDERA KEPALA DI RUANG ICU RSUD M.YUNUS BENGKULU.
B. Rumusan Masalah
Banyak kasus tentang cidera kepala, tetapi penulis hanya membatasi
masalah tentang cedera kepala.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendiskripsikan asuhan keperawatan pada pasien cedera kepala
2. Tujuan Khusus
a. Mendiskripsikan hasil pengkajian keperawatan pada pasien dengan
cedera kepala di ruang ICU RSUD M.YUNUS Bengkulu.
b. Mendiskripsikan perumusan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala di ruang ICU RSUD M.YUNUS Bengkulu.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu menerapkan teoritis ke aplikatif pada proses
pemberian asuhan keperawatan pada pasien dengan Cedera Kepal
2. Bagi Keluarga
Bagi keluarga laporan studi kasus ini diharapkan dapat menjadi
tambahan informasi dan acuan dalam memberikan perawatan pada
pasien dengan cedera kepala di rumah.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Laporan studi kasus ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan,
informasi dan sara untuk mengembangkan asuhan kepada pasien
dengan Cedera kepala
4. Bagi Akademik
Laporan studi kasus ini dapat dijadikan sebagai masukan, bagi
jurusan keperawatan dalam upaya peningkatan proses pembelajaran
dalam proses asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera kepala

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Penyakit
I.

Anatomi Fisiologi kranial


A. Tengkorak
Merupakan susunan tulang yang melindungi dan menutupi otak, terdiri

dari tulang kranium dan tulang muka. Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan yaitu,
lapisan luar, lapisan dalam dan lapisan diploe. Lapisan luar dan lapisan dalam
merupakan lapisan yang kuat dan keras, sedangkan lapisan diploe merupakan
lapisan yang berbentuk seperti busas. Lapisan dalam membentuk rongga/fosa
anterior (yang dimana didalamnya terdapat lobus Frontalis) Fosa tengah berisi
lobus temporalis, lobus parietalis, dan lobus oksipitalis) dan fosa belakang (berisi
otak tengah dan serebelum).

Gambar. 1.1 Anatomi tengkorak (Sobotta,2000)


B. Meningen

Meningen merupakan selaput otak yang melindungi otak dan medula


spinalis. Meningen terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Durameter
Yaitu selaput luar yang keras terdiri dari jaringan ikat yang tebal dan
kuat. Durameter di tempat tertentu mengandung darah vena yang
berasal dari otak.
2. raknoid (Lapisan Tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
Piameter membentuk kantong atau balon yang berisi cairan otak
yang meliputi susunan saraf sentral.
3. Piameter (Lapisan Sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang bersentuhan lansung dengan otak,
Piameter berhubungan langsung dengan arahnoid melelui strukturstruktur jaringan ikat yang disebut trakelbel (Ganong, 2002).
C. Otak
1. Cerebrum
Cerebrum atau disebut dengan otak besar terdiri dari 2 bagian
hemisphere, yaitu hemisphere kiri dan hemisphere kanan. Setiap
hemisphere dibagi menjadi 4 lobus yang terdiri dari lobus frontalis,
temporalis, parietalis dan oksivitalis, masing-masing memiliki fungsi
yang berbeda yaitu:
a. Lobus Frontalis : Kontrol motorik gerak volunter, terutama
fungsi bicara, ekspresi emosi, moral tingkah laku dan etika.

b. Lobus Temporalis : Pendengaran, keseimbangan, emosi dan


sensori.
c. Lobus Oksivitalis : Visual senter dan kemampuan mengenal
objek.
d. Lobus Parietalis : Fungsi sensori umum dan rasa/pengecapan.
2. Serebellum
Otak kecil atau serebelum terletak di bagian belakang kepala,
berdekatan dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum banyak
mengontrol fungsi otomatis otak, misalnya mengatur sikap dan posisi
tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.
Otak kecil juga menyimpan dan melaksanakan gerakan otomatis yang
dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat
menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gagguan
pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak
terkoordinasi misalnya orang tersebut tidak mampu memasukan
makanan ke dalam mulut atau tidak mampu mengancingkan baju
(Wilson 2009).
3. Pons
Terletak dibagian anterior cerebellum, di bawah mesencephalon
dan di atas medulla oblongata. Pons tersusun atas serabut-serabut saraf
yamng menghubungkan kedua belahan cerebellum. Pons juga
mengandung

serabut-serabut

ascendens

dan

descendens

yang

menghubungkan otak depan, mesencephalon, dan medulla spinalis.

Beberapa sel saraf di dalam pons berfungsi sebagai stasiun perantara,


sedangkan yang lain membentuk inti saraf otak (Snell, 2006).
4. Medulla Oblongata
Medulla oblongata berbentuk kerucut dan menghubungkan di atas
dengan medulla spinalis di bawah. Fissure mediana terdapat pada
permukaan anterior medulla, dan pada setiap sisi terdapat benjolan yang
disebut dengan pyramis. Pyramis tersusun dari berkas-berkas serabut
saraf yang berasal dari sel-sel besar di dalam gyrus precentralis cortex
cerebri. Pyramis mengecil ke bawah, dan disini hampir seluruh serabutserabut descendens menyilang ke sisi lainya, membentuk deccusito
pyramidum (Snell, 2006).
B. Saraf-Saraf Pada Otak
1. Nervus I (Olfactorius)
Sifatnya sensori menyerupai hidung membawa ransangan aroma (baubauan) dari rongga hidung : Saraf pembau.
2. Nervus II (Optikus)
Bersifat

sensori

mempersyarafi

mata

membawa

ransangan

pengelihatan ke otak : Saraf pengelihatan.


3. Nervus III (Okulomotorius)
Bersifat

motorik,

mempersyarafi

otot-oto

orbital

(otot

yang

menggerakan bola mata) : Fungsi sebagai saraf penggerak bola mata.

4. Nervus IV (Troklearis )
Bersifat motorik, fungsi untuk memutar/menggerakan bola mata.

10

5. Nervus V (trigamenal)
Bersifat majemuk, berfungsi dalam menanggapi ransangan.
6. Nervus VI (Abdusen)
Berifat motorik, mempersyarafi otot orbital : Fungsi mempersyarafi
bola mata.
7. Nervus VII (Fasialis)
Bersifat Majemuk, serabut-serabutnya mempersyarafi otot-otot dan
selaput lender rongga mulut : Fungsi sebagai mimik wajah dan
menghantarkan rasa pengecapan.
8. Nervus VIII (Auditorius)
Bersifat sensori mempersyarafi pendengaran membewa ransangan
pendengaran dari telinga ke otak : Fungsi saraf pendengaran.
9. Nervus IX (Glosofaringeus)
Bersifsat majemuk, mempersyarafi faring, tongsil dan lidah.
10. Nervus X (Vegus)
Sifatnya majemuk, fungsi syaraf perasa.
11. Nervus XI (Asesoris)
Bersifat motorik, berfungsi sebagai syaraf tambahan.
12. Nervus XII (Hipoglosus)
Bersifat motoris, mempersyarafi otot-oto lidah.

11

C. Fisiologi
Tekanan intra kranial di pengaruhi oleh volume darah intra kranial, cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa
dalam posisi telentang sama dengan tekanan cairan serebrospinal yang diperoleh
dari lumbal fungsi yaitu 4 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
jaringan otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap
(syaifuddin, 2006).
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan
darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi mata TIK secara cepat akan
meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial harus selalu konstan, konsep
ini dikenal dengan Dokrin Monro-Kellie. Otak memperoleh suplai darah yang
besar yaitu sekitar 800 ml/menit atau 16 % cardiac ooutput, untuk menyuplai
oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak
pada orang dewasa antara 50-55 ml/100 g jaringan otak /menit. Pada anak, ADO
biasa lebih besar pada anak tergantung usianya. ADO dapat menurun 50 % dalam
6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma.

12

II.

