Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, ataupun
parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan demam pada anak-anak
antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis, appendisitis, tuberculosis,
bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis, meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis
media, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya
menimbulkan demam antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah
dengue, demam chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011).
Infeksi parasit yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain malaria,
toksoplasmosis, dan helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan
luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya
mobilitas dan kepadatan penduduk. Tahun 2008 di Indonesia dilaporkan 137.469
kasus demam berdarah (Depkes RI, 2008). Berdasarkan dari data Depkes RI pada
tahun 2009 jumlah kasus DBD dari Januari-Desember 2009 sebanyak 154.855
orang dengan angka kematian 1.384 orang. Pada tahun 2010, jumlah kasus DBD
dari Januari-Maret 2010 sebanyak kasus dengan angka kematian 167 orang. Di
Indonesia penyakit ini selalu meningkat pada setiap awal musim hujan dan
menimbulkan kejadian luar biasa di beberapa wilayah World Health Organization
(WHO) mengestimasi 50 juta orang terinfeksi penyakit demam berdarah setiap
tahunnya (WHO, 2004).
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan
yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan

rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar (Knowlton dkk., 2009).
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Seseorang
yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya
kembali. Pilihan untuk mengupayakan dari kesembuhan suatu penyakit, antaralain
dengan berobat kedokter atau mengobati diri sendiri yang disebut dengan
swamedikasi. Swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan dan penyakit
ringan seperti demam, batuk, flu, diare, dan gastritis. Swamedikasi didasari oleh
pemikiran bahwa pengobatan sendiri cukup serta mahalnya biaya pengobatan ke
dokter (Atmoko dan Kurniawati, 2009).
Swamedikasi harus memenuhi kriteria pengobatan yang rasional, tetapi
dalam prakteknya kesalahan penggunaan obat masih sering terjadi terutama
ketidaktepatan obat dan dosis obat, hal ini dikarenakan bahwa pengetahuan
masyarakat tentang swamedikasi masih terbatas. Untuk itu perlu adanya
komunikasi dan edukasi kepada masyarakat tentang cara penggunaan obat yang
tepat dan rasional adalah tugas apoteker dalam melakukan praktek di apotek.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEMAM
A. Pengertian Demam
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal seharihari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus
(Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C.
Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal temperature =38,0C
atau oral temperature =37,5C atau axillary temperature =37,2C (Kaneshiro
& Zieve, 2010).
B. Patofisiologi Demam
Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit
lebih dikarenakan oleh zat toksin (racun) yang masuk kedalam tubuh.
Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi)
di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan
mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang
mengancam keadaan fisiologis tubuh.
Proses peradangan diawali dengan masuknya racun kedalam tubuh
kita. Contoh racun yang paling mudah adalah mikroorganisme penyebab
sakit. Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki
suatu zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan
masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya
yakni dengan memerintahkan tentara pertahanan tubuh antara lain berupa
leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan
adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengelurkan
senjata berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya
interleukin 1/IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang
keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel
penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam
arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan adanya bantuan enzim
fosfolipase A2. Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan

oleh

hipotalamus

akan

pemacu

pengeluaran

prostaglandin

(PGE2).

Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari enzim
siklooksigenase

(COX).

Pengeluaran

prostaglandin

ternyata

akan

mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya,


hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas
suhu normal). Adanya peningkatan titik patokan ini dikarenakan mesin
tersebut merasa bahwa suhu tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya
terjadilah respon dingin/menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk
menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak. Adanya perubahan suhu tubuh
di atas normal karena memang setting hipotalamus yang mengalami
gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam atau
febris. Demam yang tinggi pada nantinya akan menimbulkan manifestasi
klinik (akibat) berupa kejang (umumnya dialami oleh bayi atau anak-anak
yang disebut dengan kejang demam).
C. Penyebab Demam
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non
infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,
jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan
demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lainlain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi
jamur

yang

pada

umumnya

menimbulkan

demam

antara

lain

coccidioidesimitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit


yang

pada

umumnya

menimbulkan

demam

antara

lain

malaria,

toksoplasmosis, dan helmintiasis. Demam akibat faktor non infeksi dapat


disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor lingkungan (suhu lingkungan
yang eksternal yang terlalu tinggi keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit
autoimun (arthritis, systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan

(Penyakit Hodgkin, Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian


obat-obatan (antibiotik, difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro &
Zieve, 2010). Selain itu anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai
akibat efek samping dari pemberian imunisasi selama 1-10 hari (Graneto,
2010). Hal lain yang juga berperan sebagai faktor non infeksi penyebab
demam adalah gangguan sistem saraf pusat seperti perdarahan otak, status
epileptikus, koma, cedera hipotalamus, atau gangguan lainnya. Demam akibat
faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor
lingkungan (suhu lingkungan eksternal yang terlalu tinggi).
D. Tanda dan gejala demam
1. Suhu tubuh meninggi > 370C
2. Wajah sangat pucat, perasaan kedinginan dan kulit merinding
3. Menggigil dengan gigi gemeletuk
4. Kulit panas, merah
5. Rasa sakit diseluruh tubuh
6. Berkeringat
7. Sakit kepala
E. Pemeriksaan Demam
Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak yang mengalami demam
bila secara klinis faktor risiko tampak serta penyebab demam tidak diketahui
secara spesifik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu:
pemeriksaan awal darah rutin, urin dan feses rutin, morfologi darah tepi,
hitung jenis lekosit. Pemeriksaan atas indikasi kultur darah, urin atau feses,
pengambilan cairan serebro spinal, toraks. Pada prinsipnya demam dapat
menguntungkan dan dapat pula merugikan. Pada tingkat tertentu demam
merupakan bagian dari pertahanan tubuh antara lain daya fagositosis
meningkat dan viabilitas kuman menurun, tetapi dapat juga merugikan karena
anak menjadi gelisah, nafsu makan dan minum berkurang, tidak dapat tidur
dan menimbulkan kejang demam (Plipat dkk., 2002).
II. DEMAM BERDARAH
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus Dengue yang ditandai gejala panas mendadak, perdarahan

dan kebocoran plasma yang dapat dibuktikan dengan adanya penurunan jumlah
trombosit, peningkatan hematokrit, ditemukan efusi pleura disertai dengan
penurunan kadar albumin, protein dan natrium. Host alami DBD adalah manusia,
agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan
genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3, dan Den
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk
Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia (Lestari, 2007).
Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar
antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul
pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di
dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari
infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan
demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji
tourniquet positif; trombositopenia dengan jumlah trombosit = 100 x 109/L; dan
kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh (WHO, 2003).
Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan
pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling
kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran
darah. Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda
terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II
yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain,
derajat III yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah
serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai
<80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen
tampak gelisah; serta derajat IV yang ditandai dengan syok berat (profound shock)
yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur (Hadinegoro, 2001).
Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme
patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama
adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma
yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.

Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2
hari akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari
timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih
banyak virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis
makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan
melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut
akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya
(Soegijanto, 2002).
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan
kepada manusia melalui nyamuk Aedes Aegypti. Aedes Albopictus, Aedes
Polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini,
namun merupakan vektor yang kurang berperan. Aedes tersebut mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10
hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali pada manusia
pada saat gigitan berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di
dalam tubuh nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya
(infektif). Ditubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis WHO (1997).
Terdiri dari Kriteria klinis dan Laboratorium sebagai berikut:
1. Kriteria Klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus


selama 2-7 hari.

Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan uji tourniquet positif,


petekie, ekimosis, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, dan melena.

Pembesaran hati

Shock ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak
gelisah.

