Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

Varicella Zoster

Oleh :
Trechia Lestari (NIM : 11.2012.143)

Pembimbing:
Dr. Hendrik. SpKK

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Rumah Sakit Husada Jakarta
November 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus Varisela Zoster (VVZ) yang menyerang
kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi
dibagian sentral tubuh. Varisela merupakan penyakit yang ringan, sangat menular, terutama
pada anak-anak ditandai dengan terjadi demam dan malaise sebelum terbentuknya lesi
makulopapular

pada muka dan batang tubuh, yang kemudian menjadi vesikel dan

membentuk krusta. Varisela juga dikenal sebagai cacar air atau chicken pox. 1,2
Varisela merupakan penyakit yang tersebar luas diseluruh dunia menyerang terutama
anak-anak, namun dapat pula menyerang orang dewasa. Epidemik varisela terjadi pada
musim dingin dan musim semi, tercatat lebih dari 4 juta kasus, 11.000 rawat inap, dan 100
kematian tiap tahunnya. Di Indonesia, insidennya cukup tinggi dan terjadi secara sproradis
sepanjang tahun. Varisela merupakan penyakit serius dengan persentasi komplikasi dan angka
kematian tinggi pada dewasa, serta orang imun yang terkompromi. Pada rumah tangga,
presentasi penularan dari virus ini berkisar 65%-86%. VVZ merupakan infeksi yang sangat
menular dan menyebar biasanya dari oral, udara atau sekresi respirasi dan terkadang melalui
transfer langsung dari lesi kulit melalui transmisi fetomaternal.
Dari hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk menambah pemahaman
klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa komplikasi, mulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus ini
diharapkan mahasiswa dapat memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster
sehingga dalam pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan
dalam SKDI dapat sepenuhnya tercapai.

BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama

: An. NSW

Tanggal Lahir

: Jakarta, 21 Februari 2008 (6 tahun)

Status Pernikahan

: belum menikah

Pekerjaan

: pelajar

Pendidikan

: SD

Agama

: Kristen

B. Anamesis
Dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RS Husada pada tanggal 22
november 2014 pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama :
Lenting disertai gatal mulai dari punggung, perut, wajah, leher, dan lengan sejak 1 hari yang
lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Dua hari SMRS os mengeluh adanya demam. Demam dirasakan setelah pulang
sekolah disertai dengan rasa lemah badan dan batuk. Menurut keterangan ibu pasien,
disekolah sudah ada 2 temannya yang menderita cacar air sekitar 1 minggu ini.
Satu hari SMRS secara mendadak timbul bentol-bentol kecil berwarna merah di
tengkuk pasien, kemudian bentol-bentol kecil itu berubah menjadi lenting (berisi cairan).
Kemudian muncul lagi bintil-bintil kecil dan lenting di wajah, dan perut. Lenting tersebut
disertai dengan rasa gatal sehingga pasien sering menggaruknya hingga pecah. Rasa nyeri
disangkal pasien.
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien belum dibawa untuk berobat ke dokter.
Pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan kulit di bagian lain, tidak mengeluhkan
gangguan penglihatan dan pendengaran. Pasien mandi dua sampai tiga kali sehari, menggunakan
sabun Lux.
Dalam beberapa minggu ini pasien memang agak sibuk dengan kegiatan di vihara,
sehingga pasien mekan dan minum kurang teratur.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum menderita cacar air. Riwayat sakit berat dan dirawat di rumah sakit
sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Saat ini tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat penyakit kulit lainnya pada keluarga disangkal.
Riwayat Sosial :
Ibu Pasien mengatakan bahwa pasien adalah seorang pelajar SD yang tinggal bersama
kedua orang tuanya dan kakaknya. Pembiayaan perobatan di RS Husada dengan
menggunakan uang pribadi.
C. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang

Kesadaran : Kompos mentis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Tekanan darah : tidak diukur

Nadi : 88 kali/menit

Pernafasan : 22 kali/menit

Suhu : Afebris

VAS : 5/10
STATUS DERMATOLOGIS
1. Lokasi

: Pada regio fasialis terutama dahi dan pipi.

Efloresensi : terdapat papul dan vesikel yang pecah yang berukuran lentikuler.

2. Lokasi :
Pada regio abdomen dextra
Eflorosensi :
Terdapat papul dan vesikel.

3. Lokasi :
Pada regio coli posterior
Eflorosensi :
Terdapat vesikel yang sudah pecah yang berukuran lentikuker.

D. Resume
Pada wanita usia 55 tahun datang dengan keluhan nyeri dan gatal disertai timbulnya
lenting secara mendadak di regio thoraks depan kanan atas, ketiak kanan dan lengan
kanan sisi dalam dan punggung kanan atas sejak tiga hari yang lalu. Nyeri dirasakan
dengan VAS 6/10, berdenyut, dan seperti ditarik-tarik dan dirasakan sepanjang waktu.
Timbul pula vesikel multipel yang nyeri dan sedikit gatal, sudah

pecah . Status

dermatologis: ditemukan kulit eritematosa dan vesikel yang pecah dan meninggalkan
ekskoriasi secara dermatomal di regio thoraks kanan depan, axilla kanan, lengan kanan
sisi dalam, dan punggung kanan sisi atas dengan ukuran lentikular yang terletak di atas
kulit yang eritematosa.
E. Diagnosa Kerja
Varisela
F. Pemeriksaan Penunjang
- Tidak dilakukan.
G. Rencana Terapi
1. Varisela

Edukasi:
a. Mengurangi sementara aktivitas fisik dan beristirahat, makan makanan
bergizi. Lesi jangan digaruk walaupun terasa sedikit gatal, hindari lenting
yang pecah, jangan berdekatan dengan anak-anak atau orang lain yang
belum pernah mengalami cacar air sebelumnya. Konsumsi obat harus
teratur.

Menggunakan baju yang longgar dan terbuat dari bahan yang

menyerap keringat, jangan menggunakan baju dari bahan woll karena dapat
menyebabkan gesekan pada lesi zoster.
b. Kompres dingin pada rash dengan menggunakan NaCl fisiologis

R/ Asiklovir tab 400 mg no LXX


S 5 dd tab II

R/Gentamicin sulfate ung 0,1% 15 gram Tube no I


Sue

Kontrol kembali ke dokter dalam waktu 7 hari

2. Neuralgia akibat Herpes Zozter

Asam mefenamat tab 500 mg no XX.


Sprn

H. Prognosis
1. Ad vitam : bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster
laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua
infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes
zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang
berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi,
menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada
usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada
usia lebih tua.3
Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam
ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau
ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai ganda
DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik.
Penyebab pasti reaktivitas virus ini belum diketahui dengan pasti namun, reaktivasi virus
varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia,
dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan
imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang
ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik.3,4

Gambar 2 Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)


Gambaran Klinis
Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa.
Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu
sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu
akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang
edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat
menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik.
Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap
timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala
kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya
unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus
trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul
kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat
struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5

Gambar 3 Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)


Dermatom
Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing
masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom
pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang

berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal
sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat
kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi
herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada
dermatom tertentu.6

Gambar 4 Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus6)


Komplikasi
Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering
terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf
trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia.

10

Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati
rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai
akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri
neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster
menghilang.4,7

Gambar 5 Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick)


Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh
karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari
3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan
virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya
imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau
radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi
transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi
faktor risiko.8,9
11

Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari
setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi
setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).9
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes
zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh
replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa
laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris
yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal,
serabut.
Jaringan Parut
10%

-25%

dari

episode

zoster

dan

dapat

mengakibatkan

sakit berkepanjangan atau permanen, jaringan parut wajah.16


Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus
sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi cabang kedua dan ketiga.
Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung
(Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra
juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan keratitis,
akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis
retina akut dan juga tuli.4,5

12

Gambar 6 Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus dan gambaran vesikel dan pustul
(Sumber: http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp1302674)
Diagnosis
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis. 5 Komponen
utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2)
distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus
ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat
nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan
herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus
yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.10
Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi rekuren,
dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi
pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau herpes simpleks.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta,
imunoflouresensi direk dari spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena
membutuhkan waktu 1-2 minggu.1,10

13

Gambar 7 Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear;
sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya
antigen virus varisela zoster.1
Diagnosis Banding.4
1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis).11
Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV
asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella.
HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun tidak
adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan mukosa,
jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV), bentuknya
pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil.
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel
serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan
mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian.
14

Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di
wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai
gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual.
Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada
umumnya jarang terjadi.
2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal terdapat di
daerah setinggi jantung
Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses penyembuhan,
mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi risiko
komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik
golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per
hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.12 Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotik.4 Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien
berikut.13:
1.

Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus).
Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan menyebabkan
penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya

2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun


3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan pemberian
antiviral intravena
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca
transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga seluruh
krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan
5. Pasien dengan dermatitis atopik berat
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti
valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga
hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di atas 3 hari sejauh ini belum
diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10
hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan
antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x
250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.4,10 Obat

15

diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul
lagi.4
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau
phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan
antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat
dilakukan kompres terbuka.4,12
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi
infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih
sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder.
Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi
gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian
dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.14
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi
atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut.14:
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam
hari;
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300mg per
hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau
antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat
menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian
kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari
nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan
tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk
mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat
kontraindikasi relatif atau absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.14 Pada komplikasi
seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.
Pencegahan

1. Menjaga ketahanan tubuh dengan baik dan mencegah stress emosional yang berlebihan
16

2. Jika sudah terkena herpez zoster sebaiknya tidak berdekatan dengan anak kecil, orang
dengan kondisi imukompromais, dan orang dewasa yang sudah atau belum pernah
menderita varicella.
3. Vaksin.16

Vaksin mengandung dilemahkan virus varicella-zoster hidup, dan hanya


direkomendasikan untuk digunakan pada orang imunokompeten.

Vaksinasi orang 60-79 tahun diperkirakan untuk mencegah sekitar separuh kasus
herpes zoster dan dua-pertiga dari kasus neuralgia pasca-herpes pada populasi itu.
Pada orang yang divaksinasi di antaranya sebuah episode herpes zoster terjadi,
tingkat keparahan nyeri dan durasi berkurang sebesar 60%. Terapi medis (seperti
analgesik dan anti-virus) masih harus dipertimbangkan untuk pengobatan episode
herpes zoster, tanpa memandang status imunisasi.

Dosis single 0.65 mL dosis Zostavax diperlukan dan harus diberikan melalui
suntikan subkutan deltoid.

17

BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita berusia 55 datang ke dokter dengan keluhan nyeri yang timbul secara
mendadak di dada kanan dan axila dan lengan kanan serta punggung atas bagian kanan sejak
tiga hari yang lalu. Pada kulit muncul pula lenting-lenting yang berkelompok dan tersebar
hanya di dada kanan, axila dan lengan kanan, dan punggung atas bagian kanan. Tidak
terdapat lokasi lain timbulnya kelainan kulit yang serupa. Dengan timbulnya lesi seperti ini,
perlu dipikirkan terjadinya kelainan kulit yang manifestasinya merupakan lenting disertai
dengan nyeri yang cukup hebat (dengan VAS 6/10). Dengan melihat lesi eritema yang
menyebar secara dermatomal, dengan ukuran vesikel lentikular, terletak di atas kulit yang
eritematosa. Pada palpasi teraba kulit yang hangat, vesikel terlihat pecah t dengan permukaan
yang licin.
Lesi yang terlihat cukup karakteristik untuk herpes zoster, yang mana timbul gejala
kulit yang unilateral, bersifat dermatomal sesuai dengan persarafan. Pasien mengatakan
bahwa lengan atas, ketiak, dada dan punggung kiri terasa sangat sakit dan gatal. Pasien
menyangkal adanya lemas atau tidak mampu mengangkat tangan yang berarti pada pasien ini
tidak ada kelainan motorik. Dengan demikian keterlibatan elemen motorik pada persarafan
ini tidak ada. Lesi yang timbul juga khas berupa vesikel yang berkelompok, dengan dasar
berupa kulit yang eritematosa (kemerahan). Keseluruhan penampakan kulit maupun gejala
subjektif berupa nyeri sangat menyokong ke arah herpes zoster, mengingat penyakit ini
memiliki perjalanan berupa masa tunas 7-12 hari, dengan timbulnya lesi dalam 1 minggu
berikutnya, kemudian masa penyembuhan sendiri selama 1-2 minggu berikutnya. Pada pasien
ini, keterlibatan dermatomal yang terlibat adalah T2 hingga T4.
Pada reaktivasi herpes zoster, perlu ditanyakan gejala prodromal. Gejala prodromal
berupa demam disangkal, namun pasien mengeluhkan timbulnya nyeri pada otot dada dan
lengan bagian atas yang terjadi kurang lebih bersamaan dengan timbulnya lesi pada kulit.
Mialgia yang terjadi dapat merupakan gejala prodromal dari reaktivasi herpes zoster. Gejala
prodromal lainnya berupa pusing dan malaise disangkal oleh pasien.
Setelah yakin bahwa terjadi reaktivasi herpes zoster, perlu dipikirkan mengapa terjadi
reaktivasi. Pada literatur dikatakan bahwa tidak jelas sebetulnya pemicu reaktivasi, namun
herpes zoster dapat terjadi akibat penurunan fungsi sistem imun, seperti yang ditemui pada
seorang berusia di atas 50 tahun.

