Anda di halaman 1dari 36

PARIPURNA

KEJANG DEMAM

Oleh:
Runinda Pradnyamita
0110710128

Pembimbing :
DR. dr. Mardhani, S p.A

LABORATORIUM ILMU KES EHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERS ITAS BRAWIJAYA
RUMAH S AKIT UMUM DAERAH DR S AIFUL AN WAR
MALANG
2007

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 380 celcius) yang disebakan oleh proses ekstrakranium.
Kejang demam merupakan penyakit yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua, sehingga sebagai dokter kita wajib mengatasi kejang dengan tepat dan
cepat (Ismael, 1983 dan Soetomenggolo, 1999).
Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi anak yang berusia 6
bulan hingga 5 tahun. Kejang demam dibagi menjadi 2 yakni kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. 80% dari kasus kejang demam
merupakan kejang demam sedehana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam
komplek. 8% berlangsung lama yakni lebih dari 15 menit. 16% berulang dalam
waktu 24 jam. Kejang pertama terbanyak terjadi antara usia 17-23 bulan, dimana
anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam. Bila kejang demam
sederhana yang pertama terjadi pada usia kurang dari 12 bulan, maka resiko
kejang demam kedua 50%. Dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi
pada usia 12 bulan/ lebih, maka resiko kejang demam kedua menjadi 30%.
Setelah kejang demam pertama, 2-4% anak akan berkembang menjadi epilepsi
dan ini 4 kali resikonya dibanding dengan populasi umum (Hirz, 2004)
Dari percobaan binatang yang dilakukan Wegman dan Milichap
disimpulkan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan suatu bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi, serta
cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga memiliki peranan dimana
Lennox-Buchtal berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam
ditentukan oleh sebuah gen dominan. Lennox berpendapat bahwa 41,2% anggota
keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal
hanya 3% (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995)

Penanganan kejang demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi


terutama mengenai pengobatannya yaitu perlu tidaknya penggunaan obat untuk
profilaksis rumat (IDAI, 2005). Dalam makalah ini akan disampaikan bagaimana
cara mendiagnosa pasien kejang demam dan bagaimana mengklasifikasikannya
menjadi kejang demam sederhana atau kejang demam komplek dan bagaimana
menangani penderita kejang demam terutama pada bayi dan anak.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara menegakkan diagnosa kejang demam?
2. Bagaimana cara menentukan suatu kejang demam merupakan kejang demam
sederhana atau komplek?
3. Bagaimana cara penanganan kejang demam secara cepat dan tepat?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa kejang demam.
2. Untuk mengetahui cara menentukan suatu kejang demam merupakan kejang
demam sederhana atau komplek.
3. Untuk mengetahui cara penanganan kejang demam secara cepat dan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUS TAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 380 celcius) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium
0

(Soetomenggolo, 1999). Nilai ambang kejang antara suhu (38,8 - 41,4) C.


Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun (AAP, 1996).
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi
berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (ILAE, 1993).
Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam (Hirz DG, 1997).

2.2 Pathofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup

sel atau organ otak

diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskuler. M elalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi
CO2 dan air (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal,
membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya.

Karena perbedaan jenis dan

konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah

oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang


datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C
dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala
yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non
infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi
saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan
0

demam, kenaikan suhu 1 celsius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme


basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak usia 3
tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang
dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan
akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya
melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya,
seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang
memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 380 C dan pada
anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada
suhu 400 C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang rendah sehingga
dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang
(Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).

2.3 Manifestasi klinis


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses
infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dan dengan sifat bangkitan dapat

berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang


berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).

2.4 Klasifikasi
Kejang demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam
sederhana dan kejang demam komplek. 80% dari kasus kejang demam
merupakan kejang demam sederhana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam
komplek.
Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) menurut Livingstone
memiliki beberapa kriteria, yakni:
1. Terjadi pada usia 6 bulan 4 tahun
2. Lama kejang singkat kurang dari 15 menit
3. Sifatnya kejang umum, tonik dan atau klonik
4. Umunya berhenti sendiri dan pasien segera sadar
5. Kejang timbul pada 16 jam pertama setelah timbulnya demam
6. Tanpa adanya gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
7. Tidak ada kelainan neurologi sebelum dan setelah kejang
8. Frekuensi kejang kurang dari 4x dalam 1 tahun
9. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal
tidak menunjukkan adanya kelainan
(Staf Pengajar IKA FKUI, 1995)
Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri cirri
gejala klinis sebagai berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului
oleh suatu kejang parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
M enurut Livingstone, kejang demam komplek digolongkan sebagai epilepsi yang
diprovokasi oleh demam. Kejang tipe ini mempunyai suatu dasar kelainan yang

menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya merupakan faktor


pencetus saja (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama,
lebih dari 15 menit, biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang pada akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang
makin meningkat disebabkan oleh meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah
penyebab rusaknya neuron otak selama berlangsung kejang yang lama. Faktor
terpentiang adalah terjadinya gangguan peredaran darah yang menyebabkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial
lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama, dapat
menjadi matang sehingga dapat terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan antomis di
otak hingga terjadi epilepsi (Staf Pengajar IKA FKUI, 1995).