2. Laboratorium
a

Trombositopenia (< 100.000/mm3)

Hemokonsentrasi (kadar Ht > 20% dari normal)

III.SWAMEDIKASI
Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan
obat yang dibeli bebas dari apotek/toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat
dokter. Obat-obatan yang digunakan untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi
biasa disebut dengan obat tanpa resep/obat bebas/obat OTC (over the counter).
Biasanya obat-obat bebas tersebut dapat diperoleh di toko obat, apotik,
supermarket hingga di warung-warung dekat rumah. Sedangkan obat-obat yang
dapat diperoleh dengan resep dokter biasa disebut dengan obat resep (Tan dan
Kirana, 1993).
Pengobatan

sendiri

atau

swamedikasi

yang

bertanggung

jawab

(responsible self-medication) biasa digunakan untuk menegaskan penggunaan


obat bebas yang tepat oleh pasien atau konsumen, dengan bantuan tenaga
kesehatan bila diperlukan. Sebaliknya, untuk peresepan sendiri (self-prescription),
mengacu pada penggunaan yang tidak tepat dari obat resep oleh pasien atau
konsumen karena tanpa pengawasan dari dokter. Sayangnya hingga saat ini
peresepan sendiri masih banyak terjadi di banyak negara, terutama di negara
berkembangtermasukIndonesia.

Selain pengobatan sendiri atau swamedikasi, saat ini juga berkembang


perawatan sendiri (self care). Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan
terjadinya penyakit atau menjaga supaya penyakitnya tidak bertambah parah
dengan perubahan pola hidup, menjaga pola makan, menjaga kebersihan.

BAB III
PEMBAHASAN

Dengan semakin banyak masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri


atau swamedikasi, maka informasi mengenai obat yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan mereka juga semakin diperlukan. Dalam hal itulah maka apoteker
mempunyai peranan penting untuk memberikan informasi yang tepat tentang obat
kepada pasien. Ketika pasien memilih untuk melakukan pengobatan sendiri atau
swamedikasi, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan supaya
swamedikasi dilakukan dengan tepat dan bertanggung jawab oleh karena itu
sebaiknya baca label obat dengan seksama dan teliti. Kemudian perhatian khusus
perlu diberikan bagi penggunaan obat untuk kelompok tertentu, seperti pada anakanak, lanjut usia ataupun wanita hamil dan menyusui.
Jika pasien memilih untuk melakukan pengobatan sendiri, maka ia harus
dapat: mengenali gejala yang dirasakan, menentukan apakah kondisi mereka
sesuai untuk pengobatan sendiri atau tidak, memilih produk obat yang sesuai
dengan kondisinya, mengikuti instruksi yang tertera pada label obat yang
dikonsumsi, pasien juga harus mempunyai informasi yang tepat mengenai obat
yang dikonsumsi, dengan cara membaca label obat dengan teliti dan berkonsultasi
ke dokter bila perlu, hal ini terutama bila dirasakan bahwa pengobatan sendiri atau
swamedikasi yang dilakukan tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan.
Setiap orang yang melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi juga harus
menyadari kelebihan ataupun kekurangan dari pengobatan sendiri yang dilakukan.
Dengan mengetahui manfaat dan resikonya, maka pasien atau konsumen tersebut
juga dapat melakukan penilaian apakah pengobatan sendiri atau swamedikasi
tersebut perlu dilakukan atau tidak.
Peranan apoteker dalam pengobatan sendiri atau swamedikasi sebagai
komunikator yaitu memberikan saran mengenai obat bebas yang sesuai, maka
apoteker harus bertanya pertanyaan yang sesuai kepada pasien dan juga mampu
memberikan informasi penting yang dibutuhkan (seperti cara konsumsi obat atau
indeks keamanan obat). Peran apoteker sebagai penyedia obat yaitu harus dapat
menjamin, bahwa obat-obatan yang disediakannya berasal dari sumber resmi yang
dapat dipercaya serta mempunyai kualitas yang baik. Peran apoteker sebagai
promotor kesehatan Sebagai seorang anggota tenaga kesehatan, maka apoteker

juga harus dapat berpartisipasi dalam hal promosi masalah kesehatan, sehingga
dapat meningkatkan kesadaran mengenai masalah kesehatan ataupun pencegahan
penyakit salah satunya adalah penyakit demam berdarah yang ditandai dengan
adanya demam, maka pasien harus sedini mungkin mengenal tanda-tanda
penyakit tersebut dan dapat membedakan antara demam dan demam berdarah.
Pemberian obat antipiretik merupakan pilihan pertama dalam menurunkan
demam dan sangat berguna khususnya pada pasien berisiko, yaitu anak dengan
kelainan kardiopulmonal kronis, kelainan metabolik, penyakit neurologis dan
pada anak yang berisiko kejang demam. Obat-obat anti inflamasi, analgetik dan
antipiretik terdiri dari golongan yang bermacam-macam dan sering berbeda dalam
susunan kimianya tetapi mempunyai kesamaan dalam efek pengobatannya.
Asetaminofen merupakan derivat para-aminofenol yang bekerja menekan
pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis
terapeutik antara 10-15 mg/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis
maksimal 90 mg/kbBB/hari. Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan
intoksikasi dan kerusakkan hepar. Pemberiannya dapat secara per oral maupun
rektal. Turunan asam propionat seperti ibuprofen juga bekerja menekan
pembentukan prostaglandin. Obat ini bersifat antipiretik, analgetik dan
antiinflamasi. Efek samping hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan
anemia aplastik. Efek terhadap ginjal berupa gagal ginjal akut (terutama bila
dikombinasikan dengan asetaminopen). Dosis terapeutik yaitu 5-10 mg/kgBB/kali
tiap 6 sampai 8 jam.
Metamizole (antalgin) bekerja menekan pembentukkan prostaglandin.
Mempunyai efek antipiretik, analgetik dan antiinflamasi. Efek samping
pemberiannya berupa agranulositosis, anemia aplastik dan perdarahan saluran
cerna. Dosis terapeutik 10 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam dan tidak dianjurkan untuk
anak kurang dari 6 bulan. Pemberiannya secara per oral, intramuskular atau
intravena. Asam mefenamat suatu obat golongan fenamat. Khasiat analgetiknya
lebih kuat dibandingkan sebagai antipiretik. Efek sampingnya berupa dispepsia
dan anemia hemolitik. Dosis pemberiannya 20 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis.
Pemberiannya secara per oral dan tidak boleh diberikan anak usia kurang dari 6

bulan. Banyak klinisi yang mengobati demam dengan pemberian parasetamol


untuk mencegah kejang demam.
Masyarakat seringkali salah dalam mendiagnosis penyakit DBD ini
dengan penyakit lain seperti flu atau typhus. Hal ini disebabkan karena infeksi
virus dengue yang menyebabkan DBD bersifat asistomatik atau tidak jelas
gejalanya. Pasien DBD biasanya atau seringkali menunjukkan gejala batuk, pilek,
muntah, mual maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus DBD dapat
masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau typhus.
Tindakan pencegahan meluasnya penyakit Demam Berdarah Dengue
(DBD) dilakukan dengan pengendalian terhadap vektor melalui pemberantasan
larva nyamuk Aedes aegypti dengan perilaku menguras, menutup dan mengubur
(3M) akan menjadi cara yang efektif dalam mencegah penyakit DBD. Selain
kegiatan 3M, kegiatan PSN DBD ditambah dengan tindakan plus yaitu
memberantas larva dan menghin dari gigitan nyamuk Aedes aegypti pembawa
virus dengue penyebab penyakit DBD. Cara-cara yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut: abatisasi, memelihara ikan pemakan larva nyamuk, mengusir
nyamuk menggunakan anti nyamuk, mencegah gigitan nyamuk menggunakan
lotion anti nyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, tidak
menggantung pakaian di dalam kamar serta menggunakan kelambu pada waktu
tidur (Nomitasari, dkk, 2012).
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh demam berdarah dengue pada awal
serangan penderita berikut: demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38-40C).
Manifestasi pendarahan dengan bentuk uji tourniquet positif puspura pendarahan,
konjungtiva, epitaksis, melena, hepatomegali (pembesaran hati) syok, tekan nadi
turun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau
lebih rendah. Trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan penurunan trombosit
sampai

100.000/mm3.

Hemokonsentrasi,

meningkatnya

nilai

hematokrit.

Pendarahan hidung dan gusi. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintikbintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
Pengobatan penderita penyakit demam berdarah dengue dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut: untuk mengantisipasi demam dapat diberikan

paracetamol. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter-2 liter dalam 24 jam
seperti: air teh, gula sirup, jus buah-buahan atau susu. Sebagai pertolongan
pertama dapat diberi oralit (garam elektrolit) kalau perlu 1 sendok makan tiap 3-5
menit, tetapi apabila keadaan bertambah parah harus segera diperiksakan ke
dokter atau RS untuk pemeriksaan laboratorium. Apabila kadar hemotokrit turun
sampai 40% muka harus diinfus NaCl atau ringer. Antibiotik boleh diberikan
apabila terjadi infeksi sekunder. Pada saat penderita syok atau pingsan maka boleh
diberikan oksigen. Transfusi darah boleh diberikan apabila penderita mengalami
pendarahan yang signifikan .Hal yang perlu diperhatikan saat pemberian cairan
pengganti tubuh atau infus, harus diawasi selama 24 jam sampai dengan ditandai
jumlah urine cukup, denyut nadi yang kuat, dan tekanan darah membaik.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Peranan apoteker dalam swamedikasi yaitu memberikan saran mengenai obat


dan mampu memberikan informasi penting yang dibutuhkan serta sebagai
promotor kesehatan.
2. Peran apoteker sebagai penyedia obat yaitu harus dapat menjamin, bahwa
obat-obatan yang disediakannya berasal dari sumber resmi yang dapat
dipercaya serta mempunyai kualitas yang baik.
3. Pemberian obat antipiretik (parasetamol) merupakan pilihan pertama dalam
menurunkan demam dan untuk mencegah kejang demam.
4. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan pemiberian minum sebanyak
1,5 liter-2 liter dalam 24 jam seperti: air teh, gula sirup, jus buah-buahan atau
susu. Sebagai pertolongan pertama dapat diberi oralit 1 sendok makan tiap 3-5
menit, tetapi apabila keadaan bertambah parah harus segera diperiksakan ke
dokter atau RS untuk pemeriksaan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
Aryu, C., 2010, Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan, Vol. 2: 110-119.

Bagus, U., dan, Asih, R., 2009, Aedes Aegypti Sebagai Vektor Penyakit Demam
Berdarah Dengue, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
Tan, T. & R., Kirana, 1993, Swamedikasi, Jakarta.
Hadinegoro, Rezeki S., Soegianto S., Soeroso T., dan Waryadi S., 2001, Tata
Laksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Jakarta.
Kayman, H., 2003, Management of Fever: making evidence-based decisions, Clin
Pediatr.
Knowlton K., Solomon G., Rotkin-Ellman M., and Pitch F., 2009, MosquitoBorne Dengue Fever Threat Spreading in the Americas, New York.
Lelyveld S., Schafermeger R.W., Penyunting, Pediatric emergency medicine,
Edisi ke-2, New York.
Lestari, K., 2007, Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue
(DBD) Di Indonesia.
Nia K., 2007, Penatalaksanaan Demam Pada Anak
Plipat N., Hakim S., and Ahrens W.R., 2002, The febrile child, Dalam: Strange
G.R., Ahrens W.R.
Soegijanto S., 2003, Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus
Dengue, www.pediatrikcom/buletin/200602208ma2gi-buletindoc.
Septadina, I.S., 2003. Penggunaan Analgesik Untuk Mengatasi Sakit Kepala
Pada Masyarakat Perkotaan, Universitas Sriwijaya.
Suryawati S., 1997, Menuju Swamedikasi yang Rasional, Pusat Studi farmakologi
klinik, UGM, Yogyakarta.
Wilder, S., and Gubler, 2008, Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
International Travel, Med Clin NAm.

WHO, 2003, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan


Demam Berdarah Dengue, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai