Bab 1
Bab 1
PENDAHULUAN
1.2 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh
patogen spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di
Jepang oleh Inada setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886.
Weil menemukan bahwa penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam,
ikterus, pembesaran hati dan limpa, serta kerusakan ginjal. 8,9
Di Indonesia, gambaran klinis leptospirosis dilaporkan pertama kali oleh Van der
Scheer di Jakarta pada tahun 1892, sedang isolasinya dilakukan oleh Vervoot pada
tahun 1922. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever,
Hemorrhagic jaundice, Mud fever, atau Swineherd disease.8
1.3 Epidemiologi
Leptospirosis merupakan zoonosis dengan distribusi luas di seluruh dunia,
terutama pada wilayah dengan iklim tropis dan subtropis. Angka kejadian
leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara pasti. Di daerah dengan
kejadian luar biasa leptospirosis ataupun pada daerah yang memiliki faktor risiko
tinggi terpapar leptospirosis, angka kejadian leptospirosis dapat mencapai lebih
dari 100 per 100.000 per tahun. Di daerah tropis dengan kelembaban tinggi angka
kejadian leptospirosis berkisar antara 10-100 per 100.000 sedangkan di daerah
subtropis angka kejadian berkisar antara 0,1-1 per 100.000 per tahun. Case
fatality rate (CFR) leptospirosis di beberapa bagian dunia dilaporkan berkisar
antara <5% - 30%. Angka ini memang tidak terlalu reliabel mengingat masih
banyak
daerah
di
dunia
yang
angka
kejadian
leptospirosisnya
tidak
terdokumentasi dengan baik. Selain itu masih banyak kasus leptospirosis ringan
belum didiagnosis secara tepat.10
Hewan terpenting dalam penularan leptospirosis adalah jenis binatang
pengerat, terutama tikus. Bakteri leptospira khususnya spesies L. Ichterro
haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus
norvegicus) dan tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan hewan peliharaan seperti
kucing, anjing, kelinci, kambing, sapi, kerbau, dan babi dapat menjadi hospes
perantara dalam penularan leptospirosis.11,12 Transmisi bakteri leptospira ke
manusia dapat terjadi karena ada kontak dengan air atau tanah yang tercemar urin
hewan yang mengandung leptospira.
1.4 Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau
mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh.
Leptospira juga dapat menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang
subarahnoid tanpa menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang
bertanggung jawab untuk virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya
leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi
tampaknya berhubungan dengan resistensi terhadap proses pemusnahan didalam
serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi meningkatkan klirens leptospira dari
darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan demikian mengaktifkan
fagositosis.11,13
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat mengeluarkan
enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis.
Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap
oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada
antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,
pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital
dan dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses hemoragik
tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia. Namun
terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian
vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia
tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik
ini merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab
kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.9
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping
itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan
sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia
hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya
terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus
pada beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis
sel hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.6
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan
factor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal
ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus
yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau
nekrosis sel epitel tubulus ginjal.12 Pada kasus yang meninggal pada minggu ke
dua, terlihat banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang
meninggal setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi
seluruh ginjal (medula dan korteks).7 Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh
hipotensi, hipovolemia dan kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal
menimbulkan nefropati pada leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi
insufisiensi adrenal karena perdarahan pada kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia
dapat menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi
akut,
hemoptisis,
meningitis,
meningoensefalitis,
ensefalitis,
radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibody didalam serum
tidak disertai peningkatan antibody leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan
bola mata, sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata
selama berbulan-bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik
atau laten pada kasus leptospirosis.15
biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau
glomerulonefritis.18
2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan
timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. 23 Pada kasus yang ringan (mild
case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal,
sementara pada kasus yang berat (severe case) ditemukan manifestasi terhadap
gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan. 18 Pada manifestasi
meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai dengan sakit kepala,
fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada leptospirosis
sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi
berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan
neuropati perifer.18 Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua
mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai jaundice
dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering
juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria,
syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas
penderita.18
Gambar di bawah ini mendeskripsikan perjalanan penyakit leptospirosis,
dimulai dari masa inkubasi hingga terjadinya manifestasi klinis, yang dapat terjadi
dalam waktu bulan hingga tahun. Selain itu, dijelaskan juga keberadaan kuman
leptospira di darah, CSF, dan urin yang tergantung waktu. Dari gambar, terlihat
bahwa peningkatan titer antibodi dengan puncaknya terjadi pada pertengahan
minggu kedua setelah inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa fase imun terjadi
setelah fase leptospiremia (sekitar 7-12 hari setelah inkubasi). Investigasi
laboratorium pada minggu awal dapat dilakukan dalam bentuk pemeriksaan
serologi dan kultur darah, sementara urin dapat dikultur pada masa imun penyakit
leptospirosis.
Gambar 1. Sifat bifasik leptospirosis4
dan nyeri tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting leptospirosis nonnikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan
diagnosisnya.17
Pasien dengan leptospirosis non-ikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhan bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri
(self-limited) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3
minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang
lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut, leptospirosis anikterik
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding, terutama di daerah endemik
leptospirosis seperti Indonesia.17,20
2. Leptospirosis berat (ikterik)
Manifestasi leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 515%. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama Sindrom Weil. Tanda khas
dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta
perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan dapat
mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap sebagai
indikator utama leptospirosis berat. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat
persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan
fase leptospiremia.17
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinik leptospirosis anikterik dan ikterik
Sindroma, Fase
Leptospirosis anikterik*
Fase leptospiremia
Gambaran Klinik
Demam tinggi, nyeri
Spesimen Laboratorium
Darah, LCS
conjunctival suffusion
Demam ringan, nyeri
Urin
kepala, muntah,
meningitis aseptic
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan
Urin (mingguke-2)
overlapping)
ginjal, hipotensi,
manifestasi perdarahan,
pneumonitis hemorrargik,
leukositosis
*antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik ( 1-3
hari) Sumber: M. Hussein Gassem (2002), dimodifikasi dari Farr RW (1995)
Beratnya berbagai komponen sindrom Weil kemungkinan mencerminkan
beratnya vaskulitis yang mendasarinya. Ikterus biasanya tidak terkait dengan
nekrosis hepatoselular, dan setelah sembuh tidak terdapat gangguan fungsi hati
yang tersisa. Kematian pada sindrom Weil jarang disebabkan oleh gagal hati.
1.6 Diagnosis
a. Diagnosis Klinik
Leptospirosis dipertimbangkan pada semua kasus dengan riwayat kontak
terhadap binatang atau lingkungan yang terkontaminasi urin binatang, disertai
dengan gejala akut demam, menggigil, mialgia, conjunctival suffusion, nyeri
kepala, mual, atau muntahSelain itu penting juga untuk mempertimbangkan jenis
pekerjaan penderita dan riwayat adanya kontak dengan air sebelumnya. 21
Dari anamnesis harus jelas ditanyakan identitas pasien, keluhan yang
dirasakan, dan data epidemiologis. Leptospirosis biasanya mudah terjangkit pada
usia produktif yang cenderung lebih aktif dilapangan. Untuk epidemiologis
biasanya lebih sering terjadi pada wilayah padat penduduk, banyak pejamu
reservoir, daerah yang sering mengalami banjir, dan lingkungan yang sering
tergenang air maupun lingkungan kumuh.23
Keluhan khas yang sering ditemukan, yaitu: demam mendadak, keadaan
umum lemah tidak berdaya, mual, muntah, nafsu makan menurun, merasa mata
makin hari kian bertambah kuning, dan nyeri hebat terutama pada daerah betis dan
paha. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai tergantung pada fase yang sedang
dilalui dan derajat keparahan yang dialami pasien.23
b. Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif leptospirosis bergantung pada penemuan laboratorium.
