Anda di halaman 1dari 28

0

KASUS PANJANG
EPISKLERITIS

Oleh :
Adi Nugraha

105070100111027

Elita Riyu

105070106111012

Emilia Tiara S.

105070107111006

Pembimbing:
dr. Nanda W. Anandita, Sp.M

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus. Sklera berjalan dari papil
saraf optic sampai kornea. Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat
vascular. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi
pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia
masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul (Sidharta, 2013).
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan
pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.
Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan
vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Jaringan kolagen sklera dan
jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan
socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa
penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan
episklera (Naila, 2014)
Episklera merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sclera (Sidharta, 2013). Gejala yang terjadi
pada episkleritis dapat berupa mata merah akut, nyeri ringan, Kelainan ini
bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus. biasanya terjadi pada usia muda, tidak
didapatkan kotoran mata dan seringkali disertai riwayat keluhan serupa
sebelumnya (PDT, 2010). Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di
dekatnya di jaringan palpebral. Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung
pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan
perbandingan 3 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan
usia rata-rata 52 tahun (Naila, 2014).
1.2

Rumusan Masalah
Rumusan masalah laporan kasus ini adalah:
1.
Apakah definisi episkleritis?
2.
Bagaimana mengetahui diagnosa episkleritis?
3.
Bagaimana penatalaksanaan episkleritis?
4.
Bagaimana prognosa episkleritis?
1

1.3

Tujuan Masalah
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1.
Mengetahui definisi episkleritis.
2.
Mengetahui diagnosa episkleritis.
3.
Mengetahui penatalaksanaan episkleritis.
4.
Mengetahui prognosa episkleritis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak

antara konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis ini bisa saja terjadi secara
spontan dan idiopatik (Ilyas & Yulianti, 2013). Lebih dari sepertiga kasus disertai
dengan kelainan sistemik. Beberapa kasus dapat disebabkan oleh stimulus
inflamasi eksogen (Lin, 2006).
Pada episkleritis jarang melibatkan kornea dan uvea dengan penglihatan
yang tetap normal. Kadang-kadang, episkleritis ini merupakan kelainan berulang
yang ringan (Ilyas & Yulianti, 2013)
2.2

Epidemiologi
Episkleritis umumnya mengenai satu mata dan sering terjadi pada

perempuan usia pertengahan kisaran umur 20 hingga 50 tahun dengan penyakit


bawaan reumatik (Ilyas & Yulianti, 2013). Beberpa penelitian menyebutkan
bahwa lebih dari 74% kasus terjadi pada wanita dan terutama wanita usia
pertengahan dengan penyakit bawaan rematik (AAO, 2011)
Simpel episkleritis dilaporkan paling banyak terjadi sebesar 75% dari
seluruh kasus. Pada umumnya episkleritis mengenai satu mata dan sekitar
sepertiga pasien mengalami episkleritis bilateral dalam satu waktu atau waktu
lainnya (Kanski, 2011).
Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan penyakit
sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis
rematoid,

7% dihubungkan

dengan

herpes

zoster

oftalmikus

dan 3%

dihubungkan dengan gout (Foulks GN & Langston DP, 2010)


2.3

Anatomi
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan

pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus. Sklera berwarna putih
buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan
yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras
dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan

fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru.
Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak
sebagai garis kuning (Foulks GN & Langston DP, 2010 ; Ilyas & Yulianti, 2013).
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh
darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat
pembuluh darah yang melekat pada sklera (Foulks GN & Langston DP, 2010).
Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea. Sklera anterior
ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vascular. Sklera mempunyai kekakuan tertentu
sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku
dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul. Kekakuan
sclera dapat meninggi pada pasien diabetes mellitus, atau merendah pada
eksoftalmus goiter, miotika, dan minum air banyak (Ilyas & Yulianti, 2013).
Pada tempat insersi muskuli rekti, tebal sklera sekitar 0,3 mm. Ditempat
lain tebalnya sekitar 0,6 mm. Disekitar nervus opticus, sklera ditembus oleh
arteria ciliaris posterior longus dan brevis, dan nerves ciliaris longus dan brevis.
Arteria ciliaris posterior longus dan nervus ciliaris longus melintas dari nervus
optikus ciliare di sebuah lekukan dangkal pada permukaan dalam sklera di
meridian jam 3 dan jam 9. Sedikit posterior dari ekuator, empat vena vorticosa
mengalirkan darah keluar dari koroid melalui sklera, biasanya satu disetiap
kuadran. Sekitar 4 mm di sebelah posterior limbus, sedikit anterior dari insersi
tiap-tiap muskulus rektus, empat arteria dan vena siliaris anterior menembus
sklera. Persarafan sklera berasal dari saraf-saraf siliaris (Duong, 2015).
Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut
menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan
koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang
melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus.

Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3
mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator (Duong, 2015).
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu: (Galor A & Thorne J, 2013)
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu
keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang
terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal
melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang
ini untuk menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan
berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai
tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Stromal sklera terdiri dari jaringan kolagen dan dengan variasi
bentuk dan ukuran yang berbeda. Hal tersebut tidak seragam dengan yang ada
di kornea. Bagian dalam sclera (lamina fusca) bergabung dengan suprakoroidal
dan lamella supracilliaris pada traktus uvea. Anterior dari episklera terdiri dari
jaringan ikat padat, jaringan vascular yang membentang antara superfisial sclera
dan kapsul Tenon (Duong, 2015). Lapisan vascular yang menutupi anterior sklera
adalah sebagai berikut :
1. Pembuluh darah konjungtiva. Letak lapisan pembuluh darah ini paling
superfisial yang terdiri dari arteri yang tourtous dan vena yang lurus;
2. Plexus episklera superfisial. Pada lapisan ini pembuluh darahnya lurus
dengan konfigurasi radial. Pada episkleritis, pembengkakan maksimal
terjadi dengan plexus vascular ini. Kapsul tenon dan episklera berinfiltrasi
dengan sel inflamasi, namun sklera sendiri
Pemberian

penylephrin

topikal

akan

tidak membengkak.

menyebabkan

pembersihan

konjungtiva dan untuk memastikan terhapusnya pembuluh darah


episklera sehingga dapat tervisualisasi bagain sklera di bawahnya;
3. Plexus vaskular profunda membentang pada bagian superfisial sklera dan
menunjukkan pembengkakan maksimal pada skleritis. Pemeriksaan
dengan cahaya sangat penting untuk melokalisasi level maksimal injeksi.
Pada skleritis biasanya sering berwarna ungu (Kanski, 2011).

Gambar 2.1 Anatomi Bola Mata (Duong, 2015)

Gambar 2.2 Anatomi Sklera (Duong, 2015)


2.4

Fisiologi
Episklera-sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap

komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini


memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot
penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang
rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu
tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan
kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang
memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara
bola

mata

dan

socket.

Perbandingan

ini

sering

terganggu

sehingga

menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai


pembungkus sklera dan episklera (Foulks GN & Langston DP, 2010).
2.5

Etiologi
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab

pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang
selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-kondisi tersebut
adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau jaringan
ikat lain dari tubuh, seperti:
Rheumatoid arthritis,
Ankylosing spondylitis,
Lupus (systemic lupus erythematosus),
Inflammatory bowel diseases seperti crohns disease and ulcerative
colitis,
Gout,
Bakterial atau viral infection seperti lyme disease, syphilis atau herpes
zoster,
Beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis
termasuk jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun
dan,

yang

paling

jarang

berhubungan

adalah

gigitan

serangga

(Cunningham, 2011).
Radang episklera disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid arthritis, lues, SLE, dll.

Merupakan suatu reaksi toksik, alergi atau merupakan bagian daripada infeksi.
Dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik (Ilyas & Yulianti, 2013).
2.6

Patofisiologi
Episkleritis merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.

Biasanya keradangan yang terjadi pada jaringan episklera tergolong ringan.


Patofisiologi dari episkleritis ini masih belum jelas dan belum diketahui dengan
baik. Penyakit sistemik yang menyertai yang diduga sebagai penyebab
episkleritis hanya terjadi pada minoritas pasien (AAO, 2011).
Mekanisme terjadinya episkleritis diduga disebabkan oleh proses
autoimun. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang
mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon
granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV). Respon inflamasi pada
episkleritis terlokalisasi pada jaringan vaskular episklera dan histopatologi
menunjukkan inflamasi nongranulomatous dengan dilatasi vaskular dan infiltrasi
perivaskular (Gaeta, 2013).
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi
sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya
episkleritis. Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis
yang akan menyebabkan penipisan pada episkleritid dan sklera dan perforasi
dari bola mata (Gaeta, 2013).
Episkleritis dibagi menjadi dua tipe yaitu,
1. Simpel episkleritis. Tipe ini merupakan tipe yang paling banyak terjadi.
Inflamasi yang terjadi pada tipe ini hilang timbul dari derajat sedang hingga berat
yang terjadi dengan interval satu hingga tiga bulan. Episode episkleritis tipe ini
biasanya berlangsung 7-10 hari dan biasanya membaik setelah 2 hingga 3
minggu;
2. Nodular episkleritis. Serangan pada tipe ini biasanya lebih lama dan
lebih nyeri dibandingkan dengan simpel episkleritis (Gaeta, 2013).
2.7

Diagnosis
Diagnosis episkleritis hampir selalu bisa ditegakkan berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, meskipun terkadang memerlukan


pemeriksaan penunjang. Rincian prosedur diagnostiknya adalah sebagai berikut.
a. Anamnesis

Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien,


perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma
ataupun riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada
tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya
inflamasi yang aktif.. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung
saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa
berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun
sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan.
Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata
berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan
ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur
yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma,
katarak dan fundus yang abnormal.
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya
penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi
Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic
acid dan ibandronate.
Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
penyakit

ginjal,

hipertensi

dimana

mempengaruhi

pengobatan

selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang
berlangsung dan responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan fisik
Episkleritis didiagnosis secara klinis dengan menentukan lokasi inflamasi
pada episklera. Injeksi episklera dapat terjadi nodular, sektoral, atau diffuse.
Pada simpel epikleritis, inflamasi terlokalisasi pada suatu sektor bola mata
sebanyak 70% kasus dan seluruh episklera pada 30% kasus. Distribusi inflamasi
sering pada interpalpebra yang kontras dengan skleritis yang umumnya terletak
pada kuadran temporal atas. Area inflamasi yang terlokalisasi tersebut bersifat
tender pada saat disentuh (AAO, 2011; Kanski, 20011)

10

Pembuluh darah episklera dan sklera biasanya lebih besar daripada


pembuluh darah konjungtiva. Tidak seperti pada inflamasi yang lebih dalam yang
terjadi pada skleritis (sering berhubungan dengan edema sclera yang tampak
pada pemeriksaan slit-lamp), inflamasi pada episklera terletak superfisial.
Karakteristik warna pada episkleritis adalah lebih merah atau pink salmon pada
cahaya natural. Pembuluh darah konjungtiva dapat digerakkan yaitu, dengan
cara memijat dan menggeser konjungtiva melalui kelopak mata atau secara
langsung dengan cotton swab; sedangkan pembuluh darah episklera dan sclera
tidak dapat digerakkan. Sebagai tambahan, kemerahan pada episkleritis akan
hilang setelah aplikasi 2.5% fenilefrin topikal (AAO, 2011; Panum FKUB, 2010).
Nodul mobile yang terlokalisir dapat diamati pada nodular episkleritis.
Opasitas kornea perifer minimal yang dapat diobservasi di dekat area episklera
yang inflamasi pada 10% pasien. Sekret air dapat bermanifestasi pada beberapa
pasien (Roy, 2015).
Pada episkleritis tidak terdapat inflamasi atau edema pada sklera.
Keratitis dan uveitis jarang terjadi. Terdapat laporan yang menyebutkan bahwa
10% pasien episkleritis berhubugan dengan anterior uveitis. Konjungtivitis
diekslusi ketika injeksi konjungtiva kurang dan tidak ada sekret purulen. Pada
nodular

episkleritis

penting

untuk

mengekslusi

korpal

atau

granuloma

(Cunningham, 2011; Kanski, 2011).


Gambar 2.3 Simpel Episkleritis Sektoral (Kanski, 2011)

Gambar 2.4 Simpel Episkleritis Diffus (Kanski, 2011)

11

Gambar 2.5 Nodular Episkleritis (Kanski, 2011)


c. Pemeriksaan penunjang
Setelah melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan
dapat menentukan apakah diperlukan pemeriksan lanjutan. Pada umumnya,
pasien dengan penyakit self-limited, pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan.
Beberpa pasien dengan riwayat penyakit sistemik yang tidak jelas, perlu adanya
pemeriksaan laboratorium pada pasein dengan nodular episkleritis atau persisten
simpel episkleritis. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan meliputi asam
serum urat, hitung darah lengkap dengan diferensial, antibodi antinuklear, faktor
rematoid, erythrocyte sedimentation rate, Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL), Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS), dan rontgen
foto thoraks (Roy, 2015).
2.8

Diagnosis Banding
Diagnosis

banding

dari

episkleritis

dapat

berupa

skleritis,

keratokonjungtivitsi limbic superior, konjungtivitis viral, dan anterior uveitis atau


iritis akut. Mata merah dengan visus normal dibagi menjadi dua yaitu, merah
tidak merata dan merah merata. Mata merah tidak merata diagnosis banding
penyakitnya adalah episkleritis skleritis, perdarahan subkonjungtiva, pterigium,
pseudopterigium, konjungtivitis flikten, dan pinguekula iritans. Mata merah
merata dignosis bandingnya adalah konjungtivitis akut dan konjungtivitis kronis
(Ilyas & Yulianti, 2013).
2.9

Penatalaksanaan
Episkleritis adalah penyakit self-limiting yang tidak menyebabkan

kerusakan permanen atau dapat sembuh total. Oleh karena itu, sebagian besar
pasien dengan episkleritis tidak akan memerlukan pengobatan apapun. Namun,
pada pasien dengan gejala ringan dapat sembuh dengan artificial tears (William,
2004).

12

2.9.1 Medikamentosa
a. Terapi Topikal
Artificial tears atau air mata buatan berguna untuk pasien dengan gejala
ringan ke moderat. Pasien dengan gejala lebih parah atau berkepanjangan
mungkin memerlukan air mata buatan (misalnya hypromellose) dan atau
kortikosteroid topikal. Episkleritis nodular lebih lama sembuh dan mungkin
memerlukan obat tetes kortikosteroid lokal atau agen anti-inflamasi. Topikal
oftalmik prednisolon 0,5%, deksametason 0,1%, atau 0,1% betametason harian
dapat digunakan. Kortikosteroid topikal lemah biasanya cukup digunakan selama
1-2 minggu pengobatan. Steroid tetes mempercepat penyembuhan dan
meghilangkan gejala (Roy, 2015; Kanski, 2011).
Pada episkleritis tanpa penyakit sistemik, terapi medikamentosa sebaiknya
menambahkan air mata buatan yang diberikan setiap 4-6 jam dalam sehari. Air
mata buatan berguna untuk pasien dengan gejala ringan sampai sedang. Air mata
buatan ini digunakan sampai merah pada mata menghilang (Cunningham, 2011).
b. Terapi Sistemik
Jika episkleritis nodular tidak responsif terhadap terapi topikal, agen antiinflamasi sistemik mungkin berguna. NSAID diberikan pada pasien yang
mengeluhkan nyeri. Pada episkleritis nodular yang tidak responsif terhadap
terapi topikal, sistemik agen antiinflamasi mungkin berguna. Flurbiprofen (100
mg) biasanya efektif sampai peradangan ditekan. Biasanya flurbiprofen
digunakan selama 10 hari. Jika tidak ada respon terhadap flurbiprofen,
indometasin harus digunakan, 100 mg setiap hari dan menurun menjadi 75 mg
bila ada respon. Banyak pasien yang tidak merespon satu agen nonsteroidal
anti-inflammatory (NSAID) tetapi dapat berespon terhadap NSAID lain (Roy,
2015).
2.9.2 Non Medikamentosa
Pasien yang sensitif terhadap cahaya dapat menggunakan sunglasses
dalam aktivitasnya sehari-hari terutama di luar rumah (Roy, 2015)
2.10

Komplikasi
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar

satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.
Selain iritis, bila peradangan lebih dalam pada sklera dapat menimbulkan skleritis
(Ilyas & Yulianti, 2013).

13

Penelitian Berchicci et al, 2014 mengemukakan bahwa komplikasikomplikasi yang ditemukan pada penyakit episkleritis dapat mencakup anterior
uveitis, peripheral ulcerative keratitis, penurunan tajam penglihatan. Namun bila
dibandingkan dengan skleritis, angka terjadinya sangat kecil. Hanya 16,7%
pasien episkleritis yang membutuhkan terapi lebih dari sekadar kortikosteroid
tipikal dan pada pasien tersebut membutuhkan NSAID oral. Selain itu komplikasi
umum terjadi dengan terapi topikal steroid berulang dapat berupa terbentuknya
katarak, hipertensi okuli, dan glaukoma yang diinduksi steroid.
2.11

Prognosis
Penyakit ini memiliki prognosis yang bervariasi. Pada umumnya,

episkleritis dapat sembuh dengan sempurna tanpa menyisakan suatu kerusakan


jaringan pada mata (AAO, 2011).
Episklera dapat sembuh sempurna atau bersifat residif yang dapat
menyerang tempat yang sama ataupun berbeda-beda dengan lama sakit
umumnya berlangsung 4-5 minggu Prognosis episkleritis tergantung pada
penyakit penyebabnya (Ilyas & Yulianti, 2013).

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1

Identitas
Nama

: Ny. N

Usia

: 27 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Blimbing, Malang

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Agama

: Islam

No. RM

: 11271xxx

Tanggal kunjungan

: 15 Januari 2016

3.2

Anamnesa (Autoanamnesa)

3.2.1

Keluhan utama
Bercak kemerahan di mata kanan.

3.2.2

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh adanya bercak merah pada mata kanan sejak kurang

lebih 1 hari yang lalu. Bercak merah tersebut muncul tiba-tiba saat pasien
beraktivitas, terasa perih dan sedikit mengganjal ketika berkedip. Bercak merah
dirasakan pasien semakin berwarna merah hingga 3 hari berikutnya. Pasien
merasa ada yang mengganjal di matanya dan merasa kemeng di mata
kanannya. Benjolan tidak membesar, tidak dirasakan nyeri, tidak ada nerocoh,
tidak terasa gatal, tidak belekan, tidak ada secret, tidak merasa silau. Pasien
juga tidak mengeluhkan pandangan kabur.
Tidak ada riwayat demam, tidak ada riwayat mual dan muntah, serta tidak
didapatkannya cekot-cekot. Tidak ada penyakit sistemik yang sedang dialami
pasien.
3.2.3

Riwayat Penyakit Mata Terdahulu


Pasien datang ke poli mata RSSA 1 minggu yang lalu dan di diagnose

dengan OD Pingeukulitis.
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis, tidak ada riwayat penyakit
darah tinggi, dan tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya.

14

3.2.4

Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan obat Tobroson ed 6 dd 1 OD dan Eyefresh ed 6 dd

1 OD karena keluhan pingeukulitis yang dideritanya.


3.2.5

Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki alergi.

3.2.6

Riwayat Keluarga
Tidak ditemukan anggota keluarga lain yang mengalami keluhan yang

sama dengan pasien.


3.2.7

Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien memiliki 1 orang anak.

