Anda di halaman 1dari 16

KEBIJAKAN KAWASAN DILARANG MEROKOK

PENDAHULUAN
Pada saat ini Indonesia tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter dan sentralistik menuju ke
sistem pemerintahan yang demokratis. Dan juga tengah

menerapkan

perimbangan

urusan/ kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan yang terjadi tersebut menuntut
terbentuknya pemerintahan yang bersih dan tranparan, dalam mengeluarkan berbagai
kebijakan publik yang menguntungkan semua rakyat. Pada dasarnya goverment memiliki
arti atau berkonotasi baik, karena keberadaannya dimaksudkan untuk menjalankan
pemerintahan dalam mengatur dan memfasilitasi kegiatan/ program pemerintahan umum
dan pembangunan. Goverment menjadi baik atau buruk dikarenakan governance-nya (tata
kepemerintahannya), karena itu muncul istilah good governace (tata kepemerintahan yang
baik) dan sebaliknya muncul istilah bad governance (tata kepemerintahan yang buruk
Kebijakan publik dapat diartikan sebagai rencana tindakan negara atau pemerintah, yang
akibat-akibat konstruktif atau destruktifnya secara langsung berpengaruh kepada
masyarakat luas. Hal ini dikarenakan perencanaan tindakan negara atau pemerintah
disusun mulai dari kebijakan nasional sampai ke kebijakan di daerah (dalam bentuk
stratifikasi politik kebijakan nasional), sehingga semua komponen masyarakat menerima
pengaruh pelaksanaan kebijakan itu
Pembuatan kebijakan publik yang berbagai macam jenisnya, mencerminkan artikulasi
aspirasi rakyat, pada saat ini selalu diupayakan untuk bersifat demokratis, dimana rakyat
diberi ruang untuk

menyuarakan kepentingan/ kebutuhannya. Dengan demikian

pihak policy maker selaku pembuat kebijakan mendapatkan legitimasi yang semakin kuat,
untuk melaksanakan berbagai kebijakan/ keketapan/ keputusan
Sebagaimana tercantum dalam pasal 10, 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, yang memuat pembagian urusan/ kewenangan pemerintah

pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kota/ kabupaten, maka berbagai urusan/
kewenangan tersebut seperti berikut ini
-

Urusan pemerintah pusat (pasal 10 ayat (3)) meliputi

politik luar negeri


1.
2.
3.
4.

pertahanan
keamanan
yustisi
meneter , fiscal nasional dan agama

Urusan pemerintah provinsi (pasal 13 ayat (1)) meliputi


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

perencanaan dan pengendalian pembangunan


perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat
penyediaan sarana dan prasarana umum
penanganan bidang kesehatan
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota
pelayanan bidang ketenaga-kerjaan lintas kabupaten/ kota
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah termasuk lintas

kabupaten/ kota
10. pengendalian lingkungan hidup
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota
12. pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/ kota
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/ kota
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan undang-undang

C. Stratifikasi Politik Kebijakan Nasional


Stratifikasi politik kebijakan nasional terkait dengan tingkatan kewenangan dalam
menetapkan suatu kebijakan (S. Sumarsono, 2001, h.142-144), terbagi menjadi lima
tingkatan sebagai berikut

1. Tingkat Penentu Kebijakan Puncak, ada 2 macam kebijakan


Tingkat Penentu Kebijakan Puncak meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh
secara nasional dan mencakup penentuan UUD, penggarisan masalah makro
politik bangsa dan negara untuk merumuskan idaman nasional (nationals goods)
berdasarkan falsafah Pancasila dan UUD 1945 Amandamen Ke-IV. Kebijakan
Tingkat Puncak ini dilakukan oleh MPR (DPR dan DPD). Hasil rumusannya
GBHN dan TAP MPR
Dalam hal dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara, tingkat
penentu kebijakan puncak ini juga mencakup kewenangan presiden sebagai kepala
negara. Bentuk hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh Kepala
Negara dapat berupa dekrit, peraturan atau piagam kepala Negara
2. Tingkat Penentu Kebijakan Umum
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan
puncak, yang lingkupnya juga menyeluruh nasional dan berupa penggarisan
mengenai masalah-masalah makro strategis guna mencapai idaman nasional, dalam
situasi dan kondisi tertentu. Hasil-hasilnya dapat berbentuk
Undang-undang/ UU, yang kekuasaan pembuatannta terletak ditangan presiden
dengan persetujuan DPR, atau Peraturan Pemerintah Pengganti UU/ Perpu dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa
Peraturan Pemerintah/ PP untuk mengatur pelaksanaan UU, yang wewenang
penerbitannya berada ditangan presiden
Keputusan Presiden/ Kepres atau Instruksi Presiden/ Inpres, yang berisi kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang pengeluarannya berada ditangan
presiden
Maklumat Presiden, dalam keadaan tertentu presiden dapat mengeluarkan
Maklumat Presiden
2. Tingkat Penentu Kebijakan Khusus
Kebijakan khusus merupakan penggarisan terhadap suatu bidang utama (major
area) pemerintahan. Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakn umum guna merumuskan
strategi, administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama tersebut. Wewenang
kebijakan khusus berada ditangan menteri berdasarkan kebijakan pada tingkat atasnya.

Hasilnya dirumuskan dalam bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri atau Instruksi
Menteri, dalam bidang pemerintahan yang dipertanggung-jawabkan kepadanya. Dalam
keadaan tertentu menteri juga dapat mengeluarkan Surat Edaran Menteri
3.

Tingkat Penentu Kebijkan Teknis

Kebijakan teknis meliputi penggarisan dalam satu sektor dari bidang utama diatas dalam
bentuk prosedur serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan
kegiatan.Wewenang pengeluaran kebijakan teknis ini terletak ditangan pimpinan eselon
pertama departemen pemerintahan dan pimpinan lembaga-lembaga non-departemen. Hasil
penentuan kebijakan dirumuskan dalam bentuk Peraturan, Keputusan, Instruksi Pimpinan
Lembaga Non Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal dalam masing-masing sektor
administrasi yang dipertanggung-jawabkan kepadanya
Isi dan jiwa kebijakan teknis ini harus sesuai dengan kebijakan diatasnya dan sudah
bersifat pengaturan pelaksanaan secara teknis dan administratif. Peraturan, Keputusan ,
Instruksi Pimpinan Lembaga Non Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal lazimnya
merupakan pedoman pelaksanaan
Didalam tata laksana pemerintahan Sekretaris Jenderal sebagai pembantu utama menteri,
bertugas mempersiapkan dan merumuskan kebijakan khusus menteri dan pemimpin rumah
tangga departemen. Selain itu Inspektur Jenderal dalam suatu departemen berkedudukan
sebagai pembantu utama menteri dalam penyelenggaraan pengendalian departemen. Ia
juga mempunyai wewenang untuk membantu mempersiapkan kebijakan khusus menteri
Tingkat Penentu Kebijakan Daerah, ada dua macam kebijakan dalam pembuatan aturan
di daerah :
1. Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat di daerah, terletak
ditangan Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
yuridiksinya masing-masing (daerah provinsi), wewenang itu berada di tangan
Gubernur. Untuk daerah kota/ kabupaten, wewenang itu berada ditangan Walikota/
Bupati. Perumusan hasil kebijakan tersebut dikeluarkan dalam Keputusan atau

