PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).
Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan
pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik
kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan
aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel
sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di
sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung
menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda
asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.
Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di
dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada
akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang
mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses inflamasi, yakni: kemerahan
(rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses
dapat terjadi pada setiap jaringan solid, tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada
paru-paru, otak, gigi, ginjal, dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke
jaringan sekitar atau jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif
(gangren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu
abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut
mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun
demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen, dan kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya
apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak
disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersamaan
dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan apabila abses
telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak. Hal
ini dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi evacua.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu dilakukan.
Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan penderita sedemikian hingga
memungkinkan isi abses keluar melalui saluran pernapasan. Memberikan kompres hangat dan
meninggikan posisi anggota gerak dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat
melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan
doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.
Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa
antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran menyarankan untuk dilakukan
insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani abses secara konservatif dengan
menggunakan antibiotik.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abses
Dari data RSUD Dr R Soetrasno Rembang kususnya di ruang Melati jumlah pasien abses
mulai bulan januari sampai bulan july 2010 adalah 11 orang, oleh dasar itulah penulis ingin
membahas lebih jauh tentang penyakit abses.
B. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan umum :
Dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn.T dengan Abses Femur Dextra di ruang
melati RSUD Dr. R Soetrasno Rembang
2.
Tujuan kusus :
a. Dapat melaksanakan pengkajian keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan
benar.
b. Dapat menganalisa dan merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Abses Femur
Dextra dengan benar.
c. Dapat melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan
benar.
d. Dapat melaksanakan implementasi pada pasien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
e. Dapat melakukan evaluasi pada klien dengan Abses Femur Dextra dengan benar.
f. Membahas kesenjangan yang ada dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Abses Femur Dextra dengan benar.
g. Dapat mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam pengelolaan kasus dengan Abses
Femur Dextra dengan benar.
C. Sistematika penulisan
Untuk mempermudah pemahaman karya tulis ini penulis membagi sistematika penulisan
dalam 5 BAB yaitu BAB 1 pendahuluan terdiri dari tentang latar belakang, tujuan penulisan dan
sistematikapenulisan. BAB II konsep dasar teori meliputi pengertian, etiologi, pathofisiologi,
manifestasi klinis, pathway, focus pengkajin, diagnosa keperawatan, fokus intervensi. BAB III
resume keperawatan, merupakan uraian kasus pada Tn.T dengan Abses Femur Dextra mulai dari
pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi, catatan perkembangan, evaluasi. BAB IV
Pembahasan terdiri dari masalah kesenjangan antara teori dengan kasus nyata dan pembenaran.
BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KONSEP DASAR
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang tinjauan pustaka dari asuhan keperawatan
pada Tn.T dengan abses femur dextra di ruang Melati RSUD Dr R Soetrasno Rembang mulai
dari pengertian ,etiologi, pathofisiologi, manifestasi klinis, pathway, penatalaksanaan,
pemeriksaan
penunjang
sampai
dengan
proses
keperawatan
yang
meliputi
fokus
pengkajian,analisa data, diagnosa keperawatan yang diarahkan pada pathway serta fokus
intervensinya.
A.
Pengertian
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus
(bakteri,jaringan nekrotik dan sel darah putih)
( Smelltzer at.al, 2001: 496)
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi disebuah kavitas
jaringan karena adanya proses infeksi). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan
untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi kebagian lain dari tubuh
(http://id.wikipedia.org/wiki/abses)
B.
Etiologi
Menurut ahli penyakit infeksi penyebab abses antara lain :
1. Infeksi Mikrobial
Merupakan penyebab paling sering terjadinya abses. Virus menyebabkan kematian sel
dengan cara multiplikasi. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis
kimiawi yang merupakan awal radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya dengan
dinding sel
2. Reaksi hipersensitivitas.
Terjadi bila ada perubahan respon Imunologi yang menyebabkan jaringan rusak.
3. Agen Fisik
Melalui trauma fisik, ultra violet, atau radiasi, terbakar, atau dinding berlebih (frostbite).
4. Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan oksidan, asam, basa, akan merusak jaringan dengan cara memprovokasi terjadinya
proses radang, selain itu agen infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi
dan langsung menyebabkan radang
5. Nekrosis jaringan
Aliran darah yang kurang akan menyebabkan hipoksia dan berkurangnya makanan pada
dearah yang bersangkutan.
Menyebabkan kematian jaringan yang merupakan stimulus kuat penyebab infeksi pada daerah
tepi infeksi sering memperlihatkan suatu respon radang akut.
(Underwood,lC.E. 1999: 232 )
C.
Faktor Predisposisi.
Faktor predisposisi dari abses yaitu :
1.
2.
Kurang gizi.
3.
Anemia.
4.
Diabetes
5.
Keganasan(kanker)
6.
Penyakit lainya
7.
Higienis jelek
8.
Kegemukan
9.
Gangguan kemotatik
Patofisiologi
Kuman yang masuk kedalam tubuh akan menyebabkan kerusakanakan jaringan dengan cara
mengeluarkan toksin. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik (sintesis), kimiawi yang
secara spesifik mengawali proses peradangan atau melepaskan endotoksin yang ada hubunganya
dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila ada perubahan kondisi respon imunologi
mengakibatkan perubahan reaksi imun yang merusak jaringan. Agent fisik dan bahan kimia
oksidan dan korosif menyebabkan kerusakan jaringan,kematian jaringan menstimulus untuk
terjadi infeksi. Infeksi merupakan salah penyebab dari peradangan, kemerahan merupakan tanda
awal yang terlihat akibat dilatasi arteriol akan meningkatkan aliran darah ke mikro sirkulasi
kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan bersifat lokal. Peningkatan suhu dapat terjadi secara
sistemik.
Akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofaq mempengaruhi termoregulasi pada suhu
lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi. Peradangan terjadi
perubahan diameter pembuluh darah mengalir keseluruh kapiler, kemudian aliran darah kembali
pelan. Sel-sel darah mendekati dinding pembuluh darah didaerah zona plasmatik. Leukosit
menempel pada epitel sehingga langkah awal terjadi emigrasi kedalam ruang ekstravaskuler
lambatnya aliran darah yang mengikuti Fase hyperemia meningkatkan permiabilitas vaskuler
mengakibatkan keluarya plasma kedalam jaringan, sedang sel darah tertinggal dalam pembuluh
darah akibat tekanan hidrostatik meningkat dan tekanan osmotik menurun sehingga terjadi
akumulasi cairan didalam rongga ekstravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat
yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga abses
menyebabkan rasa nyeri. Mediator kimiawi, termasuk bradikinin, prostaglandin, dan serotonin
merusak ujung saraf sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif
dan termosensitif yang menimbulkan nyeri. Adanya edema akan mengganggu gerak jaringan
sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas litas.
Inflamasi terus terjadi selama, masih ada pengrusakan jaringan bila penyabab kerusakan bisa
diatasi, maka debris akan difagosit dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan
kesembuhan. Reaksi sel fagosit yang berlebihan menyebabkan debris terkumpul dalam suatu
rongga membentuk abses di sel jaringan lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat
menimbulkan reaksi tubuh yang berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak (fase organisasi),
bila fase destruksi jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui jaringan granulasi
fibrosa. Tapi bila destruksi jaringan berlangsung terus akan terjadi fase inflamasi kronik yang
akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang.
Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan sehingga terjadi
kerusakan Integritas kulit. Sedangkan abses yang diinsisi dapat mengakibatkan resiko
penyebaran infeksi.
E.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari abses yaitu :
Manifstasi Klini
1.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang
mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan (rubor),
panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi.
(http: //id.wikipedia.org/wiki/Abses)
2. Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut benjolan
bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah (pus).
(http//www.surabayapost.co.id)
3. Gambaran Klinis
a.
Nyeri tekan
b.
Nyeri lokal
c.
Bengkak
d.
Kenaikan suhu
e.
Leukositosis
(Modifikasi: Smeltzer at aI, 2001 : 496. Levis, S Met al,200 : 1187,589)
4. Tanda-tanda infeksi
a.
Rubor ( kemerahan ).
b.
c.
Dolor ( nyeri ).
Fungtio laesa.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
1.
Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang paling
efektif.
2.
Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 - 30.000)
mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3.
4.
5.
6.
Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati sebagai
respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
7.
8.
9.
Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel darah
merah.
10. Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di dalam
abdomen/organ pelvis.
11.
EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang
menyerupai infak miokard.
(Doenges,2000:873)
G.
Penatalaksanan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun
demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila
disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak
disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersama
dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan pembedahan biasanya
diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut
menjadi tidak efekif.
Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena
1.
Aktifitas I istirahat
Gejala : Malaise
2.
Sirkulasi
Tanda :
Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung tetap
meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah hilang,
takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan
disfungsi miokard, efek dari asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit hangat, kering,
bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).
3. Eliminasi
Gejala : Diare
4. Makanan/cairan
Gejala
Tanda
Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi). Penurunan haluaran,
konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.
5. Neurosensori
Gejala
Tanda :
Gejala
Tanda
Tanda
Suhu umumnya meningkat (37,95C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu
pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh, drainase
purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.
8. Sexualitas
Gejala
Tanda :
Gejala
mulangan
Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal, kecanduan
alkohol. Riwayat splenektomi. Baru saja menjalani operasi prosedur invasive, luka traumatik.
10. Pertimbangan : Menunjukan lama hari rawat 7,5 hari.
:
Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan/alat dan bahan untuk luka, perawatan,
Prioritas Keperawatan
a. Menghilangkan infeksi.
b. Mendukung perfusi jaringan/volume sirkulasi.
c. Mencegah komplikasi.
d. Memberikan informasi mengenai proses penyakit, prognosa dan kebutuhan pengobatan.
(Doenges,2000:240)
H.
Pathway
I.
Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :
1.
2.
Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan regulasi temperatur.
3.
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah
arteri dan vena.
4.
5.
Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.
6.
7.
8.
9.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit.
( Doenges,2000:241 )
J.
Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan dengan prosedur
invasif.
uan
eria Hasil
Rasional
: Isolasi luka / linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan luka,
sementara isolasi / pembatasan pengunjung dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi.
Mengurangi resiko kemungkinan infeksi.
b.
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun menggunakan sarung tangan
steril.
Rasional
:
c.
Rasional
:
d.
Rasional
:
e.
Rasional
:
f.
Rasional
:
g.
Rasional
:
h.
Rasional
Demam tinggi menunjukan efek endotoksin pada hipotalamus dan endorphin yang
Rasional
j.
Memantau tanda-tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk membaik selama masa terapi.
Rasional
: Dapat menunjukan ketidak tepatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme
resisten.
k.
Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal / peradangan vaginal /
perineal.
Rasional
Depresi sistem imun dan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko infeksi skunder;
terutama ragi. .
l.
Rasional
Dapat membasmi / memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum atau penyakit
khusus.
meningkatkan penyembuhan.
( Doenges, 2000: 874)
2. Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan pada regulasi temperatur.
uan
eria Hasil
Rasional
b.
Rasional
: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
c.
Rasional
Berikan antipiretik.
Rasional
Rasional
: Digunakan untuk mengurangi demam tinggi pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.
(Doenges,2000 : 874 )
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah
arteri dan vena.
uan
eria Hasil
Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum,
haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus aktif
Intervensi
a.
Rasional
b.
Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan perubahan
pada tekanan denyut.
Rasional
Rasional
: Pada awal nadi cepat menunjukan peningkatan curah jantung, nadi lemah menunjukan
penurunan curah jantung.
e.
Rasional
f.
Rasional
Rasional
: Penurunan haluaran urine dan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfusi
ginjal.
i.
Rasional
j.
Rasional
Pantau pH gaster sesuai petunjuk. Hematest sekresi gaster / feses darah samar.
: Stress dari penyakit dan penggunaan steroid meningkatkan resiko erosi / perdarahan mukosa
gaster.
k.
Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkaan jaringan lokal, eritema, tanda
Homan positif
Rasional
Rasional
: Dosis antibiotik massif sering memiliki efek toksik potensial bila perfusi hepar /
ginjal terganggu.
n. Berikan cairan parenteral.
Rasional
Rasional
Rasional
Rasional
uan
eria Hasil
Catat haluaran urine dan berat jenis. Catat keseimbangan masukan dan keluaran komulatif.
Dorong masukan cairan oral sesuai toleransi.
Rasional
Keseimbangan cairan positif lanjut dengan disertai penambahan berat badan dapat
: Mekanisme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan
meningkatkan tekanan darah sistemik.
c.
Rasional
Rasional
f.
Rasional
Rasional
b.
ujuan
iteria Hasil
Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak mengalami dispnea / sianosis
Intervensi :
: Hipoventilasi dan dipsnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan
merupakan indikasi bahwa diperlukan ventilator.
: Pada waktu kondisi septic memburuk, asidosis metabolik yang meningkat untuk membangun
asam laktat dan metabolisme anaerob.
a.
b.
Keterbatasan Kognitif
Ditandai
an
1)
2)
ria Hasil
Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dengan
dapat penunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan rasional dan tindakan.
(Doenges, 2000 : 880 - 881)
Intervensi :
a.
Rasional
b.
Tinjau faktor resiko individual dan bentuk penularan tempat masuk infeksi.
Rasional
Berikan informasi mengenai terapi obat - obatan, efek samping dan pentingnya ketaatan
pengobatan.
Rasional
d.
Rasional
Rasional
f.
Rasional
:
g.
Membantu pemajanan lingkungan dengan mengurangi jumlah bakteri patogen yang ada.
Diskusikan penggunaan yang tepat atau menghindari tampon sesuai indikasi.
Rasional
Pengenalan dini dari perkembangan infeksi akan memungkinkan intervensi dan mengurangi
resiko kearah situasi yang membahayakan jiwa.
i.
Rasional
Menolak bergerak/tidak mampu bergerak sesuai tujuan rentang gerak terbatas, penurunan
kekuatan kontrol dan/atau masa otot.
Tujuan :
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi tubuh.
c. Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktifitas.
Intervensi :
a. Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu
Rasional
: dengan membantu aktivitas yang di perlukan pasien akan membantu mengurangi resiko yang
tidak di inginkan.
(Doenges,2000 : 737)
b. Tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat.
Rasional : aktivitas dapat meningkat jika memotivasi yang sesuai dengan kondisi pasien.
(Doenges,2000 : 737)
c. Berikan alternative dengan periode yang cukup.
Rasional : aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.
(Doenges,2000 : 757)
d. Pantau rtespon terhadap aktifitas
Rasional : meningkatkan kontrol terhadap situasi
(Doenges,2000 : 738)
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
a. Trauma
Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).
Ditandai :
ujuan
iteria Hasil
tervensi
a.
Kaji/ ukuran, wama, kedalaman luka , perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
Rasional
: Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penambahan kulit dan kemungkinan petunjuk
tentang sirkulasi pada area luka.
b.
Rasional
c.
Rasional
d.
Rasional
ujuan
riteria Hasil
:
a. Menunjukan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.
b. Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur / istirahat dengan tepat.
Intervensi :
a. Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara
terbuka.
Rasional
: Suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.
b. Tinggikan ekstremitas luka bakar secara periodik.
Rasional
: Peninggian mungkin diperlukan pada awal untuk mnenurunkan pembentukan edema setelah
perubahan posisi dan peninggian menurunkan ketidaknyamanan serta resiko kontraktur sendi.
c. Berikan tempat tidur ayunan sesuai indikasi
Rasional
Rasional
Rasional
: Gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi tipe latihan
tergantung pada lokasi dan luas cendera.
(Doenges, 2000:654)
BAB III
RESUME KEPERAWATAN
Dalam bab ini penulis akan membahs tentang tinjauan pustaka dari asuhan keperawatan pada
Tn.T dengan abses femur dextra di ruang Melati RSUD Dr R Soetrasno Rembang mulai dari
pengertian ,etiologi, pathofisiologi, manifestasi klinis, pthway, penatalaksanaan, pemeriksaan
penunjang sampai dengan proses keperawatan yang meliputi fokus pengkajian, diagnosa
keperawatan yang di arahkan pad pathway serta fokus intervensinya
A. Pengkajian
Asuhan keperawatan di berikan pada klien dengan nama
kelamin laki-laki, beralamat, Sendang Agung 4 / 2 Kaliori, Beragama islam, pekerjaan sebagai
nelayan, Tanggal masuk rumah sakit pada 26 Juni 2010 jam 13.40 dan tanggal pengkajian 28
Juni
Dengan diagnosa medis Abses Femur Dextra. dengan keluhan utama Pasien mengatakan
nyeri, nyeri semakin terasa saat bergerak cekot-cekot, nyeri pada femur dextra, nyeri terasa
hilang timbul dengan skala nyeri 4
Kaki pasien mengalami bengkak sudah satu minggu yang lalu sebelum dibawa ke RS pada
tangal 26 uni 2010. sebelumnya pasien jatuh dari sepedah montor. tindakan yang dilakukan
pasien adalah memijit kakinya ditukang pijit. Karena tidak kunjung sembuh pada tanggal 26 Juni
2010 jam 13.40 pasien dibawa ke RSU dr. R. Soetrasno Rembang. Pasien masuk lewat UGD di
UGD pasien mendapatkan terapi inf. RL 20 tetes per menit, injeksi Cefotaxime 2 x 1 gr Intra
Vena, injeksi Torasic 2x1 gr Intra Vena, Setelah mendapatkan terapi dari IGD pasien dipindah ke
urang Bougenvil. Tetapi pada 26 Juni 2010 jam 13.00 WIB pasien dipindah lagi ke ruang Melati
untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah dirawat di RS. Pasien tidak mempunyai
riwayat penyakit asma, jantung DM, hipertensi dan penyakit menular lainnya dan keluarga tidak
ada yang mempunyai penyakit keturunan.
Pada Pengkajian pola fungsional di dapatkan data tentang Pola Perpesi dan pemelihraan
kesehatan Pasien mengatakan bahwa kesehatan begitu penting . hal ini terlihat dari apabila ada
salah satu keluarga yang sakit segera dibawa kepelayanan kesehatan.
Pola nutrisi / metabolik Sebelum sakit Sebelum sakit pasien makan 3x/hari dengan menu
nasi, sayur, lauk. minum 6-8 gelas/hari dan Selama sakit Pasien makan 3x/hari sesuai menu RS.
Makan habis porsi.
Pola eliminasi Sebelum sakit pasien buang air besar 1x/hari dengan konsutensi lembek, dan
tidak ada keluhan dan selama sakit pasien belum pernah buang air besar.
Pola aktifitas dan latihan selama sakit segala aktifitas di bantu oleh orang lain / keluarga.
Pola tidur dan istirahat: pasien susah untuk istirahat Pada Pemeriksaan fisik Keadaan umum
Lemah, Kesadaran compasmentis denganTanda-tanda vital tekanan darah 90/60 mmHg, suhu
360C, nadi 88 x/mnt, RR20 x/mnt, Ekstremitas atas Tangan kiri terpasang infus RL 20 tetes /
menit dan pada bagian bawah Terdapat benjolan pada paha kanan bagian bawah samping
B. Program terapi :
Senin,tanggal 28 Juni 2010
Ketopain 2x1 gr jam 10.00, 22.00 WIB
Zefazolin 2x1 gr jam 10.00, 22.00 WIB
C. Analisa Data
Analisa yang di dapat dari pengkajian pada tanggal 28 Juni 2009 pukul 07.00 WIB adalah
data subyektif Pasien mengatakan paha kanannya cekot-cekot dan data obyektifnya nyeri muncul
saat bergerak terasa cekot-cekot pada Femur dextra, skala nyeri 4 nyeri hilang timbul dan pasien
tampak gelisah sehingga didapatkan masalah gangguan rasa nyaman yang di sebabkan proses
inflamasi.
Analisa yang kedua di dapatkan data subyektif Pasien mengatakan kakinya sakit bila
digerakan nyeri data obyektifnya pasien tampak menahan sakit bila kaki digerakan, Paha kaki
kanan bagian bawah tampak bengkak dan aktifitas pasien dibantu sehingga di dapatkan masalah
Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan.
Analisa yang ketiga didapatkan data obyektif Pasien makan habis porsi. Pasien tidak mau
makan makanan tambahan yang dibelikan oleh isrinya, Pasien tampak lelah dan pasien mual tiap
habis makan sehingga didapatkan masalah Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia
D. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul dari analisa data yang telah di lakukan pengkajian TnT.
Adalah gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi yang ditandai dengan
pasien mengatakan paha kanannya terasa nyeri, nyeri muncul saat bergerak terasa cekot-cekot
pada Femur dextra, skala nyeri 4, nyeri Hilang timbul dan pasien tampak gelisah.
Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan intergritas jaringan yang di tandai dengan Pasien
mengatakan kakinya sakit bila digrakan terasa nyeri Pasien tampak menahan sakit bila kaki
digerakan, Paha kaki kanan bagian bawah tampak bengkak dan aktifitas pasien dibantu.
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan ubuh berhubungan dengan anoreksia yang di tandai
dengan pasien makan habis porsi, pasien tidak mau makan makanan tambahan yang dibelikan
oleh isrinya, Pasien tampak lelah dan Pasien mual tiap habis makan.
E. INTERVENSI, IMPLEMENTASI DAN EVALUASI
Rencana tindakan untuk mengatasi permasalahan yang ada pada Tn.T pada hari/tanggal
Senin 28 Juni 2009 pukul 07.00 WIB di tetapkan tiap diagnosa.
Diagnosa pertama gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
tujuan yang direncanakan adalah setelah dilakukan tindakan selama 1x30 menit diharapkan nyeri
berhubungan proses inflamasi teratasi dengan,kriteria hasil skala nyeri 3, pasien tampak rilek.
Intervensi yang dibuat untuk mengatasi permasalahn Tn.T adalah :
Mengobservasi tanda-tanda vital, observasi adanya tanda tanda nyeri non verbal misal :
ekspresi wajah, posisi tubuh gelisah, lakukan kompres dingin
Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi, kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antibiotik,
kelopain 1 gr intra vena, Zefazolin 1 gr intra vena.
Tindakan yang di lakukan : Mengobservasi tanda-tanda vital,
data obyektifnya tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 88 x / mnt, suhu 36 6oC, respiratore 20 x / mnt,
memberikan injeksi lewat intra vena
Ketopain 1 gr, Cefazolin 1 gr data subyektif pasien kooperatif, data obyektif obat masuk intra
vena, tidak ada alergi. Memberikan pendidikan kesehatan cara mengurangi nyeri dengan teknik
distraksi dan relaksasi data subyektif pasien mengatakan mengerti, data obyektif pasien tampak
mempraktekan cara distraksi dan relaksasi. Mengobservasi tanda- tanda vital data subyektif
pasien kooperatif, data obyektif tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 86 x /mnt, suhu36 0 C,
respiratore 20 x / mnt. Evaluasi :
dengan skala nyeri 3, obyektif pasien tampak lebih rilek , analisa gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan proses inflamasi teratasi, planing pertahankan intervensi, observasi tandatanda vital
Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antibiotik
Diagnosa kedua Imobilisasi berhubungan dengan kerusakan intergritas jaringan tujuan yang
di rencanakan adalah setelah dilakukan tindakan selama 1 x 6 jam diharapkan gangguan
mobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan dapat teratasi dengan kriteria hasil
pasien dapat melakukan aktifitas sesuai kemampuannya seperti, makan, ambulasi ditempat tidur,
berpakaian secara mandiri
Intervensi yang di buat untuk mengatasi permasalahn Tn.T adalah :
Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu, tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap
saat,
berikan alternative dengan periode yang cukup, pantau respon terhadap aktifitas,
pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien makan
habis 1 porsi, mual (-), pasien tampak lebih segar.
Intervensi yang dibuat untuk mengatasi permasalahn Tn.T adalah : Pantau intake dan output
makanan, timbang berat badan pasien dan ukur lingkar lengan pasien setiap hari, berikan
makanan dalam keadaan hangat, berikan makan sedikit tapi sering dan makanan kecil tambahan
yang tepat, mengobservasi pola makan pasien, tentukan program diit dan pola makan pasien,
kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diit pasien dan pemeberian bubur.
Tindakan yang di lakukan : Mengobservasi pola makan pasien data subyektif pasien mengatakan
setiap makan merasa mual data obyektifnya pasien makan habis porsi. Evaluasi :
Subyektif pasien mengatakan mual, tetapi memaksa untuk makan, obyektif pasien makanhabis 1
porsi, pasien tampak lelah, analisa resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tidak terjadi,
planing pertahankan intervensi,
observasi pola makan pasien, anjurkan pasien makan sedikit tapi sering
BAB III
PEMBAHASAN
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang kesesuaian dan kesenjangan yang ada
antara teori dengan tinjauan kasus dengan judul asuhan keperawatan pada Tn.T dengan abses
femur dextra di ruang melati RSUD Dr.R. Soetrasno Rembang. Dengan mengunakan metode
pemecahan masalah melaluai pendekatan proses keperawatan serta memuat pula pembahasan
pembenaran data yang kurang sempurna atau kurang tepat karena keterbatasan waktu.
Pada prinsipnya pembahasan menjawab pertanyaan 5W+H dengan memperhatikan aspek
tahapan proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, dan evaluasi keperawatan.
Dalam pengkajian penulis akan membenarkan data-data pendokumentasian yang belum
sempurna karena kurang ketelitian dan keterbatasan waktu dan kurangnya penulis
mencantumkan data dan suasana ujian yang mempengaruhi psikis penulis.
Adapun data-data itu anatara lain :
A. Riwayat kesehatan keluarga
Pasien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mempunyai penyakit keturunanayat kesehatan
keluarga
Keterangan :
: laki-laki
: perempuan
: meninggal
: pasien
Pembenaran :
Di sini penulis mencantumkan genogram keluarga, yang seharusnya penulis tidak perlu
mencantumkannya karena abses bukan merupakan penyakit menurun
B. Pengkajian pola fungsional
a.
b. Pola eliminasi
Sebelum sakit
Selama sakit
Pembenaran :
Di sini penulis lupa mencantumkan pola eliminasi BAB pada saat sakit pada hal ini sangat
penting untuk mengetahui tentang asupan nutrisi pasien, jika asupan nurtrisi terpenuhi dapat
membantu proses penyembuhan
c.
a.
Ekstremitas
Atas
Bawah
samping
Pembenaran :
Seharusnya penulis mencantumkan kekutan otot pada ekstremitas bawah kanan , untuk
memperkuat suatu tegaknya diagnosa
D. Diagnosa Keperawatan Intervensi, Implementasi dan Evaluasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
yang ditandai dengan : Pasien mengatakan paha kanannya cekot-cekot, nyeri muncul saat
bergerak, cekot-cekot pada Femur dextra dengan skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dan pasien
tampak gelisah
Pada data ini kurang mendukung untuk tegaknya diagnosa sehingga penulis menambahkan
adanya tanda-tanda inflamasi. Tanda- tanda utama inflamasi adalah: rubor (kemerahan jaringan),
kalor (kehangatan jaringan), tumor (pembengkakan jaringan), dolor (nyeri).
Pada diagnosa gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi kurang sesuai
maka penulis melakukan pembenaran dan seharusnya nyeri berhubungan dengan regangan dan
distorsi abses (kerusakanjaringan).
( Doenges,2000:241 )
Nyeri akut yang tidak reda akan mempengaruhi sistem pulmonari, koordiavaskuler,
gastrointestinal, endokorin dan imonologik
(Smeltzer, 2002:212)
Nyeri merupakan keadaan di mana individu menglami dan melaporkan adanya ketidaknyamanan
yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama enam bulan atau kurang
(Carpenito 2000:45)
Alasan penulis mengangkat diagnosa ini sebagai diagnosa yang pertama karena keluahan utama
pasien adalah nyeri pada kaki kiri dengan skala lima dan nyeri harus segera diatasi karena bisa
menyebabkan ketidaknyamanan dan menggangu.
Nyeri akut dan berat dapat menyebkan kolaps kardiovaskuler dan syok
(Corwin 2002:227)
Nyeri yang tidak diatasi secara adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar
kenyamanan selain merasakan ketidak nyamanan juga mengganggu
(Smeltzer 2001:214)
Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk pengalaman masa
lalu dengan nyeri : ansietas, usia, faktor-faktor ini dapat meningkat atau menurun perspsi nyeri
pasien, meningkatnya dan menurunya toleran terhadap nyeri dan pengaruh sikap respon terhadap
nyeri
(Smeltzer 2001:220).
Penulis menentukan kriteria waktu satu kali 30 menit diharapkan nyeri berhubungan proses
inflamasi teratasi dengan, kriteria hasil skala nyeri 3 Pasien tampak rilek.
Intervensi :
a) Mengobservasi TTV
Rasional : perubahan tanda-tanda vital pasien yang mengalami nyeri
(Doenges, 2000 813-814)
b) Observasi adanya tanda-tanda nyeri
Rasional : mengetahui keadaan umum yang menunjukan pasien mengalami nyeri dan untuk
mengetahui skala nyeri sebelumnya
(Doenges, 1999 : 458)
c) Lakukan kompres dingin
Rasional : dengan kompres dingin pembuluh darah akan mengalami vaso konstriksi
(Bruner & Suddart 2001 : 1138)
d) Ajarkan tekni distraksi dan relaksasi
Rasional : teknik distraksi atau pengalihan perhatian bisa mengurangi atau menekan nyeri
di atas adalah
masalah yang belum teratasi didelegasikan pada perawat yang jaga berikutnya utuk di lanjutkan
rencana tindakan karena keterbatasan waktu penulis dalam melakukan asuhan keperawartan.
2.
Immobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan yang ditandai dengan pasien
mengatakan makan, mandi, toileting dibantu oleh keluarga, aktifitas pasien tampak dibantu,
pasien tampak menahan sakit bila kaki digerakan, paha kaki kanan bagian bawah tampak
bengkak, aktifitas pasien dibantu dengan etiologi Kerusakan integritas jaringan dan problem
Immobilisasi. pada data obyektif kurang lengkap untuk menunjukan masalah imobilisasi
Seharusnya penulis mencantumkan kekeutan otot pada ekstremitas bawah kanan , untuk
memperkuat suatu tegaknya diagnosa.
Pada diagnosa 2.
sesuai maka penulis akan melakukan pembenaran, Gangguan mobilitas berhubungan dengan
penurunan fungsi tubuh (gangguan neuromuskular)
( Doenges,2000:241 )
Mobilisasi
tergantung
pada
interaksi
yang
terkoordinasi
antara
fungsi
sensorik
persepsi,keterampilan motorik, kondisi fisik, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta
variableeksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungankeluarga, adanya
halangan arsitektural ( kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan institusional.
Pengelolaan imobilisasi menjadi sangat penting karena bertujuan untuk dapat mempertahankan
atau bahkan meningkatkan taraf hidup fungsional, dengan parameter kemampuan untuk
melakukan ADL (Activities of Daily Life). Rehabilitasi medik, dukungan keluarga dan
lingkungan merupakan faktor utama. dalam pengelolaan imobilisasi. Upaya pencegahan dapat
dilakukan dengan melakukan latihan-latihan yang terprogram.
(carpenito, 2000 : 2)
Intervensinya :
a) Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu.
Rasional : dengan membantu aktivitas yang di perlukan pasien akan membantu mengurangi
resiko yang tidak di inginkan.
(Doenges,2000 : 737)
b) Tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat.
Rasional : aktivitas dapat meningkat jika memotivasi yang sesuai dengan kondisi pasien.
(Doenges,2000 : 737)
c) Berikan alternative dengan periode yang cukup.
Rasional : aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen
tubuh.
(Doenges,2000 : 757)
d) Pantau respon terhadap aktifitas
Rasional : meningkatkan kontrol terhadap situasi
(Doenges,2000 : 738)
e) Mengobservasi skala aktifitas
Rasional: pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang minimal
(nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai 2); memerlukan
bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau tergantung secara total pada
pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko
kecelakaan namun kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar untuk terjadinya
bahaya tersebut sehubungan dengan imobilisasi.
(Doenges,2000 : 283)
Implementasi : implementasi yang berhasil dilaksanakan untuk mengatasi masalah diatas adalah
mengobservasi skala aktifitas
Evaluasi :
Evaluasi pada tanggal 28 Juni 2010 pukul 12.30 WIB di dapatkan data Pasien mengatakan
kakinya sakit bila digerakkan, tampak menahan sakit ketika kaki digerakkan, skala pola aktivitas
17, analisa gangguan mobilisasi berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan belum
teratasi planing lanjutkan intervensi, obervasi skala aktifitas pasien, bantu pasien dalam
pemenuhan aktifitas, berikan ROM aktif , masalah yang belum treatasi didelegasikan pada
perawat ruangan untuk di lanjutkan rencana tindakan karena keterbatasan waktu penulis dalam
melakukan asuhan keperawartan.
3. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan ubuh berhubungan dengan anoreksia yang ditandai dengan
pasien mengatakan lemas, nafsu makan berkurang dan terasa mual.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh: suatu keadaa dimana individu yang tidak puasa
mengalami atau beresiko mengalami penurunan berat badan yang berhubungan dengan masukan
yang tidak adekuat atau metabilisme nutrient yang tidak adekuat untuk kebutuhan metabolik
(carpenito, 2000 : 259)
Penulis menegakan diagnosa Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia karena terdapat data yang mendukung diagnosa ini, yaitu pasien
pasien mengatakan lemas, nafsu makan berkurang dan terasa mual. pada pengkajian pola
metabolisme pasen makan 2x sehari habis setengah porsi dan ibu pasien mengatakan nafsu
makannya turun.
Diagnosa ini penulis diprioritaskan menjadi prioritas ketiga karena kebutuhan berdasarkan
kebutuhan dari Maslow kebutuhan nutrisi termasuk dalam kebutuhan fisiologis. Dimana
uan
teria hasil
a.
Timbang berat badan pasien dan ukur lingkar lengan pasien setiap hari
d.
Berikan makan sedikit tapi sering dan makanan kecil tambahan yang tepat
Rasional : dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makan terlalu cepat
(Doenges, 2000 : 426)
e.
Kolaborasi :Dengan ahli gizi untuk menentukan diit pasien dan peberian bubur.
Rasional : Mengetahui makanan yang disukai pasien yang dapat meningkatkan nafsu makan dan
dapat menyesuaikan diit makanan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
g.
Implementasi :
implementasi yang berhasil di laksanakan untuk mengatasi masalah di atas adalah
Mengobservasi pola makan pasien data subyektif pasien mengatakan setiap makan merasa mual
data obyektifnya pasien makan habis porsi.
Evaluasi :
pasien mengatakan masih merasa mual, tetapi memaksa untuk makan, pasien makanhabis 1
porsi, pasien tampak lelah, analisa resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan belum
tratasi, planing pertahankan intervensi, Pantau intake dan output makanan, timbang berat badan
pasien dan ukur lingkar lengan pasien setiap hari, berikan makanan dalam keadaan hangat,
berikan makan sdikit dan makanan kecil tambahan yang tepat, tentukan program diit dan pola
makan pasien, kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diit pasien dan pemeberian bubur.
masalah yang belum treatasi di delegasikan pada perawat ruangan unruk di lanjutkan rencana
tindakan karena keterbatasan waktu penulis dalam melakukan asuhan keperawartan.
E. Diagnosa keperawatan yang teori muncul tetapi di tinjauan kasus tidak muncul.
Adapun diagnosa-diagnosanya adalah sebagai berikut :
1. Resiko tinggi infeksi terhadap berhubungan dengan prosedur invasif
Resiko terhadap infeksi : keadaan dimana seorang individu beresiko terserang oleh agens
patogenik atau oportunistik (virus, jamur, bakteri, protozoa,atau parasit lain) dari sumber-sumber
eksternal,sumber-sumber endogen atau eksogen
(Carpenito,2001 : 204)
2.
Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus,
perubahan regulasi temperatur.
Hipertermia : keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko untuk mengalami
kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 37,8 C (100 F) per oral atau 38,8 C (100 F)
per rectal karena factor eksternal
(Carpenito 2001 : 21)
3. Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah arteri
dan vena.
Perubahan perfusi jaringan : keadaan di mana individu mengalami atau beresiko mengalami
suatu penurunan dalam nutrisi dan pernapasan pada tingkat seluler di sebabkan suatu penurunan
dalam suplai darah kapiler.
Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas /
kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).
Kekurangan volume cairan terjadi ketika tubuh kehilangan cairan dan elektrolit ekstraseluler
dalam jumlah yang proporsional (isotonik). Kondisi seperti ini disebut juga hipovolemia.
Umumnya, gangguan ini diawali dengan kehilangan cairan intravaskuler, lalu diikuti dengan
perpindahan cairan interseluler menuju intravaskuler sehingga menyebabkan penurunan cairan
ekstraseluler. Untuk untuk mengkompensasi kondisi ini, tubuh melakukan pemindahan cairan
intraseluler. Secara umum, defisit volume cairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kehilangan
cairan abnormal melalui kulit, penurunan asupan cairan, perdarahan dan pergerakan cairan ke
lokasi ketiga (lokasi tempat cairan berpindah dan tidak mudah untuk mengembalikanya ke lokasi
semula dalam kondisi cairan ekstraseluler istirahat). Cairan dapat berpindah dari lokasi
intravaskuler menuju lokasi potensial seperti pleura, peritonium, perikardium, atau rongga
sendi. Selain itu, kondisi tertentu, seperti terperangkapnya cairan dalam saluran pencernaan,
dapat terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat.
Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari
fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan
berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu
(zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik
yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui
makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan
elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung
satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berada di dalam sel di seluruh tubuh,
sedangkan cairan ekstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga
kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan
intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan
yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan
serebrospinal,cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
Perpindahan Cairan dan Elektrolit Tubuh Perpindahan cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam
tiga fase yaitu : 4
Fase I : Plasma darah pindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, dan nutrisi dan
oksigen diambil dari paru-paru dan tractus gastrointestinal.
Fase II : Cairan interstitial dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
Fase III : Cairan dan substansi yang ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke
dalam sel. Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel
mampu memfilter tidak semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut
berpindah.Metode perpindahan dari cairan dan elektrolit tubuh dengan cara :
1) Diffusi
2) Filtrasi
3) Osmosis
4) Aktif Transport Diffusi dan osmosis adalah mekanisme transportasi pasif. Hampir semua zat
berpindah dengan mekanisme transportasi pasif. Diffusi sederhana adalah perpindahan partikelpartikel dalam segala arah melalui larutan atau gas. Beberapa faktor yang mempengaruhi mudah
tidaknya difusi zat terlarut menembus membran kapiler dan sel yaitu :
a) Permeabilitas membran kapiler dan sel
b) Konsenterasi
c) Potensial listrik
d) Perbedaan tekanan. Osmosis adalah proses difusi dari air yang disebabkan oleh perbedaan
konsentrasi. Difusi air terjadi pada daerah dengan konsentrasi zat terlarut yang rendah ke daerah
dengan konsentrasi zat terlarut yang tinggi. Perpindahan zat terlarut melalui sebuah membran sel
yang melawan perbedaan konsentrasi dan atau muatan listrik disebut transportasi aktif.
Transportasi aktif berbeda dengan transportasi pasif karena memerlukan energi dalam bentuk
adenosin trifosfat (ATP). Salah satu contonya adalah transportasi pompa kalium dan natrium.
Natrium tidak berperan penting dalam perpindahan air di dalam bagian plasma dan bagian cairan
interstisial karena konsentrasi natrium hampir sama pada kedua 5
bagian itu. Distribusi air dalam kedua bagian itu diatur oleh tekanan hidrostatik yang dihasilkan
oleh darah kapiler, terutama akibat oleh pemompaan oleh jantung dan tekanan osmotik koloid
yang terutama disebabkan oleh albumin serum. Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang
interstisial disebut ultrafilterisasi. Contoh lain proses filterisasi adalah pada glomerolus ginjal.
Meskipun keadaan di atas merupakan proses pertukaran dan pergantian yang terus menerus
namun komposisi dan volume cairan relatif stabil, suatu keadaan yang disebut keseimbangan
dinamis atau homeostatis
(http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html)
4. Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah
Kerusakan pertukaran gas : keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan jalanya gas
(O2 dan CO2) yang actual (atau dapat mengalami potensial) antara alveoli paru-paru dan system
vaskuler
(Carpenito , 2001 : 327)
5. Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi.
Kurang pengetahuan suatu keadaan di mana sorang individu atau kelompok mengalami
defisiensi pengetahuan kognitif atau ketrampilan ketrampilan psikomotor berkenaan dengan
kondisi atau rencana pengobatan.
(Carpenito, 2001 : 223)
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit.
Kerusakan integritas jaringan : keadaan seorang individu mengalami atau beresiko untuk
mengalami kerusakan integumen, kornea, atau jaringan membran mukosa
(Cartpenito, 2001 : 299)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan dari pembahasan maka dapat di simpulkan hal-hal sebagai berikut :
Masalah keperawatan yang muncul pada kasus GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN
ABSESS FEMUR DEXTRA PADA TnT adalah Nyeri berhubungan dengan regangan dan
distorsi abses (kerusakanjaringan), gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi
tubuh (gangguan neuromuskular), resiko nutrisi kurang dari kebutuhan ubuh berhubungan
dengan anoreksia.
1.
Pada abses femur dextra tidak semua memperlihatkan gejala yang sesuai dengan teori
2.
Prinsip pengelolaan pasien dengan abses femur dextra adalah perawatan umum yang
berorentasikan pada kebutuhan pasien.
3.
Di dalam kesembuhan pasien ternyata keluarga mempunyai peran yang sangat besar, bila
keluarga di ikut sertakan maka klien akan terlindungi dengan adanya orang terdekat klien
kooperatif dan semangat dari pasien yang ingin sembuh merupakan faktor pendukung sedangkan
kurangnya pengetahuan klien merupakan faktor penghambat dalam pengelolaan kasus
B. Saran
Berdasarkan hasil saran dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.
Tenaga kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan permasalahan yang
dikeluhkan oleh pasien dengan mengunakan sistem pendokumentasian yang sistematis
2. Untuk mempercepat kesembuhan klien, peran keluarga sangat penting maka keluarga perlu di
ikut sertakan dalam perawatan dan pengobatan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L,J, 2001, Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Klinik (terjemahan), Edisi 3, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan Dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien (terjemahan), edisi 3, EGC, Jakarta
http://imadeharyoga.com (diakses 30 juni 2010)
http://www.surabayapost.co.id (diakses 30 juni 2010)
http://lensaaskep.blog.com/kebutuhan-cairan-dan-elektrolit.html(diakses 30 juni 2010)
http://ruangkesehatan.blog.com/20%abses (diakses 30 juni 2010)
Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit (terjemahan),
Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
Smeltzer, S.C, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (terjemahan), Edisi 8, Volume 2, EGC,
Jakarta.
S. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1998, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
Underwood, J.C.E, 1999, Buku Ajar Ilmu Bedah (terjemahan), Edisi 4, EGC, Jakarta.
Pengertian
: Pemberian obat / cairan dengan cara dimasukan langsung ke dalam pembuluh darah vena.
Tujuan
: Pasien yang mendapatkan obat yang diberikan secara intra vena (IV)
eralatan
rosedur pelaksanaan
A. Tahap pra interaksi
1. Melakukan derifikasi data sebelumnya bisa ada
2. Mencuci tangan
3. Menempatakan alat didekat pasien dengan benar
B. Tahap orientasi
1. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga / klien
3. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan
C. Tahap kerja
1. Mengatur posisi pasien dan pilih vena dari arah distal
2. Memasang perlak dan alasnya
3. Membebaskan daerah yang akan diinjeksi
4. Meletakan tourniquel 5 cm proksimal yang akan ditusuk
5. Memakai hand schon
6. Membersihkan kulit dengan kapas alkohol ( melingkar dari arah dalam ke arah luar ) biarkan
kering
7. Mempertahankan vena pada posisi stabil
8. Memegang spuit dengan 300
9. Menusuk vena dengan kemiringan 300 dan lubang jarum menghadap ke atas
10. Melakukan aspirasi dan pastikan darah masuk spuit
11. Membuka tourniquet
12. Memasukan obat secara perlahan
13. Mencabut spuit sambil menekan daerah tusukan dengan kapas
14. Menutup daerah tusukan dengan plester luka
15. Membuang spuit ke dalam bengkok
D. Tahap terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
3. Berpamitan dengan klien
4. Membereskan alat - alat
5. Mencuci tangan
Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan.
Pokok Bahasan
Sasaran
: Tn. T
Tempat
: Ruang Melati
Waktu
: 15 menit
Hari / tanggal
Lembar balik
Leaflet
D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
E. Evaluasi
1. Apakah pengetian teknik distraksi dan relasasi ?
2. Apakah manfaat teknik disraksi dan relaksasi ?
3. Bagaimana cara melakukan teknik distraksi dan relaksasi ?
F. Sumber
Asosiasi institusi pendidikan III keperawatan Jawa Tengah, 2006, Standart Operasional Prosdur.
G. KBM
Kegiatan Belajar Mengajar
Mahasiswa
Tn. T dan Keluarga
Pembukaan 3menit 1. Mengucapkan salam
Menjawab salam
No Kegiatan
1
Waktu
2. memperkenalkan diri
Memperhatikan
3. Menjelaskan tujuan
Mendengarkan
4. Mengingatkan kontak
2
Isi
10menit
Menjelaskan
pasien
tentang
meperhatikan
keadaan
Menyetujui
Mendengarkan
dan
teknikmemperhatikan
distraksi relaksasi
Menjelaskan
dan
Mendengarkan
dan
manfaatmemperhatikan
Mendengarkan
Mendengarkan
dan
menjelaskan
3
Penutup
2menit
prosedur
Pasien menjawab
Menjawab
hasil Mejawab salam
penyuluhan
Mengucapkan terima kasih
Menucapkan salam penutup
MATERI
b.
Meminta pasien memfokuskan pikiran pasien pada kedua kaknya untuk diluruskan, kendorkan
seluruh otot-otot kakinya, perintahkan pasien unuk merasakan relaksasi kedua kakinya.
c.
d.
Meminta pasien untuk memindahkan pikirannya pada keduanya tangan pasien, kendorkan otototot kedua tangannya, meminta pasien untuk melakukan relaksasi keduanya
e.
Memindahkan fokus pkiran pasien pada bagian tubuhnya meminta pasien ke otot bahu, meminta
pasien untuk melakukan relaksasi otot keduanya
f.
g.
Eminta pasien untuk memfokuskan pikiran pada masukannya udara lewat jalan nafas
h.
L KASUS
LEMBAR REVISI
NAMA
HUDA NASTAIN
NIM
P1.74.20.4.07.225
Hari
/tanngal
:
Konsultasi
Keterangan revisi
Tanda
Tangan