Anda di halaman 1dari 18

JOURNAL

Uncorrected Refractive Error and


Presbyopia among Junior High
School Teachers in Jakarta,
Indonesia
Muhammad Taufan Akbar
J510155062

Tujuan

ABSTRAK

Untuk melaporkan frekuensi pengamatan pada koreksi refraktif dan daya


akomodasi antar guru SMP di Jakarta, Indonesia, yang berpartisipasi dalam
pemeriksaan refraktif yang diselenggarakan Helen Keller International dan
program distribusi kacamata.
Metode
Sebanyak 965 guru dari 19 sekolah yang memenuhi syarat untuk skrining;
Dengan jarak visual acuilty (VA) / ketajaman visual 6 / 12-3 yang belum
dikoreksi dan guru berusia 35 tahun.
Autorefraction dan refraksi subjektif dilakukan pada guru dengan penurunan
VA. Kesalahan bias dianggap ada jika sferis - 0,75 dioptri (D), sferis
+0.25 D atau silinder -0.50 D yang dapat menghasilkan 2 baris perbaikan
VA. Presbiopia dianggap ada jika titik akhir cetak berukuran J6 ditingkatkan
dengan 1 optotype dengan penggunaan lensa +1.00 D.

Hasil
Dari mereka
setelah diskrining, 76,29,0% dari guru memiliki
kesalahan pembiasan dan 57,17,6% memiliki refraksi yang sudah
dikoreksi.
Secara keseluruhan jarak tidak dikoreksi kesalahan pembiasan yang
berpengaruh yaitu masing-masing 44,23,7% dan 36,03,6%.
Presbiopia yang tidak dikoreksi berpengaruh yaitu masing-masing
66,48,1% dan 41,0 6,6%.
Kesimpulan

Seperti didefinisikan dalam program ini, kesalahan bias dan akomodatif


merupakan hal yang umum dikalangan guru di Jakarta.

PENDAHULUAN
Uncorrected refractive error (URE) didefinisikan sebagai penurunan visual
acuity (VA) yang dapat ditingkatkan oleh koreksi refraksi atau pinhole.1
URE merupakan penyebab signifikan tunanetra di seluruh dunia. Pada tahun
2004, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 153 juta
orang di seluruh dunia memiliki URE1 dan hilangnya produktivitas global yang
terkait dengan URE adalah antara $ 121 dan 427 miliar.2
Presbiopia adalah hilangnya daya akomodasi berkaitan dengan usia lensa kristal
mata yang menghasilkan ketidakmampuan untuk fokus pada objek jarak dekat.
Setelah sekitar 50 tahun, hampir semua individu akan mengalami beberapa
derajat presbyopia.3
WHO telah mengakui bahwa presbiopia yang tidak dikoreksi akan berdampak
pada kualitas hidup dan produktivitas ekonomi yang buruk, tapi penelitian
lanjutan lebik baik diperlukan untuk mengetahui terpenuhinya koreksi
presbiopia secara global.1,2

BAHAN DAN METODE


Program Kesehatan Mata HKI di Jakarta, Indonesia, terdiri dari
program berbasis sekolah yang mencakup skrining VA, refraksi,
dan penyediaan kacamata gratis untuk siswa dan guru yang
membutuhkan.
Ada 321 SMP yang dikelola pemerintah sekolah (kelas 7-9) di
Jakarta pada saat kita studi. Sekolah yang dipilih untuk partisipasi
masing-masing lima kabupaten di Jakarta menggunakan kriteria
berikut :
(1) kualifikasi sebagai salah satu Jakarta distrik sekolah termiskin
berdasarkan Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik pada)
Peta Kemiskinan
(2) tidak penerima program serupa dengan yang lain lokal atau
organisasi internasional
(3) Departemen Persetujuan pendidikan untuk bekerja di sekolahsekolah yang dipilih
(4) kesediaan sekolah untuk berpartisipasi dan komit guru dan
siswa waktu untuk pelatihan dan screening.

Sampel

19 sekolah telah disetujui oleh Departemen Pendidikan untuk berpartisipasi.


Semua guru kelas dan semua unit kesehatan dilatih oleh staf HKI tentang
prosedur screening VA dan diberi Snellen chart untuk memeriksa jarak VA
dan kartu uji baca (Jaeger) untuk memeriksa VA dekat.

Seorang guru yang telah dilatih di sekolah masing-masing dipilih dari beberapa
guru. Menggunakan grafik Snellen dan dengan jarak VA 6m diperiksa
menggunakan penerangan lampu kamar dan tidak mengenakan kacamata .

Alur Penelitian

1. Sebuah tim refractionists mengunjungi masing-masing sekolah antara 2


dan 6 minggu setelah screening selesai.

2. Guru diminta untuk membawa kacamata mereka pada hari pemeriksaan,


jika mereka memilikinya.

3. Jika seorang guru memakai kacamata, resep akan diperiksa terlebih


dahulu pada jarak jauh dan dekat.

4. Jarak VA diperiksa tanpa koreksi untuk semua subjek. Jarak VA diukur


dalam semua kasus menggunakan grafik Snellen terletak pada jarak 6m
dengan penerangan lampu kamar.

5. Subyek dengan VA yang mengalami kegagalan akan menjalani


autorefraction menggunakan Nidek ARK-30, 2005 autorefractor (Nidek
Co, Birmingham, Inggris) yang dipasang dengan dagu dan dahi pada
posisi santai dan diletakkan pada table-top agar stabil.

6. Hasil autorefraction diberikan kepada refractionist yang disempurnakan


resep dengan resep subjektif refraksi menggunakan frame percobaan dan
lensa diukur dengan jarak antar pupil . Dekat Kekuatan koreksi ditentukan
dengan menggunakan tabel. Lensa yang disarankan oleh usia dan kemudian
disempurnakan secara subyektif.

Analisis statistik
Tabel kontingensi digunakan untuk menguji frekuensi dan asosiasi
mentah. The X2 atau Fisher Tes yang tepat digunakan untuk data
kategori dan t-test
atau uji Mann-Whitney U digunakan untuk membandingkan data
kontinu, seperti yang ditunjukkan.

HASIL
Sebagian besar guru (88.8%) gagal dilakukan screening dan mereka yang
lulus secara signifikan lebih muda dari mereka yang gagal (33.9 + 6.6 vs
45.6 + 8.2 ). 275 (36,1%) gagal dalam pemeriksaan jarak dan VA dekat.
239 (31,4%) gagal dalam pemeriksaan jarak dan 248 (32,5%) gagal dalam
pemeriksaan VA dekat.

Lebih dari setengah guru (54,3%) memakai kacamata saat pemeriksaan


yang secara signifikan memiliki kemungkinan untuk gagal pada saat
screening dibandingkan yang tidak memakai kacamata (p<0.001).

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam usia, jenis kelamin,


distribusi atau skrining VA antara mereka yang memiliki data yang
lengkap atau data yang hilang. tindak lanjut tetap dilakukan untuk jarak
yang perlu koreksi (Tabel 1).

Dalam penelitian ini keseluruhan proporsi yang terpengaruh oleh


kesalahan bias adalah 44,2 + 3,7%, dan presbiopia adalah 66,4 + 8,1%.
Proporsi yang dipengaruhi oleh URE dan presbyopia yang tidak dikoreksi
masing-masing adalah 36,0 + 3,6% dan 41,0 + 6,6%, (Tabel 2).

Kesalahan bias dan daya akomodasi juga diperiksa berdasarkan usia,


dan guru yang usianya lebih tua mempunyai kemungkinan yang lebih
besar mengalami presbyopica(p = 0,004), tidak ditemukan hubungan
antara usia dan kesalahan bias (Tabel 3).

53,9% guru dengan kacamata ditemukan memiliki kesalahan refraksi,


dan 36,9% dari mereka diketahui memiliki kacamata yang sudah lama
tidak diperbaiki. Guru yang menderita presbyopi, 47,1% telah memiliki
kacamata baca dan 68,5% dari jumlah tersebut sudah diobati dengan
baik.

PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian, kesalahan bias dan presbyopia sering terjadi
pada guru-guru sekolah perkotaan di Indonesia dan sering tidak diobati.

Lebih dari 30% merasa bahwa menggunakan kacamata itu tidak nyaman
atau tidak menarik. Hasil juga menunjukkan adanya kesadaran yang
rendah kesehatan antar guru. Sebagai contoh, sekitar 10% guru percaya
bahwa kacamata bisa membuat mata seseorang lebih buruk.

Mengatasi kesalahan persepsi di intervensi masa depan dapat


meningkatkan serapan kacamata. Demikian juga, penting untuk
mendidik guru tentang perlunya pemeriksaan ulang VA di masa
depan bahkan setelah mendapatkan sepasang kacamata.

Keterbatasan Penelitian
Ada beberapa keterbatasan penelitian ini yang mungkin telah mempengaruhi
temuan kami. Pertama, refractionists mengunjungi sekolah masing-masing
hanya pada satu hari, jadi tidak ada kesempatan bagi guru yang lupa
membawa kacamatanya untuk diperiksa ulang dengan korektif lensa mereka
dan ini mungkin bias frekuensi kami perhitungan atas.

Selain itu, karena ini bukan survei prevalensi, tidak menggunakan sistematis
sampling, dan menggunakan kerangka sampel yang sempit, frekuensi
disajikan mungkin tidak digeneralisasikan untuk orang luar dari penduduk
Indonesia. Sebagai catatan, populasi sekolah yang kita pelajari itu condong
ke lingkungan perkotaan miskin.

REFERENCE
1. Resnikoff S, Pascolini D, Mariotti SP, Pokharel GP.
Global
magnitude of visual impairment caused by uncorrected
refractive errors in 2004. Bull World Health Organ 2008;
86(1):6370.
2. Smith T, Frick K, Holden B, et al. Potential lost
productivity resulting from the global burden of uncorrected
refractive error. Bull World Health Organ 2009;
87(6):431437.
3. Truscott RJ. Presbyopia. Emerging from a blur towards
an understanding of the molecular basis for this
most common eye condition. Exp Eye Res 2009;
88(2):241247.
4. Laviers HR, Omar F, Jecha H, et al. Presbyopic
spectacle
coverage, willingness to pay for near correction, and the
impact of correcting uncorrected presbyopia in adults in
Zanzibar, East Africa. Invest Ophthalmol Vis Sci 2010;
51(2):12341241.
5. Burke AG, Patel I, Munoz B, et al. Population-based
study
of presbyopia in rural Tanzania. Ophthalmology 2006;
113(5):723727.
6. Brian G, Pearce MG, Ramke J. Refractive error and
presbyopia among adults in Fiji. Ophthalmic Epidemiol
2011;18(2):7582.
7. Nirmalan PK, Krishnaiah S, Shamanna BR, et al. A
population-based assessment of presbyopia in the state of
Andhra Pradesh, south India: the Andhra Pradesh Eye

8. Marmamula S, Keeffe JE, Rao GN. Uncorrected


refractive
errors, presbyopia and spectacle coverage: results from
a
rapid assessment of refractive error survey. Ophthalmic
Epidemiol 2009;16(5):269274.
9. Sherwin JC, Keeffe JE, Kuper H, et al. Functional
presbyopia
in a rural Kenyan population: the unmet presbyopic
need. Clin Experiment Ophthalmol 2008;36(3):245251.
10. Ramke J, du Toit R, Palagyi A, et al. Correction of
refractive
error and presbyopia in Timor-Leste. Br J Ophthalmol
2007;
91(7):860866.
11. Patel I, Munoz B, Burke AG, et al. Impact of
presbyopia on
quality of life in a rural African setting. Ophthalmology
2006;113(5):728734.
12. BPS (Badan Pusat Statistik). Peta penduduk miskin
Indonesia, 2000 [Poverty map 2000]. 2004.
13. Kumah DB, Lartey SY, Amoah-Duah K. Presbyopia
among
Public Senior High School Teachers in the Kumasi
Metropolis. Ghana Med J 2011;45(1):2730.
14. Lu Q, He W, Murthy GVS, et al. Presbyopia and
nearvision
impairment in rural northern China. IOVS 2011;
52(5):23002305.
15. Owsley C, McGwin G, Scilley K, et al. Perceived

TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai