BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sekitar 10-15% pasangan di dunia mengalami masalah infertilitas.
Jumlah pasangan infertil di dunia maupun di indonesia semakin bertambah, terjadi
peningkatan jumlah pasangan infertil sekitar 2% setiap 5 tahun. Dengan semakin
meningkatnya ekonomi dan daya beli masyarakat Indonesia, tercatat semakin
1
10
langsung, tes DNA maupun serologi terhadap antibodi dalam serum baik Ig G
maupun Ig M anti klamidia trachomatis.Cara ini sangat akurat dalam menentukan
adanya infeksi klamidia trachomatis.
BAB II KAJIAN
PUSTAKA
II.I Anatomi Tuba
Bagian tubuler ini merupakan perpanjangan dari uterus dengan panjang
sekitar 8-14 cm, masing-masing tuba dibagi menjadi bagian interstitial, isthmus,
ampula, infundibulum. Bagian interstitial adalah bagian yang masih dilapisi
dengan otot dinding uterus. Bagian isthmus adalah bagian tersempit dari tuba
yang berdampingan dengan uterus, masuk ke bagian yang lebih luas, dibagian
lateral terdapat ampula. Infundibulum atau lengan fimbria merupakan bagian
menyerupai corong yang membuka kearah distal, ujung dari tuba falopi.
10
Gambar II.1 Gambaran potongan tuba pada wanita dewasa: (A) isthmus,(B)
ampulla, dan(C) infundibulum.3
Otot-otot pada tuba berkontraksi secara ritmik , bervariasi tergantung dari
siklus hormonal ovarium, frekuensi terbesar terjadi selama transport ovum. Tuba
falopi dilapisi selapis sel kolumnar, yang sebagian memiliki sillia dan yang lain
sekresi. Sel kolumnar dengan sillia paling banyak ditemui dibagian fimbria dan
juga terdapat secara acak dibagian-bagian lain.
Terdapat perbedaan proporsi dua jenis sel kolumnar ini dalam setiap fase
dari siklus ovarium. Dikarenakan tidak memiliki submukosa, lapisan epitel
berhubungan langsung dengan bagian muskular. Pada mukosa tuba terdapat
perubahan histologis secara siklik serupa dengan yang terjadi pada endometrium,
namun lebih tidak terlihat. Yang terpenting dari fungsi sel kolumnar bersilia
adalah sel ini berperan sebagi petunjuk aliran menuju rongga uterus. Peristaltik
tuba dipercaya sebagai faktor yang sangat peting dalam tranport ovum. Tuba
didukung oleh banyak jaringan elastik, pembuluh darah, dan jaringan limfatik.
Memiliki persarafan simpatik dan parasimpatik yang memiliki efek kerja
3
berlawanan.
awal.
Gambar II.3. Infeksi Klamidia Trachomatis Pada Jaringan Serviks Dan Tuba
berkemih.
II.III Prevalensi
Prevalensi dari klamidia trakomatis tergantung pada karakteristik dari
populasi yang diteliti. Di Amerika Serikat berkisar antara 2 sampai dengan 7%
diantara mahasiswi perempuan, dan 4 - l2% diantara wanita yang berkunjung ke
klinik keluarga berencana. Di Jepang penelitian diantara pekerja seks komersil
1,3
1,4
pada kelompok yang paling jarang memeriksakan dirinya ke dokter. Pada wanita
yang tidak hamil dapat menyebabkan mukopurulen servisitis, endometitis,
1,5
sedangkan
prevalensi
antibodi
terhadap
klamidia
trakomatis
1,5
1,5
II.V Patofisiologi
Klamidia adalah bakteri intra selular kecil yang membutuhkan sel - sel
yang hidup untuk bermultiplikasi. Kromosom bakteri klamidia terdiri dari kurang
lebih 1 juta pasangan basa dan memiliki kapasitas untuk mengkodekan lebih dari
600 protein. Ada 18 serotipe dari klamidia trakomatis yang teridentifikasi.
Serotipe D - K merupakan penyebab infeksi menular seksual dan infeksi neonatal.
