Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. RK
Usia
: 20 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Mahasiswa
Alamat
: Sintung, Lombok Tengah
Status
: Belum menikah
Tanggal MRS
: 02 Oktober 2015
B. PRIMARY SURVEY
Airway
Look : Paten, jejas pada daerah servikal (-).
Listen : Suara napas tambahan (-)
Feel : Hembusan udara napas dari hidung dan mulut (+)
Tindakan yang dilakukan: pemberian oksigen nasal kanul 3 lpm.
Breathing
Pergerakan dinding dada simetris, RR: 28 x/menit, teratur, retraksi (-), tipe
pernapasan torako-abdominal.
Circulation
Nadi radialis teraba, kuat angkat, teratur, N: 80 x/menit, TD: 110/70 mmHg.
Tindakan yang dilakukan: Pemasangan IV line dengan cairan RL 40 cc/kgBB/hari
= 40 cc x 60 kg = 2400 cc per hari = 24 tpm
Dissability
GCS E2V2M5 (alcoholic state), refleks pupil langsung +/+, pupil isokor, berukuran
3 mm/3 mm.
Exposure
Tampak v. appertum pada,

Regio frontalis ukuran panjang 16 cm dan lebar 5 cm dengan kulit terangkat

dan tulang tampak retak


Regio maksilaris sinistra ukuran panjang 3 cm, lebar 1 cm, dan kedalaman 0,5

cm.
Regio submental ukuran panjang 5 cm, lebar 1 cm, dan kedalaman 0,5 cm.

Tindakan yang dilakukan: kontrol perdarahan dengan menjahit luka (hecting).

C. SECONDARY SURVEY
1

1. Anamnesis
a. Keluhan utama
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dalam keadaan kurang sadar karena pengaruh alkohol. Pasien
mengendarai sepeda motor, menabrak trotoar, tidak menggunakan helm.
Kepala pasien terbentur pinggir trotoar. Pasien tersungkur sekitar 10 meter dari
tempat pasien terjatuh. Pasien melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak ada
keluhan muntah. Pasien ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pasien
mengendarai sepeda motor dalam keadaan mabuk karena mengkonsumsi
banyak alkohol.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Cedera kepala sebelumnya (-), operasi otak sebelumnya (-), riwayat epilepsi(-),
riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), riwayat kencing manis (-), riwayat
sakit jantung (-).
d. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi (-), kencing manis (-), sakit jantung (-),
perdarahan yang sulit sembuh (-), epilepsi (-).
2. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: Stupor (Alcoholic state)
GCS
: E2V2M5
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 x/menit, teratur, kuat angkat
Frekuensi napas : 28 x/menit, teratur, tipe pernapasan torako-abdominal
Temperatur axila : 37,3oC
Berat badan
: 60 Kg
Pemeriksaan Fisik Umum
a. Kepala
Kepala : Regio frontalis ukuran panjang 16 cm dan lebar 5 cm dengan
kulit terangkat dan tulang tampak retak; regio maksilaris sinistra
ukuran panjang 3 cm, lebar 1 cm, dan kedalaman 0,5 cm; regio
submental ukuran panjang 5 cm, lebar 1 cm, dan kedalaman 0,5
Mata

cm.
: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+,
pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, bentuk bulat.

Hidung

: deformitas (-), rhinorrhea -/2

Telinga

: otorrhea -/-, battle sign (-)

b. Leher
Jejas (-), deformitas tulang belakang leher (-), depresi tulang spinosum (-).
c. Thoraks
Inspeksi

: bentuk dan ukuran thorax normal, pergerakan dinding dada


kanan dan kiri simetris, iktus kordis tidak tampak, jejas (-)

Palpasi

: pergerakan dinding dada kanan dan kiri simetris, nyeri tekan


(-), krepitasi (-), iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : cor S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)


pulmo suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/d. Abdomen
Inspeksi

: distensi (-), jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal


Palpasi

: supel (+), massa (-), hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: timpani pada keempat kuadran abdomen

e. Ekstremitas atas
Kanan : jejas (-), hematom (-), deformitas (-), pergerakan aktif (+),
edema (-), akral hangat (+)
Kiri

: jejas (-), hematom (-), deformitas (-), pergerakan kurang aktif (+),
edema (-), akral hangat (+)

f. Ekstremitas bawah :
Kanan : jejas (-), neurologi (-), deformitas (-), pergerakan aktif (-),
edema (-), akral hangat (+).
Kiri

: jejas (-), neurologi (-), deformitas (-), pergerakan kurang aktif (+),
edema (-), akral hangat (+).

