Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Walaupun bangsa Indonesia telah merdeka sejak 60 tahun yang lalu, namun
fakta menunjukkan bahwa dalam perkembangannya masih menghadapi berbagai
masalah mendasar, antara lain tingginya angka kemiskinan dan pengangguran yang
menciptakan kesenjangan sosial ekonomi, serta lemahnya penegakan hukum.
Beberapa tahun belakangan ini, kecenderungan perkembangan ekonomi
makro Indonesia menunjukkan perkembangan ke arah perbaikan khususnya di
bidang moneter yang ditandai dengan stabilnya nilai tukar rupiah dan penurunan
tingkat suku bunga. Namun demikian, dari sisi ekonomi mikro, pelaku pasar
khususnya perbankan sebagai lembaga intermediasi. Hal ini diperparah dengan
lambannya pertumbuhan di bidang investasi baik domestik maupun internasional.
Kondisi ini mengakibatkan sektor riil belum bergerak sesuai yang diharapkan.1
Implikasi selanjutnya adalah rendahnya penyerapan tenaga kerja dan turunnya
pendapatan perkapita masyarakat, yang berimplikasi pula pada permasalahan sosial
kemasyarakatan seperti meningkatnya tindak pidana.
Sebagian besar tindak pidana yang terjadi khususnya korupsi, illegal logging
dan narkoba pada dasarnya bermotifkan ekonomi. Tanpa ada kepentingan ekonomi,
tindak pidana tersebut tidak akan terjadi. Demikian pula halnya terorisme, aksi-aksi
terorisme tidak mungkin dilakukan apabila tidak terdapat pendanaan untuk
melaksanakan kegiatan tersebut.
Seiring

dengan

perkembangan

teknologi

yang

semakin

canggih,

mengakibatkan modus operandi kejahatan menjadi semakin canggih pula, mulai dari

Editorial Media Indonesia, Kelonggaran Kredit, http://opini.wordpress.com/tag/ekonomi.


2 Oktober 2010.

1
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

menggunakan telepon genggam hingga menggunakan fasilitas internet. Dapat


dikatakan perkembangan teknologi mengakibatkan kejahatan menjadi semakin pesat.
Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap dan
bertingkah laku intelektual, sangat tenang, simpatik, dan terpelajar.2 Modus
kejahatan seperti ini yang sejak beberapa waktu lalu mulai dikenal dengan istilah
kejahatan kerah putih atau White Collar Crime. Karakteristik dari White Collar
Crime menurut Hazel Croall (terjemahan) adalah:3
1. Tidak kasat mata (low visibility).
2. Sangat kompleks (complexity)
3. Ketidakjelasan pertanggung-jawaban pidana (diffusion of responsibility)
4. Ketidakjelasan korban (diffusion of victims).
5. Aturan hukum yang samar atau tidak jelas (ambiguous criminal law)
6. Sulit dideteksi dan dituntut (weak detection and prosecution).

Dapat dipastikan bahwa pada setiap kejahatan yang dilakukan, si pelaku


sedapat mungkin berusaha untuk menghilangkan segala bukti yang dapat
menyeretnya ke meja hijau. Begitu pula yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan
di bidang perekonomian yang merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih.
Mereka selalu berusaha untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya agar tidak
dapat ditemukan oleh aparat penegak hukum. Segala cara mereka lakukan agar uang
tersebut tidak tercium sebagai uang haram.
Kegiatan untuk menyembunyikan asal usul uang hasil kejahatan mereka
lakukan dengan melakukan pencucian terhadap uang tersebut. Hal yang seringkali
dilakukan oleh para pelaku kejahatan ini ternyata sulit untuk dibuktikan, dan dikenal
dengan istilah money laundering (pencucian uang).

Marulak Pardede, Masalah Money Laundering di Indonesia, editor L. Sumartini et.al.


(Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM, 2001) hal. 2.
3
Hazzel Croal (1992), White Collar Crime, dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo,
Kriminalisasi Pemutihan Uang (Money Laundering) sebagai bagian dari White Collar Crime,
(Makalah disampaikan pada seminar Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif
Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 23 Agustus 2001), hal. 4.

2
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Pelaku kejahatan sekarang mempunyai banyak pilihan mengenai dimana dan


bagaimana mereka menginginkan uang hasil kejahatan menjadi kelihatan bersih
dan sah menurut hukum. Perkembangan teknologi perbankan internasional yang
telah memberikan jalan bagi tumbuhnya jaringan perbankan lokal/regional menjadi
suatu lembaga keuangan global telah memberikan kesempatan kepada pelaku money
laundering untuk memanfaatkan jaringan layanan tersebut yang berdampak uang
hasil transaksi ilegal menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan
internasional.
Saat ini kegiatan pencucian uang telah melewati batas jurisdiksi yang
menawarkan tingkat kerahasiaan yang tinggi atau menggunakan bermacam
mekanisme keuangan dimana uang dapat bergerak melalui bank, money
transmitters, kegiatan usaha bahkan dapat dikirim ke luar negeri sehingga menjadi
clean-laundered money.4
Kejahatan money laundering tidak hanya merupakan permasalahan di bidang
penegakan hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan
internasional suatu negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka upaya untuk
mencegah dan memberantas praktik pencucian uang telah menjadi perhatian
internasional yang antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral
maupun multilateral.
Mantan Direktur International Monetary Fund (IMF) Michel Camdessus
pernah mengungkapkan bahwa diperkirakan volume dari money laundering adalah
antara 2 hingga 5 persen GDP dunia.5 Batas terbawah dari perkiraan tersebut
dihasilkan dari kegiatan narcotics trafficking, arms trafficking, bank fraud, securities
fraud, counterfeiting, dan kejahatan sejenis. Yang dicuci di seluruh dunia setiap
tahun mencapai jumlah hampir US $ 600 milyar.6 Financial Action Task Force
(selanjutnya disebut FATF), sebuah organisasi yang bertujuan membebaskan bank
dari praktik money laundering memperkirakan jumlah uang yang diputihkan setiap
4

Yunus Hussein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Library,
2007), hal. 3.
5
N.H.T. Siahaan, Money Laundering Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, cet. I
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 1.
6
Sutan Remy Sjahdeini (A), Money Laundering, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11 (2000), hal.
31.

3
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

tahun di seluruh dunia melalui transaksi bisnis haram narkotik berkisar antara US $
300 milyar dan US $ 500 milyar.7
Kejahatan money laundering ini sangat berkaitan erat dengan peran
perbankan. Institusi perbankan merupakan sasaran empuk dan sumber pendulangan
uang kotor dalam proses money laundering. Segala sistem yang ada di lembaga
perbankan dapat mempermudah proses kegiatan money laundering, sehingga proses
penyembunyian dan penyamaran uang haram dapat berjalan dengan cepat. Hal ini
disebabkan karena adanya ketentuan kerahasiaan bank yang dianut oleh lembaga
perbankan. Bank dalam hal ini, berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas
nasabahnya dan menjaga semua hal-hal yang berhubungan dengan transaksi
nasabahnya. Dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi
negara dengan memanfaatkan faktor rahasia perbankan yang umumnya dijunjung
tinggi oleh dunia perbankan.8
Tidak dapat dipungkiri, dengan adanya ketentuan tersebut menyebabkan para
penyimpan dana gelap dari berbagai negara menggunakan jasa perbankan sebagai
tempat penyembunyian uang haram mereka. Oleh karena banyaknya para pencuci
uang yang berlindung di balik ketentuan ini, maka berbagai organisasi internasional
seperti FATF dan IMF mendesak supaya sistem ini tidak diterapkan secara ketat.
Dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam
tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim, berwenang
untuk memintai keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan
setiap orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK), tersangka, atau terdakwa, dan tidak berlaku ketentuan undangundang yang mengatur tentang rahasia bank dan rahasia transaksi keuangan lainnya.
Oleh karena itu pelanggaran ketentuan rahasia bank sepanjang bertujuan untuk

Ibid.
Yunus Husein (B), Telaah Penyebab Indonesia Masuk dalam List Non Cooperative
Countries and Territorries oleh FATF on Money Laundering, (Makalah disampaikan pada seminar
Money Laundering (Pencucian Uang) Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 23
Agustus 2001), hal. 1.
8

4
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

kepentingan pemeriksaan perkara pencucian uang, bukan lagi merupakan tindak


pidana. Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
tindak pidana pencucian uang.
Pencucian Uang merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan
bersifat lintas batas teritorial (transnasional), disamping korupsi, perdagangan
manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi
ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun
2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,
sedangkan Konvensi Anti Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undangundang nomor 7 tahun 2006.9
Dikarenakan sangat sulitnya melakukan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang yang dikategorikan sebagai kejahatan yang terorganisasi dan bersifat
lintas batas teritorial, maka kemudian diterapkan asas pembuktian terbalik dalam
proses pembuktian di pengadilan.
Pencucian uang merupakan kejahatan yang berdiri sendiri, walaupun
pencucian uang lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti
pencucian uang di hampir semua negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu
kejahatan yang tidak tergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukannya
proses penyidikan pencucian uang. Sehingga bila kejahatan asalnya tidak terbukti
maka hal tersebut tidak menghalangi proses hukum atas tindak pidana pencucian
uang.
Barda Nawawi Arief dan Mardjono Reksodiputro mencontohkan Pasal 480
KUHP tentang pidana penadahan sebagai analogi dari tindak pidana pencucian
uang.10 Dalam hal tindak pidana penadahan terjadi maka proses hukum atas tindak
pidana penadahan tidak perlu menunggu putusan hukum yang berkekuatan tetap
(inkracht) dari perkara pencuriannya. Penjelasan Pasal 3 Undang-undang nomor 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan bahwa terhadap
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan
9

Romli Atmasasmita, Pembuktian Terbalik, Seputar Indonesia:


http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktian-terbalik.html. 27 September 2010.
10
Mardjono Reksodiputro, Money Laundring, Bank Secrecy Act,
http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=25 . 2 Oktober 2010

5
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak
pidana pencucian uang.
Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik
yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar
Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata Beban
ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.11
Di dalam Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana dirubah
dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang Pasal 35 dimana disebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan
merupakan hasil tindak pidana. Sesuai dengan penjelasan dari pasal tersebut
ketentuan tersebut dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Namun, di sini tidak
jelas maksud pembuktian tersebut apakah dalam konteks pidana untuk menghukum
orang yang bersangkutan atau untuk menyita harta kekayaan yang bersangkutan.
Hukum acara yang mengatur pembuktian terbalik ini pun belum ada, sehingga dalam
pelaksanaannya bisa menimbulkan kesulitan dalam penanganan kasus tindak pidana
pencucian uang.
Polemik penerapan pembuktian terbalik yang sudah lama terjadi dan
argumentasi hukum yang diungkapkan para pakar hukum di negeri ini tidak dapat
dijadikan alasan penghambat penerapan pembuktian terbalik diatur dalam sebuah
peraturan perundang-undangan. Pemikiran-pemikiran yang hanya disandarkan pada
pandangan positivisme hukum tidak bisa dijadikan sebagai tameng penghambat
pengaturan asas pembuktian terbalik dituangkan dalam UU yang baru. Apalagi
menjustifikasi (membenarkan) pembuktian terbalik dianggap bertentangan dengan
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self

11

Indriyanto Seno Aji, Asas Pembuktian Terbalik, Ilmu Hukum:


http://ilmuhukum76.wordpress.com/2008/06/02/asas-pembuktian-terbalik. 2 Oktober 2010.

6
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

incrimination (sesuatu hal yang tidak diperbolehkan dilakukan dalam suatu proses
peradilan pidana).12
Dengan adanya pro dan kontra terhadap penerapan asas pembuktian terbalik
ini maka penerapan ketentuan tersebut menjadi tidak efektif dan hingga saat ini
secara umum masih jaksa yang melakukan pembuktian bahwa terdakwa melakukan
tindak pidana pencucian uang.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan di atas, ada beberapa
rumusan permasalahan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.

Bagaimana pengaturan asas pembuktian terbalik menurut ketentuan yang


berlaku di Indonesia?

2.

Bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak pidana


pencucian uang?

C. Tujuan Penulisan
1.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan


pembuktian terbalik di Indonesia terkait dengan Undang-Undang nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.

2.

Tujuan khusus penelitian ini adalah:


a. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengaturan asas pembuktian
terbalik dengan segala aspek-aspek hukumnya di Indonesia.
b. Untuk mengetahui penerapan asas pembuktian terbalik dalam tindak
pidana pencucian uang.

D. Kerangka Teori dan Konsepsional


Sebagaimana diketahui menurut ketentuan Pasal 77 Undang-undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
12

Aris S Gultom, Urgensi Pembuktian Terbalik, Antikorupsi:


http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=content/16966/urgensi-pembuktian-terbalik, 10 Oktober
2010.

7
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib


membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Hal
ini merupakan hal yang tidak lazim bila tidak mau kita katakan bertentangan dengan
Hukum Acara yang berlaku selama ini sebagaimana diatur pada Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana dimana lazimnya beban pembuktian berada pada pihak
yang mendalilkan bahwa telah terjadi tindak pidana bukan pada pihak terdakwa.
Peraturan pelaksanaan (Verordnung) dan peraturan otonom (Autonome
Satzung) merupakan

bentuk peraturan-peraturan yang terletak dibawah undang-

undang yang berfungsi menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undangundang, dimana peraturan pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi,
sedangkan peraturan otonom bersumber dari kewenangan atribusi.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(atributie van wetgevingsbevoegdheid) yaitu pemberian kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh grondwet (UUD) atau wet (UU)
kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus
menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan sesuai
dengan batas-batas yang diberikan. Contohnya yang berasal dari UUD 1945, Pasal 5
ayat (1) memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membentuk Undangundang dengan persetujuan DPR. Sedangkan yang berasal dari UU seperti UU Bank
Indonesia memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia berupa kewenangan
publik untuk membuat suatu Peraturan Bank Indonesia.
Delegasi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
(delegatie van wetgevingsbevoegdheid) yaitu pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah baik
pelimpahan dinyatakan dengan tegas (eksplisit) maupun tidak (implisit). Berlainan
dengan atribusi, pada delegasi kewenangan tersebut tidak diberikan, melainkan
diwakilkan, selain itu kewengan delegasi ini bersifat sementara, dalam arti
kewenangan ini dapat diselenggarakan sepanjang pelimpahan tersebut masih ada.13
13

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan


Pembentukannya, , Cet 10,(Jakarta : Kanisius, 2005), hal 35.

8
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Selanjutnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara tegas disebutkan bahwa jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah terdiri dari :
1.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;

2.

Undang-Undang / Perpu ;

3.

Peraturan Pemerintah ;

4.

Peraturan Presiden ;

5.

Peraturan Daerah.

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut diatas, diakui keberadaannya


dan mempunyai kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
Sedang jenis Peraturan Perundang-undangan lainnya selain yang telah
disebutkan diatas, dalam penjelasannya disebutkan anatara lain peraturan yang
dikeluarkan oleh MPR, DPR,DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK,
Bank Indonesia, Menteri, kepala Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang.
Dalam penjelasan Undang-Undang ini menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Sementara itu, secara prinsip diberlakukannya suatu peraturan dimaksudkan
untuk mengatur kewajiban yang harus dilakukan atau larangan yang harus dihindari
mengenai suatu materi tertentu, dengan harapan agar ditaati dan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Namun dalam pelaksanaanya kadangkala tidak sesuai dengan yang
harapkan, banyak kendala atau hambatan yang dihadapi, sehingga peraturan tersebut
belum efektif dalam penerapannya. Guna menilai efektifitas dari suatu peraturan
dapat dianalisis dengan menggunakan teori Lawrence M. Friedman, yang
menganalisis komponen-komponen yang bekerja di dalamnya, yaitu :14
1.

Substansi/hukum/aturan
14

Lawrence M. Friedman, Law and Society Review 29 No.1, Stanford University, 1969, hal.

34

9
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

2.

Struktur/institution ; aparat penegak hukum, lembaga, sarana

3.

