Anda di halaman 1dari 5

3.

MENURUT PANDANGAN SAUDARA, BAGAIMANA KEBIJAKAN PEMERINTAH


TENTANG PENDIDIKAN ISLAM DARI SEJAK MASA KEMERDEKAAN HINGGA
SEKARANG? BAGAIMANA OTONOMI DAERAH DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM?

kebijakan diskriminatif terhadap Pendidikan Islam terjadi sejak pra


kemerdekaan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang
perkembangan pendidikan Islam dihambat dengan cara mengontrol,
mengendalikan

dan

mengawasinya

dengan

berbagai

kebijakan

diantaranya ordonansi guru agama, sekolah dan pengawasan dari


pemerintah Jepang. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran pemerintah
kolonial

terhadap

timbulnya

gerakan

perlawanan

rakyat

melawan

pemerintah kolonial yang berpusat pada lembaga-lembaga pendidikan


Islam, seperti pesantren dan madrasah.
Kebijakan pemerintah Belanda terhadap Pendidikan Islam pada
saat itu pada dasarnya bersifat menekan-diskriminatif. Hal ini disebabkan
kehawatiran pemerintah Belanda akan bangkitnya militansi kaum muslim
terpelajar dari madrasah tersebut. Oleh sebab itu Pendidikan Islam harus
dikontrol, diawasi dan dikendalikan. Salah satu kebijakan yang diberikan
adalah penerbitan Ordonansi Guru, yaitu kewajiban bagi guru-guru agama
untuk memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Akibat pemberlakuan
Ordonansi guru adalah tidak semua orang dapat menjadi guru agama dan
diperbolehkan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan meskipun dia
ahli agama. Latar belakang penerbitan Ordonansi ini adalah bersifat politis
untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak
menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman
penajajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888
merupakan

pelajaran

serius

bagi

pemerintah

Belanda

untuk

memberlakukan Ordonansi Guru tersebut.1


Pada awal kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru sikap
diskriminatif terhadap pendidikan Islam (agama) sesungguhnya masih
1 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999),
hal. 117
15

terasa. Pada masa-masa tersebut pendidikan Islam seperti pesantren dan


madrasah belum mendapatkan kesetaraan sepenuhnya dari pemerintah.
Hal ini dapat dirasakan dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap
lembaga-lembaga

pendidikan

Islam,

dan

tidak

sepenuhnya

menjadikannya sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional.


Harapan baru muncul pada masa reformasi dengan ditetapkannya
UUSPN nomor 20 tahun 2003 yang secara eksplisit menyebutkan peran
dan kedudukan pendidikan Islam serta menjadikan posisi pendidikan
agama (termasuk pendidikan Islam) sebagai bagian integral dari sistem
pendidikan nasional. Undang-undang tersebut dinilai sebagai titik awal
kebangkitan pendidikan Islam dalam bingkai kebijakan pendidikan yang
berkesetaraan.
Hingga masa kemerdekaan, orde lama, orde baru dan reformasi
lembaga pendidikan Islam tetap memberikan peran signifikan terhadap
perkembangan

bangsa,

mencerdaskan

kehidupan

ummat,

dan

memberikan dasar-dasar pendidikan moral-keagamaan bagi kehidupan


hidup

berbangsa

dan

bernegara.

Begitu

besar

dan

signifikannya

pendidikan Islam bagi eksistensi bangsa Indonesia, akan tetapi banyak


kalangan

menilai

bahwa

kebijakan-kebijakan

pemerintah

terhadap

pendidikan Islam tidak sebanding dengan besarnya peran dan jasanya


bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pendidikan Islam hingga masa Orde
Baru tetap mendapatkan perlakukan yang diskriminatif dan kurang
mencerminkan asas keadilan. Kebijakan yang memihak baru nampak
pada era reformasi dengan produk Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 yang mengakomodir dan
memasukkan pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional.
1. IMPLIKASI OTONOMI DAERAH TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM.
Kehadiran UU No. 32 tahun 2004 (dimulai dengan UU No.29 tahun
199) tentang Pemerintahan Daerah, dimana sejumlah kewenangan telah
diserahkan

oleh

Pemerintah

Pusat
16

Kepada

Pemerintah

Daerah,

memungkinkan daerah untuk melakukan kreasi, inovasi, dan improvisasi


dalam

upaya

pembangunan

daerahnya,

termasuk

dalam

bidang

pendidikan. Pemberlakuan otonomi daerah tersebut membawa implikasi


terhadap

perubahan

terhadap

perubahan

dalam

penyelenggaraan

pendidikan, yang salah satunya adalah berkurangnya peran pemerintah


pusat dalam pengelolaan pendidikan. Disadari bahwa pemberian porsi
yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan pembangunan di
bidang

pendidikan

membawa

sejumlah

implikasi,

seperti

bidang

administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan, dan sebagainya.


Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk menjalankan peran yang lebih
besar menjadi sentral dalam pelaksaan desentralisasi pendidikan.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan seperti sekarang terdapat
persoalan yang muncul, karena pelaksanaan desentralisasi pendidikan
berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan yang pada dasarnya
terkonsentrasi

pada

tingkat

kabupaten

dan

kota.

Lebih

dari

itu,

desentralisasi pendidikan justru tidak hanya terhenti pada tingkat


kabupaten dan kota, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat sekolah Otonomi
pendidikan dimaksudkan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber
daya dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan,
serta agar sekolah lebih tanggap terhadap kebutuhan lingkunagn
setempat. Dampak dari pemberlakun kebijakan desentralisasi pendidikan
tersebut juga sangat dirasakan oleh lembaga madrasah yang nota bene
juga

merupakan

institusi

pendidikan

(Islam).

Madrasah yang selama ini lebih akrab di juluki anak tiri dari Kementrian
Pendidikan yang dimiliki oleh pemerintah seakan telah jatuh dan tertimpa
tangga. Alasan itu cukuplah logis, karena selain selama ini kurang
mendapat perhatian dari pemerintah melalui dewan kependidikan yang
dimiliki,

alasan lain

yang

muncul adalah

dengan

diberlakukannya

kebijakan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, seolah madrasah


ditinggal begitu saja oleh pemerintah.
Anggapan tersebut boleh saja salah, karena kalau kita telusuri
jauh, sebenarnya madrasah yang selama ini hidup dan berkembang di
17

Indonesia adalah manifestasi dari suara akar rumput, dengan berbagai


keunikan yang dimiliki. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah,
mampukah lembaga madrasah dalam konteks otonomi dan desentralisasi
pendidikan

terus

menunjukkan

eksistensinya

sebagai

salah

satu

instrument pendidikan berciri khas Islam yang dimiliki oleh Indonesia.


Dalam menghadapi era otonomi pendidikan, madrasah harus
melakukan

tindakan-tindakan

yang

mendukung

terhadap

kebijakan

tersebut, hal ini disebabkan bahwa sebenarnya inilah kekuatan madrasah


itu sendiri, yakni kembali kepada mainstream awal, dimana madrasah
sendiri itu muncul sebagai kekuatan rakyat tersendiri. Namun, dengan
istilah menang angin seperti sekarang juga harus dijadikan landasan
berpijak bagi institusi madrasah untuk terus berbenah dan melakukan reorientasi terhadap tujuan, metode pembelajaran, materi pembelajaran,
dan sebagainya. Sebab kalau hal demikian tidak dilakukan, sudah dapat
dipastikan lembaga madrasah akan tertinggal. Dengan demikian, perlu
dilakukan tinjauan kembali tentang posisi madrasah di dalam dinamika
kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan kata lain madrasah
sendiri harus merumuskan kembali posisinya atau reposisi madrasah.
Apabila tidak demikian, madrasah akan kehilangan identitasnya dan
menjadi seperti sekolah yang menjadi anak emas pemerintah selama ini .
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan madrasah sebagai bahasa penjelas dari reposisi madrasah itu
sendiri. Pertama, madarasah harus mengakomodasi berbagai masukan
dan kritik dari stakeholders, sekaligus memberikan kepercayaan kapada
masyarakat

untuk

ikut

pendidikan madrasah.

berpartisipasi

aktif

dalam

penyelenggaraan

Kedua, madrasah hendaknya menajdi lembaga

inklusif dan universal yang mampu keluar dari jebakan-jebakan dikotomis


yang selama ini melingkupi keilmua di lembaga pendidikan ini. Madrasah
hendaknya menerima integrasi ilmu-ilmu umum dengan terbuka, serta
memebrikan

kebebasan

kepada

para

siswa

untuk

mendalami

pengetahuan dan tekhnologi sesuai dengan dengan pilihan minatnya.


Ketiga, madrasah harus menjadi lembaga yang responsive terhadap
berbagai perubahan dan kebutuhan masyarakatnya, khususnya yang
18

terjadi dalam dunia kerja. Artinya, bagaimana madrasah mampu menjadi


lembaga link and mact yang meyediakan lulusan yang siap kerja dengan
berbekal nilai-nilai keagamaan. Tentu untuk itu, dibutuhkan waktu, sarana
dan prasarana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, paradigma efektif dan
efisien dalam proses pendidikan harus di kedepankan oleh madrasah .

19

Anda mungkin juga menyukai