Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ana adalah balik dan
phylaxis adalah perlindungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis berarti
menghilangkan perlindungan. Definisi dari anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi
umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi,
kutan dan gastrointestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak
lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut,
setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yangs ama anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika
seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan
suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik.
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk
reaksi hipersensivitas tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya yang
berpotensial fatal dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh
dilepasnya mediator-mediator inflamasi dari mast cells dan basofil.
Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira
1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni sekitar
0,2 % dari populasi setiap tahunnya. Prevalensi kunjungan ke bagian
kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000
penduduk. Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika
Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik. Lebih lanjut, mereka
memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,710% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk
gigitan serangga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
putih kemudian memproduksi antibodi dalam hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi

intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lainlain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.
Antibiotik

Penisilin dan analog penisilin.


Sefalosporin,tetrasiklin,
eritromisin, streptomisin

Zat anti inflamasi nonsteroid

Salisilat, aminopirine

Narkotik analgesik

Morfin, kodein, meprobamat


Obat lain
Protamine, klorpropamid besi,
iodides parenteral diuretika tiazid

Analgesik lokal

Prokain, lidokain, kokain

Anestetik umum

Tiopental

Tambahan anestetik

Suksinilkolin, tubokurarine

Produk darah dan antiserum

Sel merah, sel putih, transfusi


trombosit, gama globulin, rabies,
tetanus, antitoksin difteria, anti
bisa ular dan laba laba.

Zat diagnostik

Zat radiokontras

Makanan

Telur, susu, kacang, ikan, kerang

Bisa

Tawon, ular, laba laba, ubur


ubur

Hormon

Insulin, ACTH, Ekstrak pituitaria

Enzim dan biologis

Asetilsistein, tambahan enzim /


pankreas

Ekstrak alergen potensial yang dipakai


pada desensitisasi

Tepung sari, makanan, bisa

Table 1 : Penyebab reaksi anafilaksis

Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis antara


lain:
1. Atopi
3

Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien


anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap
makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik, anafilaksis
idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex.
Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan
serangga.
2. Cara dan waktu pemberian
Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi.
Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin
kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini
berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik
seiring waktu.
3. Asma
Merupakan faktor risiko yang berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
2.3 Patofisiologi
Coomb

dan

Gell

(1963)

mengelompokkan

anafilaksis

dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I


diklasifikasikan menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya
menyerang kulit atau traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi,
dermatitis atopi, dan asma alergi. Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya
urtikaria, angioedema, dan anafilaksis. Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka
hanya akan menyerang kulit (urtikaria) atau jaringan subkutan (angioedema),
namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan berakibat menyeluruh
(generalisata) dan bersifat life-threatening medical emergency (anafilaksis).
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi.
Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang disebut dengan istilah performed mediators.

Gambar 1 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari


membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi,

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

yang

nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan


permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang

diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan


perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat
terjadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan
disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan
pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit.
Gambar 2 : Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai
1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24
jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam
setelah terpapar dengan alergen.

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersinbersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.

Tabel 2 : Manifestasi Klinik Reaksi Anafilaksis


Organ Systems
Cardiovascular
Pulmonary

Signs and Symptoms


Hypotension, tachycardia, arrhytmias
Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary

edema, laryngeal edema, hypoxia


Dermatogical
Urticaria, facial edema, pruritus
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat
eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan
diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut.

Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis


sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi
keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan
diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis
secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom
yang berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan
penunjang ini menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat
normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali
menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji

10

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point


titration/ SET). Pemeriksaan lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan
gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.

2.6 Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau keduaduanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau

11

gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala


gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal.
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresf yang cepat dari gejala
a. Pasien terlihat baik atau tidak baik
b. Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi
lebih lambat dari onset
c. Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe triger. Triger intravena akan
lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan triger sengatan cenderung
lebih cepat onsetnya dari triger ingesti oral.
d. Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :
a. Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa
tenggorokan tertutup.
b. Suara serak/parau.

12

c. Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang


mengalami obstruksi.
Breathing Problems :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


Wheezing
Pasien menjadi lelah
Kebingungan karena hipoksia
Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
Respiratory arrest

Circulation Problems:
a. Tanda syok, pucat, berkeringat.
b. Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
c. Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
d. Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
e. Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
f. Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
a. Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
b. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan

mukosa, atau

keduanya
c. Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
d. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.

13

e. Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan


lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan.
2.7 Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis
dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
2.8 Penatalaksanaan
Jika terjadi syok anafilaktik setelah alergen masuk baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.

14

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation


dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar.
o Airway (penilaian jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support. Segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut
ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin

15

dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.
Pada pasien pemberian adrenalin pada kasus syok anafilaktik sebaiknya
diberikan dalam jalur intravena dengan dosis 0,1 mcg secara titrasi (1 ampul
adrenalin yang berisi 0,1 mg dimasukan ke dalam 500 cc NaCl 0,9% atau RL).
Dengan menggunakan syringe pump diawali dengan 8 tetes kemudian apabila
tidak ada perbaikan boleh dinaikan menjadi 20 tetes, masih tidak ada perbaikan
naikan kembali menjadi 30 tetes, dst. Monitoring untuk memutuskan menaikan
jumlah tetesan adrenalin dilakukan dalam 10-15 menit. Apabila setelah pemberian
tetesan ada perbaikan makan jumlah tetesan dapat dikurangi kembali. Pada saat
titrasi obat tambahan seperti antihistamin dan kortikosteroid boleh diberikan
secara bolus.
Apabila setelah dilakukan RJP tidak berhasil, maka adrenalin diberikan
secara bolus intravena 1 ampul

bersamaan dengan antihistamin dan

kortikosteroid. Adrenalin ini memiliki onset yang cepat sehingga setelah


pemberian 1 menit langsung dimonitor apakah ada perbaikan atau tidak. Apabila
tidak ada, maka berikan kembali adrenalin 1 ampul bolus, monitor 1 menit.
Apabila ada perbaikan berikan adrenalin secara titrasi.

16

Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kgBB (0,1 ml/kg BB dari


pengenceran injeksi adrenalin 1:10000). 1 ampul adrenalin berisi 10 cc, Dengan
menggunakan spuit 10 cc ambil 1 cc dan encerkan dengan NaCl 0,9% menjadi 10
cc. 10 cc tersebut sudah berisi adrenalin 10 mcg. Rute pemberian adrenalin pada
anak pada umumnya sama dengan dewasa. Hanya berbeda dosis.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obatobat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan
oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. AH2 yang dapat
diberikan yaitu simetidin 300 mg atau ranitidin 150 mg. Bila penderita
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya
dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin
intravena 50 mg secara pelan-pelan.
Kortikosteroid

digunakan

untuk

menurunkan

respon

peradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg

17

intravena atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, atau deksametason 2-6
mg/kg BB.
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Pada keadaan syok, apabila pembuluh darah
sudah kolaps, maka jalur intravena akan sulit dilakukan, maka tetap usahakan
secara simultan dan apabila tetap tidak memungkinkan maka jalur intraosseus
dapat dicoba untuk dikerjakan.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi

18

Penderita berada dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung. Jika syok sudah teratasi, penderita harus diobservasi dulu selama 24 jam,
6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.

2.9 Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

19

mempunyai

kemungkinan

reaksi

sebesar

1-3%

dibandingkan

dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.


Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

2.10 Prognosis
Penanganan

yang

cepat,

tepat,

dan

sesuai

dengan

prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi

20

seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

BAB III
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang
dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa

21

golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,


obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat
meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian
obat,

riwayat

atopi,

dan

kesinambungan

paparan

alergen.

Anafilaksis

dikelompokkan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi


dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak,
keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat
bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi
berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih
organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok
anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan
reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan
penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
2. Mustafa,
SS.
Anaphylaxis.

April

8,

2013.

http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview

Available
.

Accessed

at:
on

December 18, 2015.


3. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008.
Available

at:
23

http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shoc
k/page2_em.htm . Accessed on December 18, 2015.
4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-1445.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
6. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
7. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
8. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and
Treatment.

In:

Bochner

BS.

August

8,

2013.

Available

at:

http://www.uptodate.com/contents/anaphylaxis-rapid-recognition-andtreatment . Accessed on December 19, 2015.


9. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and
Management.

2006.

Available

https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxis-diagnosis-andmanagement . Accessed on December 19, 2015.

24

at:

Anda mungkin juga menyukai