3.3 Pemeriksaan Fisik

15

OD sebelum test penilefrin


OD setelah test penilefrin (+)

OD
5/5
Orthophoria

OS
VISUS
5/5
Kedudukan Bola Orthophoria
Mata
GERAKAN BM

edema (-) , spasme (-)


PALPEBRA
CI (+), PCI (-), episcleral CONJUNCTIVA

edema (-) , spasme (-)


CI (-), PCI (-), nodul (-),

injection

episcleral injection (-)

(+)

inferior,

tes

epinefrin (+)
Jernih
Dalam
Radial line (+)
Bulat, 3mm, RP (+)
Jernih
N/P 5/5.5 = 17,3 mmHg
3.4

KORNEA
C.O.A.
IRIS
PUPIL
LENSA
T.I.O.

Diagnosis Kerja
OD Episkleritis

3.5

Rencana Diagnosis
Tidak ada rencana diagnosis

Jernih
Dalam
Radial line (+)
Bulat, 3mm, RP (+)
Jernih
N/P 5/5.5 = 17,3 mmHg

16

3.6

Rencana Terapi
Natrium Diklofenac minidose 1 mg ed 6 dd 1 gtt OD
Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt OD

3.7

3.8

Rencana Monitoring

Kontrol 1 minggu lagi


Evaluasi Subjektif, pemeriksaan

konjungtiva, kornea, pembuluh darah episklera)


Hasil Terapi
Komplikasi

Segmen

Anterior

(Palpebra,

Rencana Edukasi

Diberitahukan kepada pasien tentang penyakit yang diderita pasien,

rencana pengobatan yang akan dilakukan, serta prognosa penyakit.


Diberitahukan kepada pasien cara pemberian terapi, tujuan terapi,

dan efek samping terapi


Apabila pasien mengeluh kondisi matanya semakin memburuk
(semakin merah, visus menurun atau semakin terasa kemeng)

3.9

3.10

segera dibawa ke rumah sakit.


Diberitahukan bahwa kemungkinan dapat terjadi rekurensi

Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionalis
Ad visam
Ad cosmetica
Ad sanam

: bonam
: bonam
: bonam
: bonam
: bonam

Follow-up

Tanggal
Subjektif
(Keluhan)

15 Januari 2016
21 Januari 2016
Bercak merah pada mata Bercak merah pada mata
kanan
kanan berkurang
Rasa tidak nyaman pada Rasa tidak nyaman pada
mata kanan
Nyeri (-), silau (-)
Penyakit sistemik (-)

mata kanan berkurang


Nyeri (-), silau (-)
Tanda-tanda komplikasi (-)

17

Objektif
(Status
Lokalis)

OD
Pelebaran pembuluh darah

Visus :
ODS 5/5
Kedudukan bola mata :
ODS Ortophoria
Palpebra :
ODS Spasme (-) & Edema (-)
Konjungtiva :
ODS CI (-) & PCI (-);
OD
Hiperemia-pelebaran

Visus :
ODS 5/5
Kedudukan bola mata :
ODS Ortophoria
Palpebra :
ODS Spasme (-) & Edema (-)
Konjungtiva :
ODS CI (-) & PCI (-);
OD
Hiperemia-peleberan

pembuluh

pembuluh

darah

(+),

epinefrin (+)
Kornea :
ODS Jernih
COA :
ODS Dalam
Iris :
ODS Radline (+)
Lensa :
ODS Jernih
TIO :
ODS N/P 5/5.5 = 17 mmHg
Assessment OD Episkleritis

Planning

tes

darah

(+)

berkurang
Kornea :
ODS Jernih
COA :
ODS Dalam
Iris :
ODS Radline (+)
Lensa :
ODS Jernih
TIO :
ODS N/P
OD Episkleritis
dengan perbaikan, hyperemia

berkurang
Diagnosis : (-)
Diagnosis : (-)
Terapi :
Terapi :
Natrium Diklofenac minidose Natrium Diklofenac minidose
1 mg ed 6 dd 1 OD
1 mg ed 4 dd 1 OD
Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt
OD
Monitoring :

OD
Monitoring :

Kontrol 1 minggu lagi


Evaluasi Subjektif,

Kontrol 1 minggu lagi


Evaluasi Subjektif,

18

pemeriksaan Segmen

pemeriksaan Segmen

Anterior terutama hiperemia

Anterior terutama

pada konjungtiva mata

hiperemia pada konjungtiva

kanan
Hasil Terapi
Komplikasi

mata kanan
Hasil Terapi
Komplikasi

Edukasi :
Penyakit, rencana

Edukasi :
Meyakinkan penyakit tidak

pengobatan, prognosis
Cara pemberian, tujuan, dan

berbahaya
Kepatuhan

efek samping terapi


Kondisi kondisi

terapi
Kondisi

mengharuskan
rumah sakit
Rekurensi

segera

yang
ke

menjalankan
kondisi

yang

mengharuskan segera ke
rumah sakit
Rekurensi

19

BAB 4
PEMBAHASAN
4.1

Identitas
Pasien pada kasus ini merupakan pasien wanita dengan umur 27 tahun.

Episkleritis dapat terjadi pada wanita maupun pria. Secara epidemiologi,


episkleritis

lebih

banyak

mengenai

wanita

dibandingkan

pria

dengan

perbandingan 3:1 (Naila, 2014). Dalam penelitian kohort oleh Turner et al., 2010,
dari 64 kasus episkleritis yang dilakukan pengamatan menunjukkan bahwa 86%
adalah pasien wanita. Selain itu, dalam Kanski, 2011 disebutkan bahwa
episkleritis lebih banyak terjadi pada wanita.
Wanita cenderung mengalami episkleritis karena wanita memiliki risiko 50
kali lebih tinggi untuk menderita penyakit autoimun dibandingkan pria. Faktor
pencetus dari episkleritis ini menurut teori adalah karena adanya penyakit
autoimun. Dalam suatu teori dikatakan bahwa sistem imun pria berbeda dengan
wanita, disebutkan bahwa estrogen cenderung menjadi proinflamasi sedangkan
testosterone cendrung kepada antiinflamasi. Oleh karena itu wanita lebih
cenderung untuk mengalami permasalahan autoimun (Altersitz, 2007).
Watson, 2006, mengatakan bahwa episkleritis biasnyan cenderung terjadi
pada usia muda hingga paruh baya dalam jurnal tersebut dijelaskan secara
spesifik episkleritis biasanya terjadi pada kisaran usia 20 hingga 50 tahun baik
pada pria maupun wanita.
4.2

Anamnesis
Pasien mengeluhkan mata sebelah kanan merah sejak 1 hari yang lalu.

Bercak merah dimata tersebut dirasa perih dan kemeng. Bercak merah tersebut
muncul tiba-tiba saat pasien beraktivitas. Pasien merasa ada yang mengganjal di
matanya. seminggu sebelumnya pasien juga mengalami pinguekulitis di mata
kanannya.
Pasien dengan episkleritis, keluhan utama menurut AAO, 2011 adalah
mata merah tanpa iritasi. Pada kasus ini pasien yang datang ke poli mata RSSA
juga dengan keluhan bercak merah di mata sejak 1 hari yang lalu. Bercak merah
yang muncul tiba-tiba merupakan gejala yang khas pada episkleritis (kanski,

20

2011). Onset mata merah pada episkleritis simpel lebih cepat dan berair dalam
waktu beberapa menit. Albert, 2010 mengatakan dalam Curbside consultation,
hampir setengah dari pasien episkleritis mengalami rasa tidak nyaman pada
mata seperti adanya sensasi benda asing pada mata.
Dalam Kanski, 2011, Pada umumnya episkleritis adalah unilateral yaitu
mengenai satu mata, namun sekitar sepertiga pasien mengalami episkleritis
bilateral dalam satu waktu atau waktu lainnya. Jurnal penelitian optamologi oleh
Berchicci et al, 2014, ditemukan bahwa 24% pasien mengalami episkleritis
bilateral. Pada kasus ini, mata merah hanya pada mata kanan saja.
Pada episkleritis juga dilaporkan mengalami fotofobia sebanyak 10% dan
lakrimasi sebanyak 25%. Pasien dengan episkleritis tipe nodular tidak memiliki
gejala yang lebih parah dibandingkan dengan episkleritis simpel. Pasien pada
kasus ini tidak mengeluhkan fotofobia maupun lakrimasi (Yanoff, 2008)
Nyeri pada episkleritis biasanya ringan, tidak sampai nyeri hebat. Rasa
tidak nyaman terjadi pada 51% pasien kedua tipe episkleritis. Sensasi pada mata
digambarkan dengan sensasi iriitable ketimbang nyeri (Yanoff, 2008). Pada
pasien ini tidak mengeluhkan adanya nyeri hanya merasa sedikit kemeng.
Etiologi terjadinya episkleritis belum jelas (Cunningham, 2011). Hasil
anamnesis pasien kasus ini tidak didapatkan riwayat sakit yang mencetuskan
terjadinya episkleritis seperti SLE, RA, gout, spondilosis dan sebagainya. Oleh
karena itu, kemungkinan besar pasien ini menderita episkleritis yang idiopatik.
4.3

Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan visus dan segmen anterior yang telah dilakukan pada

mata kanan dan kiri didapatkan visus 5/5. Palpebra tidak ada spasme maupun
edema. Pada konjungtiva kanan didapatkan CI, episkleritis injection sektoral,
namun tidak terdapat PCI. Tes epinefrin (+). Dari pemeriksaan kornea,
didapatkan kornea jernih dan COA dalam. Iris radier line (+). Pupil bulat ukuran
diameter 3 mm, dengan refleks pupil (+), Lensa jernih, TIO dalam batas normal.
Pada pasien dengan episkleritis jarang didapatkan adanya penurunan
visus hal ini sesuai dengan penelitian Jabs et al., 2000, yang menyatakan bahwa
tidak ada pasien episkleritis yang mengeluhkan atau pun terbukti adanya

21

penurunan visus. Hal tersebut sesuai dengan hasil pemeriksaan visus pada
pasien kasus ini.
Dari gambaran mata pada pasien didapatkan warna mata lebih merah
atau pink salmon yang merupakan karakteristik dari episkleritis (AAO, 2011).

(Kanski, 2011)

(Gambaran mata pasien OD)

Pada AAO, 2011, dikatakan bahwa area inflamasi yang terlokalisasi


tersebut bersifat tender pada saat disentuh. Namun, hal itu tidak terjadi pada
pasien ini. Jurnal penelitian oleh Watson et al, 2006, menyatakan bahwa 40%
pasien yang mepresentasikan tender atau nyeri saat area inflamasi disentuh.
Pada pemeriksaan penilefrin didapatkan hasil yang (+) yang artinya
kemerahan pada mata tampak mengecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pembuluh darah tersebut mengalami vasokonstriksi. Episkleritis didefinisikan
sebagai peradangan atau pembengkakan plexus vascular episklera superfisial.
Karena letaknya yang superficial ini, dalam kanski, 2011, dinyatakan bahwa
dengan diteteskannya fenilefrin topikal 2,5% dapat membuat pembuluh darah di
bawahnya (episklera) mengecil sehingga bagain sklera di bawahnya dapat
tervisualisasi dengan jelas. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan
episkleritis dengan skleritis. Selain itu, pemeriksaan dengan menggunakan
cutton bud dilakukan dengan cara menggoyangkan daerah hiperemia untuk
mengekslusi konjungtivitis. Namun, pada pasien ini tidak dilakukan. Dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis dengan OD episkleritis.
4.3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan untuk memastikan adanya

penyait sistemik yang mendasari yang biasanya mencetuskan terjadinya


episkleritis. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang oleh karena

22

gejela ini baru pertama kali dialami pasien dan bukan merupakan suatu
rekurensi. Pemeriksaannya dapat berupa ANA test, rhematoid test, dan lain-lain.
Namun, hal tersebut tidak direkomendasikan karena mengahibskan biaya dan
selain itu penyakit autoimun biasanya dicurigai dari gejala klinis dulu, baru
memintakan suatu pemeriksaan (Yanoff et al, 2008). Selain itu, pada pasien ini
tidak terdapat adanya riwayat atau tanda-tanda penyakit sistemik.
4.4

Penatalaksanaan
Pada pasien ini diberikan terapi berupa Natrium diclofenac 1 mg mini

dose 6 kali sehari pada mata kanan. Natrium Diklofenac merupakan agen
antiinflamasi dan analgesik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase yag merupakan bagian penting dalam biosintesis prostaglandin.
Prostaglandin itu sendiri merupakan mediator inflamasi intraokuler yang dapat
menyebabkan

gangguan

barrier

daerah

humor

aqueous,

vasodilatasi,

peningkatan permeabilitas vaskular. Tsai et al., 2011, mengatakan bahwa terapi


topical lubrikan dapat dengan NSAID. Guideline episkleritis yang dikeluarkan The
College of Optometrist menyatakan bahwa keuntungan dari kegunaan NSAID
topikal memiliki level of evidence kategori sedang dan kekuatan rekomendasi
yang lemah.
Pada pasien juga diberikan artificial tears tetes dan dipakai 6 kali sehari.
Pada episkleritis tanpa penyakit sistemik, terapi medikamentosa pada episkleritis
sebaiknya menambahkan air mata buatan dingin yang diberikan setiap 4-6 jam
dalam sehari. Air mata buatan berguna untuk pasien dengan gejala ringan
sampai sedang. Air mata buatan ini digunakan sampai merah pada mata
menghilang.
Guideline episkleritis yang dikeluarkan The College of Optometrist
menyatakan bahwa untuk kasus ringan sebenarnya tidak membutuhkan terapi
yang spesifik. Jika pasien merasakan ketidak nyamanan pada matanya, maka
artificial tears dapat diberikan. Hal tersebut memiliki level of evidence yang
rendah namun memiliki kekuatan rekomendasi yang tinggi. Albert, 2010
mengatakan dalam Curbside consultation, pasien yang mengalami episode
pertama kali seperti yang terjadi pada pasien ini, dapat diberikan terapi artificial
tears oleh karena etiologi yang idiopatik biasanya umum terjadi dan dapat
sembuh sendiri. Selain itu, Turner et al., 2010, mengatakan dalam jurnalnya
penelitian kohortnya bahwa pasien episkleritis memilik 3,3 kali lebih tinggi untuk
memiliki diagnosis dry eye syndrome dibandingkan pasien yang non episkleritis.

23

Hal tersebut membuatnya menarik kesimpulan dalam jurnalnya bahwa terapi dry
eye syndrome mungkin dapat menguntungkan pada episkleritis mengingat
penggunaan steroid memiliki efek samping meningkatkan tekanan intraocular
dan pembentukan katarak.
4.5

Komplikasi dan Prognosis


Episkleritis termasuk penyakit yang ringan dan dapat sembuh sendiri.

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu untuk tipe
episkleritis simpel atau 5-6 minggu untuk tipe episkleritis nodular (Yanoff, 2008).
Pasien diminta untuk kontrol dalam waktu 3-4 minggu jika pasien diterapi dengan
lubrikasi, sedangkan pasien diminta kembali dalam waktu 2 minggu jika pasien
menggunakan steroid.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam. Penelitian retrospektif,
Berchicci et al, 2014, rekurensi terjadi pada 23% pasien episkleritis dalam jangka
waktu folowup 16,5 bulan. Pasien yang mengalami rekurensi tersebut
membutuhkan terapi NSAID oral. Serangan berulang berhubungan dengan
penyakit sistemik dan dapat menyebabkan penipisan sklera.
Penelitian Berchicci et al, 2014 mengemukakan bahwa komplikasikomplikasi yang ditemukan pada penyakit episkleritis dapat mencakup anterior
uveitis, peripheral ulcerative keratitis, penurunan tajam penglihatan. Namun bila
dibandingkan dengan skleritis, angka terjadinya sangat kecil. Hanya 16,7%
pasien episkleritis yang membutuhkan terapi lebih dari sekadar kortikosteroid
tipikal dan pada pasien tersebut membutuhkan NSAID oral. Selain itu komplikasi
umum terjadi dengan terapi topikal steroid berulang dapat berupa terbentuknya
katarak, hipertensi okuli, dan glaukoma yang diinduksi steroid.

24

BAB 5
KESIMPULAN

Episklera merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak


antara konjungtiva dan permukaan sklera. Kelainan ini bersifat unilateral pada
dua-pertiga kasus. Radang episklera dicetuskan oleh reaksi hipersensitivitas
terhadap penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid arthritis, SLE, dll.
Merupakan suatu reaksi toksik, alergi atau merupakan bagian daripada infeksi.
Dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik.
Diagnosis episkleritis berdasarkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Gejala klinis episklera yang didapat bias berupa mata terasa kering, nyeri ringan
pada mata, mata terasa mengganjal, konjungtiva kemotik, radang dengan
gambaran yang khusus berupa benjolan setempat dengan batas tegas dan
warna merah ungu di bawah konjungtiva, bila benjolan ditekan dengan kapas
atau ditekan pada kelopak di atas benjolan, akan memberikan rasa sakit yang
menjalar sekiktar mata. Merah pada episkleritis akan mengecil atau menghilang
bila diberi fenilefrin 2.5% topikal.
Penatalaksanaan pasien episkleritis adalah dengan memberikan artificial
tears, NSAID topikal dan steroid topikal. Pemberian medikamentosa disesuaikan
dengan keluhan pasien. Episkleritis merupakan penyakit yang bersifat ringan,
dapat sembuh sendiri namun 23% dari penderita episkleritis dapat mengalami
rekurensi.

25

DAFTAR PUSTAKA
Albert JS. 2010. Female with sectoral redness. Curbside consultation in cornea
and esternal disease, 69-XXI:132895584
Altersitz K. 2007. Women at greater risk for autoimmune disease with ocular
manifestations. Ocular Surgery News, February Edition
American Academy of Ophtamology. 2011. External Disease and Cornea, p216
Berchicci L, Miserocchi E, Nicola MD, Spina CL, Bandello F, Modorati G. 2014.
Clinical Features of Patients with Episcleritis and Scleritis In an Italian
Tertiary Care Referral Center. European Journal of Ophtalmology vol 24
Issue 13, 293-467.
Cunningham ET. 2011. Uveal Tract in Vaughan & Asburys General Ophtamology.
17th Ed. Chapter 7.
Foulks GN, Langston DP. 2010. Cornea and External Disease. In: Manual of
OcularDiagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America:
Library of Congress Catalog. p111-6
Gaeta, TJ. 2013. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 19 Januari 2016]
Galor A, Thorne J. 2013. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis.
http://www.pubmed.com [diakses 19 Januari 2016]
Ilyas, Sidharta. 2013. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Indonesia.
Ilyas S & Yulianti SR. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. 2000. Episcleritis and scleritis: clinical
features and treatment results. American Journal of Ophtalmology, 130(4):
469-76
Kanski JJ. 2011. Clinical Ophtamology. Seventh Edition. Philadelphia: Elsevier,
p252.
Naila,
Izati.
2014.
Episkleritis.
[serial
online].
https://www.scribd.com/doc/237490522. [diakses tanggal 19 Januari 2016]
Tsai JC, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Episcleritis.
Turner JR, McGwin G, Read RW. 2010. Episleritis: Association with dry eye
disease. Investigative ophthalmology & visual Science, 51: 6252.

26

Watson PG and Hayreh SS. 2006. Scleritis and Episcleritis. Brit. J. Ophtal.
(2006) 87, 169
Williams CP, Browning AC, Sleep TJ. A randomised, double-blind trial of topical
ketorolac vs artificial tears for the treatment of episcleritis. Eye. Sep 2004
Yanoff M and Duker JS. 2008. Yanoff & Duker: Ophthalmology, 3rd ed. 2008
Mosby, An Imprint of Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai