PENDAHULUAN
Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani yang berarti Ana adalah balik dan
phylaxis adalah perlindungan. Jadi menurut bahasa, Anaphylaxis berarti
menghilangkan perlindungan. Definisi dari anafilaksis sendiri adalah reaksi alergi
umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular, respirasi,
kutan dan gastrointestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak
lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut,
setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yangs ama anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika
seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan
suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik.
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk
reaksi hipersensivitas tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya yang
berpotensial fatal dan menimbulkan reaksi pada multiorgan yang disebabkan oleh
dilepasnya mediator-mediator inflamasi dari mast cells dan basofil.
Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira
1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni sekitar
0,2 % dari populasi setiap tahunnya. Prevalensi kunjungan ke bagian
kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000
penduduk. Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika
Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik. Lebih lanjut, mereka
memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,710% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk
gigitan serangga.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi dengan
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh. Sel darah
putih kemudian memproduksi antibodi dalam hal ini adalah IgE yang bersirkulasi
pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk. Perlekatan
antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti histamin
dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan jaringan.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting,
kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lainlain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.
Antibiotik
Salisilat, aminopirine
Narkotik analgesik
Analgesik lokal
Anestetik umum
Tiopental
Tambahan anestetik
Suksinilkolin, tubokurarine
Zat diagnostik
Zat radiokontras
Makanan
Bisa
Hormon
dan
Gell
(1963)
mengelompokkan
anafilaksis
dalam
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang
dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang disebut dengan istilah performed mediators.
meningkatkan
permeabilitas
kapiler
yang
nantinya
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersinbersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
10
2.6 Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau keduaduanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,
kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory
compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan
PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
11
12
Circulation Problems:
a. Tanda syok, pucat, berkeringat.
b. Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
c. Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
d. Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
e. Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
f. Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
a. Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
b. Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan
mukosa, atau
keduanya
c. Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
d. Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti
sengatan.
13
14
15
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.
Pada pasien pemberian adrenalin pada kasus syok anafilaktik sebaiknya
diberikan dalam jalur intravena dengan dosis 0,1 mcg secara titrasi (1 ampul
adrenalin yang berisi 0,1 mg dimasukan ke dalam 500 cc NaCl 0,9% atau RL).
Dengan menggunakan syringe pump diawali dengan 8 tetes kemudian apabila
tidak ada perbaikan boleh dinaikan menjadi 20 tetes, masih tidak ada perbaikan
naikan kembali menjadi 30 tetes, dst. Monitoring untuk memutuskan menaikan
jumlah tetesan adrenalin dilakukan dalam 10-15 menit. Apabila setelah pemberian
tetesan ada perbaikan makan jumlah tetesan dapat dikurangi kembali. Pada saat
titrasi obat tambahan seperti antihistamin dan kortikosteroid boleh diberikan
secara bolus.
Apabila setelah dilakukan RJP tidak berhasil, maka adrenalin diberikan
secara bolus intravena 1 ampul
16
digunakan
untuk
menurunkan
respon
peradangan,
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
17
intravena atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, atau deksametason 2-6
mg/kg BB.
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma. Pada keadaan syok, apabila pembuluh darah
sudah kolaps, maka jalur intravena akan sulit dilakukan, maka tetap usahakan
secara simultan dan apabila tetap tidak memungkinkan maka jalur intraosseus
dapat dicoba untuk dikerjakan.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
18
Penderita berada dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari
jantung. Jika syok sudah teratasi, penderita harus diobservasi dulu selama 24 jam,
6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria
dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.
2.9 Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatikan
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif
19
mempunyai
kemungkinan
reaksi
sebesar
1-3%
dibandingkan
dengan
2.10 Prognosis
Penanganan
yang
cepat,
tepat,
dan
sesuai
dengan
prinsip
20
seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.
BAB III
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang
dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa
21
riwayat
atopi,
dan
kesinambungan
paparan
alergen.
Anafilaksis
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.
2. Mustafa,
SS.
Anaphylaxis.
April
8,
2013.
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview
Available
.
Accessed
at:
on
at:
23
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphylactic_shoc
k/page2_em.htm . Accessed on December 18, 2015.
4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-1445.
5. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care
Medicine. In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. 5th edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
6. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 2006.
7. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
8. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and
Treatment.
In:
Bochner
BS.
August
8,
2013.
Available
at:
2006.
Available
24
at: