Anda di halaman 1dari 60

PRESENTASI ETIK

KASUS MALPRAKTEK
KECACATAN PASIEN AKIBAT KELALAIAN DOKTER

Dr. Ayu Shelvia Reviani


PEMBIMBING :
1.
2.

Identitas pasien
Nama: ny. sh
Usia: 53 tahun

KRONOLOGIS KEJADIAN
pada tanggal 14 mei 2009, pasien berobat
pada salah satu dokter yang berpraktik di
kota sama dengan domisili korban. Korban
menyampaikan keluhannya, yaitu haid
darahnya bergumpal,
terhadap korban dilakukan pemeriksaan
USG dan hasilnya ditemukan adanya
myoma uteri yang harus dibuang melalui
tindakan operasi.

Pasien menyetujui saran dari dokter


tersebut, namun saat pemeriksaan Hb
(Hemoglobin) korban terlalu rendah,
tidak dimungkinkannya dilakukan
tindakan operasi. Untuk itu Hb harus
dinaikkan melalui transfuse darah.
kemudian pasien dirujuk ke dr. hp,
SpOG yang berpraktik di RS. X Medan

tanggal 19 mei 2009, pasien psien


disarankan dilakukan Biopsi (dan
dianjurkan untuk dirawat inap di RS.X.
20 mei 2009, pasien menjalani rawat
inap di RS. Santa Elisabeth Medan,
dokter mengatakan agar dilakukan
tindakan kuret tanpa menjelaskan apa
maksud dan tujuan dari tindakan
tersebut.

tanggal 27 mei 2009, dokter melakukan


operasi pada pasien. Pasca operasi,
setelah sadar pasien tidak dapat
mengeluarkan urine di kateter, hal ini
berlangsung hingga pagi esok harinya.
Kemudian pagi itu juga dilakukan USG
terhadap korban oleh dokter dan hasilnya
ada penyumbatan lalu kemudian
dilakukan kembali operasi untuk kedua
kalinya selama tiga jam (3jam).

Sampai hari kedua pasca operasi, urine


keluar dari kateter, tetapi pada hari ketiga
dan seterusnya, ada urine keluar melalui
vagina, setelah dilakukan usg dari vagina dan
dijelaskan bahwa ada bocor yang halus sekali
pada kandung kemih korban. Dan kemudian
dr. HP memberikan obat dan menyatakan
akan sembuh. Setelah 3 (tiga) minggu
kateter dibuka, ternya urine keluar melalui
vagina tanpa sadar dan tidak bisa ditahan.

setelah pasien dirawat selama 25 (dua puluh lima)


hari di RS. X, korban merasa penyakitnya malah
makin parah.
korban memutuskan untuk pindah ke RS . B Medan,
setelah dilakukan pemeriksaan dan hasil
pemeriksaan menyebutkan ada kanker dan perlu
dirawat untuk kemoterapi dan radiasi.
Namun karena sering beser, kemo tidak jadi
dilaksanakan, lalu kemudian pasien rujuk ke
Rumah Sakit C di jakarta pada tanggal 1 juni 2009

Di RS. C jakarta, pasien ditangani


oleh dr. E, spesialis bedah urologi.
Dan selama 2 (dua) minggu
dilakukan pemeriksaan ulang
terhadap pasien karena tidak adanya
Rekaman Medik pasien selama
dirawat di RS. X.

kemudian oleh dr. E, membentuk tim bersama


dr. K sp. Onkologi untuk melakukan tindakan
operasi terhadap pasien.
Setelah 2 jam operasi dilakukan, pihak
keluarga pasien diminta masuk keruangan
operasi untuk memperlihatkan hasil operasi
yang pernah dilakukan di RS. X, oleh dr.HP,
yaitu robekan (sayatan) sebesar ibu jari dan
tidak mungkin untuk diperbaiki lagi, serta
masih adanya jaringan tumor yang tertinggal
dan masih belum bersih.