2.5 Pemerikasaan dan Diagnosis


Penegakan diagnosa kejang demam dapat diperoleh melalui beberapa
langkah yakni anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
terdiri dari laboratorium dan pencitraan jika diperlukan.
2.5.1 Anamnesa
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau sumber
lain (aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar (Iskandar W dkk, 1991). Dalam
anamnesa khususnya pada penyakit anak dapat digali data data yang
berhubungan dengan kejang demam meliputi:
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat,
umur penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang demam lebih


banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun .
(Iskandar W dkk, 1991)
b. Riwayat Penyakit
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat
perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang
menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan penyakit
disusun cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan kesehatan
pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien
mendapat pengobatan sebelumnya, perlu ditanyakan kapan berobat, kepada
siapa, obat yang sudah diberikan, hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat
adanya reaksi alergi terhadap obat (Iskandar W dkk, 1991).
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan
kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama
demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten,
intermitten, kontinou, apakah terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang
menyertai demam juga perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang,
kesadaran menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas,
adanya manifestasi perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit infeksi
dan non infeksi. Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan
terhadap penyebab demam itu sendiri (Iskandar W dkk, 1991).
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang
terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara demam dengan
onset kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya atau sudah pernah
sebelumnya (bila sudah pernah berapa kali (frekuensi per tahun), saat anak
umur berapa mulai muncul kejang pertama); apakah terjadi kejang ulangan
dalam 24 jam, berapa lama waktu sekali kejang. Tipe kejang harus ditanyakan
secara teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan,
kesadaran pada saat kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai
juga penting termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan
kesadaran, dan apakah ada kemunduran kepandaian anak. Pada kejang demam

juga perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana atau kejang
suatu epilepsi yang dibangkitkan serangannya oleh demam (berdasarkan
kriteria Livingstone) (Iskandar W dkk, 1991).
c. Riwayat Kehamilan Ibu
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit,
serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman keras, konsumsi
makanan ibu selama hamil (Iskandar W dkk, 1991).
d. Riwayat Persalinan
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang
menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat badan dan
panjang badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah lahir. Perlu juga
ditanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau kurang bulan atau lewat
bulan. Dengan mengetahui informasi yang lengkap tentang keadaan ibu saat
hamil dan riwayat persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal penting
termasuk terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb yang
mungkin berhubungan dengan riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang
demam (Iskandar W dkk, 1991).
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari
kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur. Data ini
dapat diperoleh dari KM S atau kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Status
perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada
tidaknya penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan
motorik kasar, motorik halus, sosial-personal, dan bahasa (Iskandar W dkk,
1991).
f. Riwayat Imunisasi
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal
yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi
(Iskandar W dkk, 1991).
g. Riwayat M akanan

M akanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya (Iskandar W dkk,


1991).
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah mengalami
penyakit saraf sebelumnya (Iskandar W dkk, 1991).
i.

Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya (ayah,
ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat familial
penderita (Iskandar W dkk, 1991).

2.5.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi
kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda
tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu
tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat badan,
lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung
rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada
pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan
dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu
keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab bisa
infeksi maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh infeksi. Pada
pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari
adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada
infeksi baik virus, bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya
proses non infeksi seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai dengan
dengan pucat, panas, atau perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah
kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan
pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat klonik,
tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pasien pada saat dan setelah

kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi; rangsangan


meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya paresis, paralisa;
adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. pemeriksaan laboratorium
pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi/ mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah) (Berber &
Benin, 1981).
b. pemeriksaan radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau M RI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi (Berber & Benin, 1981).
c. pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Tindakan

pungsi lumbal untuk

pemeriksaan

CSS dilakukan

untuk

menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil,


klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
-

bayi < 12 bulan : diharuskan

bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan

bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal pungsi (Baumer
JH, 2004).
d. pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam,
oleh sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak
khas (misalnya pada kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau
kejang demam fokal) (IKA FK UNAIR, 2006)

10

2.6 Penatalaksanaan Kejang


Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan
pencegahan kejang:
a. Penanganan Pada Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke
tempat pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2 menit dengan
dosis maksimal 20 mg (Dieckman, 1994).
Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75 mg/kgBB/kali atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak berat badan di bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan
berat badan diatas 10 kg. Atau diazepam rectal dengan dosis 5 mg untuk anak di
bawah 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak usia di atas 3 tahun.
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke
rumah sakit. Dan disini dapat dimulai pemberian diazepam intravena dengan dosis
0,3 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenithoin
secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, selanjutnya
diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading
dose). Bila kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif
(Fukuyama Y dkk, 1996). Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor resikonya apakah kejang
demam sederhana atau kejang demam kompleks.
b. Turunkan Demam
Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak ditemukan bukti
bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam. Dosis
asetaminofen yang digunakan berkisar 10-15 mg/kgbb/kali diberikan 4 kali sehari
dan tidak boleh diberikan lebih dari 5x per hari. Dosis ibuprofen 5-10

11

mg/kgbb/kali diberikan 3-4x per hari. Asetaminofen dapat menyebabkan


sindroma Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, meskipun jarang.
Parasetamol 10 mg/kgbb sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kgbb dalam
menurunkan suhu tubuh (Van Esch A dkk, 1995). Kompres anak dengan suhu >
39 0C dengan air hangat, suhu > 38 0C dengan air biasa.
c. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan resiko berulangnya kejang (1/3 s.d 2/3 kasus). Begitu pula
0

dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C.
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel, dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada
saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Uhari dkk, 1995)
d. Pengobatan Penyebab
Antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit penyebabnya
e. Penanganan supportif lainnya
M eliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan
air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah (IKA FK UNAIR,
2006).

2.7 Prognosa
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang
menjadi:
a. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
terjadinya kejang demam berulang adalah:
-

riwayat kejang demam dalam keluarga

usia kurang dari 15 bulan

temperatur yang rendah saat kejang

cepatnya kejang saat demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut hanya 10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan
berulang adalah pada tahun pertama (Berg dkk).

12

b. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor
resiko menjadi epilepsi adalah:
- kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
- kejang demam kompleks
- riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
M asing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan
pemberian obat rumat pada kejang demam (Annegers dkk, 1987)
c. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan (M aytal & Shinnar,
1990).

2.8 Pemberian obat rumat


Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salah satu):
- kejang > 15 menit
- adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang misalnya
hemiparesis, cerebral palsy, retardasi mental, dan hidrosephalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan apabila
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
o Kejang demam 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi
umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik (IDAI, 2005).
Terapi rumat kejang demam dibedakan menjadi pencegahan berkala
(intermitten) dan pencegahan kontinu. Pencegahan berkala diperuntukkan bagi

13

kejang demam sederhana, diberikan pada saat anak menderita penyakit yang
disertai demam, berupa diazepam 0,3 mg/kgbb/dosis per oral dan antipiretika.
Pencegahan kontinu diperuntukkan bagi kejang demam komplek, berupa asam
valproat 15-40 mg/kgbb/hari per oral dibagi menjadi 2-3 dosis (IKA FK UNAIR,
2006).
Pengobatan rumat kejang demam diberikan sampai1 tahun bebas kejang,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan (IDAI, 2005).

2.9 Edukasi pada Orang Tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada
saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara:
1. M eyakinkan bahwa kejang demam umumnya benign
2. M emberikan cara penanganan kejang
3. M emberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsi
(Wong V dkk, 2002)
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali
kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal selama kejang. Dan jangan diberikan jika kejang
telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
(Fukuyama Y, 1996)

14

BAB III
KAS US

3.1 Identitas Penderita


Nama

: An. Syntiasari/ 9 kg

Umur

: 1tahun 5 bulan

Jenis Kelamin : Wanita


Agama

: Islam

Suku

: Jawa/ Indonesia

Alamat

: Ds. Sempal wadak Rt 9/2 Bululawang M alang

Nama Ayah

: Sukardi

Ibu

: Lilik Sufindiah

Pekerjaan

: Pekerja bengkel besi

M RS tgl

: 08 Januari 2007

No Register

: 700655

Dikirim oleh:
Bidan Bululawang dengan diagnosa kejang demam
Riwayat Kehamilan:
Usia kehamilan 9 bulan, ibu rajin periksa kehamilan setiap bulan di bidan. Selama
hamil tidak ada riwayat ibu pernah menderita penyakit tertentu ataupun
mengkonsumsi obat-obatan, minum alkohol, ataupun merokok.
Riwayat Persalinan:
Riwayat Kelahiran: pasien lahir pada tanggal 15 A gustus 2005, di bidan dengan
usia kehamilan 9 bulan dengan cara biasa. Berat lahir 2900 gram dan panjang
badan ibu pasien tidak tahu. M enurut ibu, pasien langsung menangis saat lahir dan
dinyatakan tidak ada kelainan bawaan saat lahir menurut bidan.
Imunisasi:
Riwayat imunisasi: menurut ibu pasien, pasien telah mendapatkan imunisasi
lengkap karena setiap ada jadwal imunisasi, bidan selalu mengingatkan kemudian
ibu pasien segera membawa anaknya untuk diimunisasi. Buku imunisasi ada,

15

namun tidak dibawa oleh ibu. Dari pemeriksaan fisik pada lengan kanan terdapat
BCG scar.
Makanan :
Hingga usia 4 bulan, pasien hanya mendapatkan ASI. Sejak usia 4 bulan, selain
ASI pasien mendapat makanan tambahan berupa bubur nasi. Saat ini pasien
makan nasi seperti keluarga lainnya dengan komposisi sayur, tempe, telur, ikan,
daging (kadang-kadang) ditambah buah-buahan. Pasien makan 3 x sehari.
Riwayat Keluarga
Pasien tinggal serumah dengan nenek (dari ibu), ayah dan ibunya bersama dua
saudara kandungnya, laki-laki/ 8 tahun/sehat dan laki-laki/3 tahun/sehat. Ibu
pasien saat usia dua tahun pernah mengalami kejang ketika demam.
Riwayat Tumbuh Kembang
Pasien ditimbang berat badannya setiap bulan di puskesmas, berat badan pasien
dinyatakan normal setiap bulannya oleh petugas puskesmas. Pasien dapat duduk
ketika berusia 8 bulan. Dapat berjalan sendiri usia 1 tahun. Sejak dapat berjalan
sendiri pasien senang mengikuti neneknya menyapu halaman rumah dan bercanda
denagn saudara-saudaranya atau tetangga sebelah rumahnya. Bicara hanya bisa
mengatakan beberapa kata.
Riwayat penyakit yang pernah diderita
Pasien sering mengalami batuk pilek disertai demam sejak usia 8 bulan, dan
sembuh setelah berobat ke puskesmas, diberi puyer yang diminum 3X sehari.
Pasien belum pernah kejang sebelumnya.

3.2. Anamnesa
Diberikan oleh : Ibu pasien
Keluhan utama : Kejang
Pasien kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien kejang mendadak pada
seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, dan mata melirik ke atas. Kejang
berlangsung selama 5 menit, dan setelah kejang pasien langsung menangis.
Kurang lebih 6 jam sebelum kejang, pasien panas tinggi, oleh nenek pasien
dipakaikan jaket dan dikompres air dingin belum diberi obat, panas tidak turun
kemudian pasien kejang. Ini merupakan serangan kejang yang pertama kalinya.