Legal culture/budaya hukum

Komponen-komponen tersebut harus dilihat hubungannya satu sama lain dalam suatu
proses interaktif yang dinamis. Bagaimana hubungan antara substansi hukum dengan
budaya hukum masyarakat, maupun dengan struktur/sarana/aparat yang ada.
Dikeluarkannya

suatu peraturan harus dilihat

dalam pola harapan dan

pelaksanaannya, yaitu yang berisi harapan agar peranan dari warga negara
sebagaimana dilukiskan dalam peraturan itu dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh
mereka. Dalam rangka memenuhi harapan atau menjalankan peranan yang
diaharapkan padanya, seseorang itu akan menerima pengaruh dari kerangka
sosial,politik,ekonomi dan budaya yang mengelilinginya, sehingga ada lebih dari
satu kemungkinan yang dapat terjadi, seperti ditaati, tidak ditaati, tidak ditaati
sementara,

menimbulkan

kemungkinan.

ketidpastian

dalam

penegakannya

dan

lain-lain

15

Berkaitan dengan kerangka konsepsional, dapat disebutkan bahwa suatu


kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan
gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut.
Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu
uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.16
Eksistensi kerangka konsepsional dalam suatu penelitian diperlukan untuk
membatasi pengertian yang akan ditemukan dalam penulisan, karena mungkin saja
satu kata atau istilah mempunyai pengertian yang jamak. Dengan demikian, antara
penulis dan pembaca akan tercipta suatu kerangka pemikiran dan pemahaman yang
sama terhadap terminology sutau pengertian istilah, agar tidak terjadi verbal
dispute.17
Untuk dapat lebih memahami penulisan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan
mengenai pengertian atau definisi-difinisi yang berkaitan dengan topic penelitian ini.
15

Satijipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung ; Alumni, 1978), hal. 14.
Soerjono Soekanto (1), Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1984), hal. 132.
17
Soerjono Soekanto, (2), Ringkasan Metode Penelitian Hukum Empiris, Cet 1,(Jakarta :
Ind.Hill.Co, 1990), hal 83
16

10
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Pembatasan definisi bertujuan agar penelitian yang akan dilakukan nantinya tidak
terlalu luas dan tetap pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Adapun beberapa
definisi yang akan menjadi bahan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 18
2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah
dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. 19
3. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan han dan/atau kewajiban
atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. 20
4. Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan,

penyetoran,

penarikan,

pemindahbukuan,

pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah


uang atau tindakan, dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. 21
5. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan
dengan

tujuan

untuk

menghindari

pelaporan

Transaksi

yang

bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan


ketentuan Undang-Undang ini;
c. Transaksi Keuangan yangdilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan Harta Kekayaan yangdiduga berasal dari hasil tindak
pidana; atau

18

Indonesia (A), Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana


Pencucian Uang, UU No. 8, LN No. 122 tahun 2010, TLN No. 5164, Pasal 1 Angka 1.
19
Ibid., Pasal 1 Angka 2.
20
Ibid., Pasal 1 Angka 3.
21
Ibid., Pasal 1 Angkat 4.

11
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh


Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal
dari hasil tindak pidana.22
6.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut


cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya.23

E. Metode Penelitian
Didalam penulisan karya ilmiah suatu hal yang harus dicapai adalah keilmiahan
dari tulisan tersebut, yakni dipenuhinya unsur kebenaran, validitas dan keberlakuan
didalamnya.
Fungsi metode adalah untuk menemukan, merumuskan, menganalisa maupun
memecahkan masalah tertentu untuk mengungkapkan kebenaran.24 Secara umum
metode penelitian dibagi menjadi dua bagian, yaitu metode penelitian lapangan dan
metode kepustakaan. Metode penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data
secara langsung dari masyarakat atau pihak-pihak yang berwenang. Cara yang
dilakukan dapat melalui observasi, wawancara ataupun kuisioner. Metode penelitian
kepustakaan dilakukan dengan cara menganalisa bahan-bahan tertulis atau pustaka
yang ada. Jenis data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau lapangan disebut
sebagai data primer atau data dasar, sedangkan yang diperoleh dari bahan pustaka
lazim disebut dengan data sekunder. Dalam penelitian hukum, data sekunder
mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Bahan hukum primer terdiri dari norma dasar, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi maupun traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang
menjelaskan bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, makalah, buku, majalah,
dan sebagainya. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi ataupun indeks.
22

Ibid., Pasal 1 Angka 5.


Indonesia (B), Undang-Undang Hukum Acara Pidana, UU No. 8, LN No. 76 tahun 1981,
TLN No. 3209, pasal 1 angka 2.
24
Soerjono Soekanto (1), op.cit., hal. 13.
23

12
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti jalan ke, namun
demikian menurut kebiasan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan
sebagai berikut :25
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian ;
2. suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan ;
3. cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Terhadap pengertian metodologi, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut :
1. Logika dari penelitian ilmiah ,
2. studi terhadap prosedur dan teknik penelitian
3. suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian.
Penulisan tesis ini dilakukan melalui penelitian secara ilmiah, artinya suatu
metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala, dengan
menganalisisnya dan mengadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta tersebut,
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang
ditimbulkan oleh fakta tersebut.26
Pada setiap kegiatan yang bersifat ilmiah selalu didasarkan pada metode
penelitian tertentu, karena hasil penelitian yang akan dituangkan dalam tulisan
berujud karya ilmiah haruslah bersifat obyektif, dalam arti pemikiran maupun materi
pembahasan seharusnya dapat diuji kebenarannya secara logis, sistematis dan sesuai
dengan data ataupun fakta.
Ilmu pengetahuan mengenal 2 (dua) macam metode penelitian, yaitu penelitian
kepustakaan atau penelitian normatif dan penelitian lapangan atau penelitian empiris.
Dalam kaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan
untuk mendapatkan data yang diperlukan adalah metode peneltian kepustakaan
(library research) atau penelitian normative, yaitu suatu cara mengumpulkan data
sekunder dengan melakukan studi kepustakaan. Disamping itu penelitian ini juga
akan dipertajam dengan melakukan pengamatan langsung dan melakukan wawancara
dengan pejabat-pejabat di PPATK dan Instansi terkait lainnya jika dinilai perlu.

25
26

Ibid., hal. 5
Ibid., hal.2

13
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Adapun bahan hukum yang akan dipergunakan untuk memperoleh data


tersebut, dikelompokan ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat kepada masyarakat yang berujud peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitan penelitian ini yang akan dipergunakan adalah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan erat dengan judul penelitian ini, seperti
Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang-Undang No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, dan peraturan pelaksanaannya yang
terkait dengan masing-masing undang-undang dimaksud.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan isinya tidak mengikat, berupa penjelasan terhadap bahanbahan hukum primer, berupa buku, majalah, makalah serta artikel yang
berkaitan dengan judul penelitian serta pendapat para ahli.27
3. Bahan Hukum tertier, yaitu bahan yang sifatnya sebagai pelengkap dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus Bahasa Indonesia,
Kamus Perbankan dan Aneka Istilah Hukum dan lain-lain.28
Sementara itu metode pengelohan dan analisa data yang akan dipergunakan
dalam penelitian adalah metode kualitatif deskriptif dengan menguraikan persoalan
dan fakta-fakta yang diterangkan secara tertulis dari bahan kepustakaan dan akan
dianalisa dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, baru ditarik suatu
kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika disajikan untuk mempermudah pembaca dalam memahami materi
yang akan dibahas selanjutnya dalam tesis ini. Dengan adanya sistematika ini
diharapkan pembaca dapat mengetahui secara garis besar isi tesis ini.
Adapun sistematika penulisan tesis ini adalah:
27

Ibid., hal 12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
,Cet 2 (Jakarta : Rajawali, 1986), hal 15.
28

14
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang permasalahan, pokok
permasalahan, tujuan penulisan, kerangka konsepsional, metode penulisan
serta sistematika penulisan.

BAB II. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN KETENTUAN


PENCUCIAN UANG DI INDONESIA
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian pencucian uang, sejarah,
faktor penyebab, tahapan dan tehnik proses pencucian uang, metodenya,
dampak serta kerugian yang diakibatkan kepada masyarakat, serta tinjauan
terhadap kondisi di Indonesia.

BAB III. PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG
Pada bab ini akan diuraikan pengertian pembuktian pada umumnya, teoriteori mengenai sistem pembuktian, dan sistem pembuktian yang dianut oleh
KUHAP, juga membahas masalah pembuktian terbalik seperti yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta penerapan pembuktian
terbalik dalam kasus tindak pidana pencucian uang beserta permasalahanpermasalahan yang ditemukan di lapangan dalam penerapan ketentuan
pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

BAB IV. PENUTUP


Bab ini merupakan bab terakhir yang akan merumuskan mengenai
kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok
permasalahan yang timbul. Kemudian akan diakhiri dengan dengan saransaran.

15
Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Anda mungkin juga menyukai