Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Imunisasi
2.1.1. Pengertian
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. (Depkes RI, 2005).
Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara
memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia, untuk mencegah penyakit.
(Depkes-Kessos RI, 2000).
2.1.2. Perkembangan Imunisasi di Indonesia
Kegiatan imunisasi di Indonesia di mulai di Pulau Jawa dengan vaksin cacar
pada tahun 1956. Pada tahun 1972, Indonesia telah berhasil membasmi penyakit
cacar. Pada tahun 1974, Indonesia resmi dinyatakan bebas cacar oleh WHO, yang
selanjutnya dikembangkan vaksinasi lainnya. Pada tahun 1972 juga dilakukan studi
pencegahan terhadap Tetanus Neonatorum dengan memberikan suntikan Tetanus
Toxoid (TT) pada wanita dewasa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sehingga pada
tahun 1975 vaksinasi TT sudah dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia. (Depkes RI,
2005).

7
Universitas Sumatera Utara

2.2. Program Imunisasi TT Ibu Hamil


Program Imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan
dan kematian dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Untuk mencapai hal tersebut, maka program imunisasi harus dapat mencapai tingkat
cakupan yang tinggi dan merata di semua wilayah dengan kualitas pelayanan yang
memadai. (Dinkes Jambi, 2003).
Pelaksanaan kegiatan imunisasi TT ibu hamil terdiri dari kegiatan imunisasi
rutin dan kegiatan tambahan. Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi
yang secara rutin dan terus-menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang
telah ditetapkan, yang pelaksanaannya dilakukan di dalam gedung (komponen statis)
seperti puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, rumah bersalin dan di luar
gedung seperti posyandu atau melalui kunjungan rumah. Kegiatan imunisasi
tambahan adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya
masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. (Depkes RI, 2005).
2.2.1. Jadwal Imunisasi TT ibu hamil
1. Bila

ibu hamil sewaktu caten (calon penganten) sudah mendapat TT

sebanyak 2 kali, maka kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali,


dicatat sebagai TT ulang dan pada kehamilan berikutnya cukup mendapat
TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu caten (calon penganten) atau hamil sebelumnya
baru mendapat TT 1 kali, maka perlu diberi TT 2 kali selama kehamilan
ini dan kehamilan berikutnya cukup diberikan TT 1 kali sebagai TT ulang.

Universitas Sumatera Utara

3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan


sebelumnya, cukup mendapat TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.
2.2.2. Cara pemberian dan dosis
1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi
menjadi homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang
disuntikkan secara intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis
pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis
ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk mempertahankan kekebalan
terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan diberikan 5
dosis. Dosis ke empat dan ke lima diberikan dengan interval minimal 1
tahun setelah pemberian dosis ke tiga dan ke empat. Imunisasi TT dapat
diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode
trimester pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh
digunakan selama 4 minggu dengan ketentuan :

Vaksin belum kadaluarsa

Vaksin disimpan dalam suhu +2 - +8C

Tidak pernah terendam air.

Sterilitasnya terjaga

VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.

4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk
hari berikutnya.

Universitas Sumatera Utara

2.2.3. Efek Samping


Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan
kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala
demam. (Depkes RI, 2005).
2.2.4. Tenaga Pelaksana Imunisasi
Standar tenaga pelaksana di tingkat pusksmas adalah petugas imunisasi dan
pelaksana cold chain. Petugas imunisasi adalah tenaga perawat atau bidan yang telah
mengikuti pelatihan, yang tugasnya memberikan pelayanan imunisasi dan
penyuluhan. Pelaksana cold chain adalah tenaga yang berpendidikan minimal SMA
atau SMK yang telah mengikuti pelatihan cold chain, yang tugasnya mengelola
vaksin dan merawat lemari es, mencatat suhu lemari es, mencatat pemasukan dan
pengeluaran vaksin serta mengambil vaksin di kabupaten/kota sesuai kebutuhan per
bulan. Pengelola program imunisasi adalah petugas imunisasi, pelaksana cold chain
atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan untuk pengelola program imunisasi,
yang tugasnya membuat perencanaan vaksin dan logistik lain, mengatur jadwal
pelayanan imunisasi, mengecek catatan pelayanan imunisasi, membuat dan mengirim
laporan ke kabupaten/kota, membuat dan menganalisis PWS bulanan, dan
merencanakan tindak lanjut. (Depkes, 2005).
Untuk meningkatkan pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas imunisasi
perlu dilakukan pelatihan sesuai dengan modul latihan petugas imunisasi.Pelatihan
teknis diberikan kepada petugas imunisasi di puskesmas, rumah sakit dan tempat
pelayanan lain, petugas cold chain di semua tingkat. Pelatihan manajerial diberikan
kepada para pengelola imunisasi dan supervisor di semua tingkat. (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.3. Vaksin TT (Tetanus Toxoid)


2.3.1. Deskripsi
Vaksin jerap TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung toxoid
tetanus yang telah dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat.
Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin
mengandung potensi sedikitnya 40 IU. Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada
bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi Wanita Usia Subur (WUS) atau ibu
hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi. (Depkes RI, 2005).
2.3.2. Kemasan Vaksin
Kemasan vaksin dalam vial. 1 vial vaksin TT berisi 10 dosis dan setiap 1 box
vaksin terdiri dari 10 vial. Vaksin TT adalah vaksin yang berbentuk cairan. (Depkes
RI, 2005).
2.3.3. Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena
dosis pertama TT. (Depkes RI, 2005).
2.3.4. Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang

sensitif terhadap beku (Freeze

Sensitive=FS) yaitu golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengan
suhu dingin atau suhu pembekuan. (Depkes RI, 2005).
2.3.5. Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur
vaksin menjadi berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari
langsung. (Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Keadaan suhu terhadap umur vaksin TT


VAKSIN

PADA SUHU

DAPAT BERTAHAN SELAMA

TT

-0,5C

Maximal jam

-5 C -10 C

Maximal 1,5 2 jam

Beberapa C diatas suhu


udara luar (ambient
temperature <34 C)
Sumber : Depkes RI, 2005

30 hari

2.4. Tetanus Neonatorum


2.4.1. Pengertian
Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
Clostridium Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang
terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus TN
berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur 328 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat S, 1995).
2.4.2. Penularan TN
Penularan TN sebagai akibat memotong tali pusat dengan peralatan tidak
steril dan terkontaminasi dengan ekskreta hewan atau tanah yang mengandung spora
tetanus sebagai balutan atau tali akar untuk mengikat tali pusat. Tetanus Neonatorum
penularannya secara langsung atau tak langsung melalui luka yang ada pada bayi,
biasanya terjadi akibat infeksi pada luka di pusar bekas pemotongan tali pusat dengan
menggunakan alat yang terkontaminasi. Disamping itu infeksi dapat pula terjadi jika
luka pusar bayi diobati atau diberi zat-zat yang terkontaminasi. (George D, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.4.3. Masa Inkubasi TN


Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada tempat
terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman. (Sudarjat S, 1995).
2.4.4. Tanda Klinis TN
Tanda-tandanya terdapat pada bayi baru lahir (neonatus) sampai umur kurang
dari 28 hari, biasanya beberapa hari sesudah lahir dengan gejala-gejala bayi mulamula masih bisa menetek/minum, lama kelamaaan karena otot rahang kejang, maka
sulit membuka mulut sehingga bentuk mulut bayi mencucu seperti mulut ikan, lama
kelamaan otot pernafasan kejang, tidak lama kemudian bayi kelihatan biru, kejangkejang sampai meninggal dunia. (SubDit Imunisasi,Ditjen PPM &PLP,1992).
2.4.5. Pencegahan TN
Untuk mencegah tetanus pada bayi baru lahir dilakukan imunisasi aktif
dengan toksoid tetanus pada ibu hamil menjelang kelahiran bayi dan seandainya
kelahiran seorang bayi ditolong oleh dukun, bayi secepatnya dibawa ke
dokter/puskesmas untuk mendapat imunisasi pasif dengan serum anti tetanus.
(Markum A.H, 1987). Vaksin TT memiliki efektifitas yang sangat tinggi dan
pemberiannya mudah, sehingga tujuan untuk melindungi bayi terhadap TN dapat
dicapai dalam waktu yang relatif singkat. (Panitia PIN, 1996).
Untuk mendapatkan perlindungan seumur hidup terhadap TN maka
diperlukan pemberian imunissi TT 5 dosis dengan interval waktu sesuai ketentuan.
Untuk merekam pemberian imunisasi TT tersebut diperlukan alat pantau yang dapat
dipergunakan seumur hidup (Panitia PIN, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Pada tabel di bawah ini akan diperlihatkan hubungan antara dosis vaksin yang
diterima dengan interval pemberian dan lama perlindungan.
Tabel 2.2. Jadwal Pemberian Imunisasi TT 5 Dosis
Pemberian Imunisasi
( Status TT )
TT 1

Interval waktu
pemberian
minimal
-

TT 2

Masa Perlindungan

Dosis

0,5 cc

4 minggu
3 tahun
setelah TT 1
TT 3
6 bulan setelah
5 tahun
TT 2
TT 4
1 tahun setelah
10 tahun
TT 3
TT 5
1 tahun setelah
25 tahun/seumur
TT 4
hidup
Sumber : Panitia PIN Pusat Jakarta Tahun 1996

0,5 cc
0,5 cc
0,5 cc
0,5 cc

2.5. Rantai Vaksin atau Cold Chain


Rantai Vaksin atau Cold Chain adalah Pengelolaan vaksin sesuai dengan
prosedur untuk menjaga vaksin tersimpan pada suhu dan kondisi yang telah
ditetapkan.
2.5.1. Peralatan Rantai Vaksin
Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam
pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang
telah ditetapkan.
Sarana rantai vaksin atau cold chain dibuat secara khusus untuk menjaga
potensi vaksin dan setiap jenis sarana cold chain mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

2.5.1.1. Lemari Es
Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es sesuai standar program (buka
atas) Pustu potensial secara bertahap juga dilengkapi dengan lemari es.
2.5.1.2. Mini Freezer
Sebagai sarana untuk membekukan cold pack di setiap puskesmas diperlukan
1 buah freezer.
2.5.1.3. Vaccine Carrier
Vaccine carrier biasanya di tingkat puskesmas digunakan untuk pengambilan
vaksin ke kabupaten/kota. Untuk daerah yang sulit vaccine carrier sangat cocok
digunakan ke lapangan, mengingat jarak tempuh maupun sarana jalan, sehingga
diperlukan vaccine carrier yang dapat mempertahankan suhu relatif lebih lama.
2.5.1.4. Thermos
Thermos digunakan untuk membawa vaksin ke lapangan/posyandu. Setiap
thermos dilengkapi dengan cool pack minimal 4 buah @ 0,1 liter. Mengingat daya
tahan untuk mempertahankan suhu hanya kurang lebih 10 jam, maka thermos sangat
cocok digunakan untuk daerah yang transportasinya mudah dijangkau.
2.5.1.5. Cold Box
Cold Box di tingkat puskesmas digunakan apabila dalam keadaan darurat
seperti listrik padam untuk waktu cukup lama, atau lemari es sedang mengalami
kerusakan yang bila diperbaiki memakan waktu lama.
2.5.1.6. Freeze Tag/Freeze Watch
Freeze Tag untuk memantau suhu dari kabupaten ke puskesmas pada waktu
membawa vaksin, serta dari puskesmas sampai lapangan/posyandu dalam upaya
peningkatan kualitas rantai vaksin.

Universitas Sumatera Utara

2.5.1.7. Kotak dingin cair (Cool Pack)


Kotak dingin cair (Cool Pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat,
besar ataupun kecil yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada suhu
+2C dalam lemari es selama 24 jam. Bila kotak dingin tidak ada, dibuat dalam
kantong plastik bening.
2.5.1.8. Kotak dingin beku (Cold Pack)
Kotak dingin beku (Cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat,
besar ataupun kecil yang diisi dengan air yang kemudian pada suhu -5C 15C
dalam freezer selama 24 jam. Bila kotak dingin tidak ada, dibuat dalam kantong
plastik bening.
2.5.2. Pengelolaan Vaksin
1. Penerimaan /pengambilan vaksin (transportasi)

Pengambilan vaksin dari Puskesmas ke kabupaten/kota dengan


menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan. Misalnya
cold box atau vaccine carrier.

Jenis peralatan pembawa vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin


yang akan diambil.

Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa


indikator vaksin (VVM). Vaksin yang boleh digunakan hanya bila
indikator VVM tingkat A atau B. Sedangkan bila VVM pada tingkat C
atau D tidak usah diterima karena tidak dapat digunakan lagi.

Universitas Sumatera Utara

Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di
bagian tengah diletakkan thermometer Muller, untuk jarak jauh bila
freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan ke dalam alat pembawa.

Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari
kabupaten/kota ke puskesmas tidak boleh kena sinar matahari
langsung.

Catat dalam buku stok vaksin : tanggal menerima vaksin, jumlah,


nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

2. Penyimpanan Vaksin

Vaksin disimpan pada suhu +2C +8C.

Bagian bawah lemari es diletakkan kotak dingin cair (cool pack)


sebagai penahan dingin dan kestabilan suhu

Vaksin TT diletakkan lebih jauh dari evaporator.

Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan
agar terjadi sirkulasi udara yang baik.

Letakkan 1 buah thermometer Muller di bagian tengah lemari es.

Penyimpanan vaksin harus dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat
datang pagi hari dan menjelang pulang siang/sore hari.
3. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama
pendistribusian dan penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena

Universitas Sumatera Utara

panas yang berlebih atau suhu yang terlalu dingin (beku). Sehingga petugas
mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik atau tidak.
Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :

VVM (Vaccine Vial Monitor )

Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer Dial/Muller

Sebuah freeze tag atau freeze watch

Sebuah buku grafik pencatatan suhu.

2.5.3. Pemeriksaan Vaksin dengan Uji Kocok


Bila vaksin tersangka beku maka untuk meyakinkan apakah vaksin masih
layak atau tidak untuk digunakan maka dilakukan pemeriksaan dengan Uji Kocok
(Shake Test).
Langkah-langkah shake test sebagai berikut :

Periksa freeze watch, freeze tag, catatan/grafik suhu lemari es untuk melihat
tanda-tanda bahwa suhu lemari es tersebut pernah turun di bawah titik beku.

Freeze watch : Apakah kertas absorban berubah menjadi biru.

