TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
2.1.1. Pengertian
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara
memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia, untuk mencegah penyakit.
(Depkes-Kessos RI, 2000).
2.1.2. Perkembangan Imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar
pada tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit
cacar. Pada tahun 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang
selanjutnya dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun 1972 juga dilakukan studi
pencegahan terhadap Tetanus Neonatorum dengan memberikan suntikan Tetanus
Toxoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada
tahun 1975 vaksinasi TT sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. (Depkes RI,
2005).
7
Universitas Sumatera Utara
Sterilitasnya terjaga
4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk
hari berikutnya.
Sensitive=FS) yaitu golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengan
suhu dingin atau suhu pembekuan. (Depkes RI, 2005).
2.3.5. Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur
vaksin menjadi berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari
langsung. (Depkes RI, 2005).
PADA SUHU
TT
-0,5C
Maximal jam
-5 C -10 C
30 hari
Pada tabel di bawah ini akan diperlihatkan hubungan antara dosis vaksin yang
diterima dengan interval pemberian dan lama perlindungan.
Tabel 2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi TT 5 Dosis
Pemberian Imunisasi
( Status TT )
TT 1
Interval waktu
pemberian
minimal
-
TT 2
Masa Perlindungan
Dosis
0,5 cc
4 minggu
3 tahun
setelah TT 1
TT 3
6 bulan setelah
5 tahun
TT 2
TT 4
1 tahun setelah
10 tahun
TT 3
TT 5
1 tahun setelah
25 tahun/seumur
TT 4
hidup
Sumber : Panitia PIN Pusat Jakarta Tahun 1996
0,5 cc
0,5 cc
0,5 cc
0,5 cc
2.5.1.1. Lemari Es
Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es sesuai standar program (buka
atas) Pustu potensial secara bertahap juga dilengkapi dengan lemari es.
2.5.1.2. Mini Freezer
Sebagai sarana untuk membekukan cold pack di setiap puskesmas diperlukan
1 buah freezer.
2.5.1.3. Vaccine Carrier
Vaccine carrier biasanya di tingkat puskesmas digunakan untuk pengambilan
vaksin ke kabupaten/kota. Untuk daerah yang sulit vaccine carrier sangat cocok
digunakan ke lapangan, mengingat jarak tempuh maupun sarana jalan, sehingga
diperlukan vaccine carrier yang dapat mempertahankan suhu relatif lebih lama.
2.5.1.4. Thermos
Thermos digunakan untuk membawa vaksin ke lapangan/posyandu. Setiap
thermos dilengkapi dengan cool pack minimal 4 buah @ 0,1 liter. Mengingat daya
tahan untuk mempertahankan suhu hanya kurang lebih 10 jam, maka thermos sangat
cocok digunakan untuk daerah yang transportasinya mudah dijangkau.
2.5.1.5. Cold Box
Cold Box di tingkat puskesmas digunakan apabila dalam keadaan darurat
seperti listrik padam untuk waktu cukup lama, atau lemari es sedang mengalami
kerusakan yang bila diperbaiki memakan waktu lama.
2.5.1.6. Freeze Tag/Freeze Watch
Freeze Tag untuk memantau suhu dari kabupaten ke puskesmas pada waktu
membawa vaksin, serta dari puskesmas sampai lapangan/posyandu dalam upaya
peningkatan kualitas rantai vaksin.
Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di
bagian tengah diletakkan thermometer Muller, untuk jarak jauh bila
freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan ke dalam alat pembawa.
Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari
kabupaten/kota ke puskesmas tidak boleh kena sinar matahari
langsung.
2. Penyimpanan Vaksin
Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan
agar terjadi sirkulasi udara yang baik.
Penyimpanan vaksin harus dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat
datang pagi hari dan menjelang pulang siang/sore hari.
3. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama
pendistribusian dan penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena
panas yang berlebih atau suhu yang terlalu dingin (beku). Sehingga petugas
mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik atau tidak.
Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :
Periksa freeze watch, freeze tag, catatan/grafik suhu lemari es untuk melihat
tanda-tanda bahwa suhu lemari es tersebut pernah turun di bawah titik beku.
Bila menggunakan freeze tag : Apakah tanda telah berubah jadi tanda X.
dingin. Beri label Tersangka beku. Bandingkan dengan vaksin dari tipe
dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya
dan beri label Dibekukan .
2. Biarkan contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku sampai mencair
seluruhnya.
3. Kocok contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku secara
bersamaan.
4. Amati contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku bersebelahan
untuk membandingkan waktu pengendapan. (Umumnya 5-30 menit).
5. Bila terjadi :
paket kertas logam oleh pabrik, vaksin dimasukkan dalam reservoir tertutup
seperti gelembung yang mencegah vaksin berhubungan dengan jarum sampai
vaksin itu diberikan.
c. Semprit dan jarum sekali buang (disposable single- use)
Semprit dan jarum yang hanya bisa dipakai sekali dan dibuang (disposable
single-use) tidak direkomendasikan untuk suntikan dalam imunisasi karena risiko
penggunaan kembali semprit dan jarum disposable menyebabkan risiko infeksi
yang tinggi.
tinggi fundus uteri, tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pemberian imunisasi
tetanus toksoid dan pemberian zat besi. (Depkes RI,1994).
b.
c.
2.8.2. Koordinasi
Pelaksanaan program dituntut secara efektif dan efisien. Koordinasi yang
dilakukan adalah lintas program dan lintas sektoral. Lintas program dilakukan dengan
adanya keterpaduan KIA dan imunisasi, keterpaduan imunisasi dan surveilans. Pada
lintas sektoral dilaksanakan dengan Depdagri, Dep. Agama, dan organisasi-organisasi
profesi. (Dinkes Kota Jambi, 2003).
(Dinkes
atau
mengidentifikasi
dimensi
yang
mendasari
(Underlying
dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.
2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi
(independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan
suatu set
common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan faktor yang unik untuk
setiap variabel.
Faktor yang unik tidak berkorelasi dengan sesama faktor yang unik dan juga
tidak berkorelasi dengan common faktor. Common faktor sendiri bisa dinyatakan
sebagai kombinasi linear dari variabel-variabel yang terlihat/terobservasi (the
observed variables) hasil penelitian lapangan.
Statistik kunci yang relevan dengan analisis faktor adalah sebagai berikut :
Bartletts test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang dipergunakan untuk menguji
hipotesis bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.
2.10.3. Melakukan Analisis Faktor
Langkah-langkah yang diperlukan di dalam analisis faktor bisa dilihat pada
gambar dibawah ini :
Merumuskan Masalah
Lakukan Rotasi
Interpretasikan Faktor
1. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah meliputi beberapa hal :
a. Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.
b. Variabel yang akan dipergunakan di dalam analisis faktor harus dispesifikasi
berdasarkan berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan dari
peneliti.
c. Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau rasio
d. Banyaknya elemen sample (n) harus cukup/memadai, sebagai petunjuk kasar,
kalau k banyaknya jenis variabel maka n = 4 atau 5 kali k. Artinya kalau variabel
5, banyaknya responden minimal 20 atau 25 orang sebagai sampel acak.
(Supranto J, 2004).
2. Bentuk Matriks Korelasi
Proses analisis didasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel
pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar analisis
faktor bisa tepat dipergunakan, variabel-variabel yang akan dianalisis harus
berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar variabel terlalu kecil, hubungannya
lemah, analisis faktor menjadi tidak tepat.
Prinsip utama Analisis Faktor adalah korelasi maka asumsi-asumsi terkait
dengan korelasi yaitu :
1. Besar korelasi atau korelasi antar independen variabel harus cukup kuat, misalnya
di atas 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah kurang dari 0,05.
2. Besar korelasi parsial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap variabel
lain adalah tetap (konstan) harus kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial
diberikan pada Anti Image Correlation.
Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Bartletts
Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak
berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis
nol harus ditolak (berarti adanya korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel).
Kalau hipotesis nol diterima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.
Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur
kecukupan sampling (sampling adequacy). Indeks ini membandingkan besarnya
koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai
KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa
diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.
Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks
korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada analisis faktor.
(Wibowo A,2006). Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk
membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya.
(Wibisono, 2003).
Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis lebih lanjut.
MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut.
MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih
lanjut. (Wibowo A, 2006 ).
mungkin hanya dengan satu faktor saja. Kalau terjadi bahwa beberapa faktor
mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat
interpretasi tentang faktor tersebut. Akan tetapi, persentase varian sebagai sumbangan
setiap faktor terhadap seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami
perubahan.
5. Interpretasi Faktor
Interpretasi dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang muatannya
besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan,
dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi padanya. Manfaat lainnya
di dalam membantu untuk membuat interpretasi ialah menge-plot variabel, dengan
menggunakan faktor loading sebagai sumbu koordinat (sumbu F dan F2).
Variabel pada ujung atau akhir suatu sumbu ialah variabel yang mempunyai
high loading hanya pada faktor tertentu (faktor F atau F2) oleh karena itu bisa
menyimpulkan bahwa faktor tersebut terdiri dari variabel-variabel tersebut.
Sedangkan variabel yang dekat dengan titik asal (perpotongan sumbu F dan F2)
mempunyai muatan rendah (low loading) pada kedua faktor.
Variabel yang tidak dekat dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi
dengan kedua faktor tersebut. Kalau suatu faktor tidak bisa dengan jelas didefinisikan
dinyatakan dalam variabel aslinya, seharusnya diberi label sebagai faktor tidak
terdefinisikan atau faktor umum. Variabel-variabel yang berkorelasi kuat (nilai faktor
loading yang besar) dengan faktor tertentu akan memberikan inspirasi nama faktor
yang bersangkutan.
didasarkan pada pertimbangan teori dan pengukuran sebagai contoh, mungkin teori
menyarankan bahwa suatu variabel dengan muatan sedikit lebih kecil mungkin lebih
penting daripada dengan sedikit lebih tinggi.
Demikian juga halnya, kalau suatu variabel mempunyai muatan sedikit lebih
rendah akan tetapi telah diukur lebih teliti/akurat, seharusnya dipilih sebagai
surrogate variable.
Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena
analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya
ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi
pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan
variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor.
Alat seperti MSA atau Bartletts Test dapat digunakan untuk keperluan ini.
2.
3.
4.
Jika isi faktor diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas
apakah faktor yang terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor
yang lain.
5.
Analisis
faktor
cakupan
imunisasi TT
ibu hamil
Hasil :
- faktor 1
- faktor 2
- faktor n