18

Penelitian oleh Schmader, et.al15 mengungkapkan bahwa herpes zoster sering terjadi pada
orang yang baru-baru ini mengalami stressful recent events. Pada pasien dalam anamnesis
mengatakan bahwa belakangan ini pasien cukup stres karena mengikuti kegiatan sosial yang
cukup banyak. Selain itu makan pasien dalam beberapa waktu terakhir juga tidak teratur.
Kesemua faktor ini diduga dapat menjadi pemicu reaktivasi herpes zoster. Herpes zoster
merupakan suatu reaktivasi akibat infeksi awal yang bermanifestasi sebagai varicella zoster
(cacar air). Pada pasien ditemukan riwayat cacar air pada saat berusia sekolah di SMP.
Dengan demikian jelaslah bahwa infeksi primer pada pasien ini telah terjadi.
Pasien kemudian diberikan pengobatan, berupa edukasi dan medikamentosa. Lenting
yang timbul jangan digaruk sebab dapat menimbulkan infeksi sekunder. Pasien juga
dianjurkan mengurangi sementara aktivitas fisik sebab saat ini pasien sedang mengalami
nyeri dan menggunakan baju yang longgar dan menyerap keringat, jangan bahan woll yang
dapat menyebabkan gesekan pada badan yang ada lesinya yang dapat menjadi penyebab
pecahnya lenting yang masih tersisa . Pada riwayat saat ini pasien tinggal dengan suami,
namun seringkali cucu pasien datang ke rumah untuk menginap. Pasien perlu diedukasi
bahwa pada orang yang belum pernah mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus
VZV ke pejamu lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan demikian
dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-anak ataupun orang yang belum
pernah mengalami varicela sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien.
Terapi medikamentosa yang diberikan berupa asiklovir 5 x 800 mg. Terapi dapat
diberikan secara efektif maksimal 72 jam setelah lesi terakhir muncul, yang pada pasien ini
masih terpenuhi (onset hari ke-3). Di atas 72 jam, pemberian asiklovir dikatakan tidak efektif
lagi. Perlu diingat pula bahwa konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sebab
pemberian asiklovir sebanyak 5 hari dalam sehari. Dengan demikian perlu digunakan alarm
jika diperlukan untuk membangunkan pasien atau mengingatkan pasien untuk mengonsumsi
obat. Asiklovir diberikan selama tujuh hari.
Untuk nyeri yang timbul pada pasien diberikan asam mefenamat 3x500 mg sebagai
analgesik. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol selama 7 hari kemudian kepada dokter,
untuk melihat perbaikan pada pasien.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):3406.
2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012.
Jakarta; 2012.
3. James WD, Berger T, Elston D. Andrews diseases of the skin. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011.
4. Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;
5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus topical diagnosis in neurology. 4th ed. New York: Thieme;
2005.
7. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and associated diseases: A 5year retrospective study at Tamathibodi Hospital. J. Med. Assoc. Thail. Chotmaihet
Thangphaet. 2005 May;88(5):67881.
8. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci. 2002
Oct;17(5):6559.
9. Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc; 2004.
10. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et al.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis. Off. Publ.
Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S126.
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas & synposis of clinical dermatology. 6th
ed. New York: McGraw Hill Medical;
12. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di indonesia:
sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia;
13. Gross G, Schfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes zoster
guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol. Off. Publ. Pan Am.
Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277289; discussion 291293.
14. Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections [Internet].
[cited 2013 May 6]. Available from: http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf
15. Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are stressful life
events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990 Nov;38(11):118894
20

16. Rafael Harpaz, MD, dkk. Prevention of Herpes Zoster. Recommendations of the
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). Vol 57/RR -5. 6 Juni 2008. :
Avaible from: http://www.cdc.gov/mmwr/pdf/rr/rr5705.pdf.

21

Anda mungkin juga menyukai