Konsep cedera kepala


A. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai

atau tanpa disertai perdarahan interstisial dalam substansi otak tanpa di ikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-descelerasi) yang dipengaruhi oleh perubahan peningkatan percepatan
dan penurunan kecepatan penyebab trauma, serta rotasi pada kepala yang juga
dialami oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakakan pencegahan
(Bajamal, 2001).
Cedera kepala (Komosio Serebral) adalah hilangnya Fungsi neurologis
sementara atau tanpa kerusakan struktur. Dimana otak mengalami memar
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi, pasien pada periode ini
mengalami tidak sadarkan diri (Brunner & Suddart, 2003).
B. Etiologi
Menurut (Bararah & Jauhar, 2013) cedera kepala dapat disebabkan oleh
Trauma benda tumpul, Jatuh, Kecelakan lalu lintas, kecelakaan rumah
tangga, Kecelakaan saat olah raga, Prilaku kekerasan.

13

C. Klasifikasi (Setiawan I, 2010)


Menurut jenis cedera Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan
fraktur tulang tengkorak dan laserasi duameter. Trauma yang menembus
tengkorak dan jaringan otak. Cedera kepala tertutup : Dapat disamakan
pada pasien dengan geger otak ringan dengan cedera serebral yang luas.
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (glasgown coma
scale) Cedera kepala ringan/ minor memiliki tingkat kesadaran GCS 1315, dan dapat terjadi kehilangan, kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari
30 menit, tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia serebral,
hemotoma. Sedangkan cedera kepala sedang memiliki GCS 9 12
Kehilangan kesadaran dan asam. Anamnesa lebih dari 30 m tetapi kurang
dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak diikuti contusia serebral,
laserasi dan hematoma intracranial. Cedera kepala berat, GCS 3 8,
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, Juga
meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.

14

D. Patofisiologi(WOC)
Cidera kepala dapat terjadi karena benturan benda keras, cidera kulit
kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruhnya. Cidera
bervariasi dari luka kulit yang sederhana sampai gegar otak, luka terbuka dari
tengkotak, disertai kerusakan otak, cidera pada otak, bisa berasal dari trauma
langsung maupun tidak langsung pada kepala.
Pengaruh umum cidera kepala juga bisa menyebabkan kram, adanya
penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan otak, edema otak akan
menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial yang dapat menyebabkan herniasi
dan penekanan pada batang otak. rauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan
akan diteruskan menuju Galia Aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap
oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga
akan menyebabkan haematoma epidural, subdura maupun intracranial, perdarahan
tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga
suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan edema
cerebral. Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,
karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan
TIK (Tekanan Intrakranial) merangsang kelenjar Pitultary dan Steroid adrenal
sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan
muntah dan anoreksia sehingga masukan nutrisi kurang. (Price and Wilson,
2006:1010Perfusi yang tidak adekuat dapat menimbulkan tingkatan yang gawat,
yang berdampak adanya vasodilatasi dan edema otak. Edema akan terus

15

bertambah menekan/mendesak pada jaringan saraf, sehingga terjadi peningkatan


tekanan intra kranial (Price, 2007).
Edema jaringan otak akan menyebabkan peningkatan TIK yang akan
mengakibatkan herniasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari cedera
kepala:
1. Pola pernafasan
Trauma

serebral

ditandai

dengan

peningkatan

TIK,

yang

menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan biasnya


menimbulkan hipoventilasi alveolar karena nafas dangkal, sehingga
menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau resiko
ketidak efektifan bersihan jalan nafas yang akan menyebabkan laju
mortalitas tinggi pada pasien cedera kepala. Cedera kepala serebral juga
dapat menyebabkan herniasi serebral sehingga terjadi pernafasan chyne
stoke, selain itu herniasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan
hipoventilasi neurologik central (Padila, 2012).
2. Mobilitas Fisik
Akibat trauma dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan
tubuh sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik pada otak. Selain
itu juga dapat menyebabkan control volunter terhadap gerakan
terganggu dalam memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari
dan terjadi gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal
sehingga menyebabkan masalah kerusakan mobilitas fisik. (Donges,
2000)
3. Keseimbangan Cairan

16

Trauma kepala akan mempunyai masalah untuk mempertahankan


status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon terhadap status
berkurang dalam keadaan stres psikologi makin banyak hormon
antideuretik dan makin banyak aldosteron di produksi sehingga
mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang
menyebabkan frakture tengkorak, dan akan terjadi kerusakan pada
hipofisis/hipotalamus dan peningkatan TIK. Pada keadaan ini terjadi
disfungsi pada produksi dan penyimpanan ADH sehingga terjadi
penurunan jumlah air dan menimbulkan dehidrasi (Pierce, 2007).

