Kaspan Episkler
Kaspan Episkler
KASUS PANJANG
EPISKLERITIS
Oleh :
Adi Nugraha
105070100111027
Elita Riyu
105070106111012
Emilia Tiara S.
105070107111006
Pembimbing:
dr. Nanda W. Anandita, Sp.M
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus. Sklera berjalan dari papil
saraf optic sampai kornea. Sklera anterior ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat
vascular. Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi
pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku dan tipisnya 1 mm ia
masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul (Sidharta, 2013).
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan
pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.
Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan
vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Jaringan kolagen sklera dan
jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan
socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa
penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan
episklera (Naila, 2014)
Episklera merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sclera (Sidharta, 2013). Gejala yang terjadi
pada episkleritis dapat berupa mata merah akut, nyeri ringan, Kelainan ini
bersifat unilateral pada dua-pertiga kasus. biasanya terjadi pada usia muda, tidak
didapatkan kotoran mata dan seringkali disertai riwayat keluhan serupa
sebelumnya (PDT, 2010). Episklera dapat tumbuh di tempat yang sama atau di
dekatnya di jaringan palpebral. Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung
pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan
perbandingan 3 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan
usia rata-rata 52 tahun (Naila, 2014).
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah laporan kasus ini adalah:
1.
Apakah definisi episkleritis?
2.
Bagaimana mengetahui diagnosa episkleritis?
3.
Bagaimana penatalaksanaan episkleritis?
4.
Bagaimana prognosa episkleritis?
1
1.3
Tujuan Masalah
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1.
Mengetahui definisi episkleritis.
2.
Mengetahui diagnosa episkleritis.
3.
Mengetahui penatalaksanaan episkleritis.
4.
Mengetahui prognosa episkleritis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Episkleritis merupakan reaksi radang jaringan ikat vaskular yang terletak
antara konjungtiva dan permukaan sklera. Episkleritis ini bisa saja terjadi secara
spontan dan idiopatik (Ilyas & Yulianti, 2013). Lebih dari sepertiga kasus disertai
dengan kelainan sistemik. Beberapa kasus dapat disebabkan oleh stimulus
inflamasi eksogen (Lin, 2006).
Pada episkleritis jarang melibatkan kornea dan uvea dengan penglihatan
yang tetap normal. Kadang-kadang, episkleritis ini merupakan kelainan berulang
yang ringan (Ilyas & Yulianti, 2013)
2.2
Epidemiologi
Episkleritis umumnya mengenai satu mata dan sering terjadi pada
7% dihubungkan
dengan
herpes
zoster
oftalmikus
dan 3%
Anatomi
Bagian putih bola mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Sklera berhubungan erat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus. Sklera berwarna putih
buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan
yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras
dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan
fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru.
Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak
sebagai garis kuning (Foulks GN & Langston DP, 2010 ; Ilyas & Yulianti, 2013).
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh
darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat
pembuluh darah yang melekat pada sklera (Foulks GN & Langston DP, 2010).
Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea. Sklera anterior
ditutupi oleh 3 lapis jaringan ikat vascular. Sklera mempunyai kekakuan tertentu
sehingga mempengaruhi pengukuran tekanan bola mata. Walaupun sklera kaku
dan tipisnya 1 mm ia masih tahan terhadap kontusi trauma tumpul. Kekakuan
sclera dapat meninggi pada pasien diabetes mellitus, atau merendah pada
eksoftalmus goiter, miotika, dan minum air banyak (Ilyas & Yulianti, 2013).
Pada tempat insersi muskuli rekti, tebal sklera sekitar 0,3 mm. Ditempat
lain tebalnya sekitar 0,6 mm. Disekitar nervus opticus, sklera ditembus oleh
arteria ciliaris posterior longus dan brevis, dan nerves ciliaris longus dan brevis.
Arteria ciliaris posterior longus dan nervus ciliaris longus melintas dari nervus
optikus ciliare di sebuah lekukan dangkal pada permukaan dalam sklera di
meridian jam 3 dan jam 9. Sedikit posterior dari ekuator, empat vena vorticosa
mengalirkan darah keluar dari koroid melalui sklera, biasanya satu disetiap
kuadran. Sekitar 4 mm di sebelah posterior limbus, sedikit anterior dari insersi
tiap-tiap muskulus rektus, empat arteria dan vena siliaris anterior menembus
sklera. Persarafan sklera berasal dari saraf-saraf siliaris (Duong, 2015).
Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut
menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan
koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang
melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus.
Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3
mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator (Duong, 2015).
Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu: (Galor A & Thorne J, 2013)
Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan
merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu
keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang
terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal
melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang
ini untuk menuju ke otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan
berkas-berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai
tebal 10-16 m dan lebar 100-140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Stromal sklera terdiri dari jaringan kolagen dan dengan variasi
bentuk dan ukuran yang berbeda. Hal tersebut tidak seragam dengan yang ada
di kornea. Bagian dalam sclera (lamina fusca) bergabung dengan suprakoroidal
dan lamella supracilliaris pada traktus uvea. Anterior dari episklera terdiri dari
jaringan ikat padat, jaringan vascular yang membentang antara superfisial sclera
dan kapsul Tenon (Duong, 2015). Lapisan vascular yang menutupi anterior sklera
adalah sebagai berikut :
1. Pembuluh darah konjungtiva. Letak lapisan pembuluh darah ini paling
superfisial yang terdiri dari arteri yang tourtous dan vena yang lurus;
2. Plexus episklera superfisial. Pada lapisan ini pembuluh darahnya lurus
dengan konfigurasi radial. Pada episkleritis, pembengkakan maksimal
terjadi dengan plexus vascular ini. Kapsul tenon dan episklera berinfiltrasi
dengan sel inflamasi, namun sklera sendiri
Pemberian
penylephrin
topikal
akan
tidak membengkak.
menyebabkan
pembersihan
Fisiologi
Episklera-sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap
mata
dan
socket.
Perbandingan
ini
sering
terganggu
sehingga
Etiologi
Hingga sekarang para dokter masih belum dapat mengetahui penyebab
pasti dari episkleritis. Namun, ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang
selalu berhubungan dengan terjadinya episkleritis. Kondisi-kondisi tersebut
adalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon atau jaringan
ikat lain dari tubuh, seperti:
Rheumatoid arthritis,
Ankylosing spondylitis,
Lupus (systemic lupus erythematosus),
Inflammatory bowel diseases seperti crohns disease and ulcerative
colitis,
Gout,
Bakterial atau viral infection seperti lyme disease, syphilis atau herpes
zoster,
Beberapa penyakit lain yang kurang umum, penyebab episkleritis
termasuk jenis kanker tertentu, penyakit kulit, gangguan defisiensi imun
dan,
yang
paling
jarang
berhubungan
adalah
gigitan
serangga
(Cunningham, 2011).
Radang episklera disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid arthritis, lues, SLE, dll.
Merupakan suatu reaksi toksik, alergi atau merupakan bagian daripada infeksi.
Dapat juga terjadi secara spontan dan idiopatik (Ilyas & Yulianti, 2013).
2.6
Patofisiologi
Episkleritis merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya.
Diagnosis
Diagnosis episkleritis hampir selalu bisa ditegakkan berdasarkan
ginjal,
hipertensi
dimana
mempengaruhi
pengobatan
selanjutnya.
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang
berlangsung dan responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan fisik
Episkleritis didiagnosis secara klinis dengan menentukan lokasi inflamasi
pada episklera. Injeksi episklera dapat terjadi nodular, sektoral, atau diffuse.
Pada simpel epikleritis, inflamasi terlokalisasi pada suatu sektor bola mata
sebanyak 70% kasus dan seluruh episklera pada 30% kasus. Distribusi inflamasi
sering pada interpalpebra yang kontras dengan skleritis yang umumnya terletak
pada kuadran temporal atas. Area inflamasi yang terlokalisasi tersebut bersifat
tender pada saat disentuh (AAO, 2011; Kanski, 20011)
10
episkleritis
penting
untuk
mengekslusi
korpal
atau
granuloma
11
Diagnosis Banding
Diagnosis
banding
dari
episkleritis
dapat
berupa
skleritis,
Penatalaksanaan
Episkleritis adalah penyakit self-limiting yang tidak menyebabkan
kerusakan permanen atau dapat sembuh total. Oleh karena itu, sebagian besar
pasien dengan episkleritis tidak akan memerlukan pengobatan apapun. Namun,
pada pasien dengan gejala ringan dapat sembuh dengan artificial tears (William,
2004).
12
2.9.1 Medikamentosa
a. Terapi Topikal
Artificial tears atau air mata buatan berguna untuk pasien dengan gejala
ringan ke moderat. Pasien dengan gejala lebih parah atau berkepanjangan
mungkin memerlukan air mata buatan (misalnya hypromellose) dan atau
kortikosteroid topikal. Episkleritis nodular lebih lama sembuh dan mungkin
memerlukan obat tetes kortikosteroid lokal atau agen anti-inflamasi. Topikal
oftalmik prednisolon 0,5%, deksametason 0,1%, atau 0,1% betametason harian
dapat digunakan. Kortikosteroid topikal lemah biasanya cukup digunakan selama
1-2 minggu pengobatan. Steroid tetes mempercepat penyembuhan dan
meghilangkan gejala (Roy, 2015; Kanski, 2011).
Pada episkleritis tanpa penyakit sistemik, terapi medikamentosa sebaiknya
menambahkan air mata buatan yang diberikan setiap 4-6 jam dalam sehari. Air
mata buatan berguna untuk pasien dengan gejala ringan sampai sedang. Air mata
buatan ini digunakan sampai merah pada mata menghilang (Cunningham, 2011).
b. Terapi Sistemik
Jika episkleritis nodular tidak responsif terhadap terapi topikal, agen antiinflamasi sistemik mungkin berguna. NSAID diberikan pada pasien yang
mengeluhkan nyeri. Pada episkleritis nodular yang tidak responsif terhadap
terapi topikal, sistemik agen antiinflamasi mungkin berguna. Flurbiprofen (100
mg) biasanya efektif sampai peradangan ditekan. Biasanya flurbiprofen
digunakan selama 10 hari. Jika tidak ada respon terhadap flurbiprofen,
indometasin harus digunakan, 100 mg setiap hari dan menurun menjadi 75 mg
bila ada respon. Banyak pasien yang tidak merespon satu agen nonsteroidal
anti-inflammatory (NSAID) tetapi dapat berespon terhadap NSAID lain (Roy,
2015).
2.9.2 Non Medikamentosa
Pasien yang sensitif terhadap cahaya dapat menggunakan sunglasses
dalam aktivitasnya sehari-hari terutama di luar rumah (Roy, 2015)
2.10
Komplikasi
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar
satu dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.
Selain iritis, bila peradangan lebih dalam pada sklera dapat menimbulkan skleritis
(Ilyas & Yulianti, 2013).
13
Penelitian Berchicci et al, 2014 mengemukakan bahwa komplikasikomplikasi yang ditemukan pada penyakit episkleritis dapat mencakup anterior
uveitis, peripheral ulcerative keratitis, penurunan tajam penglihatan. Namun bila
dibandingkan dengan skleritis, angka terjadinya sangat kecil. Hanya 16,7%
pasien episkleritis yang membutuhkan terapi lebih dari sekadar kortikosteroid
tipikal dan pada pasien tersebut membutuhkan NSAID oral. Selain itu komplikasi
umum terjadi dengan terapi topikal steroid berulang dapat berupa terbentuknya
katarak, hipertensi okuli, dan glaukoma yang diinduksi steroid.
