Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

UNSTABLE ANGINA PEKTORIS

Disusun Oleh:
Khairul Saleh Pulungan
1407101030046

Pembimbing :
dr. Adi Purnawarman, Sp.JP (K)-FIHA

BAGIAN/SMF ILMU KARDIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH

2015
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah
koroner disebut penyakit jantung koroner yang lebih dikenal dengan sindroma
koroner akut. Penyakit ini menyerang pembuluh darah yang mengalirkan darah ke
jantung sehingga terjadi penyempitan pada arteri koroner. Penyempitan arteri
koroner ini terjadi akibat proses aterosklerosis atau spasme ataupun kombinasi
dari keduanya.1,2

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tercatat bahwa


lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002,
angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020.
American Heart Association (AHA) pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi
PJK di Amerika Serikat sekitar 13 juta. Angka kematian karena PJK di seluruh
dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39
juta.3 Survei dari Badan Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari
1000 penduduk Indonesia menderita PJK, pada tahun 2007 terdapat sekitar 400
ribu penderita PJK dan pada saat ini penyakit jantung koroner menjadi pembunuh
nomor satu di dalam negeri dengan tingkat kematian mencapai 26%.3
Sindrom koroner akut berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang
diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus Unstable Angina Pectoris
(UAP), infark miokard tanpa ST elevasi (NSTEMI) dan infark miokard dengan
ST elevasi (STEMI). 2
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh
iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga
varian utama angina pectoris yaitu angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris
prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil.1
Di Amerika Serikat setiap tahun 1 juta pasien dirawat dirumah sakit karena
angina pectoris tidak stabil, dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat
serangan infark jantung yang tak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah
diagnosis ditegakan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1

Definisi
Angina pektoris merupakan suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri

dada yang khas, yaitu dada seperti ditekan benda berat, seperti ditusuk-tusuk dan
nyeri sering menjalar kelengan kiri atau ke kedua lengan. Nyeri timbul biasanya
saat melakukan aktifitas dan dapat menghilang saat aktifitas dihentikan, nyeri juga
dapat dipicu oleh aktifitas emosional. Angina terjadi sebagai konsekuensi dari

iskemia miokardium. Faktor utama yang mempengaruhi konsumsi oksigen


miokardium antara lain tegangan dinding sistolik, keadaan kontraktil dan denyut
jantung. Berikut adalah klasifikasi dari angina:4,5
a.

Angina stabil
Nyeri dada yang dicetuskan oleh sejumlah stimulus, angina stabil hilang

dengan istirahat atau penghentian stimulus, gejala muncul karena iskemia


miokardium yang disebabkan oleh gangguan pasokan darah pada miokardium.
Angina stabil gejalanya bersifat reversible dan tidak progresif.
b.

Angina tidak stabil


Angina dengan frekuensi dan derajat keparahan yang meningkat, dengan

serangan

yang

lama

dan

hanya

menghilang

sebagian

dengan

nitrat

sublingual.riwayat penyakit biasanya pendek (beberapa minggu) dan prognosis


buruk, dengan kemungkinan bermakna untuk berkembang menjadi infark
miokardium akut atau kematian mendadak.
c.

Angina prinzmetal
Angina prinzametal adalah angina yang muncul saat istirahat dan elevasi

segmen ST pada EKG yang menandakan adanya iskemik transmural. Keadaan


yang tidak biasa ini berhubungan dengan adanya tonus arteri koroner yang
bertambah, yang dengan cepat hilang melalui pemberian nitrogliserin dan dapat
diprovokasi oleh asetilkolin. Angina ini dapat terjadi pada arteri yang strukturnya
normal, pada penyakit arteri koroner campuran atau dalam keadaan stenosis
oklusif koroner berat.
2.2
Klasifikasi
Yang dimasukkan ke dalam angina pektoris tak stabil yaitu:4
1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup
2.

berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali per hari.
Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil,
lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya,

3.

sedangkan faktor presipitasi makin ringan.


Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada

keseragaman. Dimana klasifikasi dibuat berdasarkan beratnya serangan angina


dan keadaan klinik.4,6

A. Berdasarkan beratnya angina :


1. Kelas I
Angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya
nyeri dada.
2. Kelas II
Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi
tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir.
3. Kelas III
Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.
B. Berdasarkan keadaan klinis:
1. Kelas A: Angina tak stabil sekunder.
2. Kelas B: Angina tak stabil primer.
3. Kelas C: Angina yang timbul setelah serangan infark jantung.
C. Intensitas pengobatan:
1. Tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal.
2. Timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar.
3. Masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.
2.3

Epidemiologi
Peneletian yang dilakukan oleh Guthrie, Vlodaver, Nicoloff, dan Edwards

terhadap 47 pasien dengan angina didapat 12 diantaranya dengan angina tak


stabil dan 35 dengan angina stable (20 diantaranya dengan angina stabil berat dan
15 sisanya dengan angina stabil sedang). Dari data klinis yang didapat, tidak ada
perbedaan yang mendasar dari pasien dengan tipe angina yang dimilikinya, seperti
faktor usia, jenis kelamin, tingkat tekanan darah, kadar lipid, kebiasaan merokok,
penyakit diabetes, riwayat keluarga, atau riwayat miokardial infark dari pasien
sebelumnya.7
2.4

Patogenesis
Menurut American Heart Association (AHA) patogenesis angina pektoris tak

stabil disebabkan karena adanya ruptur plak, trombosis dan agregasi trombosit,

vasospasme, dan erosi pada plak tanpa ruptur.4,6

Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pectoris
tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh
koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal.4
Dua pertiga dari pembuluh yang mengalamai ruptur sebelumnya
mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina
tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak aterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic
cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan
adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang
berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu timbunan lemak. Kadangkadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya
enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan
dinding plak (fibrous cap).4,6
Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan
menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus. Bila thrombus menutup pembuluh
darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
thrombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat
akan terjadi angina tak stabil.4
Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan thrombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya thrombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag
dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan
thrombus kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang
ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi factor jaringan dalam plak tidak
stabil. Setelah berhubungan dengan darah, factor jaringan berinteraksi dengan
factor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan
pembentukan thrombin dan fibrin.4
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet
dan platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas,
vasokontriksi dan pembentukan trombus. Factor sistemik dan inflamasi ikut

berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan


dalam memulai thrombosis yang intermiten pada angina tak stabil.4
Vasospasme
Terjadinya vasokontriksi juga mempunyai peranan penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah
dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina
Prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali
terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peranan penting dalam
terbentuknya thrombus.4
Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan terjadinya proliferasi dan
migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel. Adanya
perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan
penyembitan pembuluh darah dengan cepat dan keluhan iskemia. Menurut
American Heart Associationn (AHA) terdapat 3 hal yang dapat menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah, yaitu peningkatan kadar kolesterol trigliserida
dalam darah, peningkatan tekanan darah, dan riwayat merokok yang dapat
mempercepat terbentuknya aterosklerosis pada arteri koroner terutama pada aorta
dan pembuluh darah arteri pada kaki. 4,6
2.5

Gambaran Klinis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan

angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih
berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena
aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual,
sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan
jasmani seringkali tidak ada yang khas. Pemeriksaan fisik sewaktu angina dapat
tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar derap atrial atau
ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut jantung dapat
menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.4,8
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American
Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI) ialah apakah iskemia yang timbul cukup berat sehingga

dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda


kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien
mempunyai keluhan iskemia sedangkan tak ada kenaikan troponin maupun CKMB, dengan ataupun tanpa perubahan EKG untuk iskemia, seperti adanya depresi
segmen ST ataupun elevasi yang sebentar atau adanya gelombang T yang
negative. Karena kenaikan enzim biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap
awal serangan, angina tak stabil seringkali tidak bisa dibedakan dari NSTEMI.

Gambar 1. Algorithm to risk stratify patients with unstable angina based on ECG and
repeated Troponin measurements6

2.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa:4,8
Elektrokardiografi (EKG)
Gambaran EKG penderita angina pektoris tak stabil dapat berupa depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan his dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG
pada UAP bersifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri
ataupun bersamaan. Perubahan tersebut timbul di saat serangan angina dan

kembali ke gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam
waktu 24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi
gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.

Uji latih
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat
normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer.
Tujuan dari stress test adalah:
-

Menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak

Menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh


darah utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan

menunjukan tanda resiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan alat
treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya
positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaan
pembuluh koronernya apakah perlu dilakukan tindakan revaskularisasi PCI karena
resiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar.
Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis
angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal
ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding
regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Rontgen Thoraks
Rontgen toraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran
jantung dapat menandakan adanya disfungsi pada organ jantung sebelumnya.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut Europian Society
of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mionekrosis bila troponin T atau I

positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Resiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin.
CK-MB kurang spesifik untuk diagnosis karena juga ditemukan d otot
skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan meningkat dalam
beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.
Pada dasarnya pengobatan pada angina pektoris bertujuan untuk
memperpanjang hidup dan memperbaiki

kualitas hidup dengan mencegah

serangan angina baik secara medikal atau pembedahan.


2.7

Penatalaksanaan

Pengobatan Medikal
Bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan serangan angina. Ada 3
jenis obat yaitu :4,9,10
1. Obat anti-iskemia

Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol


perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat
mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat
juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatasi pembuluh koroner
dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin
atau isosorbid dinitrat diberikan secara sublingual atau infus intravena.
Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam.

-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui


efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai
macam beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra
indikasi pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial,
bradiaritmia.

Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan


menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium
:

Golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan


penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)

Golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki


survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner
akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang,
pengurangan afterload memberikan keuntungan pada golongan
nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan faal jantung
normal (Contoh : verapamil dan diltiazem).

2. Obat anti-agregasi trombosit. Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar


dalam pengobatan angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen.
Tiga gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin,
tienopiridin dan inhibitor GP IIb/IIIa.

Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat


mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non
fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh
karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis
awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.

Tiklopidin merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat


kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin.
Dalam

pemberian

tiklopidin

harus

diperhatikan

efek

samping

granulositopenia.

Clopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang dapat menghambat


agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin . Klopidogrel
terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian kardiovaskular.
Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75 mg/hari.

Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan Ikatan fibrinogen dengan


reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir pada proses agregasi
platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan
platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak
terjadi.

3. Obat anti-trombin

Unfractionated Heparin : Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang


terdiri dari pelbagi rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan
aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat thrombin dan faktor Xa.
Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel yang
mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan
pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin
induced thrombocytopenia (HIT).

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) : LMWH dibuat dengan


melakukan depolimerisasi rantai polisakarida heparin. Dibandingkan
dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap protein
plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia
ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan
secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.

Direct Thrombin Inhibitors : Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis


mempunyai kelebihan karena bekerja langsung mencegah pembentukan
bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor
4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard, tetapi
komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui untuk
menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang menjalani PCI.
Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada efek
samping trombositopenia akibat heparin (HIT).4

Tindakan Pembedahan
Prinsipnya bertujuan untuk memberi darah yang lebih banyak kepada otot
jantung dan memperbaiki obstruksi arteri koroner. Ada 4 dasar jenis
pembedahan:11
1. Ventricular aneurysmectomy : rekonstruksi terhadap kerusakan ventrikel
kiri.
2. Coronary arteriotomy : memperbaiki langsung terhadap obstruksi arteri
koroner.
3. Internal thoracic mammary : revaskularisasi terhadap miokard.

4. Coronary Artery Baypass Grafting (CABG) : Hasilnya cukup memuaskan


dan aman yaitu 80%-90% dapat menyembuhkan angina dan mortabilitas
hanya 1 % pada kasus tanpa kompilasi.
Metode terbaru lain di samping pembedahan adalah :
1. Percutanecus transluminal coronary angioplasty (PCTA)
2. Percutaneous rotational coronary angioplasty (PCRA)
3. Laser angioplasty
2.8

Komplikasi
Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi

akibat kekurangan oksigen yang berkepanjangan. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium
mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah
periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerob lenyap dan sel
tidak memenuhi kebutuhan energinya. Aritmia, karena insidens PJK dan hipertensi
tinggi, aritmia lebih sering didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik.
Bila curah jantung dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran
darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung . Gagal jantung
terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan
disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau
tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang
lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera
pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 12
2.9

Stratifikasi Risiko4
Delapan puluh persen dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48

jam setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini


kemudian membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dengan tread mill test atau
ekokardiografi

untuk

medikamentosa

atau

menentukan
pasien

apakah

membutuhkan

pasien

cukup

pemeriksaan

dengan
angiografi

terapi
dan

selanjutnya tindakan revaskularisasi.


Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain pasien yang tidak
mempunyai angina sebelumnya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya

tidak memaiaki obat anti angina dan ECG normal atau tidak ada perubahan dari
sebelumnya; enzim jantung tidak meningkat termasuk Troponin dan biasanya usia
masih muda.
Risiko sedang bila ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan
angina pada waktu istirahat, tak ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung
tidak meningkat.
Risiko tinggi bila pasien mempunyai angina waktu istirahat, angina
berlangsung lama, atau angina paska infark; sebelumnya sudah mendapat terapi
yang intensive, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST yang baru,
didapatkan kenaikan Torponin, dan ada keadaan hemodinamik tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia datang kembali secara spontan atau pada waktu
pemeriksaan, maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi, bila pasien tetap stabil
dan termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah cukup. Hanya
pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. AM

Usia

: 68 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

No. CM

: 1-04-50-22

Pekerjaan

: IRT

Alamat

: Banda Aceh

Tanggal MRS

: 20 Maret 2015

Tanggal pemeriksaan : 23 Maret 2015


Keluhan Utama
Nyeri dada kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada
mulai dirasakan sejak 3 hari SMRS. Nyeri dirasakan pasien seperti ditekan benda
berat, menjalar sampai ke bahu dan dirasakan kurang lebih selama 30 menit.
Pasien juga mengeluhkan sesak napas dan berkeringat dingin.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Riwayat Hipertensi kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Ayah pasien mengidap penyakit hipertensi

Riwayat Penggunaan Obat


- Pasien mengkonsumsi obat hipertensi, namun tidak tahu nama obatnya
Riwayat Kebiasaan
- Pasien sering mengkonsumsi makanan berlemak
Pemeriksaan umum
-

Keadaan umum : Tampak sakit ringan


Kesadaran
: Compos mentis
Kaadaan gizi
: Baik
Vital sign
Tekan darah

: 150/100 mmHg

Nadi

: 110 kali/menit

Pernapasan

: 26 kali/menit

Suhu

: 36,8 0C

Pemeriksaan fisik
Kepala dan Leher
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- JVP tidak meningkat (5+2 cm H2O)
- Pembesaran KGB di leher (-)
Thorak
Paru-paru
Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan, penggunaan otot
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

bantu pernapasan (-)


: Stem fremitus kanan sama dengan kiri
: Sonor pada kedua lapangan paru
: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
: Iktus kordis tidak terlihat
: Iktus kordis teraba
: Batas jantung kanan 2 jari lateral linea parasternalis dextra,
batas jantung kiri 1 jari lateral linea midclavicula sinistra ICS V
: Bunyi jantung 1 (S1) dan 2 (S2) normal, mumur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

: Tampak datar

Auskultasi

: Peristaltik normal

Palpasi

: Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani

Ekstremitas
- Akral hangat
- CRT < 2 detik
- Edema (-/-)
- Tampak sianosis pada kuku (-)
- Deformitas (-)
Diagnosis Kerja : Angina Pektoris Tak Stabil + HHD

1. Pemeriksaan laboratorium (20 Maret 2015)


Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Eos/Bas/N.Seg/Lim/Mon
Troponin I
CK-MB
Ureum
Kreatinin
GDS

2. Pemeriksaan Elektrokardiografi

09 Februari 2015
9,7 gr/dL
30%
3,9 x 106/mm3
7,1 x 103/mm3
253 x 103/mm3
1/0/68/19/11
< 0,10 ng/mL
22 U/L
43 mg/dL
0,61 mg/dL
114 mg/dL

Interpretasi EKG :
Ritme : Sinus
Rate : 115 kali / menit
Axis

: Normoaxis

Interval PR : 0,12
Gel P : 0,08 s / 0,3 mV
Komplek QRS : 0,08 s
Segmen ST :
ST Elevasi : (-)
ST Depresi : (-)
T inverted : (-)

LVH : (+)
RVH : (-)
3. Foto thoraks
Kesan: cardiomegali dan
aortosclerosis

Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
a. Tirah baring
Medikamentosa
Terapi Kardiologi:
a. IVFD NaCl 20 gtt/menit
b. Inj. Arixtra 2,5 mg/hari
c. ISDN 5 mg 3 x 1
d. Concor 5 mg 1 x 1
e. Simvastatin 40 mg 1 x 1
f. Aspilet 80 mg 1 x 1
g. Platogrix 75 mg 1 x 1
h. Cardace 10 mg 1 x 1
PROGNOSIS
Quo ad Vitam

: Dubia ad bonam

Quo ad Functionam

: Dubia ad bonam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang didapatkan bahwa pasien mengalami angina pektoris tak stabil dan
HHD. Diagnosis angina pektoris tak stabil ditegakkan berdasarkan keluhan yang
dialami pasien yaitu nyeri dada semakin memberat, menjalar sampai ke bahu. Hal
ini sesuai dengan salah satu kriteria angina tak stabil yaitu angina yang makin

bertambah berat, sebelumnya didahului oleh angina stabil, lalu serangan angina
timbul lebih sering, dan lebih berat nyeri yang dirasakan.
Hipertensi

yang ditemukan pada pasien merupakan salah satu faktor

resiko terjadinya angina pektoris tak stabil. Pasien mengaku mengalami hipertensi
sejak 5 tahun SMRS. Hipertensi yang terjadi dalam waktu lama dapat
menyebabkan terbentuknya plak di arteri koroner. Pembentukan plak ini
mengakibatkan sirkulasi darah di jantung mengalami gangguan dan jika dibiarkan
dapat terjadi ruptur plak. Ruptur plak merupakan salah satu penyebab angina
pektoris tidak stabil. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi
platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya thrombus sehingga tiba-tiba dapat
terjadi oklusi subtotal atau total dari arteri koroner yang sebelumnya mempunyai
penyempitan yang minimal.
Dari anamnesis didapatkan pasien sering mengkonsumsi makanan berlemak.
Hal ini merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan terbentuknya
plak di arteri koroner.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Anwar, T. Bahri. Penyakit jantung koroner dan hypertensi. Medan: USU;


2004.

2.

Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST


elevation : implementation of new guidelines.Lancet 2001;358:1533-8.

3.

World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2014
Feb Available from URL : http://www.who.int/cardiovasculardiseases/
cvd_14_deathHD.pdf

4.

Rahman AM. Angina Pektoris Stabil. Dalam : Sudoyo AW, Setiuohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Penerbit FK UI,2006. Jakarta: p.1611.

5.

Trisnohadi, Hanafi B. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S,
Bambang S, Idrus A, Marcelius S.K, Siti S.S (Editor). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Penerbit FK UI 2006. Jakarta. P.1606-8.

6.

Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. A classification of unstable angina


revisited. Availavle from URL: http://circ.ahajournals.org/content/102/1/118.

7.

R B Guthrie, Z Vlodaver, D M Nicoloff, J E Edwards. Pathology of stable


and
unstable
angina
pectoris.
Available
from
URL:
http://circ.ahajournals.org/content/51/6/1/1059.

8.

Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC


Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 21 Feb
2014. Avalaible form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/escguidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx

9.

Gunawan SG. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2007.

10. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1998.
11. Anwar TB. Nyeri dada. Universitas Sumatera Utara: e-USU Repository;
2004.
12. Barriento, Aida Suarez; Romero, Pedro Lopez; Vivas, David and et al.
Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
Accessed 21 Feb 2014. Avalaibale form: http://www.suc.org.uy/
correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011-CircadianVariations.pdf

Anda mungkin juga menyukai