Instruksi Gubernur untuk wilayah provinsi dan Keputusan atau Instruksi Walikota/
Bupati untuk wilayah kota/ kabupaten.
2. Kepala Daerah berwenang mengeluarkan kebijakan pemerintah daerah dengan
persetujuan DPRD. Perumusan hasil kebijakan tersebut dikeluarkan diterbitkan
sebagai kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah/ Perda Provinsi,
Keputusan dan Instruksi Kepala Daerah Provinsi untuk wilayah provinsi, dan
dalam bentuk Peraturan Daerah/ Perda Kota/ Kabupaten, Keputusan dan Instruksi
Kepala Daerah Kota/ Kabupaten untuk wilayah Kota/ Kabupaten
SUATU kebijakan publik pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalanpersoalan yang ada di masyarakat. Jika para pembuat kebijakan sudah gagal atau salah
dalam mendefinisikan suatu masalah maka dampak yang ditimbulkan dari suatu
kebijakan dengan sendirinya akan merugikan rakyat. Oleh karena itu, sebelum
merumuskan suatu kebijakan publik, pendefinisian masalah adalah tahap yang paling
mendasar dalam menentukan tahap-tahap selanjutnya.
Sifat suatu masalah pada dasarnya adalah subyektif. Bisa jadi sesuatu menjadi masalah
di suatu daerah sedangkan di daerah lainnya sama sekali bukan masalah. Demikian
pula masalah yang menimpa suatu kelompok masyarakat yang merasa terkena suatu
dampak dengan kelompok lain yang tidak merasakan dampaknya sama sekali. Oleh
karena itu suatu masalah tidak akan menjadi masalah publik apabila tidak ada orang
atau sekelompok orang mengartikulasikannya ke ranah publik.
Masalah publik berbeda dengan masalah pribadi (privat), masalah publik adalah
masalah yang memiliki dampak yang luas dan mengandung konsekuensi-konsekuensi
bagi orang-orang yang tak terlibat secara langsung. Namun demikian, masalah pribadi
dapat berkembang menjadi masalah publik apabila kemudian masalah tersebut ternyata
dirasakan pula oleh individu-individu lainnya.
Secara umum masalah publik dapat dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu masalah
distributif, masalah regulatif, dan masalah redistributif. Masalah distributif terkait
dengan masalah sejumlah kecil orang yang dapat ditanggulangi satu per satu, misalnya
saja masalah pengadaan jalan di suatu tempat, atau kebutuhan listrik dan air bersih

bagi suatu komunitas. Kemudian masalah regulatif, yaitu masalah-masalah yang


menyangkut peraturan untuk membatasi tindakan pihak-pihak tertentu. Misalnya saja,
masalah larangan merokok di tempat umum, perburuhan, dan sebagainya. Sedangkan
masalah redistributif adalah masalah ketidaksetaraan perlakuan, keadilan atau
kesejahteraan. Misalnya saja masalah kemiskinan, pelayanan kesehatan yang mahal,
dan sebagainya.
Fokus utama kebijakan publik adalah pelayanan publik, yaitu segala sesuatu yang
terkait erat dengan kebutuhan dan peningkatan kualitas masyarakat banyak. Dan
pelaksana utama kebijakan publik adalah badan-badan negara atau agen pemerintahan
sebagaimana lazim disebut sebagai birokrasi.
FUNGSI ROKOK
Kemudian alasan para perokok tidak mau berhenti merokok, bahwa mereka akan susah
berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa jadi gemuk. Bila merokok, mereka merasa lebih
dewasa dan dapat memperoleh ide atau inspirasi secara lebih baik. Faktor psikologis
dan fisiologis itulah yang banyak mempengaruhi kebiasan merokok di masyarakat
Sebenarnya rokok juga punya pengaruh positif disamping pengaruh negatifnya.
Contohnya saja bisa meningkatkan pendapatan negara lewat pajak bea cukai rokok.
Begitu banyaknya merk rokok yang di jual di Indonesia. Coba saja kita bayangkan,
jika pajak bea cukai 1 batang rokok sekitar Rp.10,-, maka jika dalam sehari terjual
5.000.000 batang rokok, berapa uang yang dihasilkan hanya oleh rokok, jadi rokok
juga mempunyai pengaruh terhadap perndapatan Negara.
SISI LAIN DARI ROKOK
Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah tak terbantahkan lagi. Bukan hanya menurut
WHO, tetapi, lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membutikan hal itu. Dalam kepulan asap
rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat
karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu, adalah tar,
karbon monoksida (CO), dan nikotin. Anehnya pula, dampak asap rokok bukan hanya

untuk di si perokok aktif (active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi
perokok pasif (passive smoker). Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi
terpapar asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskna pada asap
rokok oleh si perokok. Sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah menghirup racun
dua kali lipat. Maka, salah satu cara untuk membatasi perilaku merokok semau gue,
WHO mencanangkan program "Kawasan Tanpa Rokok" (KTR) di tempat-tempat
umum. Progam seperti ini lazim diterapkan di berbagai negara, termasuk di ASEAN;
Singapura, Malaysia bahkan Vietnam. Di Malaysia, organ merokok di tempat umum
didenda 500 ringgit, di Bankok didenda 2.000 baht. Oleh sebab itu, kebijakan
Gubernur DKI Jakarta menjadi rasional dan layak mendapatkan dukungan publik.
Hanya, yang perlu dipertanyakan adalah, selain besarnya denda, juga bagaimana
mekanisme pelaksanaannya? Sebab, berbagai hal kasat mata dan lebih konkrit
dampaknya (banjir, sampah, dan kemacetan) hingga kini tidak pernah beres, apalagi
masalah rokok? Kebijakan KTR yang digagas oleh Pemda DKI Jakarta, sebenarnya,
bukan yang pertama kali. Peraturan Pemerintah No. 81/1999 tentang Pengamanan
Rokok bagi Kesehatan, yang kemudian diubah menjadi PP No. 19/2003; sudah lebih
dahulu mengatur tentang larangan merokok di tempat-tempat umum, Tetapi, sialnya,
PP
tersebut tidak bisa memberikan sanksi. PP tersebut malah memerintahkan agar setiap
Pemda di Indonesia membuat aturan tersendiri tentang KTR (Perda). Apalagi WHO
sekarang sudah menerapkan konvensi bernama FCTC (Framework Convention on
Tobacco Control). Saat ini, FCTC sudah ditandatangani oleh lebih dari 160 negara
anggota WHO, dan lebih dari 40 negara telah meratifikasinya, Sekarang FCTC sudah
menjadi hukum internasional. Sayangnya, Pemerintah Indonesia, sebagai salah satu
pengagas dan legal drafter, hingga batas akhir juni 2004, tidak menandatangani FCTC!
FCTC, selain mengatur soal larangan merokok di tempat umum, setiap Pemerintah
bahkan "dibimbing" untuk menanggulangi dampak tembakau secara elegan, dan
komprehensif. Misalnya menaikan cukai rokok, larangan iklan di media massa dan
promosi dan larangan penyeludpan (smuggling). Menaikan cukai rokok, merupakan
instrumen penting, selain untuk membatasi segmentasi perokok, juga untuk
meningkatkan pendapatan negara. Tapi sungguh ironis, mayoritas perokok di

Indonesia adalah orang miskin. Menurut survey Bappenas (1995), orang miskin justru
mengalokasikan 9% total pendapatannya
untuk rokok. Betapa besar manfaatnya, jika dana itu digunakan untuk kesehatan,
pangan, atau pendidikan. Rokok memang memberikan kontribusi signifikan, berupa
cukai, bayangkan, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp. 27 trilyun. Belum lagi
kontribusi sector pertanian dan tenaga kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi
belaka.

TENTANG LARANGAN MEROKOK DITEMPAT UMUM


Salah satu bentuk reinforcement itu adalah dilihat dari budaya merokok. Hampir semua
orang tahu merokok itu berbahaya bagi kesehatan. Informasi tentang hal tersebut
sangat gencar tersebar di masyarakat, baik oleh pemerintah, organisasi kesehatan,
maupun dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Bahkan di setiap bungkus rokok
pun terdapat tulisan peringatan akan bahaya merokok. Belakangan, aktivitas merokok
mencuat menjadi pembicaraan masyarakat. Merokok kini diketahui tidak hanya
berbahaya bagi kesehatan si perokok (aktif) tetapi juga bagi orang yang berada dekat
dengan si perokok (pasif) dan juga dapat menganggu kenyamanan di tempat umum
serta menimbulkan pencemaran udara.
Dalam laporan WHO tahun 1983 sampai 2008 menyebutkan, jumlah perokok di
negara berkembang meningkat 2,1% per tahun, sedangkan di negara maju justru terjadi
penurunan sekitar 1,1% per tahun. Di dalam negeri, sebuah penelitian di Jakarta
menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah
perokok. Bahkan pada kelompok remaja, 49% pelajar pria dan 8,8% pelajar wanita di
Jakarta sudah merokok. Dan pada tahun 2008 WHO memperkirakan bahwa 1 miliar
orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok, apabila pemerintah di berbagai
negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap penggunaan tembakau.
Kemudian alasan para perokok tidak mau berhenti merokok, bahwa mereka akan susah
berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa jadi gemuk. Bila merokok, mereka merasa lebih
dewasa dan dapat memperoleh ide atau inspirasi secara lebih baik. Faktor psikologis

dan fisiologis itulah yang banyak mempengaruhi kebiasan merokok di masyarakat.


Kenyataannya dibalik semua itu merokok justru menimbulkan kerusakan pada
kesehatan mereka. Upaya untuk menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan
tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan,
khususnya di kalangan generasi muda dapat pula dikaitkan dengan usaha
penanggulangan bahaya narkotika. Yang tidak kalah penting, tokoh-tokoh panutan
masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis,
dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok.
Merokok merupakan suatu pemandangan yang sangat tidak asing bagi bangsa ini.
Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun
dilain pihak merokok juga dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri
maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam
rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Sebuah laporan yang
dirilis World Health Organization (WHO) pada awal tahun 2008 memperkirakan
bahwa 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok apabila
pemerintah di berbagai negara tidak serius dalam mengatasi kondisi epidemik terhadap
penggunaan tembakau. Dalam kesempatan itu WHO juga merekomendasikan agar
setiap negara melakukan enam tindakan guna menekan angka perokok dan tindakan
merokok di masing-masing wilayahnya. Pertama, memperbaiki kualitas data
penggunaan tembakau di wilayahnya. Kedua, meniru pelarangan keberadaan tembakau
seperti di Irlandia. Dimana mereka melarang seluruh keberadaan tembakau ditempat
kerja. Ketiga, mengintensifkan upaya untuk membujuk dan membimbing para perokok
untuk meninggalkan kebiasaan merokok. Sedangkan tiga tindakan lainnya mengenai
upaya agar para perokok tidak merokok di tempat umum. Namun rekomendasi yang
paling ampuh yang ditawarkan oleh WHO ialah agar setiap negara memberlakukan
pajak yang sangat tinggi untuk tembakau hingga sepuluh kali lipatProses Kebijakan
Kawasan Dilarangan Merokok
Proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam
proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap
yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda,
formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian

kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan


kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan,
tergantung pada tipe masalah yang dihadapinya.

PERDA NO 4 TAHUN 2012 TENTANG LARANGAN MEROKOK DIKAWASAN


TANPA ROKOK DIBANJARMASIN
Banjarmasin Setiap orang yang merokok di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diancam
pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak lima ratus ribu
rupiah berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012. Perda ini berlaku efektif
sejak

diundangkan

yaitu

bulan

Maret

2013.

Pernyataan ini disampaikan Gubernur Kalimantan Selatan H Rudy Ariffin dalam


sambutan tertulis yang dibacakan Asisten Pemerintahan Prov Kalsel Drs.H. Suhardjo,
M.Si pada Sosialisasi Perda Prov Kalsel Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Kesehatan di Kalimantan Selatan, Kamis, 6 Desember 2012 di
Banjarmasin.
Dijelaskan lagi ada tujuh Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu fasilitas kesehatan,
tempat proses belajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat
kerja, sarana perkantoran, dan tempat umum. Diluar kawaan itu tidak ada larangan
bagi

perokok

untuk

menikmati

hak

merokok

mereka,

kata

Gubernur.

Diharapkan, Perda Penyelenggaraan Kesehatan yang didalamnya juga mengatur


tentang KTR diharapkan dapat memberikan kerangka dan landasan hukum bagi
terciptanya saling menghormati hak masing-masing antara perokok dan orang yang
tidak merokok, sehingga terwujud penyelenggaraan kesehatan yang berkualitas di
Kalimantan Selatan.
Kepala Biro Hukum Setda Prov Kalsel Sugiono Yazie, SH, MH ketika dimintai
komentarnya lebih detail menjelaskan, setiap orang yang berada di KTR selain
dilarang merokok, juga dilarang, memproduksi rokok, menjual rokok, mengiklankan
rokok dan mempromosikan rokok. Sanksi untuk yang memproduksi rokok, menjual
rokok, mengiklankan dan mempromosikan rokok di KTR diancam pidana kurungan
paling lama 3 bulan dan denda paling banyak 50 juta.

10

Ini masih tahap sosialisasi, dan nanti untuk implementasi penyampaian lokasi-lokasi
KTR maupun penyediaan tempat khusus untuk merokok dilakukan oleh dinas
Kesehatan, sedangkan pemberian sanksi dan prosedur-prosedurnya akan dilakukan
oleh Satpol PP sebagai penegak Perda.
Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan dua orang nara sumber yaitu dari Biro Hukum
dan dari Dinas Kesehatan Prov. Kalsel. Sosialisasi diikuti peserta sekitar 50 orang
terdiri dari Organda, Perwakilan Taxi, Pengusaha, Yayasan Sabilal Muhtadin, instansi
vertikal.

Hingga saat ini, masalah rokok masih menjadi perdebatan dari berbagai pihak. Hal ini
menjadi serius mengingat semakin gencarnya iklan rokok yang menjadi pintu gerbang
untuk membidik kalangan muda, terutama anak-anak. Hingga saat ini masalah
merokok di dalam ruangan merupakan salah satu dari tiga masalah utama dalam
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Dua selain itu adalah pemberian ASI dan
penggunaan jamban keluarga.
Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan,
diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.Kebijakan yang diambil oleh
pemerintah daerah terkait kawasan tanpa rokok sudah sepenuhnya, bahkan hampir
seluruh provinsi mengeluarkan Perda selain di Banjarmasin . Seperti Perda yang
dikeluarkan oleh pemerintah Balikpapan, Perda nomor 4 tahun 2012 tentang kawasan
tanpa asap rokok. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Rosihan
Adhani, penerapan perda baru akan dilakukan pada tahun 2013 mendatang. Dalam
perda itu, setidaknya ada 7 kawasan yang ditetapkan menjadi daerah tanpa rokok.
Diantaranya, fasilitas kesehatan, pendidikan dan perkantoran.
Kebiasan merokok sudah menjadi budaya pada bangsa kita. Remaja, dewasa, bahkan
anak-anak sudah tidak asing lagi dengan benda mematikan tersebut. Maka tak heran,
disetiap ruang, ditempat umum lebih tepatnya, dengan tidak segan-segan, para perokok
melancarkan aksinya. Tanpa memikirkan efek yang ditimbulkan dari kepulan asap

11

yang mereka buat. Pelarangan untuk merokok memang tidak bersifat baku. Hanya saja
yang ditekankan adalah tidak merokok ditempat umum.
Hingga saat ini, masalah rokok masih menjadi perdebatan dari berbagai pihak. Hal ini
menjadi serius mengingat semakin gencarnya iklan rokok yang menjadi pintu gerbang
untuk membidik kalangan muda, terutama anak-anak. Hingga saat ini masalah
merokok di dalam ruangan merupakan salah satu dari tiga masalah utama dalam
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Dua selain itu adalah pemberian ASI dan
penggunaan jamban keluarga.
Oleh karena itu perlu dilakukan langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan,
diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.Kebijakan yang diambil oleh
pemerintah daerah terkait kawasan tanpa rokok sudah sepenuhnya, bahkan hampir
seluruh provinsi mengeluarkan Perda. Seperti Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah
Balikpapan, Perda nomor 4 tahun 2012 tentang kawasan tanpa asap rokok. Menurut
Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Rosihan Adhani, penerapan perda baru
akan dilakukan pada tahun 2013 mendatang. Dalam perda itu, setidaknya ada 7
kawasan yang ditetapkan menjadi daerah tanpa rokok. Diantaranya, fasilitas kesehatan,
pendidikan dan perkantoran.
Fasilitas tersebut harus menyediakan tempat khusus bagi perokok. Hal yang sama juga
dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh yang baru saja menerapkan peraturan
walikota (Perda) mengenai Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Peraturan itu tidaklah
cukup untuk mengontrol para perokok aktif yang notabene telah mengakar di tengahtengah masyarakat. Hal senada misalnya terjadi di Kota Padangpanjang Sumatera
Barat. Walikota Padangpanjang Suir Syam menilai Penerapan Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 8 tahun 2009 tentang Kawasan Tertib Rokok dan Kawasan Larangan
Merokok di Kota Padangpanjang dinilai perlu pengkajian terutama terkait efektivitas
penerapannya. Kota Padangpanjang terkait penerapan Perda No 8 tahun 2009 tersebut
sudah tidak lagi menerima iklan rokok. Selain itu, pemkot juga melarang masyarakat
merokok di kawasan tertentu seperti kompleks perkantoran, rumah ibadah, sekolahsekolah, fasilitas umum, rumah sakit dan lainnya.

12

Di Indonesia, kawasan yang berhasil menerapkan kawasan dengan sistem ini adalah
Surabaya. Demikian disampaikan Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya.
Sementara itu, hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta yang
tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang aturan merokok di
tempat-tempat umum untuk memberikan perlindungan pada perokok pasif. Kepala
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Tuty Setyowati menjelaskan Raperda tersebut akan
masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2013. Raperda tersebut tidak
melarang masyarakat untuk merokok. Tetapi memberikan aturan-aturan tertentu dalam
merokok sehingga tetap bisa memberikan perlindungan kepada perokok pasif.
Aturan merokok ini tidak hanya akan diberlakukan di kantor-kantor lingkungan
Pemerintah Kota Yogyakarta. Tapi juga gedung legislatif, tempat ibadah, sekolah,
sarana pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, dan tempat perbelanjaan.
Yogyakarta, secara mandiri, pada 2012 memiliki 20 rukun warga (RW) yang telah
mendeklarasikan sebagai kawasan bebas asap rokok. Yaitu melarang perokok merokok
di dalam rumah, saat pertemuan warga, di depan balita dan anak-anak, serta di depan
perempuan.

Dari

uraian

diatas,

Pemerintah

sudah

mengupayakan

untuk

terselenggaranya kawasan tanpa rokok di Indonesia. Tinggal bagaimana masyarakat


ikut berperan serta untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat tanpa asap rokok.
Mengadopsi kepada teori sistem yang mengemukakan bahwa pembuatan kebijakan
tidak dapat dipisahkan dari lingkungan dimana kebijakan itu dibuat. Tuntutan-tuntutan
itu timbul dalam lingkungan dan ditransmisikan ke dalam sistem politik. Pada saat
yang sama, lingkungan menempatkan peranan penting yang dipakai oleh para pembuat
kebijakan. Termasuk keadaan geografis, jumlah penduduk, budaya sosial dan politik
serta ekonomi yang ada dalam lingkungan tersebut (Budi Winarno, 1989: 33). Jadi
lingkungan ini sangat berperan dalam proses pembuatan kebijakan, karena biasanya
kebijakan itu lahir dari keadaan lingkungan yang semakin membahayakan bagi
masyarakat sekitarnya. Untuk itu kebijakan ini lahir, karena itu diperlukan regulasi
tentang

pencemaran

udara

melalui

peraturan

daerah

menanggulangi masalah pencemaran udara dari rokok.


.

KESIMPULAN

13

dan

gubernur

untuk

Dari hasil pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi dan kebijakan public
memiliki kaitan erat dan tak terpisahkan. Peran birokrasi dalam pembentukan
kebijakan public adalah sebagai perantara atau kendaraan yang mengantarkan
masalah-masalah public untuk diolah menjadi kebijakan public sekaligus menjadi
pelaksana dan pengawas kebijakan public. Birokrasi memiliki andil dalam setiap tahap
penyusunan kebijakan public yang di setiap tahap tersebut akan berbeda-beda
peranannya. Paling tidak para birokrasi ini melahirkan suatu kebijakan berlandaskan
atas pendekatan yang rasional komprehensif dimana mereka tidak membuka ruang
yang lebar untuk inisiasi dari kebijakan kawasan dilarang merokok tersebut.
Untuk itu penulis merasa perlu memberikan tambahan terhadap implementasi dari
kebijakan ini bahwa ternyata pembuatan kebijakan ini adalah hasil dari berjalannya
fungsi politik yang merupakan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Sedangkan fungi administratif adalah fungsi pemerintah sebagai pelaksana kebijakan.
Oleh karena itu, pemerintah memiliki kekuatan diskretif (discretionary power) dalam
pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut dan sekali lagi para aktor lain
(masyarakat, LSM, para pengusaha) tidak banyak dilibatkan. Maka dari makalah ini
semoga menggugah para aktor untuk terlibat langsung dalam proses revisi kebijakan
ini nantinya dan paling tidak sekarang mereka harus memainkan peran pada
pengawasan dalam pelaksanaan kebijakan ini.
Daftar Bacaan
Boeree, George. 2008. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama
Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie.
Lele, Gabriel, dkk. 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol
UGM; Yogyakarta.
N, Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publlik. Gadjah Mada
University Press; Yogyakarta
Winarno, Budi. 1989. Teori Kebijakan Publik. PAU Universitas Gadjah Mada;
Yogyakarta.
(http://mandorkawat2009.wordpress.com/2009/09/22/merokok-salah-satu-unsurpencemar-lingkungan-membahayakan-kesehatan-manusia-2/)

14

(http://indotc1.blogspot.com/2007/06/lumpuh-larangan-merokok-di-tempatumum.html).
(http://mandorkawat2009.wordpress.com/2009/09/22/merokok-salah-satu-unsurpencemar-lingkungan-membahayakan-kesehatan-manusia-2/).
sumber: (Majalah Tarbawi, Edisi 104 Th. 7/Shafar 1426H/17 Maret 2005)
Oleh
Tulus
Abadi,
SH
Ketua
Bidang
Hukum
dan
Perundang-Undangan
Komnas
PMM
Penerima Tobacco Control Fellowship Programs, Bangkok 2003

KEBIJAKAN KAWASAN DILARANG MEROKOK

O
L
E
H

MAHYUDIN, SH
NIM B2A112048

MATA KULIAH HUKUM KEBIJAKAN PUBLIK

15

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT


BANJARMASIN

16

Anda mungkin juga menyukai