Anda di halaman 1dari 18

PORTOFOLIO KASUS KEGAWATDARURATAN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: By. IA

Umur

: 9 bulan

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Pejeruk, Ampenan.

Agama

: Islam.

Suku

: Sasak.

Anak ke

: Pertama

Waktu Pemeriksaan

: Tanggal 21-06-2015 Pukul 16.15 Wita

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan kejang sejak pukul 16.00 Wita, 15 menit sebelum
masuk rumah sakit. Pasien kejang seluruh tubuh dengan mata mendelik ke atas.
Sebelumnya, pasien dikeluhkan demam sejak pukul 14.00 Wita, pasien sudah diberikan
obat penurun panas oleh ibu pasien. Sekitar pukul 16.00 Wita pasien telah diberikan
diazepam melalui dubur namun kejang tidak juga berhenti sehingga pasien dibawa ke
rumah sakit. Pasien tidak dikeluhkan muntah atau buang air besar cair, pasien juga minum
dan makan seperti biasa. Pasien tidak dikeluhkan sesak napas sebelum kejang.
Sebelum dibawa ke Rumah Sakit Bayangkara, pasien dibawa ke Puskesmas,
namun disana pasien langsung diminta ke Rumah Sakit Bayangkara karena di Puskesmas
saat itu tidak ada obat.
Riwayat Penyakit Dahulu
-

Pasien pertama kali mengalami hal serupa pada usia 20 hari. Sejak saat itu pasien
tetap diberikan obat depaken 2 kali sehari sebanyak 1 cc.

Pasien terakhir kali kejang sekitar 1 bulan yang lalu. Pada saat itu, pasien dibawa
berobat ke Puskesmas dan di Puskesmas, pasien diberikan obat kejang melalui
dubur dan kejang pasien berhenti. Ibu pasien tidak ingat berapa lama pasien
1

kejang saat itu. Pasien rutin kontrol ke dokter dan tidak pernah melewatkan
minum obat.
-

Pasien tidak pernah kejang tanpa disertai demam.

Riwayat alergi obat (-).

Riwayat trauma kepala (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Tidak ada anggota keluarga pasien dengan keluhan serupa.

Tidak ada keluarga pasien yang menderita epilepsi atau keganasan.

Riwayat Kehamilan
-

Ibu pasien mengatakan bahwa ia tidak pernah mengalami sakit selama ia hamil.
Selama hamil, ibu pasien juga rutin memeriksakan kandungannya ke posyandu.

Riwayat Persalinan
-

Pasien lahir ditolong bidan di Rumah Sakit Kota Mataram. Pasien lahir normal
pervaginam. Pada saat akan melahirkan, ibu pasien mengatakan dirinya sempat
demam dan air ketuban kehijauan. Saat lahir, pasien tidak langsung menangis.

Riwayat Imunisasi

Ibu pasien mengatakan anaknya telah diimunisasi lengkap

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Keadaan umum

: Pasien datang dalam keadaan kejang

Kesadaran/GCS

: Tidak dapat dievaluasi

Denyut jantung

: 150 kali per menit, reguler, kuat angkat.

Pernafasan

: 60 kali per menit, thorakoabdominal.

Suhu

: 38,3oC.

Berat Badan

: 6,5 kg

Status Gizi

: BB/U

Z-Score

= 6,5 8,9
8,9 8,0
= - 2,6 SD (status gizi kurang)

Status Lokalis

Kepala/leher:
o Kepala: bentuk dan ukuran dbn, , rambut dbn, oedema (-), deformitas (-).
o Mata: tampak mata mendelik ke atas, conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), pupil bulat isokor +/+ 3mm, RC +/+
o Kaku kuduk (-)

Thorax:
o Inspeksi : tidak ketinggalan gerak, simetris, retraksi (-)
o Palpasi
: ketinggalan gerak (-)
o Perkusi : tidak dievaluasi
o Auskultasi : Paru: bronkovesikular (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung: irama jantung teratur, suara tambahan (-)
Abdomen:
o Inspeksi
: supel, simetris, distensi (-), jejas (-), sikatrik (-),sianosis (-), vena
kolateral (-), caput meducae (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-).
o Auskultasi : peristaltik (+) normal, metalic sound (-).
o Perkusi
: tidak dievaluasi
o Palpasi
: Hepar dan lien tidak teraba.

Genitourinaria : tidak dievaluasi


Pemeriksaan ekstremitas : tampak kedua kaki dan tangan pasien menyentak (kejang
klonik)

IV. DIAGNOSIS
Status epileptikus

V. PENATALAKSANAAN
Planning Diagnosis:
Pro pemeriksaan Penunjang:
-

Darah lengkap
Gula darah sewaktu
Elektrolit
3

CT scan

Planning Terapi
Medikamentosa:
1.

Oksigen nasal canul 1 liter per menit

2.

IVFD RL 20 tetes mikro/menit.

3.
4.

Diazepam 5 mg per rektal


Parasetamol 67,5 mg per rectal

Setelah dievaluasi selama 5 menit kejang tidak berhenti sehingga pasien membutuhkan
fenitoin (sesuai dengan alur penatalaksanaan kejang demam). Fenitoin tidak tersedia di
RS. Pasien kemudian dirujuk dengan infus dan oksigen terpasang. Kejang berhenti saat
pasien di ambulans. Lama kejang 50 menit.
Non Medikamentosa:
Keluarga diedukasi untuk dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas dan pengobatan yang
lebih lengkap.
VI. PROGNOSA
Dubia ad Malam

TINJAUAN PUSTAKA
STATUS EPILEPTIKUS
DEFINISI
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama
lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Harsono, 2008).
Sedangkan dalam kamus kedokteran Dorland, 2002 disebutkan bahwa status
epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30menit, atau adanya dua
bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harusdimulai dalam 10 menit setelah
awitan suatu bangkitan.
Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu rentetan
kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara serangan. Istilah ini
telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik kontinyu yang berakhir
sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan kesadaran (Harsono, 2008).
KLASIFIKASI
Meskipun tidak ada konsensus yang membahas mengenai sistem klasifikasi status
epileptikus, tetap diperlukan sistem klasifikasi untuk manajemen yang tepat karena
manajemen yang efektif bergantung pada tipe dari status epileptikus. Secara umum, status
epileptikus diklasifikasikan berdasarkan lokasi fokus kejang yaitu terlokalisir di satu
region kortek (onset parsial: simple atau kompleks) atau dari kedua hemisfer otak (onset
umum/general: tonik klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik). Klasifikasi lainnya
membedakan status epileptikus berdasarkan observasi klinis terhadap timbulnya konvulsi
yaitu konvulsi dan non konvulsi. Klasifikasi lainnya membagi status epileptikus melalui
pendekatan yang berbeda yaitu bedasarkan umur yaitu periode neonatus, anak, remaja,
remaja dan dewasa, dan dewasa saja. (Sirven dan Waterhouse, 2003)

ETIOLOGI

Menurut Ramachandrannair (2013) ditinjau dari penyebabnya, epilepsi dibagi menjadi 2,


yaitu :
1. Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan
otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut
sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama / sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan
nutrisi (misalnya hipoglikemi, fenilketonuria), defisiensi vitamin B6, faktor-faktor toksik
(putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.
Ramachandrannair (2009) melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16 tahun,
penyebab paling umum adalah demam atau infeksi (36%). Pasien dengan riwayat epilepsi
sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi terjadinya SE. Hal ini termasuk juga pasien
yang cenderung mengalami epilepsi berulang serta ketidakteraturan dalam meminum obat
antikonvulsan.

PATOGENESIS

Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah


kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (neurotransmiter
eksitatori: glutamat, aspartat dan asetilkolin) melebihi kemampuan hambatan intrinsik
(GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif. Pada level neurokimia,
bangkitan terjadi akibat ketidakseimbangan antara eksitasi berlebihan dan kurangnya
inhibisi. Neurotransmitter eksitasi yang terbanyak ditemukan adalah glutamat dan juga
turut dilibatkan disini adalah reseptor subtipe NMDA (N-methyl-D-aspartat).
Neurotransmiter inhibisi yang terbanyak ditemukan adalah gamma-aminobutyric acid
(GABA). Kegagalan proses inhibisi merupakan mekanisme utama pada status epileptikus.
6

Inhibisi yang diperantarai oleh reseptor GABA berperan dalam terminasi bangkitan.
Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat sebagai neurotransmitter eksitasi dibutuhkan
dalam perambatan bangkitan. Aktivasi reseptor NMDA meningkatkan kadar kalsium
intraseluler

yang

menyebabkan

cedera

sel

saraf

pada

status

epileptikus.

Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa semakin lama durasi status epileptikus maka
semakin sulit dikontrol. Hal ini dikatakan sebagai akibat peralihan dari transmisi GABA
inhibisi yang inadekuat ke transmisi NMDA eksitasi yang berlebihan (Juli dan Stephen ,
2013).
Suatu lepasan muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah
dan bertambahnya

denyut

jantung.

Autoregulasi

peredaran

darah

otak

hilang

mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat


bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme
autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun bila kejang berlangsung terus
dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi yang selanjutnya menyebabkan iskemik
pada otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksia pada sel-sel otak.
Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan selain mengganggu pernafasan
secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medula oblongata.
Disamping itu pelepasan muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan
dan aspirasi mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan
fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan energi yang sangat banyak.
Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara
berlebihan sehingga persediaan senyawa fosfat energi tinggi terkuras. Hipotensi dan
hipoksia akan memperburuk keadaan yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron.
Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmia jantung, hipoksia otak yang berat dan
kematian. Kejang otot dan gangguan autoregulasi lain juga menimbulkan komplikasi
kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak (Juli dan Stephen, 2013).
Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan
apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksia. Sel-sel neuron yang mengalami
iskemik selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks
serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje (Juli dan Stephen, 2013).

PATOFISIOLOGI
Faktor Predisposisi

Pasca trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pasca cedera kepala


Riwayat dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsan
Riwayat ibu yang mempunyai resiko tinggi
Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
Adanya riwayat keracunan
Riwayat gangguan sirkulasi serebral
Riwayat demam tinggi
Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi/gizi
Riwayat intoksikasi obat-obatan atau alkohol
Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan
Riwayat keeturunan epilepsi

MANIFESTASI KLINIS
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized TonicClonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Berikut manifestasi klinis status epileptikus berdasarkan Harsono (2005),
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi
dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonikklonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik
umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang
tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi. Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan
fase tonik yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang
terputus-putus.

Pasien

menjadi

sianosis

selama

fase

ini,

diikuti

oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan


darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis
respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama
pada kasus yang tidak tertangani.

b. Status

Epileptikus

Klonik-Tonik-Klonik

(Clonic-Tonic-Clonic

Status

Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

d. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya
tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati

anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan
toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
e. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat
seperti menyerupaislow motion movie dan mungkin bertahan dalam waktu
periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang
absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Pemberian
benzodiazepine berespon baik terhadap status epileptikus tipe ini.
f. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai
perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah, halusinasi,
tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike
wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
g. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi
dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang
mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG
sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada

hemisfer

yang

berlawanan

(PLED),

dimana

sering

berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari
status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).

10

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
h. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi
otomatisme,

gangguan

berbicara,

dan

keadaan

kebingungan

yang

berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis atau
frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus nonkonvulsif pada beberapa kasus.
Adapun manifestasi klinik dari status epilepsi yaitu:

Kejang-kejang ( tonik klonik, Absence)


Hipertensi
Mulut berbuih
Menggigit lidah
Kekuatan Otot menurun
Cyanosis
Inkontinensia urin
Denyut nadi meningkat
Hipersalivasi

FASE STATUS EPILEPTIKUS


Menurut Harsono (2005), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi
menjadi lima fase, yaitu :
a.

Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti


peningkatan aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan

11

penurunan pH yang diakibatkan oleh asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang
bersifat reversibel pada tahap ini.
b.

Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu kemampuan
tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum
kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan saraf yang bersifat irreversibel pada
tahap ini.

c.

Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf
yang irreversibel.

d.

Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama
tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi.

e.

Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari seluruh
klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf dan kerusakan otak
berlanjut.

12

PENATALAKSANAAN
Tabel 1. Stadium penatalaksanaan kejang (Karnia, 2007)
Stadium
Stadium I
(0-10 menit)
Stadium II
(1-60 menit)

Penatalaksanaan
Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi

Pemeriksaan status neurologis


Pengukuran tekanan darah, nadi, suhu
EKG
Memasang infuse pada pembuluh darah besar
Mengambil 5-10 cc darah untuk pemeriksaan lab
Pemberiaan OAE emergensi: diazepam 10-20 mg iv (kecepatan
pemberian 2-5 mg/menit) atau rektal, dapat diulang 15 menit

kemudian
Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa tiamin 250

mg iv
Menangani asidosis
13

Stadium III
(0-60/90 menit)

Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit setelah pemberian
diazepam pertama, beri fenitoin IV 15-18 mg/kgbb dengan

Stadium IV

(30-90 menit)

kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasi
Bila kejang tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer pasien ke
ICU, beri propofol 2 mg/kgbb bolus iv, diulang bila perlu atau
tiophental (100-250 mg bolus iv pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG

terakhir lalu tappering off)


Memantau bangkitan dan EEG, tekanan intrakranial, memulai
pemberian OAE dosis rumatan

Tabel 2. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan (Harsono, 2005)


Jenis

OAE lini

OAE Lini

OAE lain yang

OAE yang

Bangkitan

pertama

Kedua

dapat

sebaiknya

dipertimbangka

dihindari

Bangkitan

Sodium valproat

Clobazam

n
Clonazepam

umum tonik-

Lamotrigine

Levetiracetam

Phenobarbital

klonik

Topimirat

Oxcarbazepine

Phenitoin

Bangkitan

Carbamazepin
Sodium valproat

Clobazam

Carbamazepine

lena/absens

Lamotrigine

Topimirate

Gabapentin

Acetazolamide

Bangkitan

Sodium valproat

Clobazam

Oxcarbazepin
Carbamazepine

mioklonik

Topimirate

Topimirate

Gabapentin

Levetiracetam

Oxcarbazepin

Lamotrigine
Bangkitan

Sodium valproat

Piracetam
Clobazam

tonik

Topimirate

Levetiracetam

14

Phenobarbital

Carbamazepine

Acetazolamide

Gabapentin

Topiramirate

Oxcarbazepin

Bangkitan

Sodium valproat

atonik
Bangkitan

Topimirate
Carbamazepin

fokal

Oxcarbamazepin Gabapentin

Phenobarbital

(parsial)

Sodium valproat

Levetiracetam

Acetazolamide

dengan/tanpa

Topimirate

Phenitoin

umum

Lamotrigine

Clobazam

Clonazepam

sekunder

ALGORITME PENANGANAN KEJANG PADA ANAK (Karnia, 2007)

15

PEMBAHASAN

16

Pasien didiagnosis status epileptikus karena mengalami kejang selama 50 menit.


Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih
rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang
yang berlangsung lebih dari 30 menit. Dilihat dari tipe status epileptikus, pasien ini
masuk ke dalam status epileptikus tipe general jenis tonik klonik karena saat kejang,
kedua mata pasien mendelik ke atas, kedua tangan dan kedua kaki menyentak, dan pasien
dalam keadaan tidak sadar.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan informasi bahwa pasien mengalami demam
beberapa jam sebelum kejang. Hal ini menjelaskan etiologi dari kejang pada pasien yaitu
infeksi yang mungkin berasal dari kranial atau ekstrakranial. Untuk mengetahui hal
tersebut dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut diantaranya eeg, ct scan, dan lumbal pungsi.
Dari anamnesis didapatkan pula informasi bahwa ibu pasien mengalami demam beberapa
saat sebelum melahirkan. Saat melahirkan, ketuban berwarna kehijauan dan pasien tidak
segera menangis. Kondisi-kondisi tersebut merupakan faktor predisposisi terjadinya
kejang.
Penatalaksanaan pada pasien ini saat pertama kali masuk IGD adalah pemberian
oksigen 1 lpm nasal kanul, pemasangan IV line, pemberian diazepam 5 mg per rektal
sebanyak 1 kali dan parasetamol 67,5 mg per rektal. Hal ini sesuai dengan alur diagnosis
penatalaksanaan kejang. Setelah dilakukan pemberian diazepam, kejang tidak juga
berhenti sehingga diputuskan untuk merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang memiliki
obat-obatan antikonvulsan intravena sesuai dengan alur penatalaksanaan kejang. Selama
melakukan perujukan pasien dijaga agar patensi jalan napasnya baik, dan pemberian
oksigen adekuat. Beberapa saat setelah tiba di rumah sakit rujukan, pasien kembali kejan
beberapa kali. Pasien dikonsulkan ke dokter spesialis anak dan diberikan terapi oksigen 1
lpm nasal kanul, D5 NS 20 tpm mikro, sanmol infuse 4 x 70 mg, phenitoin 2 x 16 mg
dilarutkan dalam Nacl 0,9% menjadi 10 cc IV pelan selama 20 menit lamanya, ceftriaxon
2 x 250 mg IV, depaken 2 x 1 cc oral, dan bila kejang diberikan diazepam 1,5 mg iv
pelan.

DAFTAR PUSTAKA

17

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta . Gadjah Mada University
Press.
Julie L Roth, Stephen A Berman. 2013. Status Epilepticus. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com
Karnia, Nia. 2007. Kejang pada anak. Diunduh dari
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf
Lia Astikasari, dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta. EGC
Ramachandrannair Rajesh. 2013. Pediatric Status Epilepticus Treatment & Management
http://emedicine.medscape.com/article/908394-treatment
Sirven JI, Waterhouse E. 2003. Management of Status epilecticus. Am Fam Physician
68:469-76.

18

Anda mungkin juga menyukai