Pada sindrom Weil dapat ditemukan leukositosis dan netropenia, terutama selama
fase awal penyakit. Anemia tidak biasa ditemukan pada leptospirosis anikterik,
tetapi dapat terjadi anemia berat pada sindrom Weil. Kadar enzim hati, kreatinin,
dan ureum dapat sedikit meningkat pada leptospirosis anikterik, dan meningkat
secara ekstrim pada sindrom Weil.17,23
Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.7
1. Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop
lapangan terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau urin.
2. Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada
10 hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada
10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira. Pada
media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm dibawah
permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi. Untuk kultur
harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang dibiakkan
bergantung pada fase penyakit. Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode
radiometrik untuk mendeteksi organisme leptopira secar cepat dengan
menggunakan sistem BACTEC 460 (Johnson Laboratories). Dengan sistem ini,
leptospira dideteksi pada darah manusia setelah inkubasi 2-5 hari.
3. Inokulasi hewan
Teknik yang
sensitif
untuk
isolasi
leptospira
meliputi
inokulasi
10
4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk
mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu
Microscopic
serodiagnosis
leptospirosis
yang
lain
adalah
Macroscopic
dengan
metode
PCR
(Polymerase
Chain
Reaction)
dengan
Kriteria Diagnosis
11
Jawab
Ya/tidak
Nilai
2/0
Conjunctival suffusion
Ya/tidak
4/0
Demam
Ya/tidak
2/0
Demam 38C
Ya/tidak
2/0
Meningismus
Ya/tidak
4/0
Meningismus,
nyeri
otot,
conjunctival
suffusion Ya/tidak
bersama-sama
Ikterik
10/0
1/0
Ya/tidak
2/0
10/0
Ya/tidak
2/0
Ya/tidak
10/0
Ya/tidak
25/0
Ya/tidak
5/0
Ya/tidak
15/0
12
tersebut sangat subjektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologik dalam
kriteria diagnosis tersebut menjadi kendala bagi klinisi karena pemeriksaan
serologik tersebut jarang tersedia dan jika ada maka hasilnya diperoleh setelah
beberapa hari. Aplikasi kriteria diagnosis secara berlebihan dapat menyesatkan
para klinisi.2 oleh karena itu, kriteria diagnostik yang yang digunakan klinisi saat
ini adalah Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009.
Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009
a. Definisi Umum
Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009 adalah kriteria untuk
menegakkan diagnosis leptospirosis yang dihasilkan dalam pertemuan para ahli
dalam Informal Expert consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk
Reduction of Leptospirosis di Chennai-India pada tanggal 18-19 September
2009.24
Pertemuan para ahli dari Asia Tenggara tersebut bertujuan untuk:24
1. Meninjau kembali epidemiologi leptospirosis di kawasan Asia Tenggara
berkaitan dengan dampak perubahan iklim.
2. Meninjau kasus definitif leptospirosis yang ada dengan memperhatikan
perubahan gambaran klinis leptospirosis dan epidemiologi di kawasan Asia
Tenggara.
3. Menyarankan bagaimana cara mendiagnosis leptospirosis dengan tepat,
termasukan mengenai pemeriksaan laboratorium dari leptospirosis.
b. Definisi Kasus
Mengingat variasi manifestasi klinis leptospirosis, keterbatasan metode uji
diagnostik yang tersedia, dan perlunya deteksi kasus leptospirosis secara dini serta
pengobatan secepatnya, maka diperlukan suatu kriteria diagnosis leptospsirosis
yang tepat. Berikut adalah kriteria diagnosis menurut WHO SEARO 2009 :24
1. Kasus suspect demam akut (38,5C) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan:
- Myalgia
- Kelemahan dan/ atau
- Conjunctival suffusion, dan
13
14
1.8 Penatalaksanaan
Prinsip tatalaksana dari leptospirosis dibagi menjadi dua bagian, pertama
terapi definitif berupa antibiotik secepat mungkin dan kedua berupa terapi suportif
dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi,
hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal . Gangguan fungsi ginjal sendiri pada
umumnya spontan akan membaik, namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer.23
Beberapa antibiotik yang menjadi pilihan untuk tatalaksana leptospirosis
diantara lain :28
- Penicilin G
- Doksisiklin
- Amoksisilin
- Ceftriaxone
- Ampisilin
Penisilin telah lama digunakan sebagai terapi pilihan bagi leptospirosis
dengan dosis 2 Juta Unit melalui jalur intravena 6 jam sekali selama 7 hari.
Sebuah studi komparasi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berarti
antara efektifitas pengunaan penisislin dibandingkan dengan ceftriaxone dalam
penggunannya untuk terapi leptospirosis. Hanya saja penggunaan ceftriaxone
lebih ekonomis ( sekali sehari dibanding penisilin yang diberikan 4 kali sehari),
dan bagi pasien yang alergi dengan penisilin, penggunaan ceftriaxone merupakan
suatu alternatif.
Untuk kasus yang lebih ringan, tatalaksana oral dengan doksisiklin,
ampicillin,
serta
amoksisilin
bisa
dipertimbangkan.
WHO
sendiri
15
Indikasi
Leptospirosis Ringan
Leptospirosis Berat
Kemoprofilaksis
Regimen
Doksisiklin
Amoksisilin
Penisilin
Ceftriaxone
Doksisiklin
Amoksisilin
Dosis
100mg/2x Sehari , 7 hari
2 g/hari , 7 harij
2 Juta Unit IV/ 6 jam, 7 hari
1 g / hari, 7 hari
100mg/2x Sehari , 7 hari
2 g/hari , 7 hari
membuktikan
adanya
proses
immune-complex
menyebabkan vasokonstriksi.
Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC)
menyebabkan
viskositas
darah
meningkat.
menyebabkan
Iskemia
ginjal,
17
atau
antigen
karena
lisisnya
bakteri,
akan
meningkatkan
18
19
1.12. Prognosis
Sekitar 90% kasus leptospirosis berada pada derajat keparahan yang rigan
dan biasanya jarang menyebabkan kematian. Tingkat kematian pada leptospirosis
yang berat adalah sekitar 10%, atau berkisar antara 5-40%. Usia tua dan
kekebalan tubuh yang rendah merupakan kelompok pasien yang memiliki resiko
tinggi terjadinya kematian. Kematian terbanyak disebabkan oleh karena gagal
ginjal, perdarahan massif, atau sindroma distress pernapasan akut (ARDS).
Insidensi keterlibatan sistem pernapasan telah meningkat dalam beberapa
tahun terakhir, melibatkan hingga 70% pasien. Keterlibatan ini telah menjadi
penyebab kematian yang serius, menjadi penyebab kematian nomor satu di
beberapa negara.
Leptospirosis yang terjadi pada masa kehamilan sangat membahayakan.
Dar suatu studi pada 16 kasus, aborsi spontan sangat rentan terjadi pada trimester
kedua. Ketika penyakit ini terjadi pada trimester ke-3, 1 dari 3 kehamilan akan
berakhir dengan aborsi ataupun kematian perinatal.
Umumnya, mereka yang sembuh dari penyakit leptospirosis ini mengalami
morbiditas jangka panjang yag sedikit, tidak tergantung pada keparahan penyakit.
Fungsi hati dan ginjal kembali ke keadaan normal, walaupun disfungsi berat
terjadi selama masa akut, bahkan di antara orang-orang yang memerlukan dialisis.
Sekitar 30% pasien berlanjut dengan meningitis aseptik yang mengeluhkan
rasa nyeri kepala periodik dan keparahan yang bervariasi. Pasien yang mengalami
uvetis leptospira mungkin mengalami hilagnya daya penglihatan yang persisten
(disebabkan oleh pigmentasi lensa sebagai konsekuensi uvetis anterior) dan
pandangan kabur (berhubungan dengan presipitatum keratin di chamber
anterior).32
20