Anda di halaman 1dari 5

Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata

oleh Putu Fajar Arcana

Penyair selalu menempuh jalan sunyi dengan misi suci. Sunyilah yang
menginspirasi untuk melahirkan buah berkah bagi kedalaman kemanusiaan.
Percik permenungan yang dituliskannya adalah sari-sari dari kejujuran untuk
membangun moralitas.

Umbu Wulang Landu Paranggi (69) masih seperti dulu. Cuma dalam dua
pertemuan akhir Oktober 2012 di Denpasar, ia tampak lebih kurus. Tetapi, jelas,
riak-riak kreativitas dan simpanan energi di dalam dirinya seperti empasan
ombak Pantai Sindu, Sanur, tempat kami bertemu.

Umbu memilih Pantai Sanur bukan tanpa alasan. Cuaca malam hari di Sanur
selalu penuh misteri. Gerak pepohonan, lorong-lorong desa, derit rumpun
bambu, kunang-kunang di belukar liar, serta kerlap-kerlip bintang di kejauhan
seakan berpadu dengan gemuruh ombak sepanjang pantai. Sanur masih saja
mistis, kata penyair yang sudah lebih dari 50 tahun mengabdikan dirinya
pada puisi.

Banyak yang salah kaprah pada puisi. Puisi, tutur Umbu, bukan cuma milik para
penyair. Ia harus hidup di hati, kepala, dan lidah semua orang, termasuk para
politisi. Bahkan, tambahnya mengutip Mochtar Pabottingi, rekan sejawatnya,
menulis puisi bukan untuk menjadi penyair, melainkan membuat diri terhindar
dari sakit jiwa. Kesalahan terbesar delegasi Senayan (maksudnya: wakil
rakyat), kata Umbu, tidak ada yang paham Gurindam 12 Raja Ali Haji. Sebab
itulah dasar-dasar kecintaan, kejujuran, dan segala hal yang berhubungan
dengan pengabdian, kata Umbu.

Di tengah angin yang menderas, tiba-tiba muncul penyair Warih Wisatsana dan
Ketua Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana. Wah, saya
sudah tunggu-tunggu, saya sudah siapkan ini, sambut Umbu sambil
mengulurkan sepucuk surat kepada Supadma Rudana. Keduanya, baru bertemu
untuk pertama kali meski masing-masing sudah saling mengenal nama.

Pada masa 1960-an, Umbu dikenal dengan julukan Presiden Malioboro. Ia tidak
saja mengasuh rubrik budaya di mingguan Pelopor Yogyakarta, tetapi juga
memelopori apresiasi sastra di emperan toko Jalan Malioboro Yogyakarta.
Akademi jalanan Malioboro ini kemudian melahirkan nama-nama besar dalam
sejarah sastra Indonesia. Sebutlah murid-murid yang menonjol, seperti Emha
Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Yudistira Ardhi
Nugraha. Di situ juga ada nama-nama Agus Dermawan T dan Ebiet G Ade.

Anda dikenal sebagai pelopor dalam perkembangan sastra, sampai-sampai


jarang yang mengenal karya Anda. Kapan bikin buku?

Ah itu biarkan saja orang lain. Tugas saya sejak di Yogya sampai Bali selalu bikin
taman. Taman kreativitas untuk menemukan orang-orang yang mencintai hidup.

Anda tidak risau dalam masa kepenyairan 50 tahun lebih belum juga memiliki
sebuah antologi?

Sudah saya katakan, itu tugas orang lain. Tugas saya ya begini saja, jalani
kehidupan sebagai pencinta sunyi. Gede Prama pernah menulis, sepi yang
mengilhami, ketika dia membahas soal Nyepi di Bali. Itu rumusan yang luar
biasa, sepi bukan berarti kosong, tetapi justru penuh geriap energi dalamnya.

Menurut Umbu, keberangkatannya pada usia relatif muda dari Sumba Timur ke
Yogyakarta pada tahun 1960 untuk belajar di SMA Taman Siswa. Kata taman itu
menancap di kepala saya. Sayang saya terlambat sehingga akhirnya sekolah di
SMA Bopkri Kotabaru. Tetapi, malah di situ ketemu Ibu Lasiyah Soetanto, guru
yang tidak menggurui, katanya.

Saat-saat mantan menteri peranan wanita pertama RI itu mengajar Bahasa


Inggris, Umbu selalu menulis puisi. Ulah si pendiam yang nakal itu membuat
teman-temannya protes. Ibu tolong minta saja Umbu baca puisinya ke depan
kelas. Dan Ibu Lasiyah selalu bilang, nanti saja kalau puisinya sudah dimuat di
koran kita kritik ramai-ramai, tutur Umbu mengulang kejadian di masa-masa
awal kepenyairannya.

Mengapa Anda tidak seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Sutardji Calzoum
Bachri, Sapardi Djoko Damono, atau Rendra saja dalam menekuni dunia
kepenyairan?

Saya cuma menjalankan apa yang sudah dituliskan langit.

Maksudnya?

Semua punya peran masing-masing. Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji,
mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban. Berbahasa
Indonesia bukan sesuatu yang mudah bagi sekalangan orang Jawa dan Bali dan
orang-orang yang bukan Melayu. Karena itulah, Sumpah Pemuda itu puisi
mantra. Ia ibarat amarah suci sebuah angkatan 17 tahun kemudian terbukti
terjadi proklamasi.

Anda tadi menyinggung soal delegasi Senayan apa yang terjadi di situ dalam
kacamata Anda?

Kita sudah berjarak dengan bahasa sehingga semua menganggap rakyat itu
bodoh. Ada ungkapan penting: kediamdirian rakyat adalah pelajaran bagi
seorang raja. Kalau raja ingin tahu apa yang terjadi, dia harus turun kepada
rakyat. Penyair Hartoyo Andangjaya bilang, kita adalah rakyat, darah di tubuh
rakyat, debar sepanjang masa. Nah, mereka ini jenis yang tak tahu debar, tak
tahu sejarah disusun dari darah.

Apa yang membuat Anda begitu mencintai puisi?

Lho alfabet itu cuma terdiri atas 26 huruf saja. Tetapi, kata-kata adalah diksi
dari nyawa. Makanya, kita percaya kepada Tuhan karena kata. Soebagio
Sastrowardoyo (penyair) pernah menulis: Ini kata-kata, maka dari itu aku
bersembunyi dalam kata dan menenggelamkan diri di dalam kata. Coba
bayangkan kalau semua pejabat kita paham bahasa. Tantangan ke depan harus
tampil apa adanya, jangan sibuk soal-soal pencitraan.

Totalitas Umbu

Umbu relatif tidak dicatat sebagai penyair dalam sejarah sastra Indonesia. Karyakaryanya tidak banyak dikenal karena memang ia jarang memublikasikannya.
Tetapi, anehnya, semua seniman, setidaknya generasi 1960-an sampai 2000-an,

mengaku pernah bersentuhan dengannya. Bahkan, penyair senior sekelas Taufik


Ismail pun pernah menulis sajak berjudul Beri Daku Sumba. Ia menulis begini:
//Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu/Aneh, aku jadi ingat pada
Umbu// Penyair-penyair kenamaan, seperti Rendra, Sutardji, Sapardi, apalagi
Emha, Linus, dan Korrie, seperti haram hukumnya kalau ke Bali dan tidak
bertemu Umbu.

Emha Ainun Nadjib, sebagai murid kesayangan bahkan berbilang tahun


menunggu untuk memperkenalkan istrinya, Novia Kolopaking, kepada Umbu.
Ketika suatu hari sekitar pertengahan tahun 1990-an akhirnya bertemu, Emha
dan Novia sungkem karena menganggap Umbu sebagai orangtua yang pantas
dimintai restu atas pernikahan mereka.

Begitu banyak orang merasa harus bertemu dengan Anda. Biasanya kalau
sudah bertemu apa yang dipercakapkan?

Ya begitulah. Paling bercerita seputar kondisi kesehatan masing-masing kalau


sudah tua begini, ha-ha-ha.

Tidak bicara sastra?

Terkadang saja ada yang bawa segepok puisi.

Kalau toh ada, apa sih tugas penyair atau puisi itu?

Puisi itu seperti memijat mata. Kalau sudah lihat puisi saya bisa tidur. Begitulah
ha-ha-ha.... Tugas semua seni itu menunjukkan kelemahan kita. Soebagio bilang,
apakah cita-cita, tak ada lagi cita-cita, tetapi ada barangkali, beri aku satu kata
puisi daripada seribu rumus sehingga aku terlontar. Dan itulah bahasa. Seni itu
sangkan paraning dumadi, mempertanyakan kembali kedirian kita. Kalau daun
sudah menguning akan jatuh dengan sendirinya. Tidak bisa kita katakan, jangan
jatuh dulu, hijau lagi. Itu namanya keikhlasan semesta. Jadi, seni juga
mengajarkan rendah hati, tetapi matang dalam pertimbangan. Bangsa kita
bangsa pelupa, lalai, sering kali lebai, tugas puisi mengingatkan.

Maaf saya harus tanyakan. Anda dicap sebagai sosok misterius, selain sulit
ditemui, sampai kini pun tak jelas memiliki alamat rumah?

Lho kan sudah jelas, penyair itu berumah pada kata-kata, apalagi? Saya
berjalan ke semua kabupaten di Bali karena saya menemukan kata-kata tak
pernah ingkar janji. Saya suka bermain pada wilayah kemustahilan.

Maksudnya?

Ya jalani saja hidup dengan seluruh simpanan totalitasmu.

Sejak bermukim di Yogyakarta, lalu pindah ke Bali, Umbu menjadi satu-satu


pengabdi puisi paling setia. Ia mengorbankan semua kesenangan hidup
pribadinya dengan menjalani hidup seorang diri, jauh dari sanak keluarga, jauh
dari komunitas yang dididiknya. Tetapi, dalam kesendirian itu, ia tak sungkan
mengunjungi para penyair muda atau seorang seniman yang sedang sakit.

Umbu praktis menjadi tokoh penting yang berada di balik layar kemunculan para
sastrawan Indonesia sejak generasi 1960-an sampai 2000-an. Hampir semua
penyair ingin uji nyali mengirimkan karya kepadanya. Sejatinya adalah salah
satu sutradara penting pergerakan kesusastraan nasional. Tokoh-tokoh penting,
seperti Rendra, Putu Wijaya, Sapardi, dan belakangan dari Emha, Linus, sampai
Joko Pinurbo, pernah bersentuhan secara kreatif dengan Umbu.

Cuaca Pantai Sindu makin dingin. Samar-samar Pulau Nusa Penida tampak di
seberang laut. Umbu mengeratkan lilitan syal di lehernya. Rupanya sudah
waktunya permisi. Air laut makin naik..., katanya.

Kami bergegas meninggalkan Sanur. Sebelum mencapai jalan raya, seekor


kunang-kunang memotong jalanan....

sumber : Kompas, 18 November 2012

Anda mungkin juga menyukai