Hal ini sangat berbeda dengan penjelasan


sebelumnya oleh dr. HP yang menyatakan bahwa
kebocorannya sangat halus dan akan sembuh
setelah diobati. Saat itu juga dr. E dan dr. K
menjelaskan bahwa kebocoran tersebut dapat
diperbaiki tetapi hanya bertahan 1 (satu) minggu,
sementara pasien membutuhkan dilakukannya
tindakan radiasi agar kankernya tidak menyebar
kemana-mana.
Solusi akhir adalah dilakukannya tindakan
penutupan kandung kemih dan dipasangnya
kateter langsung dari ginjal secara permanen.

akibat dari semuanya itu, pasien mengalami cacat


permanen, kondisi fisik yang menurun
menyebabkan pasien harus dirawat inap di rumah
sakit dengan keluhan yang sama.
Disamping itu setiap 1 (satu) bulan, pasien harus
melakukan kurang lebih 7 (tujuh) jam perjalanan
dari kota domisili pasien ke kota medan untuk
mengganti selang yang tertanam pada ginjal
korban, termasuk mengganti perban penutup
lubang pada pinggang kiri kanan setiap 3 (tiga)
hari yang terpaksa dilakukan sendiri dengan
dibantu keluarga.

akibat dari semuanya itu, pihak keluarga telah


mencoba membuat pengaduan kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
dengan nomor registrasi pengaduan
24/P/MKDKI/VIII/2009
MKDKI memeriksa, mendengarkan dan
mempertimbangkan keterangan dari seluruh pihak
yang terlibat maka pada hari kamis, tanggal 31
(tiga puluh satu) bulan maret tahun 2011 Majelis
Pemeriksa Disiplin pada Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia telah membacakan
hasil keputusannya

Bahwa Majelis Pemeriksa Disiplin telah mendengarkan keterangan dari


para ahli yang dengan jelas menyatakan bahwa :
1. seorang spesialis Obstetri Ginekologi tidak kompeten melakukan
operasi, maka harus dirujuk ke Onkolog Ginekologi. Di Medan ada 5
orang ahli tersebut.
2. Bahwa pada cedera yang dialami pasien bukan karena proses
penyebaran tumornya, tetapi murni masalah teknis yang dilakukan
oleh dokter. Bahwa dalam kemungkinan terjadinya kecelakaan
dalam operasi, seharusnya seorang spesialis Obstetri Ginekologi
yang tidak berkompeten melakukan operasi melibatkan seorang ahli
bedah Urologi.
3. Bahwa dr. Hotma Partogi Pasaribu, SpOG telah melakukan
kesalahan membuat diagnosis myoma uteri sementara hasil PA-nya
tidak menemukan myoma berarti diagnosis pre operasi tidak tepat.

sampai saat ini pasien tidak pernah


diberikan Rekam Medik oleh pihak
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan
yang menolak memberikan dan
menyatakan bahwa berdasarkan
peraturan pemerintah, Rekam Medik
adalah rahasia Rumah Sakit. Hal ini
sangat bertentangan dengan yang
keluarga ketahui bahwa isi Rekam
Medik adalah hak pasien.

Poin
permasalahan
1. dokter tidak
3. Dokter
menjelaskan
pada pasien
tentang
maksud,tujua
n tindakan
serta resiko
yang dapat
terjadi apabila
dilakukan
tindakan.

2. Dokter
tidak
mengatakan
hal yang
sebenarnya
tentang
penyakit
pasien pasca
operasi.

tidak
mengkonsulka
n pasien
kepada
sejawat
berkompeten
untuk
menangani
kasus
tersebut.

Poin
permasalahan

4. Tindakan
dilakukan
dokter
mengakibat
kan
kecacatan
permanen
pada pasien
.

5. Isi rekam
medik yang
merupakan
hak pasien
tidak
diserahkan
kepada
pasien.

6. Teman
sejawat

PEMBAHASAN

Informed consent
Kesepakatan/peersetujuan
atas upaya medis yang
akan dilakukan dokter
terhadap pasien setelah
mendapat informasi baik
mengenai upaya yang
dilakukan ataupun segala
resiko yang mungkin
terjadi

Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009


Tentang Praktek Kedokteran
(1)Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi
yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2)Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setelah pasien diberikan penjelasan lengkap
(3)Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sekurang-kurangnya mencakup :
a.Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b.Tujuan tindakan medis dilakukan
c.Alternatif tindakan lain dan resikonya
d.Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e.Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.

UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal 52


Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
1.
mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat(3);
2.meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3.mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4.menolak tindakan medis; dan
5.mendapatkan isi rekam medis

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran pasal 17 ;
(1) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan
pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan
kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang
akan dilakukan.
(2) Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud
ayat (1) harus mendapat persetujuan dari pasien.
(3) Pemberian penjelasan dan persetujuan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai ketentuan perundangundangan.

Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia No.585/
Menkes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik pasal 1
21.

MALPRAKTEK

UU No.29 Tahun 2004 tentang Paktik Kedokteran pasal


51
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban:
1.
memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
2.merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan;
3.merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia;
4.melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila Ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5.menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

Aspek hukum
malpraktek
Penyimpanga
n standar
profesi

Kesalahan
sengaja/kelal
aian

Kerugian
materiil/non
materiil pada
pasien

Malpraktik medik
Tenaga
kesehat
an

Kesalah
an/kelal
aian

standar

Luka berat,cacat,
meninggal dunia

4 unsur kelalaian

duty

Derilecti
on of
duty

damage

Direct
caution

Harus memenuhi

Kurang
mengua
sai iptek

Standar
pelayana
n

Kelalaian

Hukum

malprakt
ek

Malpraktek ??
Kurang
menguas
ai iptek

hukum

Standar
pelayana
n

kelalai
an

malprakt
ek

katagori malpraktik

medical
Etik
malprak malprak
tik
tik
yuridis
malprak
tik

Medical
malpraktik
Luka berat/
cacat

Kesengajaan,
kecerobohan,
kurang hatihati
(bukan resiko
medik)

Etik malpraktik
duty

Secara
Dokter
factual
melangg
kerugian
Px
ar
disebabk
menderit
standar
an
kerugian
pelayana
tindakan
n
dibawah
standar

Yuridis malpraktik

Malprak Malprak
tik
tik
perdata pidana

perdata malpraktek
Tidak melakukan menurut
kesepakatan

Terlambat melakukan
kewajiban yang disepakati

Tidak sempurna melakukan


kewajiban yang disepakati
Melakukan yg menurut
kesepakatan tidak seharusnya
dilakukan.

Pasal 11 ayat 1 huruf b UU


kesehatan
Terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan administratip apabila :
1. Melalaikan kewajiiban
2. Melakukan hal yang bertentangan dengan
sumpah jabatannya sebagai tenaga
kesehatan
3. Mengabaikan sesuatu yang seharusnya
dilakuakan
4. Melanggar ketentuan menurut undangundang

Malpraktik etik
Pada kasus tersebut dokter telah
melanggar pasal-pasal berdasarkan
kode etik kedokteran indonesia berikut
:

KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1 Setiap dokter wajib menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau
janji dokter.
Pasal 2 Seorang dokter wajib selalu melakukan
pengambilan keputusan profesional secara
independen, dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi.
Pasal 8 Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik
medisnya, memberikan pelayanan secara kompeten
dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan
penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 10 Seorang dokter wajib


menghormati hak-hak- pasien, teman
sejawatnya, dan tenaga kesehatan
lainnya, serta wajib menjaga
kepercayaan pasien.
Pasal 11 Setiap dokter wajib
senantiasa mengingat kewajiban
dirinya melindungi hidup makhluk
insani.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP


PASIEN
Pasal 14 Seorang dokter wajib
bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan seluruh keilmuan
dan ketrampilannya untuk
kepentingan pasien, yang ketika ia
tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, atas
persetujuan pasien/ keluarganya, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter
yang mempunyai keahlian untuk itu.

Pasal 1
Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah dan atau janji dokter
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
2. Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan
martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan
dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat.
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis
penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih
yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkankehormatan diri saya.

Pasal 2
Seorang dokter wajib selalu melakukan
pengambilan keputusan profesional secara
independen, dan mempertahankan perilaku
profesional dalam ukuran yang tertinggi.
1. Seorang dokter wajib mempertahankan standar
profesi, integritas moral dan kejujuran intelektual dirinya
sebagai dasar pengambilan keputusan profesional.
2.Seorang dokter wajib mempertahankan standar
profesi, integritas moral dan kejujuran intelektual dirinya
sebagai dasar pengambilan keputusan profesional.
3. Pengambilan keputusan kedokteran yang profesional
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, dilakukan setelah
melakukan pemeriksaan dan penilaian yang teliti
terhadap pasien dengan menggunakan
standar/pedoman pelayanan kedokteran yang telah
diakui secara sah.

Pasal 5 :
Perbuatan Melemahkan Psikis maupun
Fisik.
Setiap dokter wajib memberikan informasi memadai
dengan jujur dan cara yang santun kepada pasien
dan/atau keluarganya ketika ia akan memberikan
tindakan atau obat yang berakibat penurunan daya
tahan fisik pasien walaupun belum tentu
menurunkan daya tahan psikisnya.
Dalam rangka menimbulkan dan/atau menjaga
rasa percaya diri pasien, dokter seyogyanya
dilarang berbohong kepada pasiennya yang
menderita penyakit berat/parah, kecacatan atau
gangguan kualitas hidup tetapi boleh menahan
sebagian informasi yang dapat melemahkan psikis
pasien dan/atau fisiknya.

Pasal 7
Keterangan dan pendapat yang valid.

Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau


melakukan
rujukan
ke
sejawatnya
yang
mempunyai
kompetensi
untuk
memberikan
keterangan yang lebih bermutu apabila kasus yang
dihadapi di luar kompetensinya.

Pasal 8 :
Profesionalisme
Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik
medisnya, memberikan pelayanan secara
berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.

Seorang dokter yang akan menjalankan


praktek wajib memiliki kompetensi dan
kewenangan sesuai ketentuan yang
berlaku sebagai prasyarat sekaligus
kesinambungan profesionalisme.

Pasal 10
Penghormatan hak-hak pasien dan sejawat.
Seorang dokter wajib senantiasa menghormati hak-hak- pasien,
teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib
menjaga kepercayaan pasien.
Seorang dokter dalam mengobati pasien wajib senantiasa
menghormati, melindungi dan/atau memenuhi hak-hak pasien sebagai
bagian dari hak asasi manusia dalam bidang kesehatan.

Seorang dokter wajib memberikan informasi yang jelas dan


memadai serta menghormati pendapat atau tanggapan pasien
atas penjelasan dokter.

Seorang dokter seharusnya tidak menyembunyikan informasi yang


dibutuhkan pasien, kecuali dokter berpendapat hal tersebut untuk
kepentingan pasien, dalam hal ini dokter dapat menyampaikan
informasi ini kepada pihak keluarga atau wali pasien.

Pasien berhak memperoleh informasi dari


dokternya dan mendiskusikan tentang
manfaat, risiko, dan pengobatan yang tepat
untuk dirinya, serta wajib mendapatkan
tuntunan dan arahan profesional dari
dokter dalam membuat keputusan. Pasien
atau keluarganya berhak mengajukan
keluhan, kritik, dan saran atas pelayanan
kedokteran. Dokter seharusnya
memberikan perhatian dan menanggapi
sepenuh hati.

Pasal 14
Konsul dan Rujukan.

Seorang dokter wajib bersikap


tulus ikhlas dan mempergunakan
seluruh keilmuan dan
ketrampilannya untuk
kepentingan pasien, yang ketika
ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan/pengobatan atau
demi kepentingan terbaik pasien,
atas persetujuan
pasien/keluarganya, ia wajib
berkonsultasi/merujuk pasien
kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian untuk itu.

Dalam hal problem penyakit


pasien di luar kompetensinya,
seorang dokter wajib
mengkonsultasikan ke ahlinya.

Seorang dokter seyogyanya


berkonsultasi dengan sejawat lain
sesama satu fasilitas pelayanan
kesehatan (intramural, termasuk
rawat bersama) atau merujuk alih
rawat (ekstramural) secara patut.

Pasal 18
Menjunjung Tinggi Kesejawatan

Setiap dokter wajib


memperlakukan
teman sejawatnya
sebagaimana ia
sendiri ingin
diperlakukan.

Setiap dokter penanggungjawab


pasien di suatu fasilitas pelayanan
kesehatan seyogyanya membentuk
tim melaksanakan rawat bersama
atau saling berkonsultasi dengan
sejawat dokter yang kompeten dan
berwenang terhadap penderita
dengan penyulit penyakit lebih dari
satu bidang spesialisasi.

Pasal 19
Pindah Pengobatan

Setiap dokter tidak


boleh mengambil
alih pasien dari
teman sejawat,
kecuali dengan
persetujuan
keduanya atau
berdasarkan
prosedur yang etis.

Setiap dokter wajib, apabila indikasi


medis pasien memerlukan,
berkomunikasi dengan teman sejawat
yang terlibat merawat pasien yang
sama, dengan cara harus saling
menghormati kerahasiaan pasien dan
bertukar informasi sebatas hanya
pada informasi yang benar-benar
seperlunya.

Dalam hal berkonsultasi penanganan


pasien kepada sejawat ahli, setiap
dokter perujuk wajib menuliskan
ringkasan medik pasien tersebut
secukupnya dalam amplop tertutup,
agar sejawat terujuk dapat
memperoleh informasi memadai
untuk secepatnya menangani pasien.

Dalam menghormati hak- hak pasien


sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia,
dokter wajib memberi kesempatan pasien
untuk second opinion, apabila ada alasan
tertentu atau keluhan sakit belum
berkurang dan penjelasan dari dokter
pertama dianggap kurang memadai,
dengan risiko pasien akan pindah rawat
ke dokter kedua, tidak melanggar etik
atau merebut pasien, sejauh hal tersebut
murni kehendak pasien.

HAK PASIEN ATAS REKAM MEDIK


Pasal 46 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik
Kedokteran(UU Praktik
Kedokteran) yang mengatakan
bahwa setiap dokter atau dokter gigi
dalam menjalankan praktik
kedokteran wajib membuat rekam
medis.

Arti rekam medisitu sendiri


menurutpenjelasan Pasal 46 ayat
(1) UU Praktik Kedokteranadalah
berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentangidentitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan,
dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepadapasien.

dalamPasal 47 UU Praktik Kedokterandiatur


bahwa:
(1)Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi,
atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkanisi rekam
medis merupakan milik pasien.
(2)Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter
atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3)Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 52 UU Praktik Kedokteran:


Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, mempunyai hak:
a.mendapatkan penjelasan secara lengkap
tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (3);
b.meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c.mendapatkan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medis;
d.menolak tindakan medis; dan
e.mendapatkan isi rekam medis.

Rumah sakit juga memiliki kewajiban yang


berkaitan dengan rekam medis sebagaimana
diatur dalamPasal 29 ayat (1) huruf h
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit(UU Rumah Sakit).
Lebih lanjut, dalamPasal 12 ayat (4)
Permenkes 269/2008dijelaskan bahwa
ringkasan rekam medis dapat diberikan, dicatat,
atau dicopy olehpasien atau orang yang diberi
kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau
keluarga pasien yangberhak untuk itu.

Dari bunyi pasalPasal 12 ayat (4)


Permenkes 269/2008dapat diketahui
bahwa yang berhak mendapatkan ringkasan
rekam medis adalah:
a.Pasien
b.Keluarga pasien
c.Orang yang diberi kuasa oleh pasien
atau keluarga pasien
d.Orang yang mendapat persetujuan
tertulis dari pasien atau keluarga pasien

Jika pihak rumah sakit menolak


memberikan ringkasan medis kepada
Anda sebagai keluarga pasien yang
berhak, usahakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut secara kekeluargaan.
Namun, jika pihak rumah sakit tetap
menolak memberikan rekam medis
tersebut, maka pasien atau keluarganya
dapat menempuh langkah-langkah yang
diatur dalam UU Rumah Sakit

1.menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit


baik secara perdata maupun pidana (lihatPasal
32 huruf q); atau
2.mengeluhkan pelayanan RS yang tidak sesuai
dengan standar pelayanan melalui media cetak
dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan (lihatPasal 32 huruf r).
Penginformasian kepada media ini kemudian akan
menimbulkan kewenangan bagi Rumah Sakit untuk
mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai
hak jawab Rumah Sakit (lihatPasal 44 ayat [3]) .

Selain itu, pasien atau keluarganya


juga dapatmengajukan gugatan
kepada pelaku usaha, kepada
lembaga yang secara khusus
berwenang menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha
(lihatPasal 45 UU Perlindungan
Konsumen).

Anda mungkin juga menyukai