4. Aktifitas Menelan
Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik
dari hemisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi
adanya makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk
memanipulasi gerakan pipi dan selain reflek menelan dan batang otak
mungkin hiperaktif/menurun sampai hilang sama sekali (Smeltzer,
2001).
5. Kemampuan Komunikasi
Pada pasien dengan gangguan trauma serebral dengan disertai
gangguan komunikasi, disfungsi ini paling sering menyebabkan
kecacatan pada pederitan cedera kepala, kerusakan ini terjadi akibat
efek-efek disorganisasi dan kekacauan proses bahasa dan gangguan.
Bila ada pasien yang telah mengalami trauma pada area hemisfer
cerebral dominan dapat menunjukan kehilangan kemampuan untuk

17

menggunakan kemampuan bahasa dalam beberapa hal bahkan mungkin


semua bentuk bahasa sehingga dapat menyebabkan gangguan
komunikasi verbal (Price, 2007).
6. Gastrointestinal
Setelah cedera kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang
ditemukan, tapi setelah 3 hari pasca trauma terdapat respon yang berada
dan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulasi vegus yang dapat
menyebabkan

hiperkardium.

Hipotalamus

merangsang

anterior

mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani cedera serebral.


Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung (Price,
2007). Kerusakan otak yang dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi
melalui dua cara (Price, 2005) :
1) Efek segera dari trauma pada fungsi otak.
2) Efek lanjut dari respon sel-sel otak terhadap trauma.
Kerusakan neurologik segera disebabkan oleh suatu benda atau serpihan
tulang yang menembus dan merobek lapisan otak, oleh pengaruh kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak, dan oleh efek akselerasi-deselerasi pada otak,
yang terbatas dalam kompertemen yang kaku.
Derajat kerusakan yang disebabkan oleh hal tersebut tergantung pada
kekuatan yang menimpa, makin besar kekuatan yang menimpa, maka makin parah
kerusakan yang terjadi. Terdapat dua macam kekuatan yang mengakibatkan efek
yang berbeda. Tempat kerusakan yang disebabkan oleh benda tajam berkecepatan
rendah dan sedikit tenaga. Kerusakan terjadi pada tempat-tempat tertentu dan

18

disebabkan oleh benda atau fragmen-fragmen tulang yang menembus dura pada
tempat serangan. Kedua cedera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada
trauma tumpul dan terjadi setelah benturan seperti kecelakaan mobil. Kerusakan
terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan di otak banyak energi yang diserap
oleh pelindung yaitu, rambut, kulit kepala, dan tengkorak, tetapi pada trauma
hebat trauma ini tidak mampu melindungi otak. Sisa energi yang dilanjutkan ke
otak menyebabkan kerusakan dan gangguan di sepanjang jalan yang dilewati
karena sasaran kekuatan itu adalah jaringan lunak. Bila kepala bergerak dan
berhenti kasar, kerusakan tidak hanya terjadi akibat cedera pada jaringan setempat
saja tetapi juga akibat akselerasi dan deselerasi.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan bergeraknya otak di
dalam rongga tengkorak pada tempat yang berlawanan yang disebut dengan
cedera contracooup. Kerusakan dapat diperhebat apabila terjadi rotasi pada
tengkorak. Bagian otak yang paling besar mengalami kemungkinan cedera yaitu
bagian anterior lobus fronalis dan temporalis, bagian posterior lobus oksifitalis
dan bagian atas mesensefalon.
Kerusakan otak sekunder disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemik otak yang menyebabkan timbulnya efek kasdase, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah
cedera awal. Setiap kali jarigan saraf mengelami cedera, jaringan ini berespon
dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahanya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini, dilepaskanya
glutamin secara berlebih, kelainan aliran kalsium, produksi laktat efek kerusakan

19

akibat radikal bebas, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neouron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke
menit pada suplai protein yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentang terhadap cedera metabolik apabila terhenti. Cedera mengakibatkan
hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak (A. Price, 2005).
Kerusakan otak berdasarkan lokasinya :

1. Kerusakan Lobus Frontalis


Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik (menulis, memakai alat musik atau mengikat tali
sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat
tangan. Daerah tertentu pada lobus frontallis bertanggung jawab
terhadap aktivitas motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek prilaku kerusakan dari lobus frontalis bervariasi, tergantung pada
ukuran lokasi yang terjadi.
2. Kerusakan Lobus Parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, teksture, berat badan dan kedalaman persepsi umum. Sejumlah
kecil kemampuan matematika dan bahasa berasal dari lobus ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya
dan merasakan posisi dibagian tubuhnya. Kerusakan kecil pada bagian

20

depan pada lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh
yang berlawanan.
3. kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengelola kejadian yang baru saja terjadi dan
mengingatnya sebagai memory jangka panjang. Lobus temporalis juga
mengawasi memahami suara dan gambar, menyimpan memori dan
mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan
pada lobus temporalis menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk.

21

Web Of Cymptom (WOC)

TRAUMA KEPALA

Tulang kranial

Extra Karnial

Resiko
pendarahan

Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot, dan
vaskuler

Pendarahan
Hemastoma

Gangguan suplai
darah

Terputusnya
kontinuitas jaringan
tulang

MK : Resiko
infeksi

Jaringan otak
rusak

Perubahan auto
regulasi

Oedema serebral

MK : Nyeri
akut

22

Iskemia

Perubahan
sirkulasi CSS

Hipoksia

Peningkatan
TIK

MK : Kerusakan
memory
MK :Resiko
ketidak
efektifan

Gangguan
neurologis
vokal

Deficit neurologis
Gilus medialis lobus
temporalis tergeser

Herniasi unkus

Mesensepalon tertekan

Gangguan kesadaran

Mual muntah
Papilodeman
Pandangan kabur
Penurunan fungsi
pendengaran
Nyeri kepala

MK : Resiko cedera

Immobilisasi

MK : Resiko
kekurangan cairan
Kompresi medulla oblongata

MK : Gangguan
persepsi sensori

Bersihan jalan napas

Obstruksi jalan napas

- dipsnea

Henti napas

Perubahan pola napas

MK: Ketidak
efektifan jalan

Tongsil celebrum
bergeser
MK : Hambatan mobilitas

MK :Ansietas
Ansietas

23

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis menurut (Grace & Borley, 2010) riwayat trauma langsung
pada kepala atau deselerasi. Pasien harus dinilai penuh untuk trauma lainya.
Tingkat kesadaran ditentukan oleh GCS. Ketidak simetrisan pupil atau
refleks cahaya yang abnormal menunjukan perdarahan intra kranial. Sakit
kepala, mual, muntah, frekuensi nadi yang menurun dan peningkatan
tekanan darah menunjukan edema serebral.
Menurut (Smetzer, 2001) manifestasi klinis cedera kepala yaitu :
a. Cedera kepala ringan
Kebingungan, sakit kepala, rasa ngantuk abnormal, dan beberapa
pasien mengalami kesembuhan dalam beberapa jam atau beberapa
hari. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, deprsesi, emosi, atau
perasaanya berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan bekerja.
b. Cedera kepal sedang
Kelemahan pada salah satu tubuh disertai dengan kebingungan bahkan
koma. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil dan defisit neurologi,
perubahan tanda-tanda vital gangguan pengelihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
mobilisasi/movement.

24

c. Cedera kepala berat


Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat dan sesudah
terjadianya penurunan kesadaran. Pupil tidak ekual pemeriksaan pupil
tidak ekual adanya cedera terbuka, frakture tengkorak dan penurunan
kesadaran neurologik.
Menurut (Bararah & Jauhar, 2013) yaitu:
1) Battle sign (warna biru atau ekhimosis di belakang telinga di atas
os. mastoid).
2) Hemotipanum (pendarahan di daerah membran timpani telinga).
3) Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tampa trauma langsung)
4) Rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung).
5) Otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga)
F. Komplikasi
Menurut (Bararah & Jauhari, 2013) komplikasi pada penderita cedera
kepala yaitu, meningitis, kejang, SIADH (Sindroma Of In Apropriate
ADH),

atelectasis,

residual

defisit

neurologic,

kontraktur,

dan

pneumonia.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Perubahan aktivitas metabolisme otak
2. Complete Blood Count (CBC), dan pemeriksaan glukosa dan
tingkatan elektrolit dalam darah (Ignatavius, Workman, 2013).
3. Electrocardiogram (ECG) (Ignatavius, Workman, 2013).
4.

CSF,

Lumbal

CT-Scan

(dengan

atau

tanpa

kontras):

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,

25

dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya


infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
(Padila, 2012).
5.

MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa


kontras radioaktif (Ignatavius, Workman, 2013).

6. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,


seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma (Padila, 2012).
7. Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis (Padila, 2012).
8.

X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),


perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang
(Padila, 2012).
9.

BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil


(Padila, 2012).

10. PET : Mendeteksi fungsi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi


perdarahan subarachnoid (Padila, 2012).
H. Therapi
Menurut (Smeltzer, 2001; Long, 1996) terapi cederah kepala adalah
Dexametason/kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,
dosiss sesuai dengan berat ringanya trauma. Therapi hiperventilasi
(trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi. Pemberian
analgetik. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu
manitol 20 % glukosa 40 % atau gliserol. Antibiotik yang mengandung

26

barier darah otak (penicilin) atau untuk anti infeksi anaerob


menggunakan metronodazol. Makanan atau cairan infuse dextrose 5 %
aminofusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan) 2
sampai 3 hari diberikan makanan lunak dan pembedahan.

27

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Cedera Kepala


1. Pengkajian
Data dasar pengkajian klien tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan, cedera
dan mungkin dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital (Donges,
2007).
a. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, kaku, lemah hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, latergi, hemparese.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,
takikardi.
c. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : cemas, mudah tersinggung angitasi, bingung, depresi.
d. Makanan atau Cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah dan gangguan menelan.
E. Eleminasi
Gejala : Inkontenensia, kandung kemih atau usus mengalami
gangguan fungsi.
F. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilangan pendengaran, angguan pengecapan dan
penciuman, perubahan pengelihatan seperti ketajaman.

28

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status


mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkahlaku dan
memoris.
G. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada nyeri yang
hebat, gelisa, tidak bisa istirahat, merintih.
H. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi
hiperventilasi nafas berbunyi).
I. Keamanan
Gejala : Trauma baru atau trauma kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan pengelihatan, gangguan
rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.
J. Interaksi Sosial
Tanda : Apasia Motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, Disartria.

29

2. Diagnosa (Nurarif & kusuma, 2013)


1. Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
edema serebral, peningkatan TIK.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan atau
kerusakan pusat pernafasan di medula oblongata/cedera jaringan otak
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan atau kerusakan
pusat pernafasan di medula oblongata/cedera jaringan otak.
4. Resiko ketidak seimbangan suhu tubuh berhubungan dengan trauma
jaringan otak
5. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan perdarahan serebral.
7. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan
dan ketahanan.
8. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran,
gelisa, agitasi, gerakan involunter dan kejang
9. Defisit personal hygine berhubungan dengan kelemahan fisik,
penurunan kesadaran.

30

3) Perencanaan
No

Diagnosa

1.

Perubahan

Perencanaa
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi

perfusi NOC :
jaringan
serebral 1.Menunjukan status sirkulasi,
yang dibuktikan oleh
berhubungan
edema
indikator berikut :
serebral
1. Gangguan ekstrem
2. Berat
Definisi : menurunya
3. Sedang
sirkulasi jaringan otak
4. Ringan
yang dapat
5. Tidak ada gangguan
Tekanan darah sistolik dan
mengganggu
diastolic
kesehatan.
2.Menunjukan status sirkulasi,
Batasan karakteristik :
yang dibutuhkan oleh
indikator berikut:
Masa tromboplastin
1. Gangguan ekstrem
parsial abnormal
2. Berat
Embolisme
3. Sedang
4. Ringan
Tauma kepala
5. Tidak ada gangguan
Hipertensi

Rasional

NIC :
Intrakranial Pressure (ICP)
1. Imobilisasi sedini
mungkin.
2. Evaluasi nilai GCS
pasien
3. Pertahan kan kepala
dan leher tetap posisi
datar (posisi Supinasi)
4. Pantau TTV

1.Menghindarkan peningkatan TIK.


2.Mengetahui tingkat kesadaran
klien.
3.Mencegah peningkatan TIK

4.Peningkatan TTV dapat


menentukan peningkatan TIK
atau tidak

5.Untuk menentukan apakah batang


otak dan masih ada respon
5. Evaluasi keadaan pupil,
terhadap cahaya atau tidak
ukuran, ketajaman,
kesamaan antara kiri dan
6.Mencegah suhu lingkungan agar
kanan dan reaksi
tetap stabil
terhadap cahaya
6. Anjurkan pada keluarga 7.Mencegah terjadinya edema
agar bergantian masuk ke
karena dexstrose gampang di
31

Kriteria Hasil :

dalam ruangan pasien

Mendemonstrasikan

sirkulasi

yang

status
ditandai

7. Kolaborasi dalam
pemberian cairan
parenteral norosmotik,
kecuali dexstrose

serap tubuh

8. Mencegah terjadinya

dengan :
1. Tekanan

diastole

systole
dalam

dan
rentang

8. Kolaborasi dalam
pemberian obat
neorotropik

yang diharapkan
2. Tidak

ada

ortostatik

hipertensi
3. Tidak ada tanda tanda

peningkatan

tekanan

intrakranial (tidak lebih


dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan

kemampuan kognitif yang


ditandai dengan:
1. Berkomunikasi

dengan
32

jelas dan sesuai dengan


kemampuan
2. Menunjukkan

perhatian,

konsentrasi dan orientasi


3. Memproses informasi
4. Membuat

keputusan

dengan benar

3.Perfusi jaringan serebral


setelah dilakukan tindakan
selama x 24 jam, klien
mampu mencapai:
1. Status sirkulasi dengan
indikator :
-Tekanan sistolik dan
diastolik dalam rentang
yang diharapkan :
- Tidak tanda-tanda
PTIK
-Perfusi jaringan dengan
indikator :
-Klien mampu
berkomunikasi dengan
33

jelas dan sesuai


kemampuan
-Klien menunjukan
perhatian, konsentrasi
dan orientasi.
-Klien mampu
memproses informasi

2.

Gangguan
gas

pertukaran
berhubungan

dengan gangguan atau


kerusakan

pusat

pernafasan di medula
oblongata/cedera
jaringan otak
Definisi

kelebihan

atau

deficit

oksigenatau

karbon

-Klien mampu membuat


keputusan dengan benar
-Tingkat kesadaran
klien mebaik
NOC :
NIC :
Join movement :
Air way management :
1. Gangguan ekstrimitas
1. Catat dan amati status paru 1. Status paru/pernafasan yang
2. Gangguan berat
setiap 4 jam atau lebih jika
buruk dapat menyebabkan
3. Gangguan sedang
4. Gangguan ringan
pasien dalam kondisi tidak
keadaan hipoksia.
5. Tidak mengalami
stabil.
gangguan
2. Monitoring tanda tanda vital 2. Untuk mendeteksi adanya
Noc outcomes :
4. Asambasah dalam
dan ritme jantung setiap 4
takikardi dan tachypnea,
seimbang
jam
sebagai indikasi hipoksia
5. Status respiratori :
Pertukaran gas, ventilasi 3. Monitor tingkat ABC dan 3. Penurunan atau pun
6. Perfusi jaringan :
beritahu dokter segera jika
peningkatan PaO2 dapat
pulmonal; vital sign
saturasi PaO2 arteri menurun
menyebabkan hipoksia
atau meningkat.
34

dioksida pada tingkat


alveolar

sampai

ke

4. Catat intake output cairan 4. Dehidrasi dapat menyebabkan


pasien

hipoksia jaingan

5. Jika pasien bed rest maka 5. Posisi yang nyaman dapat


kapiler.

bantu

pasien

memposisikan
mungkin

dalam
senyaman

dan

pasang

pembatas tempat tidur.

mengurangi resiko hipoksia


dan pemasangan pembatas
dapat mengurangi resiko
cedera jatuh.

6. Kolaborasi dalam pemberian 6. Pemberian oksigen dapat


oksigen sesuai kebutuhan

mengurangi resiko terjadinya


hipoksia.

7. Monitor
dalam

keadaan
pemberian

pasien 7. Kelebihan tekanan pada


terapi

oksigen

oksigen dapat menyebabkan


penekanan pada saluran
pernapasan dan dapat

(Crawford, 2008 dalam Ralph,


Taylor, 2011 nursing diagnosis
reference manual)

menyebabkan kerusakan
sekunder. (Crawford, 2008
dalam Ralph, Taylor, 2011
nursing diagnosis reference
manual)

3.

Pola nafas tidak efektif 1.


berhubungan dengan

NIC :
1. Catat

dan

pernafasan
gangguan atau

nilai

tingkat 1.Untuk deteksi dini tanda

dan kedalaman

setidaknya setiap 4 jam sekali

gangguan pernapasandan
menilai status ABC
35

kerusakan pusat
pernafasan di medula

2. Auskultasi suara nafas setiap 2.Untuk mendeteksi adanya


4 jam sekali

perubahan peningkatan atau


penurunan suara nafas serta

oblongata/cedera
jaringan otak.

adanya suara tambahan.


3. Posisikan pasien senyaman 3.Mengetahui tingkat kenyamanan
mungkin

dan

elevasikan

kepala bed tempat tidur.


4. Ajarkan

pasien

pasien dan menurunkan resiko


cedera tambahan.

untuk 4.Untuk mengajarkan pasien dalam

melakukan nafas dalam

menjaga kesehatan dan sebagai


imprifisasi dalam ventilasi
5.Pemberian oksigen membantu

5. Kolaborasi dalam pemebian


oksigen.

pasien mengatasi hipoksia


6.Etensi secret pada tenggorokan

6. Kolaborasi dalam pemberian

dapat menyumbat jalan nafas

saksion bila diperlukan.

dan menyebabkan terganggunya

(Pedula, 2009 dalam nursing

pola napas

diagnosis

(Pedula, 2009 dalam nursing

2011 )

refrens

manual,

diagnosis refrens manual,


2011 )

36

5. Implementasi
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan
adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan. Tahapannya yaitu mengkaji
kembali klien/pasien, menelaah dan memodifikasi rencana perawatan yang
sudah ada, melakukan tindakan keperawatan (Judith, 2012).
6. Evaluasi
Langkah evaluasi dari proses keperawatan mengukur respons klien
terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian
tujuan. Adapun tahapannya yaitu membandingkan respon klien dengan
kriteria, menganalisis alasan untuk hasil dan konklusi, Memodifikasi
rencana asuhan, syarat dokumentasi keperawatan (Judith, 2012).
7. Dokumentasi
Menurut Deswani (2011) dokumentasi adalah sesuatu yang ditulis
atau dicetak, kemudian diandalkan sebagai catatan bukti bagi orang yang
berwenang, dan merupakan bagian dari praktik professional. Dokumentasi
keperawatan

merupakan

informasi

tertulis

tentang

status

dan

perkembangan kondisi klien serta semua kegiatan asuhan keperawatan


yang dilakukan oleh perawat (Fisbach, 1991 dalam Setiadi, 2012). Tujuan
dokumentasi Sebagai sarana komunikasi, sebagai tanggung jawab dan
tanggung gugat, sebagai sumber informasi statistic, dan sebagai sumber
data penelitian. Syarat dokumentasi keakuratan, ketepatan, kesabaran,
kelengkapan dan kejelasan.

37

Anda mungkin juga menyukai