Anda di halaman 1dari 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nefropati Diabetik


2.1.1 Pengertian
Nefropati Diabetik (ND) adalah komplikasi penyakit diabetes mellitus yang
termasuk dalam komplikasi mikrovaskular, yaitu komplikasi yang terjadi pada pembuluh
darah halus (kecil). Hal ini dikarenakan terjadi kerusakan pada pembuluh darah halus di
ginjal. Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerolus yang berfungsi
sebagai penyaring darah. Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak
melewati glomerolus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubanglubang glomerolus yang kecil. Namun, karena kerusakan glomerolus, protein (albumin)
dapat melewati glomerolus sehingga dapat ditemukan albumin dalam urin yang
dinamakan albuminuria. Kurang lebih sepertiga pasien DM tipe 1 dan seperenam pasien
DM tipe 2 akan mengalami komplikasi nefropati diabetik. Sekali nefropati diabetik
muncul, interval antara onset hingga terjadi kerusakan ginjal terminal bervariasi dari
empat sampai sepuluh tahun, dan hal ini berlaku untuk DM tipe 1 maupun DM tipe 2
(Ritz E, et al., 2000).
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang
ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan darah dan penurunan Laju Filtrat Glomerulus (LFG) (Hendromartono, 2007).
2.1.2 Etiologi
Nefropati diabetik disebabkan oleh kelainan pembuluh darah halus pada
glomerolus ginjal. Pada keadaan normal protein yang terkandung dalam darah tidak akan
bisa menembus ginjal. Namun, jika sel di dalam ginjal rusak, maka beberapa molekul
protein yaitu albumin bisa melewati dinding pembuluh darah halus dan masuk ke saluran
urin sehingga ditemukan dalam urin yang disebut mikroalbuminuria (Ritz, et al., 2000).

Tabel 2.1 Derajat Nefropati Diabetik: Cutoff Values dari Albumin Urin untuk Diagnosis dan
Karakteristik Klinis yang Utama (Gross, et al.)
Derajat

cutoff values
Albuminuria

Karakteristi
k Klinis

Mikroalbu
20-199 g/mnt Nocturnal
minuria
Peningkatan
tekanan
darah
30-299 mg/24 Peningkatan
jam
trigliserida,
kolesterol
total, LDL,
dan asam
lemak jenuh
* Sedikit sampel
30-299urin
mg/g* Peningkatan
jumlah
Pengukuran proteinuria total
(500 mg/24 jam atau 430 mg/l in sedikit sampel
komponen
urin) dapat juga digunakan sindrom
untuk menetapkan derajat ini.
metabolik
Disfungsi
2.1.3 Patofisiologi
endotel
Penelitian di Amerika
Serikat menyimpulkan bahwa peningkatan
Berhubungan
mikroalbuminuria berhubungan
dengandengan riwayat merokok, ras India, lingkar pinggang,
tekanan sistolik dan distolik,
riwayat hipertensi, kadar trigliserida, jumlah sel darah putih,
retinopati
riwayat penyakit kardiovaskuler
diabetik, sebelumnya, riwayat neuropati dan retinopati
sebelumnya (Retnakaran, etamputasi,
al., 2006).
dan
Patogenesis terjadinya
nefropati diabetik tidak dapat diterangkan dengan pasti.
penyakit
Pengaruh genetik, lingkungan,
faktor metabolik dan hemodinamik berpengaruh terhadap
kardiovaskule
terjadinya proteinuria. Gangguan
awal pada jaringan ginjal sebagai dasar terjadinya
r
nefropati adalah terjadinya Peningkatan
proses hiperfiltrasihiperperfusi membran basal glomeruli.
Gambaran histology jaringan
pada ND memperlihatkan adanya penebalan membran basal
mortalitas
glomerulus, ekspansimesangial
glomerulus yang akhirnya menyebabkan
kardiovaskule
glomerulosklerosis, hyalinosis
r arteri eferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial.
Berbagai faktor berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa yang
menahun (glukotoksisitas) pada penderita yang mempunyai predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati.
Glukotoksisitas terhadap basal membran dapat melalui 2 jalur yaitu :

1) Jalur metabolik (metabolic pathway) Faktor ini diawali dengan hiperglikemia atau
peningkatan kadar gula darah (glukosa), glukosa dapat bereaksi secara proses non
enzimatik dengan asam amino bebas menghasilkan Advance Glycosilation endproducts (AGEs). Peningkatan AGEs akan menimbulkan kerusakan pada
glomerulus ginjal. Mekanismenya secara pasti belum diketahui, namun
hiperglikemi mempengaruhi timbulnya nefropati diabetik melalui tiga jalur, yaitu
glikasi lanjut, jalur aldose reduktase, dan aktivasi protein kinase C (PKC)
isoform.
2) Jalur hemodinamik Gangguan hemodinamik sistemik dan renal pada penderita
DM terjadi akibat glukotoksisitas yang menimbulkan kelainan pada sel endotel
pembuluh darah. Faktor hemodinamik diawali degan peningkatan hormon
vasoaktif seperti angiotensin II. angiotensin II juga berperan dalam perjalanan
ND. Angiotensin II berperan baik secara hemodinamik maupun nonhemodinamik. Peranan tersebut antara lain merangsang vasokontriksi sistemik,
meningkatkan tahanan kapiler arteriol glomerulus, pengurangan luas permukaan
filtrasi, stimulasi protein matriks ekstra selular, serta stimulasi chemokines yang
bersifat fibrogenik. Hipotesis ini didukung dengan meningkatnya kadar prorenin,
aktivitas faktor von Willebrand dan trombomodulin sebagai penanda terjadinya
gangguan endotel kapiler. Hal ini juga yang dapat menjelaskan mengapa pada
penderita dengan mikroalbuminuria persisten, terutama pada DM tipe 2, lebih
banyak terjadi kematian akibat kardiovaskular dari pada akibat GGT. Peran
hipertensi dalam patogenesis diabetik kidney disease masih kontroversial,
terutama pada penderita DM tipe 2 dimana pada penderita ini hipertensi dapat
dijumpai pada awal malahan sebelum diagnosis diabetes ditegakkan. Hipotesis
mengatakan bahwa hipertensi tidak berhubungan langsung dengan terjadinya
nefropati tetapi mempercepat progesivitas ke arah GGT pada penderita yang
sudah mengalami diabetik kidney disease. Mogensen (2000) membagi 5 tahapan
nefropati diabetik, yaitu :

a. Tahap 1 Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju
filtrasi glomerolus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
b. Tahap 2 Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerolus
tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat
perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik.
Terdapat pula peningkatan mesangium fraksional.
c. Tahap 3 Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam
urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis,
didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium
fraksional dalam glomerulus.
d. Tahap 4 Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih
jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10
ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan
darah.
e. Tahap 5
Timbulnya gagal ginjal terminal.

Penelitian Brenner et al., (2001) pada hewan menunjukkan bahwa pada saat
jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari
nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang
terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron
tersebut.
2.1.4 Penatalaksanaan Diet
Penatalaksanaan diet pada ND sangatlah penting. Hal ini dilakukan untuk
mencapai tujuan yaitu membantu mengurangi adanya kebocoran melalui urin. Terapi
dasar pada ND adalah mengendalikan kadar gula darah, tekanan darah dan lemak darah.
Disamping itu juga perlu adanya perubahan perilaku seperti pengaturan diet, penurunan
berat badan jika berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok dll.
Menurut Michael dalam Andik (2010), penatalaksanaan diet ND diberikan sesuai
dengan penatalaksanaan diet gagal ginjal kronik (GGK) yaitu diet tinggi kalori, rendah
protein dan rendah garam. Dalam suatu penelitian yang dilakukan selama 4 tahun pada
penderita DM Tipe I diberi diet mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan resiko terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak
76 %. Pada umumnya pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari
yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori pada penderita dengan nefropati overt, akan
tetapi bila LFG telah mulai menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6
gr/kgBB/hari mungkin akan bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG. Jenis
protein sendiri juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Pemberian diet rendah
protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50
Kal/24 jam. Penderita DM sendiri cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan
ini perlu diatasi dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin
dengan target LDL kolesterol <100mg/dl pada penderita DM dan < 70 mg/dl bila sudah
ada kelainan kardiovaskuler.
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 1994, penatalaksanaan diet
pada ND dibagi menjadi tiga yaitu ND pemula (incipatien

diabetic nephropathy), nefropati diabetik nyata (overt diabetic nephropathy) dan nefropati
diabetik tahap akhir (end stage diabetic nephropathy).
A. Nefropati Diabetik Pemula
1
Pengendalian hiperglikemia Merupakan langkah penting untuk mencegah atau
mengurangi komplikasi mikroangiopati dan makroangiopati. Pengendalian hiperglikemia
ada 3 macam yaitu pemberian diet, insulin dan obat antidiabetik oral. Variasi diet ND
dengan pembatasan protein hewani bersifat individual tergantung dari penyakit penyerta
yaitu hiperkolesterolemia, urolitiasis (misal batu kalsium), hiperurikemia dan artritis gout
dan hipertensi esensial.

2
Pengendalian hipertensi Tujuan dari pengendalian hipertensi adalah mencegah
atau mengurangi terjadinya morbiditas dan mortalitas penyakit system kardiovaskuler dan
mencegah nefropati diabetik.
3

Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8
per kg BB perhari) dapat mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur
ginjal pada nefropati diabetik (ND) stadium dini hipotesis diet rendah
garam (DRG) untuk mencegah progresivitas kerusakan ginjal: 1) Efek
hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma
flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler,
berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC =
capillarry glomerular preessure)
2) Efek non-hemodinamik
a) Memperbaiki selektivitas glomerulus Kenaikan
permeabilitas dinding kapiler glomerulus menyebabkan
transudasi circulating macromolecules termasuk lipid ke
dalam ruang subendotelial dan mesangium. Lipid terutama
oxidize LDL merangsang sintesis sitokin dan chemoattractant
dan penimbunan sel-sel inflamasi terutama monosit dan
makrofag.

b) Penurunan Reactive Oxygen Species (ROS) Bila pH dalam


tubulus terutama lisosom bersifat asam dapat menyebabkan
disoasi Fe dari transferin akibat endositosis. Kenaikan konsentrasi
Fe selular menyebabkan pembentukan ROS.
c) Penurunan hipermetabolisme tubular Konsumsi (kebutuhan) O 2
meningkat pada nefron yang masih utuh (intac), diikuti
peningkatan transport Na+ dalam tubulus dan merangsang
pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat mengurangi energi
untuk transport ion dan akhirnya mengurangi hipermetabolisme
tubulus.
d) Mengurangi growth factors & systemic hormones Growth
factors memegang peranan penting dalam mekanisme
progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus).
DRP diharapkan dapat mengurangi : Pembentukan transforming
growth factor beta dan konsentrasi insulin-like growth factors
(IGF-1), epithelial-derived growth factors (EDGF), Ang-II (lokal
dan sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH).
B. Nefropati Diabetik Nyata Prinsip umum manajemen dari ND nyata yaitu :
1. Manajemen utama
a. Pengendalian hipertensi, dengan diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari
dan obat antihipertensi.
b. Antiproteinuria, dengan DRG (0,6-0,8 gram per kg BB perhari), obt antihipertensi,
antagonis kalsium, kombinasi penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) dan
antagonis kalsium non dihydropyridine.
c. Optimalisasi terapi hiperglikemia

2. Manajemen substitusi Program managemen substitusi tergantung dari


kompliaksi kronis lainnya yang berhubungan dengan penyakit
makroangiopati dan mikroangiopati lainnya.
C. Nefropati Diabetik Tahap Akhir Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang
bersifat individual tergantung dari umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks komorbiditas.
2.2 Protein
Asupan protein merupakan banyaknya zat gizi yaitu protein yang dikonsumsi
rata-rata satu hari sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai kebutuhan normal. Protein
adalah zat yang paling penting dalam setiap organisme. Protein adalah bagian dari semua
sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Protein mempunyai fungsi
yang khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta
memelihara sel-sel dan jaringan tubuh (Almatsier, 2005). Fungsi protein adalah sebagai
berikut :
a. Membentuk jaringan yang baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan
b. Memelihara jaringan tubuh, memperbaiki dan mengganti jaringan yang rusak atau mati
c. Menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan,
metabolisme, serta antibodi yang diperlukan
d. Memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh
e. Sumber energi.
Pada keadaan normal, kebutuhan protein adalah 10-15 % dari kebutuhan energi
total atau sekitar 0,8-1,0 g/kg BB. Pada keadaan demam, sepsis, operasi, trauma, dan luka
maka jumlah kebutuhan protein meningkat sampai 1,5-2,0 g/kg BB demikian juga dengan
kebutuhan protein pada penderita yang dirawat yaitu 1,0-1,5 g/kg BB (Almatsier, 2005).

Protein terdapat dalam bentuk serabut, globular dan konjugasi. Protein berbentuk
serabut terdiri atas beberapa rantai peptide berbentuk spiral yang terjalin satu sama lain
sehingga menyerupai batang yang kaku. Protein globular berbentuk bola, terdapat dalam
cairan jaringan tubuh. protein ini larut dalam larutan garam dan asam encer, mudah
berubah di bawah pengaruh suhu, konsentrasi garam serta mudah mengalami denaturasi.
Albumin merupakan klasifikasi protein dalam bentuk globular. Albumin terdapat dalam
telur, susu, plasma dan hemoglobin. Albumin larut dalam air dan mengalami koagulasi
bila dipanaskan. Protein konjugasi adalah protein sederhana yang terikat dengan bahanbahan nonasam amino (Almatsier, 2001).
Hasil akhir pencernaan protein terutama berupa asam amino dan segera diabsorpsi
dalam waktu lima belas menit setelah makan. Absorpsi protein mungkin tidak terjadi
secara lengkap. Beberapa jenis protein, karena strukrtur fisika atau kimianya tidak dapat
dicerna dan dikeluarkan melalui usus halus tanpa perubahan. Metabolisme adalah proses
pemecahan zat-zat gizi di dalam tubuh untuk menghasilkan energi atau untuk
pembentukan struktur tubuh. metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah
menjadi asam amino. Asam amino akan memasuki siklus Tri Carboxylic Acid (TCA) bila
dibutuhkan sebagai sumber energi atau bila berada dalam jumlah berlebih dari yang
dibutuhkan untuk sintesis protein (Almatsier, 2001).
Metabolisme tubuh berjalan terus menerus, apabila tidak dibarengi dengan asupan
nutrisi yang cukup dapat mengakibatkan pemecahan protein menjadi glukosa
(glukoneogenesis) untuk pemenuhan kebutuhan akan glukosa (energi). Lebih jauh lagi
akan terjadi defisit protein, sehingga pembentukan enzim, albumin dan immunoglobulin
akan terganggu. Daya tahan tubuh akan menurun, sistem respon imun humoral
(immunoglobulin) dan selularnya berespon lambat terhadap antigen yang masuk, pasien
jadi beresiko terkena penyakit lain selain penyakit dasar yang membuat dia dirawat
dirumah sakit. Pemecahan protein yang berlebihan juga berakibat penurunan cadangan
protein yang jelas terlihat diotot, pasien akan terlihat kurus kering (Stroud M, et al.,
2003).

2.3 Albumin
Albumin adalah protein yang larut dalam air, membentuk 505 protein plasma
ditemukan hamper pada tiap jaringan albumin, dibuat di hati (Sutedjo, 2007). Pada tubuh,
albumin mempunyai beberapa fungsi yaitu memelihara tekanan onkotik (tekanan onkotik
yang ditimbulkan oleh albumin yang akan memelihara fungsi ginjal dan mengurangi
edema pada saluran pencernaan dan dimanfaatkan dengan metode hemodilusi untuk
menangani penderita serangan stroke akut), membawa hormon lain khususnya yang dapat
larut dalam lemak, membawa asam lemak menuju hati, membawa obat-obatan dan
memperpendek waktu paruh obat tersebut, membawa billirubin, mengikat ion Ca

2+

sebagai larutan penyangga dan sebagai protein rada fase-akut negatif (konsentrasi
albumin akan menurun sebagai pertanda fase akut respon kekebalan tubuh setelah terjadi
infeksi, namun bukan karena tubuh sedang dalam kekurangan nutrisi). Pasien DM
dinyatakan mengalami nefropati diabetik pada 2-3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6
bulan ditemukan albumin di dalam urin 24 jam 30 mg dengan catatan tidak ditemukan
penyebab albuminuria lain. Adanya albumin dalam urin merupakan indikasi terjadinya
nefropati diabetik (Hendromartono, 2007)
2.4 Kerangka Teori
-Kelainan pembuluh darah halus pada glomerolus ginjal
-Mikroalbuminuria -Makroalbuminaria

Kadar albumin

Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian


2.5 Kerangka Konsep

Asupan Protein

Nefropati Diabetik

Kadar Albumin

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian


2.6 Hipotesis
1. Ada hubungan asupan protein dengan kadar albumin pada pasien rawat inap
nefropati diabetik di RSUD Tugurejo Semarang.

Anda mungkin juga menyukai