2.11
Prognosis
Penyakit ini memiliki prognosis yang bervariasi. Pada umumnya,
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas
Nama
: Ny. N
Usia
: 27 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Blimbing, Malang
Pekerjaan
Agama
: Islam
No. RM
: 11271xxx
Tanggal kunjungan
: 15 Januari 2016
3.2
Anamnesa (Autoanamnesa)
3.2.1
Keluhan utama
Bercak kemerahan di mata kanan.
3.2.2
lebih 1 hari yang lalu. Bercak merah tersebut muncul tiba-tiba saat pasien
beraktivitas, terasa perih dan sedikit mengganjal ketika berkedip. Bercak merah
dirasakan pasien semakin berwarna merah hingga 3 hari berikutnya. Pasien
merasa ada yang mengganjal di matanya dan merasa kemeng di mata
kanannya. Benjolan tidak membesar, tidak dirasakan nyeri, tidak ada nerocoh,
tidak terasa gatal, tidak belekan, tidak ada secret, tidak merasa silau. Pasien
juga tidak mengeluhkan pandangan kabur.
Tidak ada riwayat demam, tidak ada riwayat mual dan muntah, serta tidak
didapatkannya cekot-cekot. Tidak ada penyakit sistemik yang sedang dialami
pasien.
3.2.3
dengan OD Pingeukulitis.
Pasien tidak memiliki riwayat kencing manis, tidak ada riwayat penyakit
darah tinggi, dan tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya.
14
3.2.4
Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan obat Tobroson ed 6 dd 1 OD dan Eyefresh ed 6 dd
Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki alergi.
3.2.6
Riwayat Keluarga
Tidak ditemukan anggota keluarga lain yang mengalami keluhan yang
Riwayat Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien memiliki 1 orang anak.
15
OD
5/5
Orthophoria
OS
VISUS
5/5
Kedudukan Bola Orthophoria
Mata
GERAKAN BM
injection
(+)
inferior,
tes
epinefrin (+)
Jernih
Dalam
Radial line (+)
Bulat, 3mm, RP (+)
Jernih
N/P 5/5.5 = 17,3 mmHg
3.4
KORNEA
C.O.A.
IRIS
PUPIL
LENSA
T.I.O.
Diagnosis Kerja
OD Episkleritis
3.5
Rencana Diagnosis
Tidak ada rencana diagnosis
Jernih
Dalam
Radial line (+)
Bulat, 3mm, RP (+)
Jernih
N/P 5/5.5 = 17,3 mmHg
16
3.6
Rencana Terapi
Natrium Diklofenac minidose 1 mg ed 6 dd 1 gtt OD
Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt OD
3.7
3.8
Rencana Monitoring
Segmen
Anterior
(Palpebra,
Rencana Edukasi
3.9
3.10
Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionalis
Ad visam
Ad cosmetica
Ad sanam
: bonam
: bonam
: bonam
: bonam
: bonam
Follow-up
Tanggal
Subjektif
(Keluhan)
15 Januari 2016
21 Januari 2016
Bercak merah pada mata Bercak merah pada mata
kanan
kanan berkurang
Rasa tidak nyaman pada Rasa tidak nyaman pada
mata kanan
Nyeri (-), silau (-)
Penyakit sistemik (-)
17
Objektif
(Status
Lokalis)
OD
Pelebaran pembuluh darah
Visus :
ODS 5/5
Kedudukan bola mata :
ODS Ortophoria
Palpebra :
ODS Spasme (-) & Edema (-)
Konjungtiva :
ODS CI (-) & PCI (-);
OD
Hiperemia-pelebaran
Visus :
ODS 5/5
Kedudukan bola mata :
ODS Ortophoria
Palpebra :
ODS Spasme (-) & Edema (-)
Konjungtiva :
ODS CI (-) & PCI (-);
OD
Hiperemia-peleberan
pembuluh
pembuluh
darah
(+),
epinefrin (+)
Kornea :
ODS Jernih
COA :
ODS Dalam
Iris :
ODS Radline (+)
Lensa :
ODS Jernih
TIO :
ODS N/P 5/5.5 = 17 mmHg
Assessment OD Episkleritis
Planning
tes
darah
(+)
berkurang
Kornea :
ODS Jernih
COA :
ODS Dalam
Iris :
ODS Radline (+)
Lensa :
ODS Jernih
TIO :
ODS N/P
OD Episkleritis
dengan perbaikan, hyperemia
berkurang
Diagnosis : (-)
Diagnosis : (-)
Terapi :
Terapi :
Natrium Diklofenac minidose Natrium Diklofenac minidose
1 mg ed 6 dd 1 OD
1 mg ed 4 dd 1 OD
Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt Artificial Tears ed 6 dd 1 gtt
OD
Monitoring :
OD
Monitoring :
18
pemeriksaan Segmen
pemeriksaan Segmen
Anterior terutama
kanan
Hasil Terapi
Komplikasi
mata kanan
Hasil Terapi
Komplikasi
Edukasi :
Penyakit, rencana
Edukasi :
Meyakinkan penyakit tidak
pengobatan, prognosis
Cara pemberian, tujuan, dan
berbahaya
Kepatuhan
terapi
Kondisi
mengharuskan
rumah sakit
Rekurensi
segera
yang
ke
menjalankan
kondisi
yang
mengharuskan segera ke
rumah sakit
Rekurensi
19
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1
Identitas
Pasien pada kasus ini merupakan pasien wanita dengan umur 27 tahun.
lebih
banyak
mengenai
wanita
dibandingkan
pria
dengan
perbandingan 3:1 (Naila, 2014). Dalam penelitian kohort oleh Turner et al., 2010,
dari 64 kasus episkleritis yang dilakukan pengamatan menunjukkan bahwa 86%
adalah pasien wanita. Selain itu, dalam Kanski, 2011 disebutkan bahwa
episkleritis lebih banyak terjadi pada wanita.
Wanita cenderung mengalami episkleritis karena wanita memiliki risiko 50
kali lebih tinggi untuk menderita penyakit autoimun dibandingkan pria. Faktor
pencetus dari episkleritis ini menurut teori adalah karena adanya penyakit
autoimun. Dalam suatu teori dikatakan bahwa sistem imun pria berbeda dengan
wanita, disebutkan bahwa estrogen cenderung menjadi proinflamasi sedangkan
testosterone cendrung kepada antiinflamasi. Oleh karena itu wanita lebih
cenderung untuk mengalami permasalahan autoimun (Altersitz, 2007).
Watson, 2006, mengatakan bahwa episkleritis biasnyan cenderung terjadi
pada usia muda hingga paruh baya dalam jurnal tersebut dijelaskan secara
spesifik episkleritis biasanya terjadi pada kisaran usia 20 hingga 50 tahun baik
pada pria maupun wanita.
4.2
Anamnesis
Pasien mengeluhkan mata sebelah kanan merah sejak 1 hari yang lalu.
Bercak merah dimata tersebut dirasa perih dan kemeng. Bercak merah tersebut
muncul tiba-tiba saat pasien beraktivitas. Pasien merasa ada yang mengganjal di
matanya. seminggu sebelumnya pasien juga mengalami pinguekulitis di mata
kanannya.
Pasien dengan episkleritis, keluhan utama menurut AAO, 2011 adalah
mata merah tanpa iritasi. Pada kasus ini pasien yang datang ke poli mata RSSA
juga dengan keluhan bercak merah di mata sejak 1 hari yang lalu. Bercak merah
yang muncul tiba-tiba merupakan gejala yang khas pada episkleritis (kanski,
20
2011). Onset mata merah pada episkleritis simpel lebih cepat dan berair dalam
waktu beberapa menit. Albert, 2010 mengatakan dalam Curbside consultation,
hampir setengah dari pasien episkleritis mengalami rasa tidak nyaman pada
mata seperti adanya sensasi benda asing pada mata.
Dalam Kanski, 2011, Pada umumnya episkleritis adalah unilateral yaitu
mengenai satu mata, namun sekitar sepertiga pasien mengalami episkleritis
bilateral dalam satu waktu atau waktu lainnya. Jurnal penelitian optamologi oleh
Berchicci et al, 2014, ditemukan bahwa 24% pasien mengalami episkleritis
bilateral. Pada kasus ini, mata merah hanya pada mata kanan saja.
Pada episkleritis juga dilaporkan mengalami fotofobia sebanyak 10% dan
lakrimasi sebanyak 25%. Pasien dengan episkleritis tipe nodular tidak memiliki
gejala yang lebih parah dibandingkan dengan episkleritis simpel. Pasien pada
kasus ini tidak mengeluhkan fotofobia maupun lakrimasi (Yanoff, 2008)
Nyeri pada episkleritis biasanya ringan, tidak sampai nyeri hebat. Rasa
tidak nyaman terjadi pada 51% pasien kedua tipe episkleritis. Sensasi pada mata
digambarkan dengan sensasi iriitable ketimbang nyeri (Yanoff, 2008). Pada
pasien ini tidak mengeluhkan adanya nyeri hanya merasa sedikit kemeng.
Etiologi terjadinya episkleritis belum jelas (Cunningham, 2011). Hasil
anamnesis pasien kasus ini tidak didapatkan riwayat sakit yang mencetuskan
terjadinya episkleritis seperti SLE, RA, gout, spondilosis dan sebagainya. Oleh
karena itu, kemungkinan besar pasien ini menderita episkleritis yang idiopatik.
4.3
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan visus dan segmen anterior yang telah dilakukan pada
mata kanan dan kiri didapatkan visus 5/5. Palpebra tidak ada spasme maupun
edema. Pada konjungtiva kanan didapatkan CI, episkleritis injection sektoral,
namun tidak terdapat PCI. Tes epinefrin (+). Dari pemeriksaan kornea,
didapatkan kornea jernih dan COA dalam. Iris radier line (+). Pupil bulat ukuran
diameter 3 mm, dengan refleks pupil (+), Lensa jernih, TIO dalam batas normal.
Pada pasien dengan episkleritis jarang didapatkan adanya penurunan
visus hal ini sesuai dengan penelitian Jabs et al., 2000, yang menyatakan bahwa
tidak ada pasien episkleritis yang mengeluhkan atau pun terbukti adanya
21
penurunan visus. Hal tersebut sesuai dengan hasil pemeriksaan visus pada
pasien kasus ini.
Dari gambaran mata pada pasien didapatkan warna mata lebih merah
atau pink salmon yang merupakan karakteristik dari episkleritis (AAO, 2011).
(Kanski, 2011)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan untuk memastikan adanya
22
gejela ini baru pertama kali dialami pasien dan bukan merupakan suatu
rekurensi. Pemeriksaannya dapat berupa ANA test, rhematoid test, dan lain-lain.
Namun, hal tersebut tidak direkomendasikan karena mengahibskan biaya dan
selain itu penyakit autoimun biasanya dicurigai dari gejala klinis dulu, baru
memintakan suatu pemeriksaan (Yanoff et al, 2008). Selain itu, pada pasien ini
tidak terdapat adanya riwayat atau tanda-tanda penyakit sistemik.
4.4
Penatalaksanaan
Pada pasien ini diberikan terapi berupa Natrium diclofenac 1 mg mini
dose 6 kali sehari pada mata kanan. Natrium Diklofenac merupakan agen
antiinflamasi dan analgesik. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase yag merupakan bagian penting dalam biosintesis prostaglandin.
Prostaglandin itu sendiri merupakan mediator inflamasi intraokuler yang dapat
menyebabkan
gangguan
barrier
daerah
humor
aqueous,
vasodilatasi,
23
Hal tersebut membuatnya menarik kesimpulan dalam jurnalnya bahwa terapi dry
eye syndrome mungkin dapat menguntungkan pada episkleritis mengingat
penggunaan steroid memiliki efek samping meningkatkan tekanan intraocular
dan pembentukan katarak.
4.5
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu untuk tipe
episkleritis simpel atau 5-6 minggu untuk tipe episkleritis nodular (Yanoff, 2008).
Pasien diminta untuk kontrol dalam waktu 3-4 minggu jika pasien diterapi dengan
lubrikasi, sedangkan pasien diminta kembali dalam waktu 2 minggu jika pasien
menggunakan steroid.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam. Penelitian retrospektif,
Berchicci et al, 2014, rekurensi terjadi pada 23% pasien episkleritis dalam jangka
waktu folowup 16,5 bulan. Pasien yang mengalami rekurensi tersebut
membutuhkan terapi NSAID oral. Serangan berulang berhubungan dengan
penyakit sistemik dan dapat menyebabkan penipisan sklera.
Penelitian Berchicci et al, 2014 mengemukakan bahwa komplikasikomplikasi yang ditemukan pada penyakit episkleritis dapat mencakup anterior
uveitis, peripheral ulcerative keratitis, penurunan tajam penglihatan. Namun bila
dibandingkan dengan skleritis, angka terjadinya sangat kecil. Hanya 16,7%
pasien episkleritis yang membutuhkan terapi lebih dari sekadar kortikosteroid
tipikal dan pada pasien tersebut membutuhkan NSAID oral. Selain itu komplikasi
umum terjadi dengan terapi topikal steroid berulang dapat berupa terbentuknya
katarak, hipertensi okuli, dan glaukoma yang diinduksi steroid.
24
BAB 5
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Albert JS. 2010. Female with sectoral redness. Curbside consultation in cornea
and esternal disease, 69-XXI:132895584
Altersitz K. 2007. Women at greater risk for autoimmune disease with ocular
manifestations. Ocular Surgery News, February Edition
American Academy of Ophtamology. 2011. External Disease and Cornea, p216
Berchicci L, Miserocchi E, Nicola MD, Spina CL, Bandello F, Modorati G. 2014.
Clinical Features of Patients with Episcleritis and Scleritis In an Italian
Tertiary Care Referral Center. European Journal of Ophtalmology vol 24
Issue 13, 293-467.
Cunningham ET. 2011. Uveal Tract in Vaughan & Asburys General Ophtamology.
17th Ed. Chapter 7.
Foulks GN, Langston DP. 2010. Cornea and External Disease. In: Manual of
OcularDiagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America:
Library of Congress Catalog. p111-6
Gaeta, TJ. 2013. Scleritis. http://www.emedicine.com. [diakses 19 Januari 2016]
Galor A, Thorne J. 2013. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis.
http://www.pubmed.com [diakses 19 Januari 2016]
Ilyas, Sidharta. 2013. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Indonesia.
Ilyas S & Yulianti SR. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. 2000. Episcleritis and scleritis: clinical
features and treatment results. American Journal of Ophtalmology, 130(4):
469-76
Kanski JJ. 2011. Clinical Ophtamology. Seventh Edition. Philadelphia: Elsevier,
p252.
Naila,
Izati.
2014.
Episkleritis.
[serial
online].
https://www.scribd.com/doc/237490522. [diakses tanggal 19 Januari 2016]
Tsai JC, Denniston AKO, Murray P, Huang JJ, Aldad TS. 2011. Episcleritis.
Turner JR, McGwin G, Read RW. 2010. Episleritis: Association with dry eye
disease. Investigative ophthalmology & visual Science, 51: 6252.
26
Watson PG and Hayreh SS. 2006. Scleritis and Episcleritis. Brit. J. Ophtal.
(2006) 87, 169
Williams CP, Browning AC, Sleep TJ. A randomised, double-blind trial of topical
ketorolac vs artificial tears for the treatment of episcleritis. Eye. Sep 2004
Yanoff M and Duker JS. 2008. Yanoff & Duker: Ophthalmology, 3rd ed. 2008
Mosby, An Imprint of Elsevier.