16

Kemudian pasien segera dibawa ke bidan diukur suhu tubuhnya 39 derajat celcius
kemudian diberi obat penurun panas, pasien kemudian dirujuk ke RSSA. Pasien
tiba di RSSA pada tanggal 13 Desember 2006 jam delapan malam. Ibu pasien saat
usia dua tahun pernah mengalami kejang ketika demam.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien sumer-sumer (suhu badan
tidak diukur). Batuk ada namun tidak ada dahaknya, pilek tidak ada. Ibu
mengatakan sejak badan anaknya sumer-sumer nafsu makan anaknya menurun,
anaknya hanya mau minum air dan susu sedangkan makan hanya sedikit-sedikit.
Pasien belum dibawa berobat dan ibu pasien belum memberi obat apapun. Badan
pasien semakin panas kemudian kejang untuk pertama kalinya. Tidak ada riwayat
mimisan, gusi berdarah, maupun berak berwarna hitam. BAB dan BAK normal
seperti biasa, tidak ada mencret, dan air kencing berwarna kuning jernih.

3.3 Pemeriksaan fisik


KU

: Gerak tangis cukup

Tanda vital

: Temperatur Axilla: 39,6 C


N = 110x /menit reguler
RR= 30x / menit regular

Kepala/leher : Rambut hitam, jarang, tidak mudah dicabut


Ubun-ubun tidak menonjol (datar)
M ata cowong (-)
Conjunvtiva Anemi (-)
Sklera Ikterik (-)
Pupil Isokor diameter 2 mm/ 2 mm
Pernapasan Cuping Hidung (-)
Sekret Hidung (-)
M ukosa bibir tampak merah, basah, cyanosis (-)
Faring hiperemi
Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax

: Tampak simetri

17

cor/ Ictus tidak terlihat, teraba pada ICS IV M CL (S), HR=


110x/menit, reguler, murmur(-)
pulmo/ simetris, tidak tampak adanya retraksi, suara nafas
vesicular,

Abdomen

Rh -

Wh -

: Pot belly, supel,


hepar dan lien unpalpable,
meteorismus (-),
BU (+) N

Extremitas

: Anemia -

cyaonosis -

Akral hangat -

- Parese -

icterus

Edema

S tatus Neurologis
Kesadaran

: Compos M entis

Tanda meningeal: kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-)
Reflek fisiologis : reflek bisep (+)|(+),reflek trisep (+)|(+), reflek patela (+)|(+)
Reflek patologis : babinsky (-), openheim (-), hoffman (-), Tromer (-) klonus
pergelangan kaki (-)
S tatus antropometri:
Panjang Badan

= 76 cm

Panjang Badan Ideal

= 79 cm

Berat Badan

= 9 kg

Berat Badan Ideal

= 9,8 kg

Status Gizi

= 9/9.8 x 100% = 91.8%

Lingkar dada

= 44 cm

Lingkar kepala

= 46 cm

3.3 Working Diagnosa :


Kejang Demam Simplek e.c IRA : Faringitis Akut

18

Differential diagnosa: epilepsi yang diprovokasi oleh demam


Kejang oleh karena proses intrakranial
3.4. Planning Diagnosa
DL, GDA, Elektrolit, Foto rontgen thorax PA

Hasil Laboratorium
1. (tgl 8 Januari 2006)
a. Darah Lengkap
Lekosit

: 12.600/mm3 (6.000-15.000/L)

Hb

: 11.4 gr/dl (10,5 -14 gr/dl)

PCV

: 34.0 % (33-42%)

Trombosit

: 314.000 /mm3 (150.000-390.000/ L)

b. GDA = 102 mg/dl


c. Elektrolit : Na+
K

= 133 mmol/L

= 3,9 mmol/L

= 103 mmol/L

Cl

Ca2+ = 9.2 mmol/L


P

= 4.03 mmol/L

3.5 Terapi awal


o IVFD C 1:4 700 cc/24 jam = 10 tetes makro/ menit
o Diazepam 3 mg (iv) jika kejang, pelan pelan
o PO : Parasetamol 3 x cth I
o PO : M ultivitamin1 x cth I
o Kompres hangat
o Diet Nasi 3 x sehari
o Terapi suportif jika kejang: bebaskan jalan nafas, pemberian O2

3.6 Planning monitoring : suhu, nadi, RR, kejang, pupil, keluhan subyektif.

19

3.7 Follow Up
Tanggal
9/1/07

Subyektif

Obyektif

Assesment
Kejang Demam

Panas (-)

KU : Gerak tangis cukup

Kejang (-)

Tanda vital : Nadi : 110 x/mnt

Batuk (+)

IRA ec Faringitis

RR : 21 x/mnt
o

Pilek (-)

Simplek

Planning
IVFD habis infus aff
IV : Diazepam 5 mg (K/P)
Po : Paracetamol syr 3 x
cthI (k/p)

T ax : 37 C

M akan sedikit

K/L : an (-), faring hiperemi (+)

R : M ultivitamin 1 x cthI

M inum (+)

Tho : c/reg murmur (-)

Diet : Nasi 3 x 890 kal

p/reg simetris retraksi (-)


Rh - Wh - - Abd : Pot belly, supel, H/L ttb
BU (+) N, met (-)
Ext : an - cyan Laboratorium

Leukosit : 12.600
Trombosit : 304.000
HB : 11.4

20

GDA : 102
Hematokrit : 34
Ur/lre : 19,3/0,29

Tanggal
10/1/07

Subyektif

Obyektif

Kejang (-)

Assesment

Tanda vital : Nadi : 120 x/mnt

Panas (-)

Simplek

RR : 20 x/mnt
o

Batuk Pilek (-)

IRA ec Faringitis

T ax : 36,9 C

M akan sedikit

K/L : an (-), faring hiperemi (+)

M inum (+)

Tho : c/reg murmur (-)

Riwayat

kontak

pasien

batuk

disangkal

dengan

Kejang Demam

Suspek TB Paru

Planning
IV : Diazepam 5 mg (K/P)
Po : Paracetamol syr 3 x
cthI (k/p)
Nasi 3 x 1
Work Up TB :

p/reg simetris retraksi (-)

lama Rh - Wh - - Abd : Pot belly, supel, H/L ttb


BU (+) N, met (-)

o Fotolateral thorax
o M antoux test
o BTA lambung 3 hr
o Darah
Hapusan

Ext : an - cyan Laboratorium


Leukosit : 6.600
Trombosit : 85.000

21

LED.

lengkap,
Darah

HB : 10.2
Rontgen

Tho

Ap

Dicurigai

pembesaran kelenjar hilus.


11/1/07

Kejang (-)

Tanda vital : Nadi : 120 x/mnt

Panas (-)

RR : 30 x/mnt

Batuk Pilek (-)

T ax : 36,9 oC

Kejang Demam
Simplek
IRA ec Faringitis

M akan sedikit

K/L : an (-), faring hiperemi (-)

Suspek TB Paru

M inum (+)

Tho : c/reg murmur (-)

Trombositopenia

Riwayat

kontak

pasien

batuk

disangkal

dengan

p/reg simetris retraksi (-)

PDx : DL ulang
IV : Diazepam 5 mg (K/P)
Po : Paracetamol syr 3 x
cthI (k/p)
R : M ultivitamin 1 x cthI
Diet : Nasi 3 x 890 kal

lama Rh - Wh - - Abd : Pot belly, supel, H/L ttb


BU (+) N, met (-)
Ext : an -

12/1/07

Kejang (-)

- cyan -

Tanda vital : Nadi : 120 x/mnt

Demam (-)

RR : 30 x/mnt

Batuk (-)

T ax : 36,9 oC

Pilek (-)

K/L : an (-), faring hiperemi (-)

22

Kejang Demam
Simplek
IRA ec Faringitis
Suspek TB Paru

IVFD habis infus aff


IV : Diazepam 5 mg (K/P)
Po : Paracetamol syr 3 x
cthI (k/p)

Tho : c/reg murmur (-)

R : M ultivitamin 1 x cthI

p/reg simetris retraksi (-)

Diet : Nasi 3 x 890 kal

Rh - Wh - - Abd : Pot belly, supel, H/L ttb


BU (+) N, met (-)
Ext : an - cyan Laboratorium

Leukosit : 5.300
Trombosit : 257.000
HB : 10.8
Hematokrit : 32,9
M antoux test : 13/1/07

Kejang (-)
Demam (-)
Batuk (-)
Pilek (-)

Thorax foto : Cor dan Pulmo normal


Tanda vital : Nadi : 120 x/mnt
RR : 30 x/mnt
o

T ax : 36,9 C
K/L : an (-), faring hiperemi (-)

23

Kejang Demam
Simplek
IRA ec Faringitis

M ultivitamin 3 x cthI
Keluar Rumah Sakit
Kontrol Poli

Tho : c/reg murmur (-)

S coring TB :
Kontak

:0

M antoux

:0

BB/st gizi

:0

Demam

:0

Batuk

:0

Perbesaran klnjr : 0
Pembengkakan sendi : 0
Foto Ro Tho : 0
Skor

p/reg simetris retraksi (-)

Rh - Wh - - Abd : Pot belly, supel, H/L ttb


BU (+) N, met (-)
Ext : an - cyan Lab : BTA lambung : (-)

:0

24

BAB IV
RES UME

Identitas Penderita
Nama

:An. Syntiasari/ 9 kg

Umur

: 1 tahun 5 bulan

Jenis Kelamin

: Wanita

Alamat

: Ds. Sempal wadak Rt 9/2 Bululawang M alang

Pekerjaan ayah

: Pekerja bengkel besi

M RS tgl

: 08 Januari 2007

Dikirim oleh:
Bidan Bululawang dengan diagnosa kejang demam

Riwayat Kehamilan:
Usia kehamilan 9 bulan, ibu rajin periksa kehamilan setiap bulan di bidan. Selama
hamil tidak ada riwayat ibu pernah menderita penyakit tertentu ataupun
mengkonsumsi obat-obatan, minum alkohol, ataupun merokok.

Riwayat Persalinan:
Riwayat Kelahiran: pasien lahir pada tanggal 15 A gustus 2005, di bidan dengan
usia kehamilan 9 bulan dengan cara biasa. Berat lahir 2900 gram dan panjang
badan ibu pasien tidak tahu. M enurut ibu, pasien langsung menangis saat lahir dan
dinyatakan tidak ada kelainan bawaan saat lahir menurut bidan.

Imunisasi:
Riwayat imunisasi: menurut ibu pasien, pasien telah mendapatkan imunisasi
lengkap karena setiap ada jadwal imunisasi, bidan selalu mengingatkan kemudian
ibu pasien segera membawa anaknya untuk diimunisasi. Buku imunisasi ada,
namun tidak dibawa oleh ibu. Dari pemeriksaan fisik pada lengan kanan terdapat
BCG scar.

25

Makanan :
Pasien hanya mendapatkan ASI hingga usia 4 bulan. Sejak usia 4 bulan, selain
ASI pasien mendapat makanan tambahan berupa bubur nasi. Saat ini pasien
makan nasi seperti keluarga lainnya dengan komposisi sayur, tempe, telur, ikan,
daging (kadang-kadang) ditambah buah-buahan. Pasien makan 3 x sehari.