Tidak ditemukan bukti kuat bahwa sindroma genital spesifik atau manifestasi
klinis, seperti PID, disebabkan oleh serotipe yang spesifik. Siklus sel dari
klamidia berbeda dari bakteria yamg lain. Endositosis membuat terjadinya formasi
inklusi intraselular yang terikat membran. Kemampuan dari klamidia untuk
merubah dari fase istirahat ke fase replikasi, bentuk infeksius dalam sel penjamu
yang meningkatkan kesulitan dalam mengeliminasi mikroba ini. Masih banyak
yang belum dapat dimengerti mengenai mekanisme spesifik kejadian dalam
membran, perlekatan, endositosis, multiplikasi dari organisme dalam sel,
tansformasi dari metabolik inaktif badan retikulat (RB) ke metabolik aktif
replikatif badan elementer (EB), dan ekspresi dari antigen Klamidia yang berbeda
6
Klamidia trakomatis memiliki genom yang sangat kecil, tetapi itu bukan
berarti klamidia tidak memiliki siklus perkembangan hidup yang kompleks, siklus
ini terdiri dari dua bentuk: EB, yang di disain untuk dapat bertahan diluar sel
manusia dan untuk menginfeksi sel manusia yang baru, dan RB yang lebih rentan
sebagai bentuk pembelahan diri bakteria ini. Bagian dalam dari sel manusia ini
sangat kaya akan nutrisi, sehingga RB tidak perlu membuat banyak asam amino
dan komponen-komponen lain yang biasanya dibutuhkan sel-sel yang hidup
bebas. Meskipun klamidia trakomatis memiliki gen yang sedikit untuk biosintesis
asam amino, genom-genonmya memiliki gen-gen untuk beberapa jalur
pembangkit energi, termasuk glikolisis, dan jalur pentose phosphate. Pada
awalnya, diyakini bahwa klamidia trakomatis adalah suatu parasit adenosine
triphosphate (ATP) yang tidak memiliki ATP dan harus mendapatkannya dari sel
penjamu. Ternyata hal ini telah diketahui salah, terutama untuk klamidia
trakomatis. Spesies lain dari klamidia mungkin parasit ATP, berdasarkan dari
7
6,7
menjadi badan
pada tuba. Banyak peneliti yang menemukan adanya organisme ini pada tuba
falopii setelah berbulan-bulan atau bertahun-bertahun setelah infeksi yang
pertama. Belum dapat dimengerti bagaimana mekanisme yang menjelaskan
kenapa klamidia trakomatis menjadi persisten. Dibawah ini dijelaskan mengenai
mekanisme evasi imun dari klamidia trakomatis.
2,6,7
Infeksi kronik klamidia dapat memicu kerusakan tuba yang dari beberapa
penelitian in vitro diperkirakan dapat diakibatkan oleh:1. Badan elementer
klamidia trakomatis yang terdapat pada semen pria yang terinfeksi menularkan ke
Perubahan siklus infeksi badan elementer dengan destruksi dari sel epitel baru dan
persisten
dalam
intaseluler
dengan
pelepasan
CHSP60
menyebabkan
infeksi persisten. Perfettini, dkk. (2002) menemukan dari penelitian pada tikus
bahwa IFN- berperan pada patogenesis infeksi klamidia persisten dengan
mencegah apoptosis dari sel yang terinfeksi. Disamping secara langsung
mencegah apoptosis, IFN- juga merangsang adanya efek anti apoptosis. Dean
dan Powers (2001) mengemukakan bahwa inhibisi dari apoptosis sel pejamu
mengakibatkan Klamidia mampu membentuk infeksi persisten dan IFN- dan
interleukin-10
(IL-10)
membantu
perkembangan
dari
klamidia
dengan
3,8
2,5
Masa inkubasi dari infeksi klamidia adalah 7-12 hari, masa klinis klamidia
sampai muncul gejala adalah 1-3 minggu. Sekitar 25 % pada pria dan sebagian
besar pada wanita bersifat asimtomatis. Masa laten timbul 2-14 hari setelah
infeksi. Hampir sama dengan N gonorrhea
1,5,6
infeksinya. Infeksi dari urethra dan saluran genital bagian bawah dapat
menyebabkan disuria, duh vagina yang abnormal, atau perdarahan post koital.
Pada saluran genital bagian atas (endometritis, atau salphingitis, kehamilan
ektopik) dapat menimbulkan gejala seperti perdarahan rahim yang tidak teratur
dan abdominal atau pelvic discomfort.
2,8,9
10
Disuria
II.VII Komplikasi
Meskipun umumnya orang yang menderita klamidia tidak menunjukkan
gejala, manifestasi paling sering pada penyakit ini adalah adanya suatu reaksi
lokal peradangan pada mukosa yang dihubungkan dengan keputihan, uretritis
pada pria, vaginitis, servisitis pada wanita. Pada wanita dengan infeksi klamidia
yang tidak diobati dapat menyebabkan penyakit radang panggul, dengan
sequealae termasuk infertilitas, kehamilan ektopik dan radang panggul
kronik.
1,6,11
pelvis.
menunjukkan bahwa pada pasien - pasien dengan tes klamidia positif memiliki
risiko untuk terjadinya infertilitas faktor tuba, dan kehamilan ektopik lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien - pasien dengan tes Klamidia negatif.
11
satu tahun.
Infertilitas merupakan suatu kondisi yang umum terjadi, ini terjadi pada
sekitar 10-15% pasangan pada usia produktif. Sebagai catatan, meskipun tanpa
terapi apapun, separuhwanita infertil akan mengalami kehamilan pada tahun
kedua. Sehingga banyak pasangan lebih tepat untuk dikategorikan sebagi
subinfertil daripada infertil, dimana dapat terjadi pembuahan secara alamiah,
namun memerlukan waktu yang lebih lama. Namun pada wanita dengan usia
diatas 40 tahun angka kehamilan pada tahun kedua relatif tidak bertambah. Pada
umumnya semua sepakat untuk memulai evaluasi infertilitas setelah satu tahun
pasangan tidak dapat menghasilkan pembuahan.
11
11,12
tidak menimbulkan gejala, dan banyak dari wanita ini diketemukan memiliki hasil
positif pada pemeriksaan antibodi chlamydia akibat dari infeksi sebelumnya.
Faktor tuba lainnya yang menyebabkan infertilitas adalah inflamasi berkaitan
dengan endometriosis, penyakit inflamasi usus besar, trauma pembedahan.
11,13,14
Disisi lain, sama halnya dengan infeksi menular seksual lain, infeksi pada
ibu memiliki dampak terhadap janin yang dapat tertular melalui jalan lahir. Pada
infeksi oleh karena klamidia trakomatis, dapat menyebabkan konjungtivitis dan
pneumonia. Pada banyak kasus konjunctivitis yang disebabkan oleh klamidia
merupakan penyakit yang self limiting dan tidak menimbulkan komplikasi jangka
panjang pada mata. Keadaan ini didapatkan pada jenis - jenis klamidia yang ada di
negara - negara maju, sedangkan di negara Negara berkembang, seperti Nepal,
ada beberapa jenis klamidia yang dapat menyebabkan kebutaan (trakoma).
Pneumonia pada neonatus yang disebabkan klamidia dapat menimbulkan dampak
yang serius. Untungnya bila pneumonia telah terdiagnosis lebih awal, pengobatan
dengan antibiotik efektif untuk mengontrol infeksi.
12,14
laparaskopi.
15
pada
proses
penyembuhan
akibat
Pembentukan
inflamasi,
dapat
mengakibatkan terjadinya sumbatan atau oklusi pada lumen tuba falopi serta
adhesi pelvis yang
menetap dan menyeluruh dan pada ahirnya dapat mengganggu transport hasil
konsepsi sehingga sering kali mengakibatkan terjadinya kehamilan ektopik tuba.
Apabila obstruksi terjadi di bagian distal tuba falopi maka dapat terbentuk
hidrosalping, yang menyebabkan tidak bertemunya sel sperma dengan sel telur
saat ovulasi sehingga pembuahan tidak terjadi.
3,10
15
12
pemeriksaan serologi.
8,14,15
Pemeriksaan yang lebih baru dan mendeteksi DNA atau RNA spesifik
terhadap klamidia trakomatis (termasuk PCR, ligase chain reaction, dan RNA
transcription - mediated amplification) lebih sensitif daripada generasi pertama
tes non culture based. Sensitifitasnya kurang dibandingkan dengan metode kultur
yaitu 70-80% dan spesifitasnya 99%. Sensitifitas sedikit lebih rendah ketika tes
yang baru ini digunakan pada spesimen urin dibandingkan pada specimen
endoserviks.
14,15
8,14,15,16
menurun secara lambat ketika antibodi IgA muncul secara cepat. Antibodi IgM
digunakan sebagai indikasi adanya infeksi akut, antibodi IgA sebagai petanda
infeksi kronis, dimana akan menurun ke titer terendah ketika pengobatan adekuat
diberikan. Reinfeksi ditandai dengan peningkatan secara cepat titer antibodi IgG
dan tidak didapatkan IgM. Peningkatan 4 kali dari batas normal nilai antibodi IgG
mengindikasikan pasien infeksi kronis yang berkelanjutan ataupun infeksi
sistemik. Infeksi akut: titer Ig M >1 dan atau peningkatan 4 kali lipat atau
penurunan titer Ig G, Infeksi Kronis : titer Ig Gtetap tinggi > 1:256.
8,11,14,23,24
hapusan.
memerlukan bius total, dan tidak dapat mengambarkan bentuk kavum uteri secara
meyeluruh, juga risiko paska pembedahan lainnya. Sonohysterosalpingography
memiliki kesamaan dengan HSG, namun mengunakan USG dan mengunakan
larutan salin steril, sehingga tidak mengunakan media kontras, namun cara ini
masih sedikit digunakan dalam evaluasi faktor tuba. Tes antibodi chlamydia
merupakan metode pemeriksaan faktor tuba yang paling tidak invasif dan dengan
biaya yang lebih rendah. Sehingga tes ini banyak digunakan sebagi evaluasi
primer kasus infertil faktor tuba, bagi pasien yang menolak untuk dilakukan
laparoskopi.
11,18
Pemeriksaan HSG paling baik dilakukan selama hari ke 2-5 setelah akhir
dari menstruasi, ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko infeksi, menghindari
interfensi dari darah dan bekuan darah dari dalam uterus, serta mengurangi
kemungkinan terjadinya kehamilan saat dilakukan HSG. Pada dasarnya HSG
tidak membutuhkan persiapan spesifik, meskipun premedikasi dengan NSAID 3060 menit sebelum tindakan dapat membantu mengurangi ketidak nyamanan yang
berhubungan dengan tindakan ini, analgetik yang lebih kuat ataupun sedatif
biasanya tidak diperlukan. Risiko infeksi pada HSG relaif jarang terjadi, bahkan
pada wanita yang berisiko tinggi sekalipun, namun pemberian antibiotik
pencegahan dilakukan secara rutin untuk mencegah infeksi paska tindakan. Terapi
pencegahan dengan antibiotika (doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 5
hari,dimulai 1-2 hari sebelum HSG) diberikan pada pasien yang diduga kuat
memiliki infeksi, dan juga pada pasien yang terbukti memilki obstruksi tuba
sehingga dapat mencegah infeksi klinis.
6,14,19,20,23,25,26
6,14
yang paten.
Gambar II.12: Hasil HSG; Kiri (hidroslaping bilateral); Kanan (Tuba paten
bilateral)
pembacaan pada dokter pemberi terapi yang tidak melakukan HSG secara
langsung. Kemungkinan terapi untuk membuahkan kehamilan pada HSG sangat
tinggi jika didapatkan kedua tuba panten, dan menjadi sangat rendah ketika tidak
satupun tuba didapati paten, dan sedikit berkurang ketika hanya satu tuba yang
terbuka. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan apakah diperlukan laparaskopi
sebelum memulai terapi infertilitas.
6,15
II.X Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi klamidia diberikan ketika infeksi ini telah
terdiagnosis atau dicurigai. Pengobatan juga melibatkan partner seksual pasien.
Pengobatan yang efektif dan murah untuk infeksi genital klamidia telah tersedia
untuk setiap gejala klinis yang umum.Pada suatu penelitian randomized
controlledntrial (RCT), efikasi pengobatan 7 hari dengan doksisiklin adalah sama
dengan pengobatan dengan azitromisin dosis tunggal. Keduanya memiliki angka
14,16,17,20
kesembuhan lebih dari 95% pada pria dan wanita yang tidak hamil.
Pada ibu hamil yang terinfeksi klamidia, dari Chohrane Review pada 11
penelitian mengenai pengobatan infeksi klamidia pada kehamilan, amoksisilin
memiliki efektifitas yang sama dengan eritomisin.
16
II.XI Prognosis
27
BAB III
KESIMPULAN
30-35%
wanita infertil baik yang terjadi pada wanita usia muda maupun yang lebih tua.
Hal ini menempatkan faktor tuba sebagai salah satu masalah terbesar dalam
infertilitas.
PRP (Penyakit Radang Panggul) merupakan penyebab terbesar infertilitas
dari faktor tuba dan juga kehamilan ektopik. Ascending infectiontanpa gejala
merupakan penyebab tersering kerusakan pada tuba. Banyak dari wanita dengan
riwayat PRP didapatkan terdeteksi memiliki antibodi klamidia pada infeksi
sebelumnya.
Infeksi klamidia trachomatis dapat dideteksi dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap antibodi dalam serum baik Ig G maupun Ig M anti klamidia
trachomatis.Cara ini akurat, efisien dan tidak membutuhkan waktu yang lama
dalam menentukan adanya infeksi chlamydia trachomatis.Dengan diketahuinya
hubungan langsung antara infeksi klamidia dengan angka kejadian oklusi tuba,
maka pembuktian tersangka oklusi tuba dapat diperkirakan dari pendeteksian
adanya infeksi chlamydia pada seorang wanita, dimana tindakan ini bukan
merupakan tindakan invasif dengan resiko dan biaya yang lebih rendah.
Prognosis sangat baik bila di diagnosa dan diobati lebih dini. Risiko
infertilitas meningkat pada infeksi yang berulang. Reinfeksi dapat dicegah bila
semua partner seksual diobati.
27
28
Daftar Pustaka
1. Harahap SD et al. Hubungan infeksi Chlamydia dengan oklusi tuba pada
wanita infertil. Indonesian Journal of Obstetric and Gynecology volume.36.
2008; 10-11.
2. Abida malik et al. Chlamydia trachomatis infection & female infertility.
Indian J Med Res 123. 2006; 770-775.
3. Cunningham et al. Anatomy and Physiology. Williams Obsterics 23rd.
McGraw-Hills Companies.
4. Cengiz L, Kiyan M, Cengiz AT, Aksoy AM, Kara F,Seekin L, et al.
Chlamydia trachomatis antigens inendocervical samples and serum IgG
antibodies insterile infertile women using ELISA. Microbiyol Bull. 2008;
26; 203-13.
5. WHO task force: Tubal infertility: Serologic relationshipto past chlamydial
and gonococcal infection. Sex Trans.Dis. 2005; 29 ; 71-7.
6. Joyee AG, Thyagarajan SP, Sowmya B, VenkatesanC,Ganapathy M. Need
for specific & routine strategy for the diagnosis of genital chlamydial
infection among patients with sexually transmitted diseases in India. Indian J
Med Res.
2003; 118; 152-7.
7. Schorge et al. Gynecologic Infection. Williams Gynecology 2nd. McGrawHills Companies.2005.
8. Mark A Fritz, Leon Speroff. Female Infertility. Clinical Gynecologic
Endocrinology and Infertility 8th. Lippincott Williams&Wilkins.2005.
9. Puolakkainen M, Back EH, Reunala T, SuhonenS,Lahteenmaki P, Lehtinen
M, et al. Comparison ofperformances of two commercially available tests,
aPCR assay and a ligase chain reaction test, in detectionof urogenital
Chlamydia trachomatis infection. J Clin. Microbiol. 1998; 36 ; 1489-93.
10. Cunningham et al. Anatomy and Physiology. Williams Obsterics 23rd.
McGraw-Hills Companies.2010.
11. Sweet et al. Chlamydial infection. Atlas of Infectious Diseases of Female
Genital Tract 1st. Lippincott Williams&Wilkins.
29
12. Linda O. Eckert Gretchen M. Lentz. Infections of the Upper Genital Tract :
Endometritis, Acute and Chronic Salpingitis. Comprehensive Gynecology,
5th ed. Mosby, Elsevier.2010.
13. Bakken, I.J., Ghaderi, S, Incidence of Pelvic Inflammatory Disease in a
Large
Cohort
of
Women
Tasted
for
Chlamydia
Trachomatis:
for
reproductive medicinne.2003.
16. Chow, J.M., Yonekura, M.L., Richwald, G.A., Greenland, S., Sweet, R.L.,
Schacter, J, The association Between Chlamydia Trachomatis and Ectopic
Pregnancy, JAMA, vol.263, no.23, pp. 3164-3167.1990.
17. Hartog, J.E., Morre, S.A., Land, J.A, Chlamydia Trachomatis-Associated
Tubal Factor
Subfertility:
Immunogenetic Aspects
and
Serological
of
Infertility
in
Mouse
Model
of
Chlamydia
Chlamydia
Trachomatis
Antibody
Titres
Morre,
S.A.,
C.J.L.M,
30