Bila menggunakan freeze tag : Apakah tanda telah berubah jadi tanda X.

Termometer : Apakah suhu turun hingga di bawah titik beku ?

Bila salah satu atau ketiga jawabannya YA.

LAKUKAN UJI KOCOK (SHAKE TEST)


1. Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku,
utamakan yang dekat dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling

Universitas Sumatera Utara

dingin. Beri label Tersangka beku. Bandingkan dengan vaksin dari tipe
dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku padat seluruhnya
dan beri label Dibekukan .
2. Biarkan contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku sampai mencair
seluruhnya.
3. Kocok contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku secara
bersamaan.
4. Amati contoh Dibekukan dan vaksin Tersangka beku bersebelahan
untuk membandingkan waktu pengendapan. (Umumnya 5-30 menit).
5. Bila terjadi :

Pengendapan vaksin Tersangka beku lebih lambat dari contoh


Dibekukan, vaksin dapat digunakan.

Pengendapan vaksin Tersangka beku sama atau lebih cepat daripada


contoh Dibekukan jangan digunakan, vaksin sudah rusak.

2.6. Perencanaan Program Imunisasi


2.6.1. Menentukan Jumlah Sasaran Imunisasi
Pada program imunisasi menentukan jumlah sasaran merupakan suatu unsur
yang paling penting. Menghitung jumlah sasaran ibu hamil didasarkan 10 % lebih
besar dari jumlah bayi. Perhitungan ini dipakai untuk tingkat pusat, propinsi,
kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Sasaran Imunisasi Ibu Hamil = 1,1 x Jumlah bayi

Universitas Sumatera Utara

2.6.2. Menentukan Target Cakupan


Menentukan target cakupan adalah menetapkan berapa besar cakupan
imunisasi yang akan dicapai pada tahun yang direncanakan untuk mengetahui
kebutuhan vaksin yang sebenarnya. Penetapan target cakupan berdasarkan tingkat
pencapaian di masing-masing wilayah kerja maksimal 100 %.
Target Cakupan Imunisasi Ibu Hamil yang akan dicapai :
TT 1 Ibu hamil = 90% TT2 + (Plus TT3+TT4+TT5)=80%
2.6.3. Menghitung Indeks Pemakaian Vaksin (IP)
Menghitung indeks pemakaian vaksin berdasarkan jumlah cakupan imunisasi
yang dicapai secara absolut dan berapa banyak vaksin yang digunakan.Dari
pencatatan stok vaksin setiap bulan diperoleh jumlah ampul/vial vaksin yang
digunakan. Untuk mengetahui berapa rata-rata jumlah dosis diberikan untuk setiap
ampul/vial, yang disebut Indeks Pemakaian Vaksin (IP) dapat dihitung :
Jumlah suntikan (cakupan) yang dicapai tahun lalu
IP Vaksin = ----------------------------------------------------------------------------Jumlah vaksin yang terpakai tahun lalu
2.6.4. Menghitung Kebutuhan Vaksin
1. Setelah menghitung jumlah sasaran imunisasi, menentukan target cakupan dan
menghitung besarnya indeks pemakaian vaksin, maka data-data tersebut
digunakan unuk menghitung kebutuhan vaksin.
2. Puskesmas mengirimkan rencana kebutuhan vaksin ke kabupaten/kota.
(Depkes RI, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Sebelum menghitung jumlah vaksin yang kita perlukan, terlebih dahulu


dihitung jumlah kontak tiap jenis Rumusnya :
Jumlah Kontak = Jumlah sasaran x Target cakupan

Untuk menghindari penumpukan vaksin, jumlah kebutuhan vaksin satu tahun


harus dikurangi sisa vaksin tahun lalu. Rumus Kebutuhan Vaksin ;
Jumlah kontak
Kebutuhan Vaksin =--------------------- =.ampul/vial
IP
2.6.5. Peralatan Suntik
Dalam program imunisasi, jenis alat suntik imunisasi TT yang dipakai di
puskesmas adalah :
a. Semprit Auto Disable (AD)
Semprit AD adalah semprit yang setelah dipakai mengunci sendiri dan hanya
dapat dipakai sekali. Semprit ini merupakan alat yang dipilih untuk semua jenis
pelayanan imunisasi. Semua semprit AD mempunyai penutup plastik untuk
menjaga agar jarum tetap steril.
b. Alat suntik Prefilled Auto-Disable (AD)
Alat suntik prefilled AD adalah jenis alat suntik yang hanya bisa digunakan sekali
yang telah berisi vaksin dosis tunggal dengan jarum yang telah dipasang oleh
pabriknya. Alat suntik prefilled AD untuk tetanus toksoid digunakan untuk
memberikan vaksin TT kepada para wanita usia subur di rumah mereka selama
kampanye massal. Setiap alat suntik prefilled AD adalah steril dan disegel dengan

Universitas Sumatera Utara

paket kertas logam oleh pabrik, vaksin dimasukkan dalam reservoir tertutup
seperti gelembung yang mencegah vaksin berhubungan dengan jarum sampai
vaksin itu diberikan.
c. Semprit dan jarum sekali buang (disposable single- use)
Semprit dan jarum yang hanya bisa dipakai sekali dan dibuang (disposable
single-use) tidak direkomendasikan untuk suntikan dalam imunisasi karena risiko
penggunaan kembali semprit dan jarum disposable menyebabkan risiko infeksi
yang tinggi.

2.7. Pelayanan Antenatal Care (ANC)


Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan selama masa kehamilan
seorang ibu yang diberikan sesuai dengan pedoman pelayanan antenatal yang telah
ditentukan oleh Depkes. Adapun tujuan umum dari pelayanan antenatal adalah untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan ibu selama hamil sesuai dengan kebutuhan
sehingga dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik dan melahirkan bayi yang
sehat. (Depkes RI,1994).
Pelayanan antenatal dapat dibedakan kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas
pelayanan antenatal dapat dilihat dari jumlah ibu hamil yang memeriksakan diri
dengan frekuensi kunjungan pemeriksaan hamil selama kehamilan. Tentang kualitas
pelayanan antenatal, Depkes saat ini telah menyusun standar pelayanan antenatal
yang berkualitas yaitu, merupakan perpaduan jumlah kunjungan keseluruhan yang
secara minimal 4 kali dan jenis pemeriksaan yang diperoleh 5 T yang terdiri dari

Universitas Sumatera Utara

tinggi fundus uteri, tinggi badan, pengukuran tekanan darah, pemberian imunisasi
tetanus toksoid dan pemberian zat besi. (Depkes RI,1994).

2.8. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dan Koordinasi


2.8.1. Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)
PWS adalah alat manajemen sederhana yang dipergunakan untuk memantau
program imunisasi secara rutin. Prinsip PWS adalah memanfaatkan data yang ada
dari cakupan/laporan cakupan imunisasi, dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan
setempat. PWS disajikan dalam bentuk grafik per kelurahan/wilayah kerja. Indikator
PWS yang dibuat :
a.

Grafik TT1 + TT Ulang, menunjukkan tingkat penggerakan ibu hamil.

b.

Grafik TT2 + TT Ulang, menunjukkan tingkat perlindungan/ kelengkapan


imunisasi TT ibu hamil.

c.

Grafik DO TT1 TT2, menunjukkan tingkat manajemen program (efisiensi


program). (Dinkes Kota Jambi, 2003).

2.8.2. Koordinasi
Pelaksanaan program dituntut secara efektif dan efisien. Koordinasi yang
dilakukan adalah lintas program dan lintas sektoral. Lintas program dilakukan dengan
adanya keterpaduan KIA dan imunisasi, keterpaduan imunisasi dan surveilans. Pada
lintas sektoral dilaksanakan dengan Depdagri, Dep. Agama, dan organisasi-organisasi
profesi. (Dinkes Kota Jambi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.9. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan dalam manajemen program imunisasi memegang
peranan penting dan sangat menentukan selain menunjang pelayanan imunisasi juga
menjadi dasar untuk membuat perencanaan maupun evaluasi. Perihal penting yang
harus dicatat adalah hasil cakupan imunisasi, stok vaksin serta logistik.

(Dinkes

Kota Jambi, 2003).


Pelaporan dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan imunisasi
mulai dari puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit umum, balai imunisasi
swasta, rumah sakit swasta, rumah bersalin swasta kepada pengelola program di
tingkat administrasi yang sesuai. Adapun yang dilaporkan adalah cakupan imunisasi,
stok dan pemakaian vaksin.

2.10. Analisis Faktor


2.10.1. Definisi
Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas
prosedur, utamanya dipergunakan untuk mereduksi data atau meringkas dari variabel
yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama
diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih memuat
sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable).
(Supranto J, 2004).
Analisis faktor merupakan salah satu tehnik analisis statistik multivariat,
dengan titik berat yang diminati adalah hubungan secara bersama pada semua
variabel tanpa membedakan variabel tergantung dan variabel bebas atau disebut

Universitas Sumatera Utara

sebagai metode antar ketergantungan (interdependence methods). Proses analisis


faktor mencoba menemukan hubungan antar variabel yang saling independen
tersebut, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih
sedikit dari jumlah variabel awal sehingga memudahkan analisis statistik selanjutnya.
(Wibowo A, 2006).
Tujuan yang penting dari analisis faktor adalah menyederhanakan hubungan
yang beragam dan kompleks pada beberapa variabel yang diamati dengan
menyatukan faktor atau dimensi yang saling berhubungan pada suatu struktur data
yang baru yang mempunyai beberapa faktor yang lebih kecil. (Wibisono, 2003).
Analisis faktor dipergunakan di dalam situasi sebagai berikut :
1. Mengenali

atau

mengidentifikasi

dimensi

yang

mendasari

(Underlying

dimensions) atau faktor, yang menjelaskan korelasi antara suatu set variabel.
2. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak berkorelasi
(independent) yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan

suatu set

variabel asli yang saling berkorelasi di dalam analisis multivariat selanjutnya.


3. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel yang penting dari suatu set
variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan di dalam analisis
multivariat selanjutnya.
2.10.2. Model Analisis Faktor dan Statistik yang Relevan
Secara matematis, analisis faktor agak mirip dengan regresi liner berganda,
yaitu bahwa setiap variabel dinyatakan sebagai suatu kombinasi linear dari faktor
yang mendasari (Underlying dimensions). Jumlah varian yang disumbangkan oleh
suatu variabel dengan variabel lainnya yang tercakup dalam analisis disebut
communality. Kovariasi antara variabel yang diuraikan, dinyatakan dalam suatu

Universitas Sumatera Utara

common factors yang sedikit jumlahnya ditambah dengan faktor yang unik untuk
setiap variabel.
Faktor yang unik tidak berkorelasi dengan sesama faktor yang unik dan juga
tidak berkorelasi dengan common faktor. Common faktor sendiri bisa dinyatakan
sebagai kombinasi linear dari variabel-variabel yang terlihat/terobservasi (the
observed variables) hasil penelitian lapangan.
Statistik kunci yang relevan dengan analisis faktor adalah sebagai berikut :
Bartletts test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang dipergunakan untuk menguji
hipotesis bahwa variabel tidak saling berkorelasi (uncorrelated) dalam populasi.
2.10.3. Melakukan Analisis Faktor
Langkah-langkah yang diperlukan di dalam analisis faktor bisa dilihat pada
gambar dibawah ini :
Merumuskan Masalah

Bentuk Matriks Korelasi

Tentukan Metode Analisis Faktor

Lakukan Rotasi

Interpretasikan Faktor

Hitung Skor Faktor

Pilih Variabel Surrogate

Universitas Sumatera Utara

1. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah meliputi beberapa hal :
a. Tujuan analisis faktor harus diidentifikasi.
b. Variabel yang akan dipergunakan di dalam analisis faktor harus dispesifikasi
berdasarkan berdasarkan penelitian sebelumnya, teori dan pertimbangan dari
peneliti.
c. Pengukuran variabel berdasarkan skala interval atau rasio
d. Banyaknya elemen sample (n) harus cukup/memadai, sebagai petunjuk kasar,
kalau k banyaknya jenis variabel maka n = 4 atau 5 kali k. Artinya kalau variabel
5, banyaknya responden minimal 20 atau 25 orang sebagai sampel acak.
(Supranto J, 2004).
2. Bentuk Matriks Korelasi
Proses analisis didasarkan pada suatu matriks korelasi agar variabel
pendalaman yang berguna bisa diperoleh dari penelitian matriks ini. Agar analisis
faktor bisa tepat dipergunakan, variabel-variabel yang akan dianalisis harus
berkorelasi. Apabila koefisien korelasi antar variabel terlalu kecil, hubungannya
lemah, analisis faktor menjadi tidak tepat.
Prinsip utama Analisis Faktor adalah korelasi maka asumsi-asumsi terkait
dengan korelasi yaitu :
1. Besar korelasi atau korelasi antar independen variabel harus cukup kuat, misalnya
di atas 0,5 atau bila dilihat tingkat signifikansinya adalah kurang dari 0,05.

Universitas Sumatera Utara

2. Besar korelasi parsial, korelasi antar dua variabel dengan menganggap variabel
lain adalah tetap (konstan) harus kecil. Pada SPSS deteksi korelasi parsial
diberikan pada Anti Image Correlation.
Statistik formal tersedia untuk menguji ketepatan model faktor yaitu Bartletts
Test of Sphericity bisa digunakan untuk menguji hipotesis bahwa variabel tak
berkorelasi di dalam populasi. Nilai yang besar untuk uji statistik, berarti hipotesis
nol harus ditolak (berarti adanya korelasi yang signifikan diantara beberapa variabel).
Kalau hipotesis nol diterima, ketepatan analisis faktor harus dipertanyakan.
Statistik lainnya yang berguna adalah KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) mengukur
kecukupan sampling (sampling adequacy). Indeks ini membandingkan besarnya
koefisien korelasi terobservasi dengan besarnya koefisien korelasi parsial. Nilai
KMO yang kecil menunjukkan korelasi antar pasangan variabel tidak bisa
diterangkan oleh variabel lain dan analisis faktor mungkin tidak tepat.
Measure of Sampling Adequacy (MSA) ukuran dihitung untuk seluruh matriks
korelasi dan setiap variabel yang layak untuk diaplikasikan pada analisis faktor.
(Wibowo A,2006). Nilai MSA yang rendah merupakan pertimbangan untuk
membuang variabel tersebut pada tahap analisis selanjutnya.

(Wibisono, 2003).

Angka MSA berkisar 0-1 menunjukkan apakah sampel bisa dianalisis lebih lanjut.

MSA = 1, variabel tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh variabel


lain.

MSA > 0,5 variabel masih dapat diprediksi dan dapat dianalisis lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

MSA < 0,5 variabel tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dianalisis lebih
lanjut. (Wibowo A, 2006 ).

3. Menentukan Metode Analisis Faktor


Ada dua cara atau metode yang bisa dipergunakan dalam analisis faktor,
khususnya untuk menghitung timbangan atau koefisien skor faktor, yaitu principal
components analysis dan common factor analysis.
Di dalam principal components analysis, jumlah varian dalam data
dipertimbangkan. Principal components analysis direkomendasikan kalau hal yang
pokok ialah menentukan bahwa banyaknya faktor harus minimum dengan
memperhitungkan varian maksimum dalam data untuk dipergunakan di dalam
analisis multivariat lebih lanjut. Faktor-faktor tersebut dinamakan principal
components.
Di dalam common factor analysis, faktor diestimasi hanya didasarkan pada
common variance, communalities dimasukkan di dalam matriks korelasi. Metode ini
dianggap tidak tepat kalau tujuan utamanya ialah mengenali/mengidentifikasi
dimensi yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian. Metode ini
juga dikenal sebagai principal axis factoring. (Supranto J, 2004).
Communalities ialah jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel
dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis. Bisa juga disebut proporsi atau
bagian varian yang dijelaskan common factors, atau besarnya sumbangan suatu faktor
terhadap varian seluruh variabel. Semakin besar Communalities sebuah variabel,
berarti semakin kuat hubungannya dengan faktor yang dibentuknya.

Universitas Sumatera Utara

Eigenvalue merupakan jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor.


Eigenvalue akan menunjukkan kepentingan relatif masing-masing faktor dalam
menghitung varian yang dianalisis. Susunan eigenvalues selalu diurutkan dari yang
terbesar sampai yang terkecil dengan kriteria bahwa angka eigenvalue di bawah 1
tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk. (Eigenvalue yang
ditentukan di atas 1 adalah alasan peneliti). (Wibowo A, 2006).
4. Rotasi Faktor-Faktor
Suatu hasil atau output yang penting dari analisis faktor ialah apa yang
disebut matriks faktor pola (faktor pattern matrix). Matriks faktor berisi koefien yang
dipergunakan untuk mengekspresikan variabel yang dibakukan dinyatakan dalam
faktor. Koefien-koefisien ini yang disebut muatan faktor atau the faktor loading,
mewakili korelasi antar-faktor dan variabel. Suatu koefisien dengan nilai
absolut/mutlak yang besar menunjukkan bahwa faktor dan variabel berkorelasi sangat
kuat. Koefisien dari matriks faktor bisa dipergunakan untuk menginterpretasikan
faktor.
Meskipun matriks faktor awal yang belum dirotasi menunjukkan hubungan
antar-faktor masing-masing variabel, jarang menghasilkan faktor yang bisa
diinterpretasikan (diambil kesimpulannya), oleh karena faktor-faktor tersebut
berkorelasi atau terkait dengan banyak variabel (lebih dari satu).
Di dalam melakukan rotasi faktor, kita menginginkan agar setiap faktor
mempunyai muatan atau koefisien yang tidak nol atau yang signifikan untuk beberapa
variabel saja. Demikian halnya kita juga menginginkan agar setiap variabel
mempunyai muatan yang tidak nol atau signifikan dengan beberapa faktor saja, kalau

Universitas Sumatera Utara

mungkin hanya dengan satu faktor saja. Kalau terjadi bahwa beberapa faktor
mempunyai muatan tinggi dengan variabel yang sama, sangat sulit untuk membuat
interpretasi tentang faktor tersebut. Akan tetapi, persentase varian sebagai sumbangan
setiap faktor terhadap seluruh varian (dari seluruh variabel asli) mengalami
perubahan.
5. Interpretasi Faktor
Interpretasi dipermudah dengan mengidentifikasi variabel yang muatannya
besar pada faktor yang sama. Faktor tersebut kemudian bisa diinterpretasikan,
dinyatakan dalam variabel yang mempunyai muatan tinggi padanya. Manfaat lainnya
di dalam membantu untuk membuat interpretasi ialah menge-plot variabel, dengan
menggunakan faktor loading sebagai sumbu koordinat (sumbu F dan F2).
Variabel pada ujung atau akhir suatu sumbu ialah variabel yang mempunyai
high loading hanya pada faktor tertentu (faktor F atau F2) oleh karena itu bisa
menyimpulkan bahwa faktor tersebut terdiri dari variabel-variabel tersebut.
Sedangkan variabel yang dekat dengan titik asal (perpotongan sumbu F dan F2)
mempunyai muatan rendah (low loading) pada kedua faktor.
Variabel yang tidak dekat dengan sumbu salah satu faktor berarti berkorelasi
dengan kedua faktor tersebut. Kalau suatu faktor tidak bisa dengan jelas didefinisikan
dinyatakan dalam variabel aslinya, seharusnya diberi label sebagai faktor tidak
terdefinisikan atau faktor umum. Variabel-variabel yang berkorelasi kuat (nilai faktor
loading yang besar) dengan faktor tertentu akan memberikan inspirasi nama faktor
yang bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara

6. Menghitung Skor atau Nilai Faktor


Sebenarnya analisis faktor tidak harus dilanjutkan dengan menghitung skor
atau nilai faktor, sebab tanpa menghitung pun hasil analisis faktor sudah bermanfaat
yaitu mereduksi variabel yang banyak menjadi variabel baru yang lebih sedikit dari
variabel aslinya.
Namun kalau tujuan analisis faktor untuk mencari variabel baru yang bebas
satu sama lain, yang disebut faktor untuk dipergunakan dalam analisis multivariat
lainnya seperti analisis regresi linier berganda, maka perlu dihitung skor/nilai faktor
bagi setiap responden.
7. Memilih Surrogate Variables
Surrogate Variables adalah suatu bagian dari variabel asli yang dipilih untuk
digunakan di dalam analisis selanjutnya. Pemilihan Surrogate Variables meliputi
sebagian dari beberapa variabel asli untuk dipergunakan di dalam analisis
selanjutnya. Hal ini memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis lanjutan dan
menginterpretasikan hasilnya dinyatakan dalam variabel asli bukan dalam skor
faktor. Dengan meneliti matriks faktor, kita bisa memilih untuk setiap faktor variabel
dengan muatan tinggi pada faktor yang bersangkutan.
Variabel tersebut kemudian bisa dipergunakan sebagai variabel pengganti
atau surrogate variables untuk faktor yang bersangkutan. Proses untuk mencari
variabel pengganti akan berjalan lancar kalau muatan faktor (faktor loading) untuk
suatu variabel jelas-jelas lebih tinggi daripada muatan faktor lainnya. Akan tetapi
pilihan menjadi susah, kalau ada dua variabel atau lebih mempunyai muatan yang
sama tingginya. Di dalam hal seperti itu, pemilihan antara variabel-variabel ini harus

Universitas Sumatera Utara

didasarkan pada pertimbangan teori dan pengukuran sebagai contoh, mungkin teori
menyarankan bahwa suatu variabel dengan muatan sedikit lebih kecil mungkin lebih
penting daripada dengan sedikit lebih tinggi.
Demikian juga halnya, kalau suatu variabel mempunyai muatan sedikit lebih
rendah akan tetapi telah diukur lebih teliti/akurat, seharusnya dipilih sebagai
surrogate variable.

2.11. Proses Analisis Faktor


Secara garis besar tahapan pada analisis faktor eksploratori adalah sebagai
berikut :
1.

Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena
analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya
ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi
pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan
variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor.
Alat seperti MSA atau Bartletts Test dapat digunakan untuk keperluan ini.

2.

Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan ekstraksi variabel tersebut


hingga menjadi satu atau beberapa faktor.

3.

Faktor yang terbentuk, pada banyak kasus kurang menggambarkan perbedaan


diantara faktor-faktor yang ada. Misalnya, faktor 1 dengan faktor 2 ternyata
masih mempunyai kesamaan atau sebenarnya masih sulit dikatakan apakah isi
(variabel) pada faktor 1 benar-benar layak masuk faktor 1, ataukah mungkin
dapat masuk faktor 2. Hal tersebut akan mengganggu analisis, karena justru
sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain.

Universitas Sumatera Utara

4.

Jika isi faktor diragukan, dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas
apakah faktor yang terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor
yang lain.

5.

Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan


menamakan faktor yang ada. Kemudian mengartikan hasil penemuan (artinya
faktor-faktor tersebut mewakili variabel yang mana saja).

2.12. Kerangka Konsep


Faktor yang mempengaruhi Cakupan
Imunisasi TT Ibu hamil :
1. Pendidikan petugas
2. Pengetahuan petugas
3. Lama kerja
4. Jumlah petugas pelaksana imunisasi
5. Pelatihan petugas
6. Waktu pelayanan imunisasi
7. Stok Vaksin
8. Pengelolaan Rantai Vaksin
9. Peralatan Rantai Vaksin
10. Peralatan Suntik Imunisasi
11. Kerjasama Lintas Program
12. Kerjasama Lintas Sektoral
13. Pencatatan dan Pelaporan
14. Pemantauan
Wilayah
Setempat
(PWS)
15. Penyuluhan oleh petugas
16. Pengetahuan Ibu Hamil
17. Kendaraan Operasional

Analisis
faktor
cakupan
imunisasi TT
ibu hamil

Hasil :
- faktor 1
- faktor 2
- faktor n

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai