OLEH:
KELOMPOK V
NUR NAAFILAH NURDIN
(10400113116)
SRY WAHYUNI
(10400113110)
(10400113072)
(10400113060)
ERNA
(10400113113)
NURJANNI
(10400113058)
ANDYS GUNAWAN
(10400113107)
IRFAN RIFAI
(10400113082)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah. SWT yang telah memberikan kami kesehatan serta
kesempatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Perbandingan Hukum Pidana ini
dengan tepat waktu. Tak lupa pula kami mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi
junjungan kami, Nabi Muhammad. SAW.
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia. Yang
dimana, dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang unsur-unsur tindak pidana, asasasas hukum pidana, klasifikasi tindak pidana, percobaan dan penyertaan,
pertanggungjawaban pidana dan alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana.
Semoga apa yang kami paparkan dalam makalah ini dapat bermanfaat banyak
terhadap para pembaca.
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..
ii
BAB I
PENDAHULUAN ............. 1
BAB II
PEMBAHASAN 2
A.
B.
C.
D.
E.
F.
2
5
8
11
13
16
BAB III
PENUTUP .
21
A. Kesimupulan .. 21
B. Kritik & Saran 21
Daftar Pustaka 22
BAB I
PENDAHULUAN
Istiah Hukum Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk
pada sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di Indonesia. Hukum Indonesia
adalah hukum, sistem norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain
yang juga populer digunakan, Hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia, semua
hukum yang dipositifkan atau yang sedang berlaku di Indonesia. Membicarakan Sistem
Hukum Indonesia berarti membahas hukum secara sistematik yang beraku di Indonesia.
Secara sistematik berarti hukum dilihat sebagai suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sistem
atau elemen-elemen yang berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi, serta saling memperkuat
atau memperlemah antara satu dengan yag lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sebagai suatu sistem, Hukum indonesia terdiri atas sub-subsistem atau elemen-elemen
hukum yang beraneka, antara lain Negara Hukum Tata (yang bagian-bagiannya terdiri dari
hukum tata negara dalam arti sempit dan hukum tata pemerintahan) hukum perdata (yang
bagian-bagiannya terdiri atas hukum perdata dalam arti sempit,hukum acara perdata dan
hukum dagang atau hukum bisnis), hukum pidana(yang bagian-bagiannya terdiri dari hukum
pidana umum, hukum pidana tentara, hukum pidana ekonomi serta hukum acara pidana) serta
hukum internasional (yang terdiri atas hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional).
Dengan ilustrasi tersebut di atas, ternyata banyak sekali dimensi aturan hidup yang
berlaku di Indonesia. Ilustrasi tersebut belum mencakup semua dimensi hukum yang ada dan
berlaku, karena masih banyak lagi elemen hukum yang belum tercantumkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perbuatan orang
Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281
KUHP sifat openbaar atau dimuka umum
b. Unsur Subyektif
Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
Perbuatan (manusia)
Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri
yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418
KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang
menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.
Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang
penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan
terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak
mungkin diterapkan pasal ini. Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan,
memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
Keadaan Tambahan yang Memberatkan Pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat;
ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat
dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Unsur Melawan Hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan
hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang
disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung
sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam
dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila
perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap
ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam
praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun
dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang
semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan
Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur
tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;
Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsurunsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
B.
Asas Teritorial
Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : Ketentuan pidana dalam perundangundangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia.
Perluasan dari asas teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal
atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas,
tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila
terjadi suatu perbuatan pidana.
2.
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang
berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri
utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja,
selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan
sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu
perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
4.
Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan
C.
itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini
mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa
menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-undang adalah
perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan
dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan
perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.
3.
delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.
4.
disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan
maka delik itu tidak dapat dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat
dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.
5.
sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu
delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat
tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.
6.
perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan
delik commisionis.
Suatu
perbuatan
yang
diharuskan
oleh
undang-undang disbut
delik ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan
tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis. Sementara delik commisionis per
ommisionem commissa adalah delik yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun
tidak berbuat sesuatu.
7.
perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan
atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang
meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat
dan berlangsung terus menerus.
8.
politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara
dan juga hak-hak warga Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delikdelik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah
delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain
bahwa delik ini seolah-olah Nampak sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu
merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.
9.
sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah
delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat
memperberat atau mengurangi ancaman pidanya.
D.
1.
2.
3.
2.
Penyertaan
Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang pembuat, tapi kadang-
kadang dapat juga oleh beberapa orang. Jika beberapa orang tersangkut di dalam
terwujudnya suatu tindakan, maka disitu dapat kita lihat adanya kerjasama. Juga di
dalam mewujudkan suatu tindak pidana kadang-kadang perlu ada pembagian pekerjaan
diantara orang itu.
Kata deelneming, berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waku seorang
lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan
hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidananya hanya ada
seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Disamping pelaku ada seorang atau
beberapa orang lain yang turut serta.
Adapun dapatnya perbuatan seseorang diaggap terlibat bersama perserta lainnya
dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:
1.
E.
Pertanggungjawaban Pidana
Setiap hukum modern sepatutnya dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan
Menurut Hakristuti Hakrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang
dipandang 'tidak baik' atau 'bahkan buruk' dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat
ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak
dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. Sebaliknya, sekali perbuatan ditetapkan sebagai
tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana
yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana
yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas 'kesepakatan menolak' suatu perbuatan tertentu.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena
perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang.
Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada
tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum
pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara
subjektuf terhadap pembuatnya. Pikiran ini yang mendasari pasal 34 rancangan KUHP.
Cara perumusan tindak pidana juga berpengaruh terhadap pertanggungjawaban
pembuatnya. Berkaitan dengan hal ini Clarkson mengatakan, criminal liability is imposef
upon blameworthy actor whose conduct has caused a forbidden harm. Criminal liability is
imposed upon a blameworthy actor whose conduct constitutes the forbidden harm. Dengan
demikian, hakikat celaan terhadap pembuat, juga dipengaruhi oleh perumusan perbuatan yang
ditetapkan sebagai tindak pidana.
Sekalipun Jefferson mengatakan, criminal responbility is largely founded on moral
culpability, yaitu pertanggungjawaban pidana umum bersumber dari pertanggungjawaban
moral, tetapi selalu demikian keadaannya. Tidak selalu pertanggungjawaban pidana
mempunyai hubungan dengan pertanggungjawaban moral. Menurut Arthur and Shaw, legal
guilt
are
not
exactly
identical
with
those
required
for
moral
responbility.
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dalam hukum pidana tidak selalu identik dengan
pertanggungjawaban moral.
F.
2.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang
ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh
institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan
memberlakukan hukum, yaitu badan legislatif. Dengan demikian, hukum di Indonesia
dibentuk lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (dalam bentuk ketetapan
MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan atau pemerintah sesuai dengan kapasits dan
jangkauan yang ingin dicapai oleh hukum tersebut.
B.
sekalian. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
memberikan kesempatan kepada para pembaca kiranya dapat memberikan kami kritik serta
saran yang membangun, agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi dikemudian
hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ilham Basri, S.H., M.Pd., 2005, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi
Hukum, Edisi Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarsono, Drs., S.H., M.Si, 2003, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Edisi Pertama, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Adami Chazawi, Drs., S.H, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan & Penyertaan,
Edisi Pertama, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.tenagasosial.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html
https://masalahukum.wordpress.com/2013/09/01/asas-asas-dalam-hukum-pidana/
http://arhamkadir.blogspot.com/2013/04/delik-tindak-pidana.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2123098-pengertian-pokok-pemikiran-tentangpertanggung/#ixzz1pvFv5IHJ