Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI KASUS RGB

SEORANG WANITA USIA 24 TAHUN DENGAN COMOTIO CEREBRI, CLOSE


FRAKTUR COLLUM FEMUR (S) GARDEN IV, CLOSE FRAKTUR FEMUR (S)
1/3 TENGAH COMMINUTIF, FRAKTUR ZMC (S)

oleh:
Alva Putri Deswandari
Raja Amelia Putriana
Dwi Rachmawati H
Nimfa Christina RW
Prisca Priscilla
Gia Noor Pratami
Raden Artheswara S
Gloria K. Evasari
RatihPuspa W
Muhammad David P
Erickson

Ferika Brillian S
Dicky Budi Nurcahya
Diwiasti F Yasmin
Antonius Bagus Budi K
Annisa Budiastuti
Hanifah Astrid E.
Nimas Ayu Suri P
Pratiwi Prasetya P
Irene Yunita P
Bobbi Juni Saputra

Pembimbing:
dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013

STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN

II.

Nama

: Nn. SN

Umur

: 26 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Jamperejo 01/01 Rembang

Agama

: Islam

Tanggal Masuk

: 26 Oktober 2013

Tanggal Periksa

: 28 Oktober 2013

No. RM

: 01-22-55-34

ANAMNESIS

A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Empat hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sedang
mengendarai sepeda motor dengan dibonceng,pasien ditabrak truk dari
arah berlawanan. Setelah kejadian, pasien mengalami penurunan
kesadaran, kejang (-), muntah (-). Penurunan kesadaran pada pasien
dirasakan kurang dari 15 menit, setelah sadar pasien agak susah diajak
berkomunikasi dan mengeluh kepalanya pusing, pusing sifatnya menetap,
tidak membaik dengan perubahan posisi.
Selain itu pasien mengeluh nyeri pada kaki kiri,nyeri dirasakan
seperti tertusuk dan menjalar, nyeri bersifat terus menerus, tidak
berkurang dengan istirahat, sehingga membuat pasien tak bisa
menggerakkan kaki kiri sama sekali. Oleh penolong pasien dibawa ke RS
Rembang dilakukan injeksi obat, dirontgen kaki, CT Scan Kepala, dan
dirawat selama 4 hari, Atas permintaan keluarga pasien dirujuk ke RSUD
Dr. Moewardi dengan diagnosis CKB dan Fraktur Femur.
C. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat alergi obat/makanan

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat mondok

: disangkal

D. Riwayat penyakit keluarga


Riwayat alergi obat/makanan

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat sakit serupa

: disangkal

Riwayat mondok

: disangkal

E. Anamnesa sistemik
1. Sistem saraf pusat
kejang (-).
2. Mata :

pandangan

kunang (-),
dobel

(-),

pusing

(+),

berkunang-

ikterik (-), pandangan


pandangan

berputar

(-),

pandangan kabur(-).
3. Hidung :
mimisan (-), pilek (-).
4. Telinga :
pendengaran berkurang (-),
berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
5. Mulut :
sariawan (-), luka pada sudut
bibir (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),
gigi tanggal (-)
6. Tenggorokan :

sakit menelan (-), sulit

menelan (-), suara serak (-).


7. Sistem respirasi
:
sesak

napas

(-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-)


8. Sistem kardiovaskuler :
dada
ampeg
(-),sesak

napas

berdebar-debar (-)

saat

beraktivitas

(-),

9. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-),


sakit perut (-), susah BAB (-), sebah (-),
nyeri ulu hati(-), kembung (-).
10. Sistem muskuloskeletal
:

Nyeri

(+) di daerah kaki kiri, nyeri sendi (-) dan


kaku sendi (-).
11. Sistem genitourinaria :

nyeri

saat

kencing (-),darah (-),sulit memulai kencing


(-), kencing sedikit (-).
12. Ekstremitas atas
:

luka

(+),

ujung jari terasa kebas (-).


13. Ekstremitas bawah
: luka (-), ujung jari
terasa kebas (-).
14. Sistem neuropsikiatri :

kejang

(-),

gelisah (-), mengigau (-), emosi tak stabil


(-).
15. Sistem integumentum :

kulit

kuning

(-), pucat (-), gatal (-).


III.

PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
a. Airway
b. Breathing

: bebas, terpasang collar brace


I : pergerakan dinding dada kanan = kiri, RR= 22 x/menit
P : krepitasi (-/-)
P : sonor/sonor
A: SDV (+/+), ST (-/-)

c. Circulation
d. Disability
e. Exposure

: Tekanan darah : 100/80 mmHg, Nadi 74 x/menit


: GCS E3V1M5, reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/3 mm)
: suhu 36,8C

Secondary Survey
1. Keadaan Umum
- Keadaan umum

: sedang

- Derajat kesadaran

: somnolen

- Derajat gizi

: gizi kesan baik

2. Kulit
Kulit sawo matang, ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
3. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), oedem (+) lihat status lokalis, jejas
(+) lihat status lokalis
4. Mata
Oedema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
5. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi(-/-)
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)
8. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-)
9. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak
meningkat
10. Toraks (lihat status lokalis)
Cor

: Inspeksi

: Iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: Iktus kordis teraba di SIC V LMCS

Perkusi

: Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)

Pulmo

: Inspeksi

: Pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: Sonor/Sonor

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler (+/+)


Suara tambahan (-/-)

11. Abdomen
Inspeksi

: distended (-)

Palpasi

: Supel, nyeri tekan (-)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal,

12. Ekstremitas
Akral dingin

Oedem

Ikterik

13. Muskuloskeletal
Nyeri (+) di daerah kaki kiri
14. Genital
BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
15. Status Lokalis
Regio Frontalis
Look

: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Midfacialis (S)


Look

: Oedem (+), vulnus appertum ukuran 1 x 0,5 cm

Feel

: Nyeri tekan (+), krepitasi (-)

Regio Femur (S)


Look

: Oedem (+), angulasi (+), vulnus (-)

Feel

: Nyeri tekan (+), krepitasi (-), NVD (-)

Movement

: ROM hip terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)


Look

: Oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cm

Feel

: NVD (-)

Movement

: ROM terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)

IV.

Look

: Oedem (+)

Feel

: NVD (-)

Move

: ROM ankle terbatas karena nyeri

ASSESSMENT I
Commotio cerebri GCS E3V1M5
Suspect fraktur collum femur (S)

Suspect fraktur femur (S)


Suspect fraktur ZMC (S)
V.

PLANNING I
MRS HCU Bedah
Infus NaCl 0.9% 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam
Injeksi ketorolac 30 mg /8jam
Injeksi Piracetam 3 gr /8jam
Phenitoin 50 mg/ 12 jam
CT Scan Kepala
Rotgen Pelvis sinistra AP, Femur sinistra AP/Lat
Cek darah rutin III, PT/APTT, HbsAg
Konsul TS Anestesi, Bedah Saraf, Orthopaedi, Bedah Plastik

VI.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Klinik 26 Oktober 2013
Parameter
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
PT
APTT
HBsAg

Hasil
14,6
44

Nilai Normal
12,3-15,35
33-45

Satuan
g/dl
%

4,87
15,5

3.8-5.8
4,5-11,5

106/L
103/L

226

150-450

103/L

10,8
36,6
Nonreactive

10-15,00
20-40

detik
Detik

2. Hasil Foto Rontgen Femur Sinistra AP (26 Oktober 2013)

Tampak fraktur collum femur dan fraktur comminutif femur kiri 1/3
tengah.
Trabekulasi tulang di luar lesi baik.

Celah dan permukaan sendi dalam batas normal.


Tak tampak kalsifikasi abnormal.
Tak tampak erosi/destruksi tulang.
Tak tampak soft tissue swelling/mass.
Kesimpulan: Fraktur Collum femur dan fraktur comminutif di 1/3 tengah
os femur kiri.
3. Foto Rontgen Pelvis AP (26 Oktober 2013)

Tampak fraktur komplit collum femur kiri


Trabekulasi tulang normal
Sacroiliac joint dan hip joint kanan kiri normal
Shentons line kanan kiri asimetris
Tak tampak erosi/destruksi tulang
Tak tampak soft tissue mass/swelling
Kesimpulan: Fraktur complete collum femur kiri.
4. Hasil CT Scan kepala (26 Oktober 2013)

Tak tampak lesi hipo/hiperdens di brain parenkim.


Tak tampak midline shifting.
Sistem ventrikel dan sisterna tak tampak kelainan.
Sulci dan gyru tak tampak merapat.
Pons, cerebellum, dan cerebellopontin angle tak tampak kelainan.
Tampak fraktur os maxilla kiri.
Tampak perselubungan di sinus maxillaris kiri.
Craniocerebral space tak tampak kelainan.
Calvaria intak.
Kesimpulan: Fraktur os maxilla kiri, hematosinus kiri.

VII.

ASSESSMENT II
Commotio Cerebri GCS E3V1M5
Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV
Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif
Fraktur ZMC (S)

VIII.

PLANNING II
TS Bedah Saraf

: Konservatif

TS Orhopaedi

: Immobilisasi dengan Splint


Pro ORIF Elektif

TS Bedah Platik
IX.

: Pro ORIF Elektif

PROGNOSIS
A Ad vitam

: dubia ad bonam

B Ad sanam

: dubia ad bonam

C Ad fungsionam

: dubia ad malam

Tanggal
Subyektif
Obyektif

Pemeriksaan
Penunjang
Assesment

26 Oktober 2013
Kesadaran Menurun GCS E3V1M5

27 Oktober 2013
Kesadaran Menurun GCS E3V2M5, pusing

KU: tampak sakit sedang, somnolen


T : 110/70
Rr : 30x/menit
N : 68x/menit
Suhu : 36,5C
Mata: CP (-/-), SI(-/-)
Leher: KGB tidak membesar.
Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

KU: tampak sakit sedang, somnolen


T : 116/60
Rr : 26x/menit
N : 73x/menit
Suhu : 36,5C
Mata: CP (-/-), SI(-/-)
Leher: KGB tidak membesar.
Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (+)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: terbatas karena nyeri

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (+)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)


Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)


Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (+)
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karenanyeri

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (+)
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karenanyeri

Terlampir

Terlampir

1. Commotio cerebri GCS E3V1M5

1.Commotio Cerebri GCS E3V1M5


2.Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV
3.Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah
comminutif
4.Fraktur ZMC (S)

2.Suspect fraktur collum femur (S)


3.Suspect fraktur femur (S)
Planning

1.CT Scan Kepala


2.Rotgen Pelvis sinistra AP, Femur sinistra
AP/Lat
3.Cek darah rutin, Ur/Cr

Terapi

- Cek Darah Rutin pre OP, Ur/Cr, OT/PT\


- Balance cairan per 2 jam
- KUVS per 2 jam
-Konsul TS Orthopaedi, Bedah Saraf, Bedah
Plastik, Anestesi, Jantung.

-MRS HCU Bedah

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

Tanggal
Subyektif
Obyektif

Pemeriksaan
Penunjang
Assesment

Planning

Terapi

28 Oktober 2013

29 Oktober 2013

Kesadaran Menurun GCS E4V3M5, pusing


KU: tampak lemas, somnolen
T : 126/73
Rr : 24x/menit
N : 79x/menit
Suhu : 36,7C
Mata: CP (-/-), SI(-/-)
Leher: KGB tidak membesar.
Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

Kesadaran Menurun GCS E4V3M5, pusing


KU: tampak lemas, apatis
T : 111/67
Rr : 22x/menit
N : 64x/menit
Suhu : 36,3 C
Leher: KGB tidak membesar.
Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (+)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: terbatas karena nyeri

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (-)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: -

Regio Cruris (S)


Look: oedem (+), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karena nyeri

Regio Cruris (S)


Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: -

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (+)
Feel: NVD (-)
ROM: Terbatas karenanyeri

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (-)
Feel: NVD (-)
ROM: -

Terlampir

Terlampir

1.Commotio Cerebri GCS E3V1M5


2.Close Fraktur Collum Femur (S) Garden
IV
3.Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah
comminutif
4.Fraktur ZMC (S)
Cek Darah rutin Post OP
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam

1.Commotio Cerebri GCS E3V1M5


2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur
(S) Garden IV DPH I
3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3
tengah comminutif DPH I
4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH I
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

-Phenitoin 50 mg/ 12 jam

Tanggal
Subyektif
Obyektif

Pemeriksaan
Penunjang
Assesment

Planning
Terapi

30 Oktober 2013

31 Oktober 2013

Kesadaran Menurun GCS E4V4M5

Kesadaran Menurun GCS E4V4M5

KU: tampak lemas, apatis


T : 127/75
Rr : 24x/menit
N : 67x/menit
Suhu : 36,4 C

KU: tampak lemas


T : 123/72
Rr : 23x/menit
N : 62x/menit
Suhu : 36,8 C

Leher: KGB tidak membesar.


Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

Leher: KGB tidak membesar.


Cor: IC tak tampak, ICtak kuat angkat, Batas
jantung kesan melebar ke caudolateranormal, BJ III murni, intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo: Pengembangan dada kanan=kiri, fremitus
raba kanan=kiri, sonor/sonor, SDV(+/+), ST (-/-)
Abdomen: DP//DD, bising usus (+) normal,
tympani
Akral dingin Oedem:

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (-)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: -

Regio Femur (S)


Look: Oedem (+), angulasi (-)
Feel: Nyeri tekan (+), krepitasi (-),luka (-),kulit
teraba dingin (-)
ROM: -

Regio Cruris (S)


Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: -

Regio Cruris (S)


Look: oedem (-), vulnus terjahit panjang 4 cm
Feel: NVD (-)
ROM: -

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (-)
Feel: NVD (-)
ROM: -

Regio Ankle (S)


Look: Oedem (-)
Feel: NVD (-)
ROM: -

Terlampir

Terlampir

1.Commotio Cerebri
2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum
Femur (S) Garden IV DPH II
3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3
tengah comminutif DPH II
4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH II
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam
-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

1.Commotio Cerebri
2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur
(S) Garden IV DPH III
3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3
tengah comminutif DPH III
4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH III
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam
-Infus NaCl 0.9% 20 tpm

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi ketorolac 30 mg /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

-Injeksi Piracetam 3 gr /8jam

TINJAUAN PUSTAKA
A. CEDERA KEPALA

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan
lalulintas.1
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:

Simple head injury

Commotio cerebri

Contusion cerebri

Laceratio cerebri

Basis cranii fracture


Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan.

Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.


1. Mekanisme dan Patologi

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus
dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural,
subdural dan intraserebral.

Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan

fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar,
akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut coup
atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup)2,3
2. Patofisiologi

Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang


dapat menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga

jaringan otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan


dan kemudian meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa,
yang terjadi karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi
paru atau karena aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok.
Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas,
gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga
oksigenisasi cukup.1,2
3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya.


Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system
GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Motorik)4
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan

Atas perintah

Rangsangan nyeri

Tidak bereaksi

2. Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik

Jawaban kacau

Kata-kata tidak berarti

Mengerang

Tidak bersuara

3. Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah

Reaksi setempat

Menghindar

Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak bereaksi

4. Pembagian Cedera Kepala1

a. Simple Head Injury


Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat


simptomatik dan cukup istirahat.
b. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari
untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.
c. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan
di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,
meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.

Yang

penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala


yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan

gaya kompresi yang destruktif.

Akselerasi yang kuat berarti pula

hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak


terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan
asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan
intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran
puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain
syndrome.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang
beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh
darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah
menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah.
Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan
gangguan pernafasan bisa timbul.
d. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio

dapat

dibedakan

atas

laceratio

langsung

dan

tidak

langsung.Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang


disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada
fraktur depressed terbuka.

Sedangkan laceratio tidak langsung

disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.


e. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan
fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana
yang terkena. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.


Komplikasi :

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi


terapinya harus disesuaikan.
mencegah infeksi.

Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang

berlangsung lebih dari 6 hari.


Adapun pembagian cedera kepala lainnya2,3:

Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio


dan Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih
dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)


o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan
anggota gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)


o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang
lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.

5. Pemeriksaan Penunjang

Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:


a. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka
pendek.
b. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan
sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma
c. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
d. Rontgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak
6. Komplikasi

Jangka pendek :
A. Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa
jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan
darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu

menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini
adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Lucid interval
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil
melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tandatanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon
meninggi dan refleks patologik positif.
CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
LCS : jernih
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
B. Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins
dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hiperdens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan
parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar
sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens terlihat dari midline yang bergeser

Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam


otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan
subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
C. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma
kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,
perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai
dengan fungsi bagian otak yang terkena.
D. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,
hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat.
Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun
normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

TIK meningkat

Cephalgia memberat

Kesadaran menurun

Jangka Panjang :
a. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan
N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.
b. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan
tingkah

laku,

misalnya:

menjadi

intelegensia, menarik diri, dan depresi.

belajar, mudah lupa, gangguan


kekanak-kanakan,

penurunan

7. Terapi1,2

CKR :

Perawatan selama 3-5 hari

Mobilisasi bertahap

Terapi simptomatik

Observasi tanda vital

CKS :

Perawatan selama 7-10 hari

Anti cerebral edem

Anti perdarahan

Simptomatik

Neurotropik

Operasi jika ada komplikasi

CKB :

Seperti pada CKS

Antibiotik dosis tinggi

Konsultasi bedah saraf

8. Prognosa

Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis.

B. FRAKTUR FEMUR

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari tulang, sering diikuti oleh


kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh
darah, otot dan persarafan.Dengan bertambahnya usia, angka kejadian fraktur
femur meningkat secara eksponensial. Meskipun dapat dipulihkan dengan
operasi, fraktur femur menyebabkan peningkatan biaya kesehatan.5

Sampai saat ini, fraktur femur makin sering dilaporkan dan masih tetap
menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Walaupun penatalaksanaan di bidang
orthopaedi dan geriatri telah berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu
tahun pasca trauma masih tetap tinggi, berkisar antara 10 sampai 20 persen.
Sehingga keinginan untuk mengembangkan penanganan fraktur ini masih tetap
tinggi. Penatalaksanaan fraktur femur harus dilaksanakan secepat dan sebaik
mungkin karena jika ada gangguan suplai darah ke caput femur yang tidak
dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan
terjadinya avaskular nekrosis.6
Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam6 :
a.

Fraktur Collum Femur


Fraktur collum femur merupakan cedera yang banyak dijumpai
pada pasien usia tua dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas. Dengan
meningkatnya derajat kesehatan dan usia harapan hidup, angka kejadian
fraktur ini juga ikut meningkat. Fraktur ini merupakan penyebab utama
morbiditas pada pasien usia tua akibat keadaan imobilisasi pasien di tempat
tidur. Rehabilitasi membutuhkan waktu berbulan-bulan. Imobilisasi
menyebabkan pasien lebih senang berbaring sehingga mudah mengalami
ulkus dekubitus dan infeksi paru. Angka mortalitas awal fraktur ini adalah
sekitar 10%. Bila tidak diobati, fraktur ini akan semakin memburuk. Fraktur
collum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering pada
wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses
penuaan dan osteoporosis pasca menopause.5
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan
oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak
dari tungkai bawah, dibagi dalam :

Fraktur intrakapsuler (Fraktur collum femur)

Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur)

Gejala klinis dari fraktur collum femur ini adalah nyeri terus
menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dismobilisasi. Dapat juga
terjadi deformitas dimana daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen
tulang berpindah dari tempatnya. Terjadi perubahan kesimbangan dan
kontur terjadi, seperti :
-

Rotasi pemendekan tulang


Penekanan tulang.
Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di

atas dan bawah tempat fraktur. Dapat juga ditemukan krepitasi, teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Terjadi pembengkakan lokal
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. Bengkak muncul secara
cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur. Selain itu juga terdapat ekimosis dari perdarahan
subkutan, spasme otot (spasme involunters dekat fraktur) , kehilangan
sensasi, pergerakan abnormal, dan syok hipovolemi.6
2. Fraktur Subtrochanter Femur
Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter

minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan
mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi : tertutup dan terbuka. Ketentuan fraktur

femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar
dibagi dalam tiga derajat.
4. Fraktur Supracondyler Femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma
langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress
valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
5. Fraktur Intercondyler
Biasanya fraktur intercondyler diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
6. Fraktur Condyler Femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi
disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis ini
meliputi identitas pasien, usia, pekerjaan, dll. Setelah itu menanyakan keluhan
utama pasien. Pada scenario ini terjadi gangguan system musculoskeletal,
biasanya pada system ini keluhan yang terjadi adalah nyeri hebat yang dirasakan
oleh pasien. Perlu ditanyakan lokasi di mana terjadinya nyeri, onset, durasi, sudah
berapa lama mengalami nyeri dan apakah ada factor yang memperberat. Pasien
juga harus menceritakan bagaimana kejadian awal hingga terjadinya nyeri
tersebut. Dokter juga harus menanyakan apakah ada gejala dan keluhan penyerta
lain seperti demam, penurunan BB, mudah lelah, dan gejala sistemik lainnya.
Selain itu harus juga ditanyakan kepada pasien tentang riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat traum, aktivitas dan diet sehari-hari.5,6
Pemeriksaan Fisik
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak mampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri,

pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak,


krepitasi atau datang dengan gejala lain.
Pada pemeriksaan awal penderita perlu diperhatikan adanya syok, anemia
atau perdarahan. Sangat penting juga untuk diselidiki apakah ada kerusakan pada
organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam
rongga thoraks, panggul dan abdomen.6,7
a. Inspeksi (look)
Pada inspeksi perlu dibandingkan ekstremitas yang sakit dengan bagian
yang sehat. Perhatikan posisi anggota gerak secara keseluruhan dan dilihat
adanya

tanda-tanda

anemia

bila

terjadi

pendarahan.

Harus

juga

diketahui apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Perhatikan adanya deformitas
berupa angulasi, rotasi dan pemendekan. Lalu perlu dilakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.
b.

Palpasi (feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya


mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
-

Temperatur setempat yang meningkat

Nyeri tekan. Nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hatihati

Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri


radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota
gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada
bagian distal daerah trauma, temperatur kulit

Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya


perbedaan panjang tungkai.
c. Pergerakan (move)
Periksa pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan

secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami

trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping
itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pemeriksaan secara radiologi.
Proyeksi anteroposterior dan lateral, kadang-kadang diperlukan axial. Pada
proyeksi anteroposterior, kadang-kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur
(pada kasus yang impacted). Untuk itu perlu ditambah dengan pemeriksaan
proyeksi axial.
Foto Rontgen
Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus
yang impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser (stadium I
dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang
bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.
Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah
pertama dalam pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film
x-ray untuk menyingkirkan setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan
lokasi dan luasnya fraktur. Adanya pembentukan tulang periosteal, sclerosis,
kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan fraktur. Radiografi mungkin
menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan lokasi untuk
jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut
Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher

femoralis. Jika tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan.8,9

Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif :
Proteksi
Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan
kedudukan baik.

Immobilisasi saja tanpa reposisi


Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur
dengan kedudukan baik.

Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips


Reposisi dapat dengan anestesi umum atau anestesi lokal. Fragmen distal
dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen proksimal dan
dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips.

Traksi
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau
dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit
(traksi Hamilton russel / traksi Bryant)
Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk anak-anak
waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitive.
Tetapi bila tidak, maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang
dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.
2. Terapi operatif:
Terapi operatif dengan reposisi secara terttutp dengan bimbingan radiologis :
a. Reposisi tertutup- fiksasi externa

Setelah reposisi baik berdasarkan control radiologi intraoperatif maka


dipasang alat fiksasi externa. Fiksasi externa dapat model sederhana seperti
Roger Anderson, Judet, screw dengan bone cement atau llizarov yang lebih
canggih.
b. Reposisi tertutup dengan control radiologis diikut fiksasi interna
Misalnya : reposisi tertutup fraktur supra condylair humerus pada anak
diikuti dengan pemasangan parallel pins. Reposisi tertutup fraktur collum
pada anak diikuti planning dan immobilisasi gips. Cara ini sekarang terus
diekmbangkan menjadi close nailing: pada fraktur femur dan tibia, yiatu
pemasangan fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.
Terapi operatif dengan membuka frakturnya :
a. Reposisi terbuka dan fiksasi interna
ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)
Keuntungan cara ini adalah :
Reposisi anatomis
Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar
Indikasi ORIF :
Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculer nekrosis tinggi
Misalnya : fraktur talus, fraktur collum femur
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
Misalnya : fraktur avulsi, fraktur dislokasi
Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
Misalnya : fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur antebrachii,
fraktur pergelangan kaki
Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi
Misalnya : fraktur femur.
b. Excicional arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi. Misalnya : fraktur
caput radii pada orang dewasa, fraktur collum femur yang dilakukan
operasi Girldlestone.
c. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis

Dilakukan excise caput femur dan pemasangan endoprosthesis Moore atau


yang lainnya.7,9

C.

