BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. World Health
Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang
tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah
faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.1
Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan Western-style yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.2
BAB III
KLASIFIKASI
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes
(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe sebagai berikut :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara
absolut menyebabkan defisiensi insulin. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini
berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan
insulin seumur hidup.3
2. Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan
adanya resistensi insulin. Insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin
dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme
glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga
terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau
kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.3
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
Tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.3
BAB IV
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
- Riwayat keluarga dengan Diabetes Mellitus
3
- Umur, risiko untuk menderita prediabetes meningkat seiring dengan meningkatnya usia.
- Riwayat pernah menderita Diabetes Mellitus gestasional
- Riwayat lahir dengan BB rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah
mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding bayi yang lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi :
-
BAB V
ETIOLOGI
Diabetes tipe I:
a. Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu
predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan
genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
4
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respon autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya
seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta.
Diabetes Tipe II :
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Melitus Tidak
Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif
insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan
glukosa, namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain.
Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.4
BAB VI
PATOFISIOLOGI
Diabetes Melitus Tipe I
Terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat defek sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. Hampir 90-95% islet sel pankreas
hancur sebelum terjadi hiperglikemia akibat dari antibodi islet sel. Kondisi tersebut
menyebabkan insufisiensi insulin dan meningkatkan glukosa. Glukosa menumpuk dalam
5
BAB VII
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika
kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika
kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk mengencerkan
sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah
yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat
poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum (polidipsi).
Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami penurunan berat
badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar
biasa sehingga banyak makan (polifagi). Keluhan tambahan lain seperti sering penglihatan
kabur, kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit.3
Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahandarah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil
pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer.5
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
- Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, danpenurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gr glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulangulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.
8
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada
hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).3
Keterangan:
1. TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT : Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140mg/dL.
Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda
diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan
mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji
diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya
positif, untuk memastikan diagnosis definitif.3
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes Melitus,
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT),
sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut
sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua
keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit
kardiovaskular di kemudian hari.3
9
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan
diagnosis diabetes melitus.
Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis
diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa terganggu. Berikut
adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT ;
10
BAB VIII
PENATALAKSANAAN
A. Terapi Nonfarmakologis
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapaikeberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi. Berbagai haltentang edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi
perilaku sehat. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan
gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus.3
11
12
B. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
Obat Hipoglikemik Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
I. Pemicu Sekresi Insulin
a) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang. Yang termasuk obat golongan ini antara lain:
- Khlorpropamid
Seluruhnya diekskresi melalui ginjal, sehingga tidak dipakai pada gangguan
faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam, diberikan
sebagai dosis tunggal, tidak dianjurkan untuk pasien geriatri.3
- Glibenklamid
Mempunyai efek hipoglikemik yang poten, sehingga pasien perlu diingatkan
untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Dikatakan mempunyai efek
terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat
diberikan pada beberapa kelainan fungsi hati dan ginjal. 3
- Glikasid
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan hipoglikemia, mempunyai efek anti agregasi trombosit yang
lebih poten. Dapat diberikan pada gangguan fungsi hati dan ginjal ringan .3
- Glikuidon
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang dan juga jarang menyebabkan
hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di ekskresi melalui empedu dan
usus, dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
yang lebih berat.
- Glipisid
Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih pendek dari
khlorpropamid dan mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan
meningkatkan jumlah reseptor.
- Glimepirid
13
Mempunyai waktu mula yang pendek dan waktu kerja yang lama, dengan
cara pemberian dosis tunggal. Efek farmakodinamiknya adalah mensekresi
sedikit insulin dan kemungkinan adanya aksi dari ekstra pancreas. Untuk
pasien yang berisiko tinggi yaitu : usia lanjut, gangguan ginjal atau yang
melakukan aktivitas berat dapat diberikan obat ini. Dibandingkan dengan
glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada
awal pengobatan.
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid
(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:
- Repaglinid
Merupakan derivat asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik ringan
sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan obat ini adalah keluhan gastrointestinal.
- Nateglinid
Cara kerja hampir sama dengan repaglinide, namun nateglinide merupakan
derivat dari fenilalanin. Diabsorpsi cepat setelah pemberian oral dan ekskresi
terutama melalui urine. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan
obat ini adalah keluhan infeksi saluran pernafasan atas.
II.
produksi
glukosa
hati
plasma glukosa puasa kurang dari 180 mg/dl. Efek samping obat ini adalah perut
kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang diare, yang akan berkurang
setelah pengobatan lebih lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah
pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila
diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau insulin) dapat terjadi
hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat
diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini diberikan dengan dosis awal 50 mg
dan dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama
suap pertama setiap kali makan jadi bukan sesudah makan. 3
V.
DPP-IV Inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan
oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada
makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang
kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.
Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4
(DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif. Sekresi GLP-1
menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe2.
Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon
asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang
penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon. 3
Tabel 3. Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap
penurunan A1C ( Hb-glikosilat)
16
Suntikan
1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO. 3
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
-
puasa,
sedangkan
defisiensi
insulin
prandial
akan
menimbulkan
- Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi
yang terjadi.
- Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin.
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin
basal (insulin kerja sedang atau panjang).
- Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
- Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum
mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial (meal-related).
Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah
insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi
insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali
insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial
(basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).
- Insulin basal juga dapat dikombinasikan denga OHO untuk menurunkan glukosa
darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan
glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).
- Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian 3.
Cara Penyuntikan Insulin :
- Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan arah
alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.
- Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
- Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek dan
kerja menengah, dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.
- Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan dengan
benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
- Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan
jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.
18
19
BAB IX
KOMPLIKASI
A. Penyulit Akut
1. Ketoasidosis Diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.
Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan
Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil acid yang tidak dapat diteruskan dalam
kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di
oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa
akan mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping
itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic
effect menambah beratnya KAD.6
Gambaran klinis KAD meliputi gejala-gejala klinis dan diperkuat dengan
pemeriksaan laboratorium.
Gejala Klinis KAD :
- Polidipsia, poliuria, dan kelemahan merupakan gejala tersering yang ditemukan,
dimana beratnya gejala tersebut tergantung dari beratnya hiperglikemia dan
lamanya penyakit.
- Anoreksia, mual, muntah, dan nyeri perut (lebih sering pada anak-anak) dapat
dijumpai dan ini mirip dengan kegawatan abdomen. Ketonemia diperkirakan
sebagai penyebab dari sebagian besar gejala ini. Beberapa penderita diabetes
bahkan sangat peka dengan adanya keton dan menyebabkan mual dan muntah
yang berlangsung dalam beberapa jam sampai terjadi KAD.
- Ileus (sekunder akibat hilangnya kalium karena diuresis osmotik) dan dilatasi
lambung dapat terjadi dan ini sebagai predisposisi terjadinya aspirasi.
- Pernapasan kussmaul (pernapasan cepat dan dalam) sebagai kompensasi terhadap
asidosis metabolik dan terjadi bila pH < 7,2.
- Secara neurologis, 20% penderita tanpa perubahan sensoris, sebagian penderita
lain dengan penurunan kesadaran dan 10% penderita bahkan sampai koma.6
Pemeriksaan Laboratorium KAD :
- Glukosa
20
Glukosa serum biasanya > 250 mg/dl. Kadar glukosa mencerminkan derajat
kehilangan cairan ekstraseluler. Kehilangan cairan yang berat menyebabkan aliran
darah ginjal berkurang dan menurunnya ekskresi glukosa. Diuresis osmotik akibat
hiperglikemia menyebabkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi, dan
hiperosmolaritas (umumnya sampai 340 mOsm/kg).3
- Keton
Tiga benda keton utama adalah : betahidroksibutirat, asetoasetat, dan aseton.
Kadar keton total umumnya melebihi 3 mM/L dan dapat meningkat sampai 30
mM/L (nilai normal adalah sampai 0,15 mM/L). Kadar aseton serum meningkat 34 kali dari kadar asetoasetat, namun berbeda dengan keton lainnya aseton tidak
berperan dalam terjadinya asidosis. Betahidroksibutirat dan asetoasetat menumpuk
dalam serum dengan perbandingan 3:1 (KAD ringan) sampai 15:1 (KAD berat). 3
- Asidosis
Asidosis metabolik ditandai dengan kadar bikarbonat serum di bawah 15 mEq/l
dan pH arteri di bawah 7,3. Keadaan ini terutama disebabkan oleh penumpukan
betahidroksibutirat dan asetoasetat di dalam serum. 3
- Elektrolit
Kadar natrium serum dapat rendah, normal, atau tinggi. Hiperglikemia
menyebabkan masuknya cairan intraseluler ke ruang ekstraseluler. Hal ini
menyebabkan hiponatremia walaupun terjadi dehidrasi dan hiperosmolaritas.
Hipertrigliseridemia dapat juga menyebabkan menurunnya kadar natrium serum. 3
Kadar kalium serum juga dapat rendah, normal, dan tinggi. Kadar kalium
mencerminkan perpindahan kalium dari sel akibat asidosis dan derajat kontraksi
intravaskuler. Karena hal di atas dan hal lain, kadar kalium yang normal atau
tinggi tidak mencerminkan defisit kalium tubuh total sesungguhnya yang terjadi
sekunder akibat diuresis osmotik yang terus menerus. Kadar kalium yang rendah
pada awal pemeriksaan harus dikelola dengan cepat. 3
Kadar fosfat serum dapat normal pada saat masuk rumah sakit. Seperti halnya
kadar kalium kadar fosfat tidak mencerminkan defisit tubuh yang sesungguhnya,
walaupun terjadi perpindahan fosfat intraseluler ke ruang ekstraseluler, sebagai
bagian dari keadaan katabolik. Fosfat kemudian hilang melalui urin akibat diuresis
osmotik 3.
- Lain-Lain
Kadar nitrogen ureum darah (BUN) biasanya sekitar 20-30 mg/dl. Leukosit sering
meningkat setinggi 15.000 - 20.000/ml pada KAD, maka dari itu tidak dapat
dipakai sebagai satu-satunya bukti adanya infeksi. Amilase serum dapat
21
22
I
Terapi Insulin :
Regular Insulin (RI) melalui infus intravena berkesinambungan merupakan
terapi pilihan. Pada pasien dewasa, bila tidak ada hipokalemi (K+ <>).
Pada pasien pediatric, diberikan infus RL berkesinambungan dgn dosis 0,1
UI/kg/jam.
Dosis rendah ini biasanya dapat menurunkan kadar glukosa plasma
sebesar 50-75 mg/dl per jam, sama seperti pada pemberian regimen
insulin dgn dosis yang lebih tinggi. Bila kadar glukosa plasma tidak turun
sebesar 50 mg/dl dari kadar awal, periksa keadaan hidrasi pasien. Infus
insulin dapat ditingkatkan 2 kali lipat setiap jam sampai kadar glukosa
plasma turun antara 50 sampai 75 mg/dl per jam. Bila kadar glukosa
plasma mencapai 250 mg/dl pada KAD atau 300 mg/dl pada KHH, dosis
insulin
diturunkan
pemberian
menjadi
Dextrose
0,05-0,1
(5-10%).
UI/kgBB/jam
Selanjutnya
(3-6
kecepatan
UI/jam)
insulin
dan
atau
langsung
cara
yang
terhadap b hydroxy
lebih
baik
untuk
butirate
memantau
dalam
darah
KAD. Metoda
nitroprusside hanya dapat mengukur asam asetoasetat dan aseton. BetaOHB, yang merupakan asam kuat dan paling sering ditemukan pada KAD,
tidak dapat diukur dengan metoda nitroprusside. Selama pengobatan, bOHB dirubah menjadi asam asetoasetat yang dapat memberi kesan keliru
bahwa ketosis memburuk. Selama pengobatan KAD atau KHH, darah
sebaiknya diperiksa setiap 2 4 jam untuk menentukan kadar elektrolit
serum, glukosa, ureum, kreatinin, osmolalitas dan pH darah vena. 7
Umumnya, tidak perlu dilakukan pemeriksaan ulang analisa gas darah
arteri. Keasaman (pH) darah vena (biasanya 0,03 U lebih rendah dari pH
arteri) dan anion gap dapat pula digunakan untuk memantau adanya
asidosis pada KAD. 7
23
I
Pada KAD ringan, RI dapat diberikan baik secara subkutan maupun
intramuskuler setiap jam sama efektifnya dengan pemberian intravena
pada KAD yang berat.
Pasien dgn KAD ringan sebaiknya diberikan dosis initial / awal RI sebesar
0,4 0,6 UI per kgBB, dimana separuh dosis diberikan secara bolus
intravena dan separuhnya secara s.c. atau i.m. Selanjutnya pada jam2
berikutnya dapat diberikan 0,1/kgBB/jam RI secara subkutan atau
intramuskuler.
Bikarbonat serum
18 mEq/l
Kalium :
Terapi insulin, koreksi terhadap asidosis dan penambahan cairan dapat
menurunkan kadar kalium serum. Untuk mencegah hipokalemi, penambahan
kalium hendaklah dimulai bila kadar kalium serum turun dibawah 5,5 mEq/l
dengan syarat bila sudah terjadi diuresis. Umumnya pemberian Kalium sebanyak
24
I
20-30 mEq (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) dalam setiap liter cairan infus sudah cukup
untuk mempertahankan kadar Kalium serum dalam batas normal (4 5 mEq/l).
Bila terjadi hipokalemi berat hendaklah dimulai bersamaan dengan terapi cairan
dan terapi insulin ditunda dulu sampai kadar kalium mencapai > 3,3 mEq/l,
untuk mencegah terjadinya aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot
pernafasan. 7
Bikarbonat :
Pemberian bikarbonat pada KAD masih kontroversi. Pada pH >7.0,
pemberian insulin dapat mencegah lipolisis dan menanggulangi ketoasidosis
tanpa perlu tambahan pemberian bikarbonat. Suatu studi prospektif tidak
menunjukkan perbaikan atau perubahan morbiditas atau mortalitas penderita
KAD dengan pH darah antara 6.9 7.1, yang diberi terapi bikarbonat. Dan tidak
ada studi yang menunjukkan manfaat pemberian bikarbonat pada penderita KAD
dengan pH darah.Namun pada penderita dengan asidosis yang beratdimana pH
darah menimbulkan gangguan vaskuler, maka dianjurkan pemberian 100
mmol natrium bikarbonat yang dicampur dalam 400 ml aquadest dan diberikan
dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada penderita dengan pH darah antara 6,9 7,0
diberikan 50 mmol natrium bikarbonat yang diencerkan dalam 200 ml aquadest,
diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam. Pada pH darah > 7.0, tidak diperlukan
pemberian bikarbonat. Perlu diingat bahwa terapi insulin dan bikarbonat dapat
menurunkan kadar kalium serum. Oleh karena itu, suplementasi kalium dalam
cairan infushendaklah dipertahankan dan dimonitor secara ketat. Selanjutnya,
pH darah vena hendaklah diperiksa setiap setiap 2 jam sampai pH mencapai 7.0.
Bila perlu pemberian bikarbonat dapat diulang. Pada penderita pediatrik, bila pH
darah masih < 155 mEq/l. 7
Fosfat :
Kadar fosfat serum dapat menurun pada saat terapi insulin. Namun
beberapa studi prospektif tidak menunjukkan adanya manfaatpemberian fosfat
pada penderita KAD. Namun untuk mencegah terjadinya kelemahan otot jantung
dan otot rangka serta depresi pernafasan akibat hipofosfatemia, perlu diberikan
25
I
suplemen fosfat terutama pada penderita yang disertai dengan gangguan fungsi
jantung, anemia atau depresi pernafasan dan pada penderita dengan kadar
fosfat serum. 7
26
27
28
Ketoasidosis Diabetik
Keadaan
Hiperosmolar
Hiperglikemik
Glukosa
Plasma
> 250
> 250
> 250
> 600
7,25-
7,00-
<>
> 7,30
7,30
<7,24
15-18
10-<15
<>
> 15
Keton urin
Positif
Positif
Positif
Sedikit/negatif
Keton Serum
Positif
Positif
Positif
Sedikit/negatif
(mg/dl)
pH arteri
Bikarbonat
Serum
(mEq/l)
29
Osmolalitas
serum
Bervari
Bervaria
asi
si
Anion gap
> 10
Sensorium
Sadar
efektif (mOsm/kg)
Bervariasi
> 320
> 12
>12
<12
Apatis
Stupor/Co
Stupor/Coma
ma
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka,
bibir
dan
gemetar
dada
berdebar-debar.
Stadium
gangguan
otak
berat,
gejala
mengandung karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL ( bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia
- Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (=50 mL)bolus intra vena
- Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infuse ,6 jam perkolf
- Periksa GD sewaktu (GDs) ,kalau memungkinkan dengan glukometer ;
Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV
- Periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
30
RI
( mg/dL )
(unit, subkutan )
<200
0
200-250
5
250-300
10
300-350
15
>350
20
- Bila hipoglikemia belum teratasi ,dipertimbangkan pemberian antagonis insulin
seperti; adrenalin ,kortison dosis tinggi ,atau glikagon 0,5-1 mg IV / IM ( bila
penyebabnya insulin )
- Bila pasien belum sadar ,GDs sekitar 200 mg / dL .hidrokortison 100 mgper 4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam ,cari penyebab lain penurunan kesadaran.7
B. Penyulit Kronik
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis.
- Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas
dan
inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titiktitik mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.
Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina
darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan
konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang membuat
gangguan pandang. Pada retinopati diabetik proliferatif terjadi iskemia retina yang
progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran proteinprotein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke
bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa
31
BAB X
32
KESIMPULAN
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami
peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi
perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the
great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara
menyeluruh secara anatomis maupun fungsional. Diabetes Melitus adalah sekelompok
kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia. Patogenesis diabetes mellitus melibatkan faktorfaktor genetik, biomolekuler,
imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan penatalaksanaan medis
dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan sindrom koma
hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan kematian dan juga dapat
menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit makrovaskuler, penyakit
mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Penyakit diabetes mellitus perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang baik oleh dokter serta petugas medis lainnya. Secara kuratif
dan rehabilitatif seperti pengontrolan kadar gula darah, melakukan perawatan luka dan
mengatur diet makanan yang harus dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula
darah. Selain itu dokter juga berperan secara preventif yaitu dengan cara memberikan
pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus untuk meningkatkan pemahaman
pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi DM akut dan kronik frekuensinya
masih sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran/kepatuhan penderita masih rendah, tenaga
medis yang belum memadai dalam pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS
belum memadai dan merata.
DAFTAR PUSTAKA
33
34