I. Pemeriksaan Neurologis
GCS
: E2V2M5
Kesadaran : Stupor
a. Pemeriksaan Saraf kranialis: sulit dievaluasi
b. Rangsangan meningeal
3

Kaku Kuduk : Kernig sign

: tidak dapat dievaluasi

Brudzinski I : tidak dapat dievaluasi


c. Motorik: tidak dapat dievaluasi
d. Pemeriksaan refleks fisiologis
Refleks patella
: +/+
Refleks biseps
: +/+
Refleks triseps
: +/+
Refleks tendon achilles : +/+
e. Pemeriksaan refleks patologis
Refleks hoffman
: -/Refleks trommer
: -/Refleks babinski
: -/Refleks chaddock
: -/Refleks oppenheim
: -/D. DIAGNOSIS SEMENTARA
Cedera Kepala Sedang
Fraktur os frontalis
Multiple vulnus appertum
E. PLANNING
1. Diagnostik
- Rontgen: skull AP/lateral, thoraks, servikal
Hasil : fraktur os frontalis. Thoraks dan servikal dalam batas normal
- CT-scan kepala
Hasil : fraktur depresi os frontalis dan epidural hematoma ukuran 2 x 1,5 cm di
regio frontal.
- Pemeriksaan darah lengkap, GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT
2. Terapi
- Rawat luka: hecting pada vulnus appertum
- Medikamentosa
Infus RL maintenance 40 cc/kgBB/hari = 40 cc x 60 kg = 2400 cc per hari
= 24 tpm
Piracetam 3 gr IV
Citicoline 250 mg IV
Ranitidin 50 mg IV
Ceftriakson 1 gr IV
Metamizole natrium 1 gr IV
- Pro pembedahan (Rujuk RSUP NTB)
3. Monitoring
- Kesadaran
4

Keluhan
Vital sign
Status neurologis

F. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
G. Hasil Pemeriksaan laboratorium tanggal 02 Oktober 2015
Hb
: 12,4 g/dl
HCT
: 40,6 %
RBC
: 5,22 x 106/l
WBC
: 11,2 x 103/ l
PLT
: 349 x 103/ l
GDS
: 134 mgl/dl
Kreatinin : 0,6 mgl/dl
Ureum
: 31 mgl/dl
SGOT
: 21 mgl/dl
SGPT
: 20 mgl/dl

TINJAUAN PUSTAKA

A. CEDERA OTAK
1. Definisi
Pasien yang mengalami cedera otak adalah seseorang yang mengalami trauma yang
mengakibatkan gangguan fisiologis pada fungsi otak, yang setidaknya menimbulkan
satu dari manifestasi berikut (Key et.al, 1993):
1. Periode kehilangan kesadaran
2. Hilangnya memori tentang kejadian segara sebelum atau setelah kecelakaan
5

3. Setiap perubahan pada status mental pada saat kecelakaan (misalnya merasa
termangu, disorientasi atau bingung) dan
4. Defisit neurologis fokal
2. Mekanisme dan patofisiologi
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada
kepala. Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yakni kompresi,
akselerasi dan deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling
berperan. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur
tulang tengkorak. Cedera difus dapat menyebabkan gangguan fungsional saja, yakni
gegar otak atau cedera Geurologic yang difus (Sjamsuhidajat, 2005).
Terdapat beberapa bentuk fraktur tulang kepala, yaitu linear, stelata, komunitif,
dan impresi, sedangkan jenis fraktur terbagi menjadi fraktur terbuka dan tertutup
Fraktur linear merupakan yang terbanyak dari semua fraktur tulang kepala, yaitu
sekitar 80% dan umumnya tidak memerlukan tindakan khusus. Akan tetapi, bila ada
fraktur, kewaspadaan perlu ditingkatkan karena bila trauma cukup kuat, mungkin
terdapat cedera otak primer atau hematom epidural (Sjamsuhidajat, 2005).
Rambut kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi/depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak (Kasan, 2002).
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke semua arah. Gelombang
ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan

jaringan otak di tempat benturan, disebut coup, atau di tempat yang berseberangan
dengan datangnya benturan (contracoup) (Sjamsuhidajat, 2005).
Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut (Kasan,
2002):
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi coup (cedera di tempat benturan)

Impresi Fraktur
Coup Contusio
Epidural Hematom
Subdural Hematom

Gambar 4. Lesi di tempat benturan (Coup)


b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini
dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau
bagian-bagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar
tengkorak dan dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa
kerusakan berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar
tengkorak. Benturan pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah
antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak
dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex),
otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya
coup dan contra coup.

Coup Cont.
ICH

Bridging Vein Rupture Contra Coup


ICH
Tekanan Negatif
SDH
(Buble Soap)
SDH, Contra Coup, Cont.

Gambar 5. Mekanisme cedera kepala


c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan
robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : Intermediate coup, contra
coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral

Intermediate Coup

Gambar 8. Intermediate coup


d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat
benturan dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya
gelembung (kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup
dan contra coup).
8

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun
hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, otak menerima 20% dari curah
jantung. Sebagian besar, yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh
substansia kelabu (Sjamsuhidajat, 2005).
Cedera otak yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses
lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel, yaitu oksigen dan
Geurolog, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya
oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun,
misalnya akibat syok. Oleh karena itu, pada cedera otak harus dijamin bebasnya jalan
napas, gerakan napas yang adekuat, dan hemodinamik tidak terganggu sehingga
oksigenasi tubuh cukup (Sjamsuhidajat, 2005).
Gangguan Geurologic jaringan otak akan menyebabkan udem yang dapat
mengakibatkan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum atau herniasi di
bawah falks serebrum (Sjamsuhidajat, 2005).
Jika terjadi hernia, jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemia
sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian
(Sjamsuhidajat, 2005).
3. Gejala klinis
Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak
kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Trauma kepala
dapat digolongkan menurut derajat koma glasgow (skor Glasgow, GCS), yaitu ringan
bila skor total adalah 13-15, sedang bila skor 9-12, dan berat bila skor 3-8. Lokasi
cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinis (Sjamsuhidajat, 2005).
Gejala cedera otak mungkin persisten atau tidak persisten, dalam variasi rentang
waktu tertentu setelah terjadi suatu peristiwa neurologis. Pasien dengan cedera otak
ringan dapat menunjukkan gejala emosional, kognitif, perilaku dan fisik yang
persisten, gejala ini dapat timbul secara tersendiri atau kombinasi, yang dapat
menghasilkan kecacatan secara fungsional. Gejala ini biasanya terdapat dalam salah
satu kategori berikut, dan merupakan bukti tambahan bahwa cedera otak ringan telah
terjadi, yaitu (Key et.al, 1993):

a. Gejala fisik cedera otak (misalnya, mual, muntah, pusing, sakit kepala, penglihatan
kabur, gangguan tidur, cepat lelah, lemah, dan lain-lain) yang tidak dapat
diperhitungkan dari cedera perifer atau penyebab lainnya;
b. Defisit kognitif (misalnya melibatkan perhatian, konsentrasi, persepsi, memori,
bicara/bahasa, atau fungsi pelaksana) yang tidak bisa sepenuhnya diperhitungkan
dari keadaan emosi atau penyebab lainnya.
c. Perubahan perilaku dan atau perubahan dalam derajat respon emosional (misalnya
iritabilitas, cepat marah, tidak dapat mengontrol diri atau emosi yang labil) yang
tidak dapat diperhitungkan dari reaksi psikologis terhadap stres fisik atau stres
emosional atau penyebab lainnya.
4. Diagnosis
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara klinis beratnya
cedera otak. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau
cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan sebagai cedera otak
sedang, dan pasien dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Dalam penilaian GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas kanan/kiri maka yang
dipergunakan adalah angka respon motorik terbaik sebagai pengukuran karena hal ini
adalah alat prediksi yang lebih cocok. Namun respon motorik pada kedua sisinya
harus dicatat (Fildes et.al., 2008).

Tabel 2. Glasgow Coma Scale (GCS)

10

Cedera otak ringan ditandai oleh pasien sadar penuh dan dapat berbicara namun
dengan riwayat disorientasi, amnesia atau kehilangan kesadaran sesaat. Skor GCS
antara 13-15. Pada cedera otak sedang, mereka umumnya masih mampu menuruti
perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau mengantuk dan dapat
disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sebanyak 10-20 % dari pasien
cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma. Untuk alasan
tersebut maka pemeriksaan neurologis secara berkala diharuskan dalam mengelola
pasien ini. Pasien dengan cedera otak berat tidak mampu melakukan perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya tetap stabil (Fildes et.al., 2008).
Survei sekunder sangat penting pada pasien dengan cedera otak ringan. Catat
mekanisme cedera, adanya kehilangan kesadaran, termasuk lamanya durasi pasien
tidak memberikan respon, adanya kejang dan derajat kesadaran. Pastikan apakah ada
amnesia sebelum (retrograde) dan sesudah (antegrade) kecelakaan. Tentukan beratringannya nyeri kepala dan catat waktu yang dibutuhkan pasien untuk kembali
menjadi GCS 15 dengan cara pemeriksaan berkala/serial (Fildes et.al., 2008).
Pemeriksaan CT scan harus dilakukan secepat mungkin, segera setelah
hemodinamik distabilkan. Pemeriksaan CT scan ulang harus diulang bila terjadi
perburukan status klinis pasien secara rutin 12-24 jam setelah trauma bila dijumpai
gambaran kontusio otak atau hematom pada CT scan awalnya (Fildes et.al., 2008).

11

Pemeriksaan CT-scan adalah pemeriksaan yang dianjurkan. CT scan harus


dilakukan pada semua pasien cedera otak yang gagal kembali menjadi GCS 15 dalam
waktu 2 jam setelah cedera, adanya kecurigaan fraktur tulang tengkorak terbuka,
adanya tanda-tanda klinis fraktur basis kranii, adanya muntah lebih dari 2 kali episode
maupun pada pasien berusia lebih dari 65 tahun. Pemeriksaan CT scan juga harus
dipertimbangkan pada pasien disertai kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,
amnesia retrograde lebih dari 30 menit, hebatnya mekanisme cedera, nyeri kepala
berat atau adanya defisit neurologis fokal akibat cedera otak (Fildes et.al, 2008).
Hasil pemeriksaan CT scan yang bermakna antara lain pembengkakan kulit
kepala atau perdarahan subgaleal di tempat benturan. Retak atau garis fraktur tampak
lebih jelas pada CT scan bone window, walaupun kadang dapat tampak juga CT
scan soft tissue windows. Penemuan terpenting dalam CT scan kepala adalah adanya
perdarahan intrakranial, kontusio dan pergeseran garis tengah (efek massa) (Fildes
et.al., 2008).
Septum pelusidum yang terletak di anatara kedua ventrikel lateralis harus
terletak di garis tengah. Garis tengah dapat ditarik dari krista galli di bagian anterior ke
falx cerebri yang berinsersi di protuberensia occipitalis interna (inion) dibagian
posterior. Derajat pergeseran septum pelusidum menjauhi sisi perdarahan harus dicatat
dan dihitung menurut skala yang tertera disampaing hasil CT scan (Fildes et.al., 2008).
Bila CT scan tidak ada, foto polos dapat digunakan untuk cedera kepala tumpul
dan tajam. Jika foto polos kepala (schedel) dilakukan carilah gambaran: (1) Fraktur
linear atau depresi, (2) Posisi glandula pineal di garis tengah (bila ada kalsifikasi), (3)
Batas air-udara di daerah sinus, (4) Pneumosefal, (5) Fraktur tulang wajah, (6) Benda
asing. Harus diingat, pemeriksaan foto polos tidak boleh sampai menunda transfer
pasien ke rumah sakit rujukan (Fildes et.al, 2008).
Bila terdapat abnormalitas pada gambaran CT scan atau masih terdapat gejala
neurologis yang abnormal, pasien harus dibawa ke rumah sakit dan dikonsulkan ke
ahli bedah saraf (Fildes et.al., 2008).
Tabel 3. Indikasi CT scan pada cedera otak ringan (Fildes et.al., 2008).
CT scan diperlukan pada cedera otak ringan (antara lain: adanya riwayat pingsan,
amnesia, disorientasi dengan GCS 13-15) dan pada keadaan berikut:
Faktor risiko tinggi perlu tindakan bedah
Faktor risiko sedang perlu
12

saraf:

tindakan bedah saraf

Nilai GCS < 15 pada 2 jam setelah -

Amnesia sebelum cedera (lebih

cedera
Dicurigai ada fraktur depres atau -

dari 30 menit)
Mekanisme cedera berbahaya

terbuka
Adanya tanda-tanda fraktur dasar

(mis: pejalan kaki tertabrak

tulang tengkorak (mis: perdarahan di


membran
-

timpani,

racoon

eyes,

rinorhea dan otorhea, battle sign.


Muntah (lebih dari 2 kali episode)
Usia lebih dari 65 tahun

kendaraan
penumpang

bermotor,
terlempar

kendaraannya,

jatuh

dari
dari

ketinggian lebih dari 3 kaki atau


5 anak tangga)

5. Tatalaksana
Penderita harus menjalani rawat inap bila skor GCS kurang dari 15, serta
terdapat gangguan Geurologic, gangguan faal vital, dan fraktur tulang kepala. Rawat
inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi
dimaksudkan untuk menemukan sedini mungkin penyulit atau kelainan lain yang tidak
segera memberi tanda atau gejala (Sjamsuhidajat, 2005).
Setelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologic, harus
diperhatikan kesembilan aspek perawatan berikut ini. Pemberian cairan dan elektrolit
disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebihan dan
hiponatremia yang akan memperberat udem otak. Pemasangan kateter kandung kemih
diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan dan menjaga supaya tempat tidur
tetap bersih dan kering (Sjamsuhidajat, 2005).
Pencegahan terhadap pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru,
mengubah secra berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret. Kulit
diusahakan tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus. Anggota gerak
digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi. Kornea harus terusmenerus dibasahi dengan larutan asam borat 2% untuk mencegah keratitis. Keadaan
gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung
kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi,
baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan
yang justru akan menaikkan tekanan intrakranial (Sjamsuhidajat, 2005).
13

Kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkan hipoksia otak dan
kenaikan tekanan darah serta memperberat edema otak. Hipertermi dapat timbul pada
hari pertama pasca trauma karena gangguan pada hipotalamus, batang otak, atau
dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat disebabkan oleh dehidrasi,
infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi transfusi dapat juga
menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan
tumbuhnya kuman yang resisten, menyebabkan colitis

pseudomembranosa,

mengundang terjadinya sepsis (Sjamsuhidajat, 2005).


Jika pasien asimptomatik, sadar, neurologis normal, observasi diteruskan selama
beberapa jam dan diperiksa ulang. Bila kondisi tetap normal, dikatakan pasien aman
dan dapat dipulangkan. Pasien boleh pulang tetapi harus diobservasi oleh keluarga/
penjaganya setidak-tidaknya 24 jam berikutnya. Bila dalam pengawasan didapatkan
nyeri kepala bertambah, penurunan kesadaran, atau terdapat defisit neurologis fokal,
maka pasien dibawa segera kembali ke unit gawat darurat (Fildes et.al., 2008).
6. Komplikasi
Dapat terjadi penyulit yang gejala dan tandanya baru tampak beberapa lama
pascatrauma, diantaranya (Sjamsuhidajat, 2005):
- Gangguan neurologik
Dapat berupa anosmia, gangguan visus, strabismus, cedera nervus fasialis,
gangguan pendengaran atau keseimbangan, disartri dan disfagia. Kadang terdapat
-

afasia atau hemipareis.


Sindrom pascatrauma
Biasanya sindrom pascatrauma terjadi pada trauma kepala yang tergolong ringan
dengan GCS awal diatas 12 atau pingsan yang tidak lebih dari 20 menit. Sindrom
tersebut berupa keluhan nyeri kepala, kepala terasa berat, mudah lupa, daya
konsentrasi menurun, cemas dan mudah tersinggung. Tidak didapatkan kelainan
neurologik. Keluhan tersebut pada umumnya berlangsung hingga 2-3 bulan

pascatrauma walaupun kadang jauh lebih lama.


Sindroma psikis pascatrauma
Sindroma psikis pascatrauma agak jarang ditemukan. Meliputi penurunan
inteligensia, baik verbal maupun perilaku, gangguan berpikir, rasa curiga serta
sikap bermusuhan, cemas, menarik diri dan depresi. Yang paling menonjol adalah

14

gangguan daya ingat. Faktor utama timbulnya gangguan neuropsikiatrik ini ialah
-

beratnya trauma.
Ensefalopati pascatrauma
Istilah ensefalopati dipakai bila terdapat fokus patologik yang tersebar diotak.
Gambaran klinis tampak sebagai demensia, penurunan kesiagaan dan tanda
neurologik lain. Ensefalopati pascatrauma yang khas didapat pada petinju. Gejala

terdiri atas tanda piramidal, ekstrapiramidal dan vestibuloserebelar.


Epilepsi pascatrauma
Epilepsi pascatrauma biasanya terjadi karena cedera vertikal.
Hidrosefalus pascatrauma
Hidrosefalus pascatrauma, jarang ditemukan dan timbul secara perlahan-lahan.
Biasanya kelainan ini ditemukan pada ensefalopati pascatrauma. Gejala yang

tampak ialah trias yang terdiri dari demensia, ataksia dan inkontinensia urin.
Koma vigil.
Penderita dengan trauma kepala berat dapat berakhir dalam keadaan korteks
serebrum tidak berfungsi lagi. Semua rangsangan dari luar masih dapat diterima,
tetapi tidak disadari. Penderita biasanya dalam keadaan menutup mata dan terdapat
siklus bangun dan tidur. Penderita dapat bersuara, gerakan ototnya lemah atau

tidak ada sama sekali.


7. Prognosis
Sebagain besar pasien cedera otak ringan pulih sempurna. Kurang lebih 3%
mengalami perburukan dengan hasil gangguan neurologis hebat apabila tidak
terdeteksi lebih dini. Pasien ini dapat memiliki gejala sisa yang menetap seperti nyeri
kepala kronik, gangguan tidur dan ingatan. Sebanyak 10-20% dari pasien cedera otak
sedang mengalami perburukan dan jatuh dalam koma (Fildes et.al., 2008).

B. Fraktur Depresi Tulang Kepala


Fraktur depresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala pada area yang kecil. Fraktur depresi pada tulang kepala
dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak. Fraktur
depresi dianggap bermakna jika tabula eksterna yang mengalami depresi masuk dibawah
tabula interna segmen tulang yang sehat (>1 diploe) (Tandian, 2011).
Pada pemeriksaan rontgen kranium fraktur depresi memberikan gambaran double
countour (double density). Jika didapatkan gambaran tersebut dan diperlukan evaluasi struktur
15

jaringan otak di bawah segmen yang depresi maka dapat dilakukan pemeriksaan CT scan
(Tandian, 2011)
Indikasi operasi pada fraktur depresi adalah jika fraktur depresi lebih dari 1 diploe atau
terdapat lesi intrakranial di bawah segmen yang depresi misalnya kontusio serebri atau
intraserebral hematoma, atau terdapat defisit neurologi yang sesuai dengan daerah yang
depresi (Tandian, 2011).
Pada pasien fraktur depresi terbuka tindakan pertama yang harus dilakukan oleh
dokter di ruang gawat darurat adalah segera membersihkan dan mencuci dengan cairan NaCl
0,9% steril kemudian dilakukan penjahitan luka. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko
infeksi karena terdapat hubungan antara ruang intrakranial dan dunia luar. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan penunjang dan segera dikonsulkan ke rumah sakit yang ada pusat
pelayanan bedah saraf (Tandian, 2011)
C. Epidural Hematom
1. Definisi
Epidural hematoma (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural, yaitu ruang
potensial anatara tabula interna tulang tengkorak dan duramater (Sadewo, 2011).
2. Patofisiologi
Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama a. Meningea media
yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater
dan tulang di permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan
hematom epidural. Desakan oleh hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematom epidural tanpa cedera lain
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media (Sjamsuhidajat, 2005).
Hematom yang luas di daerah temporal menyebabkan tertekannya lobus temporalis
otak ke arah berlawanan dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
(unkus dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium.
Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenali oleh
tim medis (Price & Wilson, 2006).

16

Gambar 1.1 Ilustrasi epidural hematom dengan efek akut massa dan kompresi ipsilateral cerebral peduncle
yang menyebabkan herniasi unkus (Mahadevan & Garmel, 2005).

Tekanan herniasi unkus pada sirkulasi arteria ke formasio retikularis medulla


oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini juga terdapat nuclei saraf
cranial III (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada jaras kortikospinalis ascendens pada area ini
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral (yaitu, berlawanan dengan tempat
hematom), refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan babinski positif (Price & Wilson,
2006).
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi
medial lobus temporal yang disebut unkus. Herniasi unkus juga menyebabkan penekanan
traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan di midbrain/otak tengah. Traktus
piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada
level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis otototot sisi tubuh kontralateral (hemiparese kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral disertai
hemiparese kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkus (Fildes et.al,
2008)
Dengan makin meluasnya hematom, seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial, termasuk kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda vital dan fungsi pernapasan (Price & Wilson, 2006).
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam,
17

penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada epidural hematom. Kalau pada subdural hematom cedera
primernya hampir selalu berat atau epidural hematom dengan trauma primer berat tidak
terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah
mengalami fase sadar (Sjamsuhidajat, 2005).
3. Gejala dan tanda klinis
Epidural hematom dapat menimbulkan gejala penurunan kesadaran, adanya interval
lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis
kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit
kepala, muntah, kejang dan hemi-hiperrefleks (Sadewo, 2011).
Gejala dan tanda yang tampak bervariasi, tetapi penderita hematom epidural yang
khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam waktu pendek,
diikuti oleh periode lusid. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa interval lusid
merupakan tanda diagnostik yang dipercaya pada hematom epidural. Pertama, interval
lusid mungkin berlalu tanpa diketahui, terutama bila hanya sekejap saja. Kedua, penderita
dengan cedera otak berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan stupor (Price &
Wilson, 2006).
Hematom epidural pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Setelah
hematom bertambah besar baru akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan
intrakranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan
penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor,
yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran
menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai
akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda
kematian (Sjamsuhidajat, 2005).
Ciri khas hematom epidural murni adalah terdapatnya interval bebas antara saat
terjadinya trauma dan tanda pertama yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam. Jika hematom epidural disertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval

18

bebas tidak terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur (Sjamsuhidajat,
2005).
4. Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto
rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural bila sisi
fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat
menunjukkan lokasi hematom (Sjamsuhidajat, 2005).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah(Sadewo, 2011):
a. Foto polos kepala (skull x-ray). Dari foto polos kepala dapat ditemukan fraktur, dan
umumnya fraktur ditemukan pada usia < 30 tahun.
b. CT scan kepala. Gambaran klasik hematom epidural pada CT scan adalah gambaran
hiperintensitas bikonveks (84%). Namun dapat juga ditemukan gambaran hiperintens
yang berbentuk garis atau bulan sabit. Hematom epidural biasanya memiliki
intensitas yang homogen, berbatas tegas dan menyatu dengan tabula interna. Lebih
dari 95% hematom epidural terdapat unulateral dan 90-95% terdapat di
supratentorial. Morfologi hematom epidural adalah gambaran bikonveks atau
lentiformis ektra aksial pada tempat terjadinya cedera, tidak menyebrang sutura
kecuali terdapat diastasis sutura atau fraktur, tidak menyebrang falks dan tentorium
dan menekan parenkim otak dan subarachnoid mater. Dari CT-scan kepala dapat juga
ditemukan fraktur tulang tengkorak (85-95%).

Gambar 1.2. Epidural hematom pada daerah frontal dan sedikit pergeseran garis tengah
(midline shift) (Stone & Humphries, 2006).
19

c. MRI kepala. Gambaran MRI yang didapat bervariasi tergantung onset trauma dan
letak perdarahan.
Pemeriksaan penunjang yang paling baik digunakan pada pasien trauma adalah CT scan
kepala.
5. Tatalaksana
Tatalaksana EDH dibagi menjadi 2, yaitu tatalaksana medikamentosa dan operatif.
Tatalaksana medikamentosa diberikan jika terdapat EDH subakut atau kronik yang
berukuran kecil ( 1 cm ketebalan) dan gejala dan tanda neurologis yang minimal. Pada
keadaan tersebut, pasien dirawat dan diobservasi dengan CT scan, follow up 1 minggu
kemudian jika secara klinis stabil (Sadewo, 2011). Tatalaksana medikamentosa pada
EDH yaitu (Markam, 2005):
a. Memperbaiki dan mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu bebas, bersihkan lendir dan darah yang dapat
menghalangi aliran udara pernapasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena. Cairan
yang digunakan adalah NaCl 0,9% atau dextrose in saline.
b. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak yaitu
- Cairan intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap
dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah
berbahaya. Namun, harus diperhatikan untuk tidak memberikan cairan yang
berlebihan. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus
dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak. Strategi terbaik adalah
mempertahankan volume intravascular normal dan hindari hipoosmolaitas,
dengan cairan isotonic. Saline hipotonik bisa digunakan untuk megnatasi
-

hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.


Hiperventilasi

20

Bertujuan untuk menurunkan PCO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi


pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, PO2 dipertahankan >100 mmHg dan PCO2 diantara 25-30
-

mmHg.
Cairan hiperosmolar
Umumnya digunakan cairan manitol 10-15% per infuse untuk menarik air dari
ruang interstisial ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan
melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus
diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,51
gram/kgbb dalam 10-30 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang
menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound sehingga dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam
atau keesokan harinya.

Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak atau kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya
berdasarkan asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis
parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi. Deksametasone pernah dicoba
dengan dosis sampai 10 mg bolus yang diikuti dengan 4 kali 4 mg per hari. Selain
itu juga metilprednisolone pernah digunakan dengan dosis 6 kali 15 mg dan

triamsinolon dengan dosis 6 kali 10 mg.


Barbiturat
Digunakan untuk membius pasien sehinggametabolisme otak dapat ditekan
serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun karena
kebutuhan yang rendah, otak relative lebih terlindung dari kemungkinan
kerusakan akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya

dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.


Cara lain
Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi samapai 1500-2000 ml/24
jam agar tidak memperberat edema jaringan. Ada laporan yang menyatakan

21

bahwa posisi tidur dengan kepala dan leher yang diangkat 30 0 akan menurunkan
tekanan intracranial. Posisi tidur yang dianjurkan terutama pada pasien yang
berbaring lama, ialah
o Kepala dan leher diangkat 300
o Sendi lutut diganjal membentuk sudut 1500
o Telapak kaki diganjal membentuk sudut 900 dengan tungkai bawah
c. Obat-obatan neurotropik
Banyak obat yang dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak,
termasuk pada keadaan koma.
- Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolism otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membrane
sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infuse. Tidak
-

dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena


Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA, suatu neurotransmitter penting di

otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/hari intravena.


Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin sendiri
diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di otak. Diberikan
dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
Pada 50% kasus, EDH yang kecil akan berkembang menjadi lebih besar dan

diperlukan terapi operatif (Sadewo, 2011). Penatalaksanaan dilakukan segera dengan cara
trepanasi dengan tujuan melakukan evakuasi hematom dan menghentikan perdarahan
(Sjamsuhidajat, 2005). Managemen operatif diindikasikan jika terdapat (Sadewo, 2011):
a. EDH simptomatik
b. EDH akut asimptomatik tetapi ketebalan > 1 cm
c. EDH pada pasien anak
Tujuan dilakukan operasi adalah untuk menghilangkan bekuan darah sehingga
dapat menurunkan tekanan intrakranial, hemostasis dan mencegah reakumulasi darah di
ruang epidural (Sadewo, 2011)
6. Prognosis

22

Bila hematoma epidural tidak disertai cedera otak lainnya, pengobatan dini
biasanya dapat menyembuhkan penderita dengan sedikit atau tanpa Geurolo Geurologic.
Intervensi bedah harus dikerjakan dini sebelum penekanan pada jaringan otak
menimbulkan kerusakan otak. Mortalitas tetap tinggi meskipun diagnosis dan pengobatan
dilakukan dini, yaitu karena trauma dan gejala sisa berat yang menyertainya (Price &
Wilson).

PEMBAHASAN
Pasien mengalami trauma pada kepala setelah terjatuh dari sepeda motor sehingga
kepala pasien terbentur pinggir trotoar. Hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan atau
patahnya tulang tengkorak. Kerusakan atau patahnya tulang tengkorak dan benturan akibat
trauma tersebut dapat menyebabkan robek atau pecahnya pembuluh darah pada bagian kepala
yang terkena trauma, hal tersebut dapat menyebabkan terkumpulnya darah diantara tulang
tengkorak dan lapisan luar pembungkus otak seperti yang dialami oleh pasien.
Pasien dikelolah sesuai dengan penatalaksanaan pada trauma yaitu primary survey dan
secondary survey. Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali
dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Hal ini berpatokan pada A, B, C, D, E. Airway
dan kontrol servikal dengan jaw thrust atau head tilt chin lift. Bila pasien tidak sadar dan
ditemukan adanya suara mengorok dapat dilakukan pemasangan oro-pharingeal tube. Pasien
dengan gangguan keasadaran atau GCS sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitif. Pada pasien ini diberikan oksigen nasal kanul 3 lpm. Pada
breathing didapatkan hasil pergerakan dinding dada simetris, RR: 28 x/menit, teratur, retraksi
(-), tipe pernapasan torako-abdominal. Hal ini menunjukkan tidak ada masalah pada
komponen ventilasi (breathing). Pada circulation nadi radialis teraba, kuat angkat, teratur, N:
80 x/menit, TD: 110/70 mmHg. Kemudian dilakukan penilaian pada disability dan exposure.
Pada pemeriksaan disability didapatkan GCS E2V2M5. Penentuan GCS definitif pada pasien
ini sulit dilakukan karena pasien dibawah pengaruh alkohol. Pada pemeriksaan exposure

23

didapatkan tiga vulnus appertum di regio wajah, tindakan yang dilakukan adalah kontrol
perdarahan dengan penjahitan luka.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan rontgen skull AP/lateral,
thoraks, servikal, CT-scan kepala, pemeriksaan darah lengkap, GDS, ureum, kreatinin, SGOT,
SGPT, HbsAg. Hasil pemeriksaan rontgen skull AP/lateral menunjukkan terdapat fraktur pada
os frontalis sementara hasil pemeriksaan CT-scan kepala menunjukkan terdapat fraktur
depresi os frontalis dan epidural hematoma berukuran 2 cm x 1,5 cm di regio frontalis.
Tindakan yang akan dilakukan yaitu pemberian obat-obatan dan tindakan operasi. Tindakan
operasi tergantung dari luasnya perdarahan yang terjadi. Tindakan terapi medikamentosa yang
diberikan pada pasien ini adalah piracetam 3 gr, citicholine 250 mg, ranitidin 50 mg,
ceftriaxone 1 gr, dan metamizole natrium 1 gr. Pemberian piracetam dan citicholine bertujuan
untuk mengatasi gangguan metabolisme otak. Pemberian rantitidin bertujuan untuk mencegah
ulserasi lambung. Pemberian ceftriaxone bertujuan untuk mencegah infeksi. Pemberian
metamizole natrium bertujuan untuk mengurangi nyeri.
Tindakan operasi dilakukan jika terjadi perdarahan yang luas (> 1 cm) dan terdapat
kelainan neurologis. Tujuan dari operasi yaitu untuk menghilangkan bekuan darah sehingga
dapat menurunkan tekanan didalam kepala dan mencegah terkumpulnya darah kembali di
ruang antara tulang tengkorak dan lapisan luar pembungkus otak (ruang epidural). Pasien
pada kasus ini mengalami epidural hematoma dengan luas 2 cm x 1,5 cm. Oleh karena itu,
pasien disarankan untuk operasi sehingga di rujuk ke RSUP NTB. Sebelum dirujuk, dilakukan
pemeriksaan secondary survey ulang pada pasien. Pada pemeriksaan secondary survey, GCS
pasien menjadi E3V5M6. Perubahan GCS pada pasien ini bisa diakibatkan karena pasien sudah
tidak dalam pengaruh alkohol lagi atau karena pasien mengalami lucid interval. Pasien
dirujuk dengan menggunakan ambulans dengan oksigen nasal kanul 3 lpm dan IV line
terpasang. Di RSUP NTB, dilakukan pembedahan (kraniotomi) pada pasien. Setelah dirawat
selama 1 minggu, pasien diperbolehkan pulang. Keadaan pasien saat ini secara umum baik
dan pasien dijadwalkan kontrol rutin di poli bedah saraf rumah sakit RSUP NTB.

24

TINJAUAN PUSTAKA
Fildes, John., Meredith, J Wayne., et.al. 2008. Advanced Trauma Life Support for Doctor
(ATLS) Student Course Manual. 8th edition. United states: American College of
Surgeons Committee on Trauma
Kasan, Umar. 2002. Cidera Otak / Cidera Kepala (Brain injury / head injury). Available
from:

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=cedera

%20otak&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F
%2Fimages.neurosurg.multiply.multiplycontent.com%2Fattachment%2F0%2FSZQ
%40KQoKCDUAAGkRGyM1%2FCEDERA%2520KEPALA.DOC%3Fkey
%3Dneurosurg%3Ajournal%3A9%26nmid
%3D198747111&ei=D5a5UIWkIoTqrQem9oCYCw&usg=AFQjCNHnOjVayvMsQR6
zcc7Yl3Ca-v2LAg (Accessed at: 2015, October 3rd)
Key, Thomas et.al., 1993. Definition of Mild Traumatic Brain Injury Developed by the Mild
Traumatic Brain Injury Committee of the Head Injury Interdisciplinary Special Interest
Group of the American Congress of Rehabilitation Medicine. Available from
http://www.acrm.org/pdf/TBIDef_English_Oct2010.pdf (Accessed at: 2015, October 3rd)
Markam S. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gajah Mada Univercity Press
Prince, Sylvia., Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Sadewo, Wismaji dkk. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Sagung Seto
25

Sjamsuhidajat R., de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Tandian, D., 2011. Perlukaan Kranioserebral. Dalam: W. Sadewo, ed. 2011. Sinopsis Ilmu
Bedah Saraf. Jakarta: CV Sagung Seto. Hal 25-30.

26

Anda mungkin juga menyukai