Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KELOMPOK

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA


MATERI: SISTEM HUKUM INDONESIA

OLEH:
KELOMPOK V
NUR NAAFILAH NURDIN

(10400113116)

SRY WAHYUNI

(10400113110)

FITRI FUJI ASTUTI

(10400113072)

NUNUQ PARWATI NUR

(10400113060)

ERNA

(10400113113)

NURJANNI

(10400113058)

ANDYS GUNAWAN

(10400113107)

IRFAN RIFAI

(10400113082)

PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
TAHUN AKADEMIK 2014/2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah. SWT yang telah memberikan kami kesehatan serta
kesempatan sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Perbandingan Hukum Pidana ini
dengan tepat waktu. Tak lupa pula kami mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi
junjungan kami, Nabi Muhammad. SAW.
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai Sistem Hukum Indonesia. Yang
dimana, dalam makalah ini kami akan memaparkan tentang unsur-unsur tindak pidana, asasasas hukum pidana, klasifikasi tindak pidana, percobaan dan penyertaan,
pertanggungjawaban pidana dan alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana.
Semoga apa yang kami paparkan dalam makalah ini dapat bermanfaat banyak
terhadap para pembaca.

Makassar, 19 Maret 2015

PENYUSUN

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..

Daftar Isi ...

ii

BAB I
PENDAHULUAN ............. 1
BAB II
PEMBAHASAN 2
A.
B.
C.
D.
E.
F.

Unsur-Unsur Tindak Pidana ..


Asas-Asas Hukum Pidana ..
Klasifikasi Tindak Pidana ..
Percobaan dan Penyertaan .
Pertanggungjawaban Pidana ..
Alasan-Alasan Pengurangan atau Penghapusan Pidana

2
5
8
11
13
16

BAB III
PENUTUP .

21

A. Kesimupulan .. 21
B. Kritik & Saran 21
Daftar Pustaka 22

BAB I
PENDAHULUAN

Istiah Hukum Indonesia sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjuk
pada sistem norma yang berlaku dan atau diberlakukan di Indonesia. Hukum Indonesia
adalah hukum, sistem norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain
yang juga populer digunakan, Hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia, semua
hukum yang dipositifkan atau yang sedang berlaku di Indonesia. Membicarakan Sistem
Hukum Indonesia berarti membahas hukum secara sistematik yang beraku di Indonesia.
Secara sistematik berarti hukum dilihat sebagai suatu kesatuan, yang unsur-unsur, sub-sistem
atau elemen-elemen yang berkaitan, saling pengaruh mempengaruhi, serta saling memperkuat
atau memperlemah antara satu dengan yag lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sebagai suatu sistem, Hukum indonesia terdiri atas sub-subsistem atau elemen-elemen
hukum yang beraneka, antara lain Negara Hukum Tata (yang bagian-bagiannya terdiri dari
hukum tata negara dalam arti sempit dan hukum tata pemerintahan) hukum perdata (yang
bagian-bagiannya terdiri atas hukum perdata dalam arti sempit,hukum acara perdata dan
hukum dagang atau hukum bisnis), hukum pidana(yang bagian-bagiannya terdiri dari hukum
pidana umum, hukum pidana tentara, hukum pidana ekonomi serta hukum acara pidana) serta
hukum internasional (yang terdiri atas hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional).
Dengan ilustrasi tersebut di atas, ternyata banyak sekali dimensi aturan hidup yang
berlaku di Indonesia. Ilustrasi tersebut belum mencakup semua dimensi hukum yang ada dan
berlaku, karena masih banyak lagi elemen hukum yang belum tercantumkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Unsur-Unsur Tindak Pidana


Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak
pidana. Sedangkan menurut Moeljatno Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam
peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang
menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari
perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya
saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana jika dilanggar.
Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :
Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan).
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
Melawan hukum (onrechtmatig)
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana
(strafbaar feit).
a. Unsur Obyektif :

Perbuatan orang

Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281
KUHP sifat openbaar atau dimuka umum

b. Unsur Subyektif

Orang yang mampu bertanggung jawab

Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan
Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan

mana perbuatan itu dilakukan.


Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :

Perbuatan (manusia)

Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)

Bersifat melawan hukum (syarat materiil)


Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :

Kelakuan dan akibat

Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
Unsur subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri

yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418
KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang
menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut.
Unsur obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang
penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan
terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak

mungkin diterapkan pasal ini. Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan,
memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
Keadaan Tambahan yang Memberatkan Pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara
paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat;
ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat
dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Unsur Melawan Hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan
hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang
disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan.
Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung
sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam
dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila
perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap
ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362
KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun
permasalahan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam
praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun
dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang
semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan

pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan


peraturan hukum.
Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :

Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;

Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak


pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh
doktrin maupun yurisprudensi;

Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk


menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan;

Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa
terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur
tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;

Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan


secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;

Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsurunsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya
karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.

B.

Asas-Asas Hukum Pidana


Asas-asas Hukum Pidana Menurut Tempat:
1.

Asas Teritorial

Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu
dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : Ketentuan pidana dalam perundangundangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana
di Indonesia.
Perluasan dari asas teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di
luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal
atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas,
tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila
terjadi suatu perbuatan pidana.
2.

Asas Personal (Nasionalitas Aktif)


Yakni apabila warganegara Indonesia melakukan kejahatan meskipun terjadi di luar

Indonesia, pelakunya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, apabila pelaku


kejahatan yang hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia sedangkan perbuatan
pidana yang dilakukan warga negara Indonesia di negara asing yang telah menghapus
hukuman mati, maka hukuman mati tidak dapat dikenakan pada pelaku kejahatan itu,
hal ini diatur dalam pasal 6 KUHP.
3.

Asas Perlindungan (Nasionalitas Pasif)


Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang

berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri


utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja,
selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan
sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu
perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;

3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan
Tolak pangkal pemikiran dari asas perlindungan adalah bahwa setiap negara yang
berdaulat wajib melindungi kepentingan hukumnya atau kepentingan nasionalnya. Ciri
utamanya adalah Subjeknya berupa setiap orang tidak terbatas pada warga negara saja,
selain itu tidak tergantung pada tempat, ia merupakan tindakan-tindakan yang dirasakan
sangat merugikan kepentingan nasional indonesia yang karenanya harus dilindungi.
Kepentingan nasional tersebut ialah:
1. Keselamatan kepala/wakil Negara RI, keutuhan dan keamanan negara serta
pemerintah yang sah, keamanan penyerahan barang, angkatan perang RI pada waktu
perang, keamanan Martabat kepala negara RI;
2. Keamanan ideologi negara, pancasila dan haluan Negara;
3. Keamanan perekonomian;
4. Keamanan uang Negara, nilai-nilai dari surat-surat yang dikeluarkan RI;
5. Keamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan.
4.

Asas Universal
Asas universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan

perbuatan pidana dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar


wilayah Negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Asas ini melihat hukum
pidanan berlaku umum, melampaui batas ruang wilayah dan orang, yang dilindungi
disini ialah kepentingan dunia. Jenis kejahatan yang dicantumkan pidanan menurut asas
ini sangat berbahaya tidak hanya dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga
kepentingan dunia. Secara universal kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas.

Asas-asas Hukum Pidana Menurut Waktu


1. Asas Legalitas
Secara hukum asas legaliatas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: Tiada suatu
perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundangundangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
Dalam bahasa Latin: Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali, yang
dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: Tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya. Sering juga dipakai istilah
Latin: Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: Tidak ada delik
tanpa ketentuan yang tegas.
Moelyatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
2. Asas Transitoir
Adalah asas yang menentukan berlakunya suatu aturan hukum pidana dalam hal
terjadi atau ada perubahan undang-undang.
3. Asas Retroaktif
Asas retroaktif ialah suatu asas hukum dapat diberlakukan surut. Artinya hukum
yang baru dibuat dapat diberlakukan untuk perbuatan pidana yang terjadi pada masa
lalu sepanjang hukum tersebut mengatur perbuatan tersebut, misalnya pada pelanggaran
HAM berat.

C.

Klasifikasi Tindak Pidana


Hukum pidana mengenal jenis-jenis delik atau tindak pidana yang dapat dibedakan

menurut pembagian delik tertentu, sebagaimna tersebut di bawah ini.


1. Delik Kejahatan (Misdrijiven) dan Delik Pelanggaran (Overtredingen)
Delik kejahatan dan delik pelanggaran dikenal dalam rumusan pasal-pasal KUHP
Indonesia yang berlaku sampai sekarang ini. Akan tetapi, pembentuk undang-undang tidak
menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan delik kejahatan dan delik pelanggaran,
juga tidak ada penjelasan mengenai syarat-syarat yang membedakan antara delik kejahatan
dengan delik pelanggaran.Secara doktrinal apa yang dimaksud dengan delik kejahatan adalah
perbuatan-perbuatan yang sudah dipandang seharusnya dipidana karena bertentangan dengan
keadilan, meskipun perbuatan itu belum diatur dalam undang-undang. Delik kejahatan ini
sering disebut mala per se atau delik hukum. Sedangkan delik pelanggaran adalah perbutanperbuatan itu barulah diketahui sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang.
Delik pelanggaran ini sering disebut sebagaib mala quia prohibiaatau delik undang-undang,
artinya perbuatan itu batru dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undng-undang.
2.

Delik Formil (formeel Delict) dan Delik Materil (Materiil Delict)


Delik formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai dilakukan dan perbuatan

itu mencocoki rumusan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Delik formil ini
mensyaratkan suatu perbuatan yang dilarang atau diharuskan selesai dilakukan tanpa
menyebut akibatnya. Atau dengan kata lain yang dilarang undang-undang adalah
perbuatannya. Sementara delik materil adalah suatu akibat yang dilarang yang ditimbulkan
dari suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan yang dilakukan bukan menjadi soal. Atau dengan
perkataan lain yang dilarang dalam delik materil adalah akibatnya.
3.

Delik Kesengajaan (Dolus) dan Delik Kealpaan (culpa)


Delik dolus adalah suatu delik yang dilakukan karena kesengajaan sementara

delik culpa adalah suatu delik yang dilakukan karena kesalahan atau kealpaan.
4.

Delik Aduan (Klacht Delicten) dan Delik Umum (Gewone Delicten)


Delik aduan adalah suatu delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau

disyaratkan adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, artinya apabila tidak ada aduan
maka delik itu tidak dapat dituntut. Sedangkan delik umum adalah suatu delik yang dapat
dituntut tanpa membutuhkan adanya pengaduan.

5.

Delik Umum (Delicta Commuia) dan Delik Khusus (Delicta Propria)


Delik umum adalah suatu delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Delik umum ini

sering disebut gemene delicten atau algemene delicten. Sementara delik khusus adalah suatu
delik yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas atau sifat-sifat
tertentu, pegawai negeri atau anggota militer.
6.

Delik Commisions, Ommisionis dan Commisionis per Ommisionem Commissa


Delik commisionis adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Apabila

perbuatan yang dilarang itu dilanggar dengan perbuatan secara aktif berarti melakukan
delik commisionis.

Suatu

perbuatan

yang

diharuskan

oleh

undang-undang disbut

delik ommisionis apabila perbuatan yang diharuskan atau diperintahkan itu dilanggar dengan
tidak berbuat berarti melakukan delikommisionis. Sementara delik commisionis per
ommisionem commissa adalah delik yang dapat diwujudkan baik berbuat sesuatu ataupun
tidak berbuat sesuatu.
7.

Delik Berdiri Sendiri dan Delik Berlanjut


Delik berdiri sendiri adalah delik yang hanya dilakukan sekali perbuatan saja, artinya

perbuatan yang terlarang dan diancam pidana oleh undang-undang telah selesai dilakukan
atau telah selesai menimbulkan suatu akibat. Sementara deli berlanjut adalah delik yang
meliputi beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya saling berhubungan erat
dan berlangsung terus menerus.
8.

Delik Politik Murni dan Delik Politik Campuran


Menurut Konfrensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan delik

politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun fungsi-fungsi Negara
dan juga hak-hak warga Negara yang bersumber dari situ. Delik politik murni adalah delikdelik yang ditujukan untuk kepentingan politik. Sementara delik politik campuran adalah
delik-delik yang mempunyai sifat setengah politik dan setengah umum. Atau dengan kata lain
bahwa delik ini seolah-olah Nampak sebagai delik umum , tetapi sebenarnya delik itu
merupakan tujuan politik , atau sebaliknya.
9.

Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi


Delik biasa (eenvoudige delicten) adalah semua delik yang berbentuk pokok atau

sederhana tanpa dengan pemberatan ancaman pidana. Sedangkan delik berkualifikasi adalah

delik yang berbentuk khusus karena adanya keadaan-keadaan tertentu yang dapat
memperberat atau mengurangi ancaman pidanya.
D.

Percobaan dan Penyertaan


1. Percobaan
Dari segi tata bahasa istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau
melakukan sesuatu dalam keadaan diuji (Poerwodarminto, 1976:209). Dari apa yang
diterangkan diatas, kiranya ada dua arti percobaan.
Pertama, tentang apa yang dimaksud dengan usaha hendak berbuat, ialah orang
telah mulai berbuat (untuk mencapai suau tujuan) yang mana perbuatan itu tidak
menjadi selesai. Syaratnya ialah perbuatan telah dimulai, artinya tidaklah cukup sekedar
kehendak (alam batin) semata, misalnya hendak menebang pohon, namun orang itu
telah mulai melakukan perbuatan menebang, tapi tidak selesai sampai pohon tumbang.
Misalnya baru tiga atau empat kali mengampak, kampaknya patah, atau kepergok si
pemilik pohon kemudian dia melarikan diri, dan terhentilah perbuatan menebang
pohon. Wujud menyunkan kapak tiga atau empat kali adalah merupakan percobaan dari
perbuatan menebang pohon.
Kedua, tentang apa yang dimaksud dengan malukan sesuatu dalam keadaan
diuji adalah pengertian yang lebih spesifik ialah berupa melakukan perbuatan atau
rangkaikan perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu
pengetahuan tertentu, misalnya percobaan mengembangkan suatu jenis udang laut di air
tawar, atau percobaan obat tertentu pada kera dan sebagainya. Pengertian ini lebih jelas
misalnya pada kata kebun percobaan, kolam percobaan, atau kelinci percobaan.
Tentang syarat untuk dapat di pidananya pembuat percobaan kejahatan
dirumuskan dalam pasal 53 ayat (1) yakni: Poging tot misdrijf, wanneer het
voornemen des daders zich door een begin van uitvoering heeft geopenbaar en de
uitvoering allen ten gevolge van omstandigheden van zijneen wil onafhankelijk, niet is
voltooid. Oleh BPHN diterjemahkan: Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karna kehendaknya sendiri. Jadi ada
3 syarat yang harus dipenuhi, ialah:

1.

Adanya Niat (Voornemen).


Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat disini diartika sama dengan kesengajaan
(opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalah hal kesengajaan yang mana, disini telah
menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun ada umumnya para pakar hukum
berpndapt luas, ialah terhada seua bentuk kesengajaan (Hanindyopoetro, 1967:4).

2.

Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin van Uitvoering)


Mengenai semata-mata niat, sejahat apapun niat, tidaklah mempunyai arti apa-apa
dalam hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap batin yang belum
ada apa-apanya, murni masih dalam batin seseorang, sikap batin mana boleh
sembarang apa yang dimaksudnya, tanpa dimintai pertanggungjawaban, dan tanpa
ada akibat hukum apa pun. Barulah mempunya arti menurut hukum pidana,
apabila niat itu telah diwujudkan dalam suatu tingkah laku tertentu, dan tingkah
laku tertentu ini oeh pasal 53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan
pelaksanaan (begin van uitvoering).

3.

Arti Pelaksanaan Tidak Selesai Bukan Sebab Dari Kehendaknya Sendiri


Hal ini pun memiliki ukuran atau indikator yang tidak sama antara tidak pidana
formil dan tinak pidana materiil. Pada tindak pidana formil, pelaksanaan yang
tidak selesai artinya ialah perbuatan itu telah dimulai laksanakan yang pada saat
atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi
syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi. Pada tindak pidana materiil bisa
juga pelaksanaannya terhenti seperti tindak pidana formil, dan tentu akibat
terlarang tidak timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial. Misalnya
perbuatan menembak, dia telah menarik pelatuk senapan, tetapi tidak meledak.
Perbuatan menembak sempurna ialah bila memenuhi syarat: menarik pelatuk
senapan dan senapan meledak.

2.

Penyertaan
Suatu tindak pidana tidak selalu dilakukan oleh seorang pembuat, tapi kadang-

kadang dapat juga oleh beberapa orang. Jika beberapa orang tersangkut di dalam
terwujudnya suatu tindakan, maka disitu dapat kita lihat adanya kerjasama. Juga di

dalam mewujudkan suatu tindak pidana kadang-kadang perlu ada pembagian pekerjaan
diantara orang itu.
Kata deelneming, berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waku seorang
lain melakukan suatu tindak pidana. Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan
hukum pidana orang berkesimpulan, bahwa dalam tiap tindak pidananya hanya ada
seorang pelaku yang akan kena hukuman pidana. Disamping pelaku ada seorang atau
beberapa orang lain yang turut serta.
Adapun dapatnya perbuatan seseorang diaggap terlibat bersama perserta lainnya
dalam mewujudkan tindak pidana, disyaratkan sebagai berikut:
1.

Dari sudut subjektif; ada dua syaratnya, yaitu:


a. Adanya hubungan batin(kesengajaan) dengn tindak pidana yang hendak
diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahan pada terwujudnya
tindak pidana. Disini, sedikit atau banyak ada kepentingan untuk terwujudnya
tindak pidana;
b. Adanya hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya
dengan peserta lainnya, dan bahkan dengan apa yang diperbuat perserta
lainnya.
2. Dari sudut objektif, ialah bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan
terwujudnya tindak pidana, atau dengan kata lain wujud perbuatan orang itu
secara objekif ada perannya atau pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap
terwujudnya tindak pidana.

E.

Pertanggungjawaban Pidana
Setiap hukum modern sepatutnya dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan

tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana.


Dikatakan 'dengan berbagai cara' karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana
suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh
baik dalam konsep maupun implementasinya.

Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban


pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia,
sebagaimana civil law system lainnya, UU justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, yang diatur adalah
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden)
yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan
di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence)
ataupun alasan umum pembelaan peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of
liability).
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus
pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak
memiliki 'defence' ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan pidana, hal ini
seorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika
tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai 'defence' ketika melakukan tindak
pidana itu. Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari
ketentuan pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.
Hart mengatakan, If a legal system did not provide facilities allowing individual to
give legal effect to their choices in such areas of conduct, it would fail to make one of the
law's most distinctive and valuable contributions to social life. Dengan demikian hukum
dipandang gagal memberikan masukan berharga pada kehidupan sosial, jika tidak membuka
kesempatan bagi pembuat delik untuk menjelaskan mengapa dirinya tidak dapat menghindari
terjadinya tindak pidana.
Pengkajiannya dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan
dalam konteks sebagai syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya
mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum
(legal consequences) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga merupakan bagian dari
aspek represif hukum pidana. It is this connection between conditioning facts and
conditioned legal consequences which is expressed in the statement about responbility.
Perumusan pertanggungjawaban dirumuskan secara positif, seperti 35, 36, 44, 45 dan 47
rancangan KUHP.

Menurut Hakristuti Hakrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang
dipandang 'tidak baik' atau 'bahkan buruk' dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat
ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak
dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. Sebaliknya, sekali perbuatan ditetapkan sebagai
tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana
yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana
yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah
ada tindak pidana yang dilakukan seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya
merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas 'kesepakatan menolak' suatu perbuatan tertentu.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena
perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang.
Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada
tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum
pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara
subjektuf terhadap pembuatnya. Pikiran ini yang mendasari pasal 34 rancangan KUHP.
Cara perumusan tindak pidana juga berpengaruh terhadap pertanggungjawaban
pembuatnya. Berkaitan dengan hal ini Clarkson mengatakan, criminal liability is imposef
upon blameworthy actor whose conduct has caused a forbidden harm. Criminal liability is
imposed upon a blameworthy actor whose conduct constitutes the forbidden harm. Dengan
demikian, hakikat celaan terhadap pembuat, juga dipengaruhi oleh perumusan perbuatan yang
ditetapkan sebagai tindak pidana.
Sekalipun Jefferson mengatakan, criminal responbility is largely founded on moral
culpability, yaitu pertanggungjawaban pidana umum bersumber dari pertanggungjawaban
moral, tetapi selalu demikian keadaannya. Tidak selalu pertanggungjawaban pidana
mempunyai hubungan dengan pertanggungjawaban moral. Menurut Arthur and Shaw, legal
guilt

are

not

exactly

identical

with

those

required

for

moral

responbility.

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan dalam hukum pidana tidak selalu identik dengan
pertanggungjawaban moral.

F.

Alasan-Alasan Pengurangan atau Penghapusan Pidana


1.

Alasan Pengurangan Pidana


KUHP mengenal dua cara alasan pengurangan pidana bersifat umum:
a. Percobaan (Pasal 53 KUHP)
Undang-undang tidak memeberikan definisi apakah yang dimaksud dengan
percobaan itu tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat
supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum.
Supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran) dapat dihukum harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan
2. Orang sudah mulai berbuat kejahatan, atau sudah ada permulaan
kejahatan.
3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, karena terhalang oleh
sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak pada kemauan penjahat
itu sendiri.
Menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu
hal, akan tetapi tidak sampai pada hala yang dituju itu, atau hendak berbuat
sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak selesai, misalnya bermaksud
membunuh orang, namun orangnya tidak mati, hendak mencuri barang tetapi
tidak sampai mengambil barang itu.
b. Pembantuan (Pasal 56 dan pasala 57 KUHP)
Dalam praktek pada umumnya orang yang membantu itu bias mendapat
hukuman 1/3 leih kurang dari hukuman yang dijatuhkan pada penjahat yang
dibantunya, akan tetapi ada kemungkinan bahwa dengan melihat duduk
pekaranya hakim menjatuhkan hukuman lebih berat dari pada orang yang
dibantunya. Contoh A membantu B mencuri di rumah C. A menjaga diluar
tetapi ketahuan C, lalu A memukul C hingga mati.

Menurut pasal 56 KUHP pembantuan ada dua macam:


1. Pembantuan sebelum kejahatan dilaukan.
2. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan.
Pembantuan setelah kejahatan dilakukan tidak termasuk dalam pasal ini, tetapi
masuk pasal 480 KUHP yaitu perbuatan sekongkol atau tadah.
c. Belum cukup umur (pasal 47 KUHP)
Apabila seorang anak yang belum cukup umur melakukan suatu kejahatan
maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan:
1. Anak itu dikembalikan pada orang tuanya atau walinya dengan tidak
dijatuhi suatu hukuman apapun.
2. Anak itu dijadikan anak Negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman tetapi
diserahkan ke rumah pendidikan anak-anak nakal untuk mendapat didikan
di Negara.
3. Anak itu dijatuhi hukuman seperti biasa tetapi hukumannya dikurangi 1/3
dari hukuman yang sebenarnya.
Dengan 3 macam kemungkinan ini kepada hakim diberi kesempatan untuk
menimbang tentang kecakapan rohani terdakwa yang masih muda itu. Apabila
misalnya hakim menganggap bahwa anak itu kecakapan akalnya ternyata tidak
normal perkembangannya maka hakim mengirim kembali anak itu pada orang
tuanya. Akan tetapi apabila hakim menganggap bahwa anak yang berumur 13
atau 15 tahun itu telah berbuat suatu kejahatan dengan akal yang cukup
mampu untuk membeda-bedakan, hakim ada kesempatan untuk menjatuhkan
hukuman yang dijatuhkan tidak boleh lebih dari 2/3 maksimum hukumhukuman yang diancamkan (dikurangi 1/3 dari hukuman yang diancamkan)
Sementara alasan pengurangan pidana yang bersifat khusus terhadapat dalam
pasal 308, 341, 342 KUHP.

2.

Alasan Penghapusan Pidana

Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada


hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim
menempatan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah telah
terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapusan pidana.
Alasan-alasan penghapusan pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
tetapi tiak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan
penuntutan, alasan penghapusan pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan
bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena
adanya ketentuan undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat.
Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari Jaksa tetap ada, tidak hilang,
namun terdakwanya tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain undang-undang
tidak melarang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak
pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya penghapusan pidana. Oleh karena
Hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapusan pidana itu diterapkan kepada
tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisnya. Sedangkan dalam hal penghapusan
penuntutan, undang-undang melarang sejak awal Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan/menuntut tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan. Dalam hal
ini tidak diperlukan adanya pembuktian tentang kesalahan pelaku atau tentang
terjadinya pembuatan pidana tersebut (Hakim tidak perlu memeriksa tentang pokok
perkaranya). Oleh karena dalam putusan bebas atau putusan lepas, pokok perkaranya
sudah diperiksa oleh hakim, maka putusan itu tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP.
Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas ang sangat penting
(J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 : 57), yaitu:
1. Asas Subsidiaritas;
Ada benturan antara kepentingan hukum dengan kepentinga hukum,
keentingan hukum dengan kewajiban hukum, kewajiban hukum dengan
kewajiban hukum.
2. Asas Proporsionalitas

Ada keseimbangan anatara kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban


hukum yang dilakukan.
3. Asas culpa in causa
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang sejak semula mengambil resiko
bahwa dia akan melakukan perbuatan pidana.
Dasar atau alasan penghapusan pidana secara umum dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu alasan pembenaran dan alasan pemaafan.
1. Alasan Pembenaran
Alasan penghapuan pidana yang termasuk alasan pembenaran yang terdapat
dalam KUHP adalah:
a. Keadaan Darurat, diatur dalam Pasal 48 KUHP.
Contoh: Seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak
kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang
berenang.
b. Pembelaan Terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.
Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bias diketegorikan
sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, 2007 :
55), yaitu:
1. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan,
kesusilaan atau harta benda;
2. Serangan itu bersifat melawan hukum;
3. Pembelaan merupakan keharusan;
4. Cara pembelaan adalah patut.
c. Melaksanakan ketentuan undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP.

Contoh: Seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan


menaruh isi rumah di jalan adalah larangan, namun karena ketentuan dari
pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak
padat pidana.
d. Menjalankan perintah jabatan yang sah, diatur dalam Pasal 51 KUHP.
2. Alasan Pemaafan
Alasan penghapusan pidana yang termasuk alasan pemaafan yang terdpat
dalam KUHP adalah:
a. Tidak Mampu Bertanggungjawab, diatur dalam Pasal 44 KUHP
Dalam Pasal 44 KUHP, membedakan pertanggungjawaban dalam dua
kategori yaitu cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Yang dimaksud gangguan adalah gangguan seja lahir atau sejak remaja
tumbuh dengan normal namun dikemudian hari muncul kelainan jiwa.
Pada dasarnya cacat atau gangguan penyakit muncul pada saat perbuatan
atau tindak pidana, dan ketika perbuatan itu dilakukan ada hubungan
antara gangguan jiwanya dengn perbuatannya.
b. Daya Paksa, diatur dalam Pasal 48 KUHP.
Contoh: Sebuah kapal tenggelam, ada dua penumpang berpegang pada
papan yang sama, dimana papan tersebut hanya kuat menahan 1 orang.
Karena takut akan mati tenggelam, maka salah seorang mendorong yang
lainnya.
c. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas, diatur dalam Pasal 49 ayat
(2) KUHP.

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Norma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang

ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh
institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan
memberlakukan hukum, yaitu badan legislatif. Dengan demikian, hukum di Indonesia
dibentuk lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (dalam bentuk ketetapan
MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan atau pemerintah sesuai dengan kapasits dan
jangkauan yang ingin dicapai oleh hukum tersebut.
B.

Kritik & Saran


Demikianlah makalah ini kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca

sekalian. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
memberikan kesempatan kepada para pembaca kiranya dapat memberikan kami kritik serta
saran yang membangun, agar kami dapat membuat makalah yang lebih baik lagi dikemudian
hari.

DAFTAR PUSTAKA

Ilham Basri, S.H., M.Pd., 2005, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi
Hukum, Edisi Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarsono, Drs., S.H., M.Si, 2003, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Edisi Pertama, PT.
Rineka Cipta, Jakarta.
Adami Chazawi, Drs., S.H, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 3: Percobaan & Penyertaan,
Edisi Pertama, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
http://www.tenagasosial.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html
https://masalahukum.wordpress.com/2013/09/01/asas-asas-dalam-hukum-pidana/
http://arhamkadir.blogspot.com/2013/04/delik-tindak-pidana.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2123098-pengertian-pokok-pemikiran-tentangpertanggung/#ixzz1pvFv5IHJ

Anda mungkin juga menyukai