Kasus RGB Kirim
Kasus RGB Kirim
oleh:
Alva Putri Deswandari
Raja Amelia Putriana
Dwi Rachmawati H
Nimfa Christina RW
Prisca Priscilla
Gia Noor Pratami
Raden Artheswara S
Gloria K. Evasari
RatihPuspa W
Muhammad David P
Erickson
Ferika Brillian S
Dicky Budi Nurcahya
Diwiasti F Yasmin
Antonius Bagus Budi K
Annisa Budiastuti
Hanifah Astrid E.
Nimas Ayu Suri P
Pratiwi Prasetya P
Irene Yunita P
Bobbi Juni Saputra
Pembimbing:
dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013
STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS PASIEN
II.
Nama
: Nn. SN
Umur
: 26 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 26 Oktober 2013
Tanggal Periksa
: 28 Oktober 2013
No. RM
: 01-22-55-34
ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Empat hari sebelum masuk rumah sakit, pasien sedang
mengendarai sepeda motor dengan dibonceng,pasien ditabrak truk dari
arah berlawanan. Setelah kejadian, pasien mengalami penurunan
kesadaran, kejang (-), muntah (-). Penurunan kesadaran pada pasien
dirasakan kurang dari 15 menit, setelah sadar pasien agak susah diajak
berkomunikasi dan mengeluh kepalanya pusing, pusing sifatnya menetap,
tidak membaik dengan perubahan posisi.
Selain itu pasien mengeluh nyeri pada kaki kiri,nyeri dirasakan
seperti tertusuk dan menjalar, nyeri bersifat terus menerus, tidak
berkurang dengan istirahat, sehingga membuat pasien tak bisa
menggerakkan kaki kiri sama sekali. Oleh penolong pasien dibawa ke RS
Rembang dilakukan injeksi obat, dirontgen kaki, CT Scan Kepala, dan
dirawat selama 4 hari, Atas permintaan keluarga pasien dirujuk ke RSUD
Dr. Moewardi dengan diagnosis CKB dan Fraktur Femur.
C. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat alergi obat/makanan
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat mondok
: disangkal
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
: disangkal
Riwayat mondok
: disangkal
E. Anamnesa sistemik
1. Sistem saraf pusat
kejang (-).
2. Mata :
pandangan
kunang (-),
dobel
(-),
pusing
(+),
berkunang-
berputar
(-),
pandangan kabur(-).
3. Hidung :
mimisan (-), pilek (-).
4. Telinga :
pendengaran berkurang (-),
berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-).
5. Mulut :
sariawan (-), luka pada sudut
bibir (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),
gigi tanggal (-)
6. Tenggorokan :
napas
napas
berdebar-debar (-)
saat
beraktivitas
(-),
Nyeri
nyeri
saat
luka
(+),
kejang
(-),
kulit
kuning
PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Disability
e. Exposure
Secondary Survey
1. Keadaan Umum
- Keadaan umum
: sedang
- Derajat kesadaran
: somnolen
- Derajat gizi
2. Kulit
Kulit sawo matang, ujud kelainan kulit (-), hiperpigmentasi (-)
3. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut kering (-), oedem (+) lihat status lokalis, jejas
(+) lihat status lokalis
4. Mata
Oedema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)
5. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi(-/-)
6. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-)
7. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)
8. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-)
9. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-), JVP tidak
meningkat
10. Toraks (lihat status lokalis)
Cor
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo
: Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Sonor/Sonor
Auskultasi
11. Abdomen
Inspeksi
: distended (-)
Palpasi
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
12. Ekstremitas
Akral dingin
Oedem
Ikterik
13. Muskuloskeletal
Nyeri (+) di daerah kaki kiri
14. Genital
BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
15. Status Lokalis
Regio Frontalis
Look
Feel
Feel
Movement
Feel
: NVD (-)
Movement
IV.
Look
: Oedem (+)
Feel
: NVD (-)
Move
ASSESSMENT I
Commotio cerebri GCS E3V1M5
Suspect fraktur collum femur (S)
PLANNING I
MRS HCU Bedah
Infus NaCl 0.9% 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam
Injeksi ketorolac 30 mg /8jam
Injeksi Piracetam 3 gr /8jam
Phenitoin 50 mg/ 12 jam
CT Scan Kepala
Rotgen Pelvis sinistra AP, Femur sinistra AP/Lat
Cek darah rutin III, PT/APTT, HbsAg
Konsul TS Anestesi, Bedah Saraf, Orthopaedi, Bedah Plastik
VI.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil pemeriksaan laboratorium Patologi Klinik 26 Oktober 2013
Parameter
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
PT
APTT
HBsAg
Hasil
14,6
44
Nilai Normal
12,3-15,35
33-45
Satuan
g/dl
%
4,87
15,5
3.8-5.8
4,5-11,5
106/L
103/L
226
150-450
103/L
10,8
36,6
Nonreactive
10-15,00
20-40
detik
Detik
Tampak fraktur collum femur dan fraktur comminutif femur kiri 1/3
tengah.
Trabekulasi tulang di luar lesi baik.
VII.
ASSESSMENT II
Commotio Cerebri GCS E3V1M5
Close Fraktur Collum Femur (S) Garden IV
Close Fraktur Femur (S) 1/3 tengah comminutif
Fraktur ZMC (S)
VIII.
PLANNING II
TS Bedah Saraf
: Konservatif
TS Orhopaedi
TS Bedah Platik
IX.
PROGNOSIS
A Ad vitam
: dubia ad bonam
B Ad sanam
: dubia ad bonam
C Ad fungsionam
: dubia ad malam
Tanggal
Subyektif
Obyektif
Pemeriksaan
Penunjang
Assesment
26 Oktober 2013
Kesadaran Menurun GCS E3V1M5
27 Oktober 2013
Kesadaran Menurun GCS E3V2M5, pusing
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Terlampir
Terlampir
Terapi
Tanggal
Subyektif
Obyektif
Pemeriksaan
Penunjang
Assesment
Planning
Terapi
28 Oktober 2013
29 Oktober 2013
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Terlampir
Terlampir
Tanggal
Subyektif
Obyektif
Pemeriksaan
Penunjang
Assesment
Planning
Terapi
30 Oktober 2013
31 Oktober 2013
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Regio Frontalis
Look: vulnus terjahit, panjang 3 cm
Terlampir
Terlampir
1.Commotio Cerebri
2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum
Femur (S) Garden IV DPH II
3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3
tengah comminutif DPH II
4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH II
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam
-Infus NaCl 0.9% 20 tpm
1.Commotio Cerebri
2. Post ORIF ai Close Fraktur Collum Femur
(S) Garden IV DPH III
3. Post ORIF ai Close Fraktur Femur (S) 1/3
tengah comminutif DPH III
4. Post reduction ai Fraktur ZMC (S) DPH III
Balance cairan per 2 jam
KUVS per 2 jam
-Infus NaCl 0.9% 20 tpm
TINJAUAN PUSTAKA
A. CEDERA KEPALA
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan
lalulintas.1
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
Commotio cerebri
Contusion cerebri
Laceratio cerebri
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus
dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural,
subdural dan intraserebral.
fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar,
akan terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut coup
atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (contra coup)2,3
2. Patofisiologi
Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri
Tidak bereaksi
Orientasi baik
Jawaban kacau
Mengerang
Tidak bersuara
Reaksi setempat
Menghindar
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak bereaksi
Tidak pingsan
Yang
dapat
dibedakan
atas
laceratio
langsung
dan
tidak
Epistaksis
Rhinorrhoe
Gangguan pendengaran
5. Pemeriksaan Penunjang
Jangka pendek :
A. Hematom Epidural
Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa
jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti
nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan
darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu
menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini
adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Lucid interval
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi hemiparese
Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil
melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tandatanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon
meninggi dan refleks patologik positif.
CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
LCS : jernih
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
B. Hematom subdural
Letak : di bawah duramater
Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins
dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
Ada bagian hiperdens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan
parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar
sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens terlihat dari midline yang bergeser
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
a. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan
N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.
b. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan
tingkah
laku,
misalnya:
menjadi
penurunan
7. Terapi1,2
CKR :
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
CKS :
Anti perdarahan
Simptomatik
Neurotropik
CKB :
8. Prognosa
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya
trauma kapitis.
B. FRAKTUR FEMUR
Sampai saat ini, fraktur femur makin sering dilaporkan dan masih tetap
menjadi tantangan bagi ahli orthopaedi. Walaupun penatalaksanaan di bidang
orthopaedi dan geriatri telah berkembang, akan tetapi mortalitas dalam satu
tahun pasca trauma masih tetap tinggi, berkisar antara 10 sampai 20 persen.
Sehingga keinginan untuk mengembangkan penanganan fraktur ini masih tetap
tinggi. Penatalaksanaan fraktur femur harus dilaksanakan secepat dan sebaik
mungkin karena jika ada gangguan suplai darah ke caput femur yang tidak
dikontrol dengan baik, dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan
terjadinya avaskular nekrosis.6
Klasifikasi fraktur femur dapat dibagi dalam6 :
a.
Gejala klinis dari fraktur collum femur ini adalah nyeri terus
menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dismobilisasi. Dapat juga
terjadi deformitas dimana daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen
tulang berpindah dari tempatnya. Terjadi perubahan kesimbangan dan
kontur terjadi, seperti :
-
atas dan bawah tempat fraktur. Dapat juga ditemukan krepitasi, teraba akibat
gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Terjadi pembengkakan lokal
dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. Bengkak muncul secara
cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah dalam jaringan yang
berdekatan dengan fraktur. Selain itu juga terdapat ekimosis dari perdarahan
subkutan, spasme otot (spasme involunters dekat fraktur) , kehilangan
sensasi, pergerakan abnormal, dan syok hipovolemi.6
2. Fraktur Subtrochanter Femur
Fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter
minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan
mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu :
tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor
tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor
tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas trochanterminor
3. Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota kota besar atau jatuh dari ketinggian, patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak,
mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah satu klasifikasi fraktur
batang femur dibagi berdasarkan adanya luka yang berhubungan dengan
daerah yang patah. Dibagi menjadi : tertutup dan terbuka. Ketentuan fraktur
femur terbuka bila terdapat hubungan antara tulang patah dengan dunia luar
dibagi dalam tiga derajat.
4. Fraktur Supracondyler Femur
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma
langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress
valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
5. Fraktur Intercondyler
Biasanya fraktur intercondyler diikuti oleh fraktur supracondular, sehingga
umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
6. Fraktur Condyler Femur
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan adduksi
disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas.
Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Anamnesis ini
meliputi identitas pasien, usia, pekerjaan, dll. Setelah itu menanyakan keluhan
utama pasien. Pada scenario ini terjadi gangguan system musculoskeletal,
biasanya pada system ini keluhan yang terjadi adalah nyeri hebat yang dirasakan
oleh pasien. Perlu ditanyakan lokasi di mana terjadinya nyeri, onset, durasi, sudah
berapa lama mengalami nyeri dan apakah ada factor yang memperberat. Pasien
juga harus menceritakan bagaimana kejadian awal hingga terjadinya nyeri
tersebut. Dokter juga harus menanyakan apakah ada gejala dan keluhan penyerta
lain seperti demam, penurunan BB, mudah lelah, dan gejala sistemik lainnya.
Selain itu harus juga ditanyakan kepada pasien tentang riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat traum, aktivitas dan diet sehari-hari.5,6
Pemeriksaan Fisik
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik
yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidak mampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Penderita biasanya datang karena adanya nyeri,
tanda-tanda
anemia
bila
terjadi
pendarahan.
Harus
juga
diketahui apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau terbuka. Perhatikan adanya deformitas
berupa angulasi, rotasi dan pemendekan. Lalu perlu dilakukan survei pada
seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.
b.
Palpasi (feel)
Nyeri tekan. Nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hatihati
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami
trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri
hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping
itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh
darah dan saraf.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pemeriksaan secara radiologi.
Proyeksi anteroposterior dan lateral, kadang-kadang diperlukan axial. Pada
proyeksi anteroposterior, kadang-kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur
(pada kasus yang impacted). Untuk itu perlu ditambah dengan pemeriksaan
proyeksi axial.
Foto Rontgen
Pada proyeksi AP kadang tidak jelas ditemukan adanya fraktur pada kasus
yang impacted, untuk ini diperlukan pemerikasaan tambahan proyeksi axial.
Pergeseran dinilai melalui bentuk bayangan tulang yang abnormal dan tingkat
ketidakcocokan garis trabekular pada kaput femoris dan ujung leher femur.
Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tidak bergeser (stadium I
dan II Garden ) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang
bergeser sering mengalami non union dan nekrosis avaskular.
Radiografi foto polos secara tradisional telah digunakan sebagai langkah
pertama dalam pemeriksaan pada fraktur tulang pinggul. Tujuan utama dari film
x-ray untuk menyingkirkan setiap patah tulang yang jelas dan untuk menentukan
lokasi dan luasnya fraktur. Adanya pembentukan tulang periosteal, sclerosis,
kalus, atau garis fraktur dapat menunjukkan tegangan fraktur. Radiografi mungkin
menunjukkan garis fraktur pada bagian leher femur, yang merupakan lokasi untuk
jenis fraktur. Fraktur harus dibedakan dari patah tulang kompresi, yang menurut
Devas dan Fullerton dan Snowdy, biasanya terletak pada bagian inferior leher
femoralis. Jika tidak terlihat di film x-ray standar, bone scan atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) harus dilakukan.8,9
Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif :
Proteksi
Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan
kedudukan baik.
Traksi
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau
dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai traksi kulit
(traksi Hamilton russel / traksi Bryant)
Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk anak-anak
waktu dan beban tersebut mencukupi untuk dipakai sebagai traksi definitive.
Tetapi bila tidak, maka diteruskan dengan immobilisasi gips. Untuk orang
dewasa traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.
2. Terapi operatif:
Terapi operatif dengan reposisi secara terttutp dengan bimbingan radiologis :
a. Reposisi tertutup- fiksasi externa
C.
oedem
muka,
pendataran
nasal,
telecanthus,
dilakukan
dari fraktur maxilla atau dasar orbita. Status lokalis regio yang trauma
seperti defek rima infraorbita, sutura frontozigoma dan penyokong zigoma
dapat merupakan tanda defisiensi malar. Pemeriksaan mata sangat penting
dengan menilai adanya diplopia, kerusakan periorbita atau ekimosis
subkonjungtiva. Pada palpasi didapatkan adanya nyeri di daerah zigoma,
parestesia
terjadi
zigomatikotemporal
bila
saraf
infraorbita,
zigomatikofasial
krepitasi
atau
pada emfisema
subkutis.
Fraktur pada zygoma dapat melibatkan foramen infraorbita dan
menekan nervus infraorbita yang bermanifestasi klinis sebagai parestesia
pada daerah infraorbita. Perubahan posisi frontal dengan pemisahan sutura
zygomaticofrontalis menyebabkan penurunan atau pengenduran canthus
lateral dari kelopak mata dan bola mata. Trauma pada pipi yang menekan os
zygoma ke dalam dapat menekan dan menyebabkan fraktur dinding lateral
dan dasar orbita. Fraktur ini dapat mengakibatkan diplopia yang disebabkan
edema dan hemoragi pada otot ekstraokuler atau disebabkan terjepitnya otot
ekstraokuler atau saraf mata diantara fragmen-fragmen tulang. Ketika
zygoma mengalami penekanan dan terdepresi ke dalam, os temporal dapat
menekan prosesus koronoideus mandibula dan tendo muskulus temporalis
sehingga pasien mengalami kesulitan dalam membuka dan menutup mulut.11
4. Pemeriksaan Penunjang
Radiographi plan dan CT scan (axial section, coronal sction dan 3d
reconstruksi regio maxillofacial) sangat efektif untuk membantu diagnosis.
Rekonstruksi 3D dapat membantu menggambarkan bentuk ulang sehingga
dapat
membantu
dalam
keakuratan
rencana
preoperatif.Computed
berharga
dalam
mendeteksi
fraktur
tanpa
komplikasi
di
opaquesinus
maxillary,
CT Scan
CT Scan bisa melihat garis patah yang tidak nampak dalam foto
radiologi biasa. CT Scan 3-dimensi akan menggambarkan bentuk tulang
muka keseluruhan dan lubang tulang yang patah atau melesak dapat
dikenali dengan lebih jelas, selain itu dapat pula mengevaluasi jaringan
lunak, dikerjakan atas indikasi khusus. Meskipun demikian, gambar 3D
hidung.
Secondary survey: pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,
telinga, hidung, wajah bagian tengah (midfacial), mandibula,
rongga mulut, dan oklusi. Adanya cedera kepala (brain injury)
dapat menunda timing operasi Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) pada fraktur tulang muka.
Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi
definituf.
Identifikasi cedera
Memperoleh gambaran imaging yang diperlukan (CT scan 3-
dimensi)
Konsultasi dengan bagian yang bersangkutan, misalnya bedah
saraf, bedah tulang, jantung, rehabilitasi medik, dan anestesi untuk
persiapan operasi).
Konsultasikan penyakit menular atau infeksi
Stabilkan dasar jaringan keras untuk mendukung jaringan lunak
b. Penanganan lanjut
6. Prognosis
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik.
Jika penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya bisa jadi masalah.
Salah satu metode pencegahan trauma antara pengguna kendaraan
bermotor di sebagian besar negara di dunia adalah wajib sabuk pengaman.
Penggunaan sistem kerja air bag maupun perlengkapan keselamatan dengan
helm (pengaman kepala) yang melindungi sampai rahang bawah juga dapat
menurunkan resiko kejadian luka rahang atas pada pengguna kendaraan
bermotor. Selain itu, lebih dari separuh pasien yang menderita trauma
wajah, akibat kecelakaan lalu lintas adalah setelah penggunaan alkohol dan
obat-obatan yang menyebabkan kantuk. Edukasi untuk tidak menyetir
kendaraan dalam keadaan mengantuk dan mabuk perlu dilakukan sebagai
usaha pencegahan trauma maxillofacial.12
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta,
1981
2. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah
Mada University Press, 1991
3. Staff pengajar bagian ilmu bedah FKUI Jakarta. Kumpulan kuliah ilmu bedah.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.p.484-7.
4. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981
5. Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor :
Edi Nugroho 1999.
6. Harrelson J.M, Ortopedi Umum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Sabiston.
Editor : dr. Devi H, Alih bahasa : De Petrus A, EGC, Jakarta, 1994.
7. Jergesen F. H., Ortopedi. Dalam Ilmu Bedah (Handbook of Surgery), Editor :
Theodore R. Schrock, Alih bahasa : Adji Dharma, Petrus, Gunawan, EGC,
Jakarta, 1995.
8. Rasad, S. Radiologi Diagnostik.Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006.p.31.