FRAKTUR ZYGOMATICOMAXILLARIS COMPLEX


1. Definisi
Fraktur zygomatic complex merupakan fraktur yang paling sering
pada trauma maksilofasial. Zygomatic complex bertanggung jawab untuk
kontur wajah bagian tengah dan untuk perlindungan dari isi orbital. Fraktur
zygomatic complex muncul biasanya pada dewasa muda. Fraktur zigoma
merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya
insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih
menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1
dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah
dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Zigoma mempunyai peran
yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi
zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu
trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara
adekuat.10

2. Anatomi dan Klasifikasi

Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial


Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di
pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris
bagian frontal dan arkus zigomatikus. Fraktur Maxilla dari fraktur simpel
dentoalveolar hingga fraktur comminutif midface, tergantung pada kekuatan
benturan secara langsung. Pada fraktur maksilari komplit, dinding penopang
vertikal terpecah. Fraktur maksila dapat juga terjadi langsung pada sagital,
biasanya dimulai pada perbatasan hingga kaninus.
Klasifikasi Le Fort10,11:
a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).
Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh

prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.


Letak: sepertiga bawah.
Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah, oedem
muka, maloklusi.

Gambar 2. Le Fort I Fracture


b. Le Fort II (fraktura piramidal).
Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk piramid,
Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital
dengan
menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.
Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/ hematom
periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan perdarahan
subkonjungtiva,

oedem

muka,

pendataran

nasal,

telecanthus,

epistaksis atau CSF rhinorrhea, unstable maxilla dan hidung

Gambar 2. Le Fort II Fracture


c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).
merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis tengkorak
dimana letaknya sepertiga atas dari facial,
bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.
memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal
Muka datar seperti piring (Dish face deformity), epistaksis, CSF
rhinorrhea , Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma, obstruksi jalan
napas berat, maloklusi, battle sign (perdarahan retroauriculair),
Raccoon eyes, CSF otorrhea, hemotympani

Gambar 3. Le Fort III Fracture


3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pada
pemeriksaan

fraktur multipel wajah

dilakukan

jalan nafas, pernafasan serta sirkulasi darah. Keterbatasan

gerakan rahang dan pendataran pipi, epistaksis unilateral merupakan akibat

dari fraktur maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma
seperti defek rima infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma
dapat merupakan tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting
dengan menilai adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis
subkonjungtiva. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma,
parestesia

terjadi

zigomatikotemporal

bila

saraf

infraorbita,

terkena trauma serta

zigomatikofasial

krepitasi

atau

pada emfisema

subkutis.
Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan
menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia
pada daerah infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura
zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus
lateral dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os
zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral
dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan
edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot
ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang. Ketika
zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os temporal dapat
menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus temporalis
sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup mulut.11
4. Pemeriksaan Penunjang
Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d
reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.
Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga
dapat

membantu

dalam

keakuratan

rencana

preoperatif.Computed

tomography (CT) adalah teknologi yang dapat memperlihatkan visualisasi


dari jaringan keras dan lunak pada wajah. Dilaporkan bahwa CT dapat
mencapai nilai yang lebih akurat dalam diagnosis fraktur tulangmidfasial.
Teknik alternatif lain adalah pemeriksaan ultrasonografi. Ultrasonografi
mudah dan cepat untuk dilakukan, selain itu bersifat noninvasif. CT telah

direkomendasikan untuk evaluasi preoperatif pada trauma zygomaticus


sebagai metode diagnostik standar, terutama dalam kasus-kasus rumit
dengan cedera intrakranial cedera atau ketika ada kebutuhan untuk evaluasi
saraf optik, karena kedua hal tersebut tidak dapat secara memadai dilihat
oleh ultrasonografi. Sementara ultrasonografi telah terbukti menjadi alat
yang

berharga

dalam

mendeteksi

fraktur

tanpa

komplikasi

di

zygomaticofrontal, arcus zygomaticus dan margio infraorbital, tapi hasil


untuk dasar orbita dan dinding medial orbitatetap tidak memuaskan. Selain
itu, USG lebih dapat diandalkan dalam menilai keadaan pascaoperasi,
sehingga dapat menurunkan biaya dan paparan radiasi.12
Foto polos dari anteroposterior (AP)
Foto AP: walaupun garis patah kadang tidak jelas, dengan
membandingkan sisi kontralateral, bisa ditemui diskontinuitas tulang
secara radiologis.
Waters
ProyeksiWaterbiasanyamenampilkan

opaquesinus

maxillary,

dengan keterkaitan frakturlateraldindingsinus maksilarisyang terlibat

CT Scan
CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang
muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat
dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan
lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D

mungkin membantu dalam visualisasi besar kominuta, zygomatico, dan


kompleks fraktur yang melibatkan beberapa rangkaian,khususnya
sehubungan dengan midface. Gambar 3D memberikan informasi hanya
mengenai arsitektur. Untuk jeratan lemak dan otot, encephaloceles,
hematoma, dan cedera terkait harus dinilai radiografi melalui CT Scan
2D.
Pada kebanyakan pasien dengan dampak wajah yang signifikan, CT
scan harus dilakukan. CT scan harus dilakukan dengan potongan aksial
tidak lebih besar dari 3 mm terpisah, dari atas tempurung kepala melalui
bagian bawah mandibula.. Secara umum, CT scan dapat diterima untuk
diagnosis pada semua fraktur wajah, selain mandibula. Meskipun CT
scan pada dasarnya 100% sensitif dan spesifik untuk fraktur, namun tidak
memberikan informasi rinci tentang struktur gigi. Hal ini paling penting
di daerah sudut mandibula dengan mengenai kondisi geraham ketiga.
Informasi mengenai kerusakan akar gigi dan posisi relatif terhadap patah
tulang sangat penting dalam perencanaan dan pengobatan patah tulang
sudut.11,13
5. Rencana Pencegahan
a. Penanganan awal
Stabilkan Pasien
Primary survey: Airway, breathing, circulation, dan selanjutnya
tetap diawasi. Fraktur mandibula bilateral dan maxilla harus
distabilkan agar tidak mengganggu jalan napas. Apabila ada

perdarahan lakukan penjahitan.


Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus
dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/ tamponade

hidung.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,
telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula,
rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury)
dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) pada fraktur tulang muka.

Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi

definituf.
Identifikasi cedera
Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-

dimensi)
Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah
saraf, bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk

persiapan operasi).
Konsultasikan penyakit menular atau infeksi
Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak

dan mencegah kontraktur bekas luka sebelum rekonstruksi utama.


Lakukan review menyeluruh dan imaging serta tentukan perawaan
yang akan dilakukan.

b. Penanganan lanjut

Ganti komponen jaringan lunak yang hilang

Lakukan rekonstruksi utama dan manajemen fraktur

Memasukkan agresif fisik / pengobatan dgn memberi pekerjaan


tertentu

Lakukan rekonstruksi sekunder (misalnya, implan, vestibuloplasty)

Lakukan rekonstruksi tersier (misalnya, masalah kosmetik, bekas


luka revisi)

6. Prognosis
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik.
Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya bisa jadi masalah.
Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan
bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.
Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan
helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat
menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan
bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma

wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan
obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir
kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai
usaha pencegahan trauma maxillofacial.12

DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
1981
2. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah
Mada University Press, 1991
3. Staff pengajar bagian ilmu bedah FKUI Jakarta. Kumpulan kuliah ilmu bedah.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.484-7.
4. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
5. Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor :
Edi Nugroho 1999.
6. Harrelson J.M, Ortopedi Umum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sabiston.
Editor : dr. Devi H, Alih bahasa : De Petrus A, EGC, Jakarta, 1994.
7. Jergesen F. H., Ortopedi. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery), Editor :
Theodore R. Schrock, Alih bahasa : Adji Dharma, Petrus, Gunawan, EGC,
Jakarta, 1995.
8. Rasad, S. Radiologi Diagnostik.Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006.p.31.

9. Rasjad C., Pengantar Ilmu Beadh Ortopedi, Bintang Lamumpatue, Ujung


Pandang, 1992
10. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj
et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003
11. Prasetiyono A. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun
IX hal 41-50.
12. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.
oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005
13. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures.
Dalam : Miloro M et al. Petersons principles of Oral and Maxillofacial
Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004.

Anda mungkin juga menyukai