Riwayat Keluarga
Pasien tinggal serumah dengan nenek (dari ibu), ayah dan ibunya bersama dua
saudara kandungnya, laki-laki/ 8 tahun/sehat dan laki-laki/3 tahun/sehat. Ibu
pasien saat usia dua tahun pernah mengalami kejang ketika demam.

Riwayat Tumbuh Kembang


Pasien ditimbang berat badannya setiap bulan di puskesmas, berat badan pasien
dinyatakan normal setiap bulannya oleh petugas puskesmas. Pasien dapat duduk
ketika berusia 8 bulan. Dapat berjalan sendiri usia 1 tahun. Sejak dapat berjalan
sendiri pasien senang mengikuti neneknya menyapu halaman rumah dan bercanda
denagn saudara-saudaranya atau tetangga sebelah rumahnya. Bicara hanya bisa
mengatakan beberapa kata.

Riwayat penyakit yang pernah diderita


Pasien sering mengalami batuk pilek disertai demam sejak usia 8 bulan, dan
sembuh setelah berobat ke puskesmas, diberi puyer yang diminum 3X sehari.
Pasien belum pernah kejang sebelumnya.

Anamnesa
Diberikan oleh : Ibu pasien
Keluhan utama : Kejang
Pasien kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien kejang mendadak pada
seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, dan mata melirik ke atas. Kejang
berlangsung selama 5 menit, dan setelah kejang pasien langsung menangis.
Kurang lebih 6 jam sebelum kejang, pasien panas tinggi, oleh nenek pasien

26

dipakaikan jaket dan dikompres air dingin belum diberi obat, panas tidak turun
kemudian pasien kejang. Ini merupakan serangan kejang yang pertama kalinya.
Kemudian pasien segera dibawa ke bidan diukur suhu tubuhnya 39 derajat celcius
kemudian diberi obat penurun panas, pasien kemudian dirujuk ke RSSA. Pasien
tiba di RSSA pada tanggal 13 Desember 2006 jam delapan malam. Ibu pasien saat
usia dua tahun pernah mengalami kejang ketika demam.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien sumer-sumer (suhu badan
tidak diukur). Batuk ada namun tidak ada dahaknya, pilek tidak ada. Ibu
mengatakan sejak badan anaknya sumer-sumer nafsu makan anaknya menurun,
anaknya hanya mau minum air dan susu sedangkan makan hanya sedikit-sedikit.
Pasien belum dibawa berobat dan ibu pasien belum memberi obat apapun. Badan
pasien semakin panas kemudian kejang untuk pertama kalinya. Tidak ada riwayat
mimisan, gusi berdarah, maupun berak berwarna hitam. BAB dan BAK normal
seperti biasa, tidak ada mencret, dan air kencing berwarna kuning jernih.

Pemeriksaan fisik
KU

: Gerak tangis cukup

Tanda vital

: Temperatur Axilla: 39,6 C


N = 110x /menit reguler
RR= 30x / menit regular

Kepala/leher : Rambut hitam, jarang, tidak mudah dicabut


Ubun-ubun tidak menonjol (datar)
Pupil Isokor diameter 2 mm/ 2 mm
Pernapasan Cuping Hidung (-)
Sekret Hidung (-)
M ukosa bibir tampak merah, basah, cyanosis (-)
Faring hiperemi
Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax

: Tampak simetri
cor/ Ictus tidak terlihat, teraba pada ICS IV M CL (S), HR=
110x/menit, reguler, murmur(-)

27

pulmo/ simetris, tidak tampak adanya retraksi, suara nafas


vesicular,

Abdomen

Rh -

Wh -

: Pot belly, supel,


hepar dan lien unpalpable,
meteorismus (-),
BU (+) N

Extremitas

: Anemia -

cyaonosis -

Akral hangat -

- Parese -

icterus

Edema

S tatus Neurologis
Kesadaran

: Compos M entis

Tanda meningeal: kaku kuduk (-), Kernig (-), Brudzinski I (-), Brudzinski II (-)
Reflek fisiologis : reflek bisep (+)|(+), reflek trisep (+)|(+), reflek patela (+)|(+)
Reflek patologis : babinsky (-), openheim (-), hoffman (-), Tromer (-) klonus
pergelangan kaki(-)
S tatus antropometri:
Panjang Badan

= 76 cm

Panjang Badan Ideal

= 79 cm

Berat Badan

= 9 kg

Berat Badan Ideal

= 9,8 kg

Status Gizi

= 9/9.8 x 100% = 91.8%

Planning Diagnosa
DL, GDA, Elektrolit, Foto rontgen thorax PA

Terapi awal
o IVFD C 1:4 700 cc/24 jam = 10 tetes makro/ menit
o Diazepam 3 mg (iv) jika kejang, pelan pelan

28

o PO : Parasetamol 3 x cth I
o PO : M ultivitamin1 x cth I
o Kompres hangat
o Diet Nasi 3 x sehari
o Terapi suportif jika kejang: bebaskan jalan nafas, pemberian O2

Planning monitoring : suhu, nadi, RR, kejang, pupil, keluhan subyektif.

29

BAB V
PEMBAHAS AN

Penderita adalah anak wanita berusia 1 tahun 5 bulan dengan berat badan 9
kg, yang datang ke RSSA pada tanggal 8 Januari 2007. Pasien datang dengan
kejang. Dari hasil anamnesa yang diberikan oleh ibu didapatkan keterangan
bahwa pasien kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien kejang mendadak
pada seluruh tubuh, tangan dan kaki kaku, dan mata melirik ke atas. Kejang
berlangsung selama 5 menit, dan setelah kejang pasien langsung menangis.
Kurang lebih 6 jam sebelum kejang, pasien panas tinggi, oleh nenek pasien
dipakaikan jaket dan dikompres air dingin belum diberi obat, panas tidak turun
kemudian pasien kejang. Ini merupakan serangan kejang yang pertama kalinya.
Kemudian pasien segera dibawa ke bidan diukur suhu tubuhnya 39 derajat celcius
kemudian diberi obat penurun panas, pasien kemudian dirujuk ke RSSA. Ibu
pasien saat usia dua tahun pernah mengalami kejang ketika demam.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien sumer-sumer (suhu badan
tidak diukur). Batuk ada namun tidak ada dahaknya, pilek tidak ada. Ibu
mengatakan sejak badan anaknya sumer-sumer nafsu makan anaknya menurun,
anaknya hanya mau minum air dan susu sedangkan makan hanya sedikit-sedikit.
Pasien belum dibawa berobat dan ibu pasien belum memberi obat apapun. Badan
pasien semakin panas kemudian kejang untuk pertama kalinya. Tidak ada riwayat
mimisan, gusi berdarah, maupun berak berwarna hitam. BAB dan BAK normal
seperti biasa, tidak ada mencret, dan air kencing berwarna kuning jernih.
Riwayat kehamilan dan persalinan ibu normal, tumbuh kembang pasien
juga tidak bermasalah. Pasien mendapatkan imunisasi sesuai jadwal puskesmas
dan tidak pernah kejang setelah diimunisasi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang baik yang ditandai
dengan gerak yang aktif dan tangis anak yang cukup kuat. Dari tanda vital,
didapatkan nadi 110 x per menit reguler, respiratori rate 30 x per menit reguler
dan suhu aksiler 39,6 C. Pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan faring yang
hiperemi, sedangkan pemeriksaan kepala lainnya normal. Dari pemeriksaan toraks
tidak didapatkan ronki pada kedua lapangan paru. Abdomen dan ekstrimitas

30

dalam batas normal. Dari pemeriksaan neurologis, tidak didapatkan kelainan.


Reflek fisiologis positif, reflek patologis dan meningeal sign negatif. Status
antropometri dalam batas normal dengan status gizi baik.
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, kita dapat mengarahkan kecurigaan
ke arah beberapa diagnosa diantaranya adalah kejang demam simplek dimana
demam diprovokasi adanya infeksi saluran nafas atas, atau bisa dimungkinkan
suatu epilepsi yang diprovokasi oleh demam, atau juga disebabkan oleh suatu
proses infeksi intrakranial. Berdasarkan tinjauan pustaka disebutkan bahwa kejang
demam simplek merupakan kejang yang kurang dari 15 menit, dan atau kejang
general, dan atau kejang kurang dari satu kali dalam 24 jam, yang sebelum kejang
didahului oleh demam. Kesadaran pasien kembali pulih setelah kejang. Sedangkan
epilepsi adalah

serangan kejang yang terjadi oleh karena pelepasan aktivitas

energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak, sehingga terjadi gangguan
kerja otak, di luar serangan pasien normal. Adanya suatu proses infeksi
intrakranial belum bisa disingkirkan.
Diagnosa kejang demam simplek dapat ditegakkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seperti pada pasien ini dari anamnesa dan pemeriksaan fisik
telah tegak diagnosa kejang demam simplek. Pemeriksaan penunjang seperti DL,
GDA, elektrolit dan foto rontgent toraks ditujukan untuk mencari faktor penyebab
demam/sumber infeksi. Foto rontgent toraks dilakukan untuk melihat kondisi
paru-paru karena adanya riwayat infeksi saluran nafas berupa batuk. Tindakan
pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS masih belum perlu dilakukan. Untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis dapat dilakukan dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisik terutama status neurologis. Jika dari pemeriksaan fisik tidak
dapat menyingkirkan diagnosa meningitis maka dapat dilakukan pungsi lumbal.
Pemeriksaan EEG pada pasien ini belum perlu dilakukan karena kejang demam
yang terjadi pada pasien ini khas menunjukkan suatu kejang demam simplek.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit normal (12.600/mm3).
Dari pemeriksaan fisik didapatkan faring yang hiperemia sehingga diduga sumber
infeksi berasal dari saluran nafas atas yaitu faring. Penyebab infeksi saluran nafas
kemungkinan

adalah virus namun adanya infeksi bakteri belum dapat

disingkirkan.

31

Untuk penanganan awal pada pasien ini diberikan O2 nasal canule 1-2
L/menit sebagai supportif, pasien diberikan cairan maintenance IVFD C1:4 700
cc/24 jam = 10 tetes makro/ menit sesuai dengan usia dan kebutuhan cairan
pasien, untuk menangani kejang disiapkan injeksi Diazepam 3 mg (iv) pelan
pelan, diberikan Novalgin inj 3x 0,1 cc (iv) untuk menurunkan demam. Pasien
diobservasi keluhan subyektif, suhu, nadi, RR, kejang, pupil, akralnya.
Pada observasi hari kedua, pasien sudah tidak kejang lagi, batuk masih
ada, suhu mulai turun. Pasien mulai diberikan intake per oral. Obat obatan
diberikan per oral, termasuk obat batuk, antibiotik, dan juga antipiretik. O2 nasal
canule sebagai terapi supportif dihentikan. Diazepam 3 mg (iv) untuk menangani
kejang hanya diberikan saat kejang dengan pelan pelan. Tidak diberikan antibiotik
pada pasien ini dikarenakan infeksi saluran napas lebih mengarah kepada infeksi
virus. Observasi terus dilakukan.
Pada hari kedua gambaran thorax foto dicurigai terdapat pembesaran
kelenjar hilus, oleh karena itu pada pasien ini direncanakan untuk melakukan
work up TB. Pada pasien ini direncanakan anamnesa ulang riwayat kontak dengan
penderita batuk lama, demam, batuk, mantoux test, status gizi, pembesaran
kelenjar, pembengkakan sendi dan tulang dan foto rontgen thorax AP/lateral. Dari
anamnesa ulang, ibu pasien menyangkal adanya kontak antara pasien dengan
penderita batuk lama. Riwayat demam dan batuk lama tidak didapatkan. Status
gizi anak baik dan mantoux test negatif. Pembesaran kelenjar dan pembengkakan
sendi tulang tidak didapatkan. Pada foto ront gen yang awalnya dicurigai
pembesaran kelenjar, setelah di foto dengan posisi lateral didapatkan hasil foto
thorax yang normal. Setelah dilakukan scoring TB maka didapatkan hasil skor 0
maka pada pasien ini tidak diterapi dengan obat anti tuberkulosa.
Pada hasil laboratorium yang dilakukan pada tanggal 10 Januari 2007
didapatkan nilai trombosit 85.000 (trombositopenia). Nilai trombosit rendah
disertai dengan riwayat demam dapat dicurigai sebagai suatu infeksi virus dengue.
Pada pasien ini sudah tidak didapatkan demam dan secara klinis kondisi pasien
membaik. Oleh karena itu diputuskan untuk dilakukan tes darah lengkap ulang.
Dari tes darah lengkap ulang yang dilakukan tanggal 11 Januari 2007 didapatkan
trombosit 257.000 (normal).

32

Selama observasi, didapatkan pasien bebas kejang sehingga pasien


diperbolehkan KRS. Dari hasil pemeriksaan sudah tidak didapatkan batuk, faring
sudah tidak hiperemia dan leukosit normal (tidak meningkat). Ibu pasien
dijelaskan agar mengompres dan memberikan anaknya obat penurun panas
apabila anak demam. Pemakaian jaket ketika anak demam sebaiknya dihindarkan,
karena dapat mencegah pengeluaran panas dari tubuh. Ibu pasien dapat diajarkan
dan dianjurkan untuk menggunakan diazepam melalui anus jika anak kejang
dirumah dan segera membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit jika
kejang tidak tertangani.

33

BAB VI
PEN UTUP

6.1 Kesimpulan
- Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 380 celcius) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium.
0

-Nilai ambang kejang antara suhu (38,8 - 41,4) C.


- Biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun.
-Kejang demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam
sederhana dan kejang demam komplek dengan criteria masing-masing
menurut Livingstone.
-80% dari kasus kejang demam

merupakan kejang demam sederhana

sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek.


-Penegakan diagnosa kejang demam berdasarkan pada anamnesa dan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan kecuali
atas indikasi
-Beberapa kasus kejang demam memerlukan terapi rumat atas indikasi
tertentu

6.2 Saran
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Kecemasan ini dapat dikurangi dengan cara memberikan informasi yang
benar dan memadai pada orang tua mengenai kejang dan apa yang bisa
dilakukan di rumah

jika menjumpai anak kejang sebelum dibawa ke

rumah sakit.

34

DAFTAR PUS TAKA


AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics. 1996;97:76974.
Annegers, dkk. Factor Prognotic of Unprovoked Seizures after Febrile
Convulsions. NEJM 1987;316:493-8
Baumer JH. Evidence based Guideline for Post-Seizure management in Children
Presenting Acutely to Secondary Care. Arch Dis Child; 89:278-280.
Berg AT, Shinnar S. Complex Febrile Seizures. Epilepsia. 1996;37:126-33
Dieckman. Rectal Diazepam for Prehospital Status Epilepticus. An Emerg M ed
1994;23:216-24
Fukuyama Y, Seki T, Ohtsuka C, M iura H, Hara M . Practical Gudelines for
Physician in The M anagement of Febrile Seizures. Brain Dev
1996;18:479-84
Gerber dan Berliner. The Child with a Simple Febrile Seizures. Appropiate
Diagnostic Evaluation. Arch Dis Child 1981:135:431-4.
HIRZ DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997;18:5-9
IDAI. Konsensus Penanganan Kejang Demam. 2005. Jakarta : Badan Penerbit
IDA.
IKA FK UNAIR. Pedoman Diagnosis dan Terapi. 2006. Surabaya : Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 1993;34;592-B
Ismael S. KPPIK-XI, 1983
M aytal dan Shinnar. Febrile Status Epilepticus. Pediatry 1990;86:611-7
Soetomenggolo T. Buku Ajar Neurologi Anak, 1999
Staf Pengajar IKA FKUI. Buku Ajar Kesehatan Anak. 1995. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.\
Uhari dkk. Effect of Acetaminophen and Low Dose Intermitten Diazepam on
Prevention of Reccurences of Febrile Seizures. J Pediatr. 1995;991-995
Van Esch A, dkk. Antipyretic Efficacy of Ibuprofen and Acetaminophen in
Childern with Febrile Seizures, Arch Pediatr Adolsc M ed. 1995;149:632
Wong V, dkk. Clinical Guideline on M anagement of Febrile Convulsion. HK J
Pediatr. 2002;7:143-51

35

Anda mungkin juga menyukai