Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hampir semua negara di dunia sudah pernah mengalami kebakaran
hutan kecuali Antartika. Perancis pernah mengalami kebakaran hutan yang
menghanguskan 21.100 hektar (ha), di Portugal pada tahun 2005 sekitar
286.400 ha atau 3.1% wilayah negara terbakar, kebakaran hutan di Amerika
menghanguskan 1,74 juta ha atau 0,18% wilayah negara. Negara bagian
California terpajan 7.000 kebakaran hutan atau sekitar 125.000 hektar setiap
tahun dengan rata-rata biaya pertahun 75 juta dolar Amerika. Pada tahun 1992
dilaporkan lebih dari 900 bangunan hancur karena kebakaran hutan.
Penyebab paling umum kebakaran hutan adalah pembakaran, akibat saluran
listrik dan petir (Dawud Y, 1999). Dawud Y. Smoke episodes and assessment
of health impacts related to haze from forest fires: Indonesian experience. The
Indonesian Association of Pulmonologist, Persahabatan Hospital Jakarta;
1999.p 313-22
(kalbemed.com/Portals/6/10_189Dampak%20Asap%20Kebakaran
%20Hutan%20pada%20Pernapasan.pdf diakses pada tanggal 19 desember
2015)
Indonesia mempunyai hutan ke-3 terluas dunia setelah Brazil dan
Zaire. Luas hutan Indonesia kini diperkirakan mencapai 120,35 juta hektar
atau 63 persen luas daratan (Rumajomi, 2006). Rumajomi HB. Kebakaran
hutan di Indonesia dan dampaknya terhadap kesehatan [M 1. akalah
pengantar Filsafah Sains, Program Pasca Sarjana]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor; 2006.
(kalbemed.com/Portals/6/10_189Dampak%20Asap%20Kebakaran
%20Hutan%20pada%20Pernapasan.pdf diakses pada tanggal 19 desember
2015)

Kebakaran hutan dan lahan gambut tahunan di Indonesia sebagian


besar adalah krisis buatan manusia, yang berdampak terhadap kesehatan yang
utamanya terhadap Indonesia serta Asia Tenggara. Dimana perusahaan
perkebunan yang masih terus beroperasi dengan kondisi hukum yang lemah
penegakkannya dimana

cara

mereka

menjalankan praktik yang

tidak

bertanggung jawab seperti: membuka hutan, mengeringkan lahan basah,


padahal lahan gambut kaya akan karbon, dan menjadi penyebab utama
terjadinya kebakaran hutan, yang dikenal sebagai kabut asap. Yang tersisa di
kondisi alam, kebakaran lahan gambut sebenarnya sangat jarang terjadi, tapi
dalam beberapa dasawarsa kehancuran telah membuat Indonesia menjadi
wilayah sangat besar yang mudah terbakar - serta ancaman bagi
kesehatan jutaan orang di Sumatera, dan di seluruh wilayah tersebut. Di
Asia Tenggara, asap dari lahan gambut dan kebakaran

hutan

dapat

dihubungkan dengan terjadinya 300.000 kematian selama bertahun-tahun


El

Nio

berlangsung

(Internasional

Greenpeace,

2015).

http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/616273/Kabut%20Asap
%20Sumatera.pdf
Dari luasan total lahan gambut di dunia sebesar 423.825.000 ha,
sebanyak 38.317.000 ha terdapat di wilayah tropika. Sekitar 50% dari luasan
lahan gambut tropika tersebut terdapat di Indonesia yang tersebar di pulaupulau Sumatra, Kalimantan, dan Papua, sehingga Indonesia menempati urutan
ke-4 dalam hal luas total lahan gambut sedunia, setelah Kanada, Uni Soviet,
dan Amerika Serikat. Diperkirakan sedikitnya 20% dari luasan lahan gambut
di Indonesia telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan
meliputi pertanian, kehutanan, dan penambangan (Rieley dkk, 1996). Karena
wataknya yang sangat rapuh, luasan lahan gambut di Indonesia cenderung
mengalami penurunan, diperkirakan yang masih tersisa tidak lebih dari 17
juta hektar (Kurnain, 2005).
Daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia berdasarkan hasil
rekapitulasi tahun 2010- 2015 yaitu Jambi, Jawa Timur, Riau, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatera Utara. Selama periode 2010- 2015

daerah tersebut mengalami kebakaran hutan setiap tahun. Pada tahun 2015,
kebakaran hutan terluas berada di Riau yaitu 2.643,00 ha (Anonim, 2014).
Luas kebakaran hutan di Riau tiap tahun mengalami peningkatan,
tercatat pada tahun 2010 luas kebakaran hutan mencapai 26,00 ha. Pada tahun
2011 seluas 74,50 ha. Tahun 2012 mengalami peningkatan yang sangat
signifikan yaitu 1.060,00 ha. Pada tahun 2013 mencapai 1077,50 ha. Tahun
2014 mengalami signifikan juga yaitu 6.301,10 ha, di tahun ini merupakan
kebakaran hutan terluas selama periode 6 tahun. Pada tahun 2015, tercatat
kebakaran hutan seluas 2.643,00 ha (Anonim, 2014).
Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat periode 29 Juni-27
September 2015, korban terpapar asap sebanyak 44.871 orang (Kabar24.com,
2015). Menurut Andra Sjavril, dari korban terpapar asap sebanyak 44.871
orang, penderita ISPA sebanyak 37,396 orang, dan penderita ISPA terbanyak
ada di kota Pekanbaru mencapai 8.661 orang, pneumonia 656 orang, asma
1.702 orang, penyakit mata 2.207 orang dan penyakit kulit 2.911 orang.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, sejauh ini data
yang saya terima korban yang meninggal sebanyak 5 orang. Dua orang
meninggal karena pembakar lahan dan terkepung asap kemudian meninggal.
Tiga lainnya sakit akibat asap. (VOA Indonesia, 2015).
1.2 Identifikasi Masalah
Hampir semua negara di dunia sudah pernah mengalami kebakaran
hutan. Salah satu negara yang memiliki frekuensi kebakaran hutan tertinggi
yaitu Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia adalah pemilik hutan
hujan tropis terluas ketiga di dunia, setelah Brazil dan Kongo. Akibat
kebakaran hutan sebanyak 72% dari hutan asli Indonesia telah musnah.
Akibatnya, luas hutan Indonesia selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari
162 juta hektar menjadi 98 juta hektar. (Kompas.com, 2015)
Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Riau menjelaskan luas kawasan
hutan Provinsi Riau berdasarkan TGHK tahun 2013 seluas 8.598.757,00 ha
(Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 2013).
Menurut Isnadi S Man (2013), Riau memiliki total lahan gambut 4,04
juta hektar atau sekiar 48% dari total wilayah riau. Bahkan hamparan gambut

di Riau itu merupakan 56% dari total gambut di Sumatra. Oleh sebab itu Riau
rentan kebakaran.
Pengaruh polutan asap kebakaran akan berdampak buruk khususnya
pada kesehatan yaitu pada sistem pernapasan dan organ lain. Oleh sebab itu
perlu dilakukan manajemen penanggulangan bencana untuk meminimalisir
korban dampak dari kebakaran hutan.
Identifikasi masalah pada makalah ini adalah:
a. Xghhhhhhhhhhhhhhhhhj
b. Ghkkkkkkkkkkk
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.2 Tujuan Khusus
1.4 Sistematika Penulisan
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1 Uraian Kasus
3.2 Identifikasi Kasus
3.3 Permasalahan yang mungkin muncul
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bencana


Menurut Undang-Undang No.24 Tahun 2007, bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana merupakan pertemuan
dari tiga unsur, yaitu ancaman bencana, kerentanan, dan kemampuan yang
dipicu oleh suatu kejadian.
2.2 Jenis-jenis bencana
a. Bencana alam (natural disaster), yaitu kejadian-kejadian alami seperti
banjir, tanah longsor , gempa bumi, gunung meletus, angin topan dan lain
sebagainya.
b. Bencana akibat ulah manusia (man-made disaster), yaitu

kejadian-

kejadian karena perbuatan manusia seperti kecelakaan transportasi (udara,


darat, dan laut) kebakaran, huru-hara, ledakan bom, sabotase dan lainnya.
2.3 Pembagian Bencana dan Faktor-Faktor Terjadinya Bencana
Menurut Depkes RI (2007), bencana dapat dikelompokkan menjadi
bencana alam dan bencana non alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh
perbuatan manusia.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya risiko bencana
baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam antara lain :
a. Kondisi alam serta perbuatan manusia dapat menimbulkan bahaya bagi
makluk hidup, yang dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya
hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan
kualitas lingkungan.
b. Kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen
di dalam suatu wilayah yang berisiko bencana.
c. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.
Dengan beragamnya faktor penyebab bencana serta luasnya ruang
lingkup dan dimensi bencana sesuai UU No 24 Tahun 2007, maka dibutuhkan

keterlibatanberagam keahlian dalam upaya mengatasi dan pengurangan risiko


bencana, mulai dari keilmuan sosial menyangkut kelembagaan, organisasi,
pemberdayaan keluarga dan masyarakat, sampai di bidang teknik dan ahli
dinamika model dan analisis system ( Depkes RI, 2007).
2.4 Tahap Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
a. Pembakaran
Proses ini dilakukan pada saat mulai memasuki musin kemarau dengan
kegiatan yang terencana, yaitu pembersihan dan pembakaran limbah
tebangan oleh para penelola lahan seperti peladang, pengusaha kebun, dan
pengelola HTI. Setiap pengelola lahan berusaha untuk mencegah tidak
terjadi kebakaran. Dalam tahap ini ada unsur kesengajaan.
b. Kebakaran
Proses ini merupakan persebaran api diluar kendali penanggung jawab
kegiatan karena kelalaian, kondisi cuaca, dan keadaan bahan bakar.
Ukuran api tersebut bisa sedang sampai dengan besar, tetapi cenderung
akan membesar. Pada tahap ini, upaya mobilisasi sumber daya untuk
pemadaman mulai dikerahkan.
c. Bencana
Pada proses ini kebakaran akan meluas dan telah menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan mengancam keselamatan manusia.
Tabel 2.1
Tahapan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
Komponen
Pelaku

Pembakaran
Pemilik lahan
Karyawan

Kebakaran
Anonim
Puntung

perusahaan
Perambah

rokok
Penjalaran
Pemburu

hutan
Lokasi

Terisolasi dalam
kawasan tertentu
dan terkendali

binatang
Sabotase
Tersebar dan
tidak
terkendali
Lintas batas

Bencana
Anonim

Tersebar dan
tidak
terkendali
dalam satu
kawasan

yang luas
Lintas batas
kabupaten
Dampak asap

Lokal

Lokal atau lintas

atau provinsi
Lintas negara

batas
Manajemen

Pemilik lokasi

penanggulangan

administratif
Petugas atau

Mobilisasi

brigade pemadam

nasional

setempat atau
daerah
2.5 Siklus Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana UU No. 24 Tahun 2007 mendefinisikan
penanggulangan bencana atau disaster management sebagai serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahann bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekonstruksi. Bencana seringkali mengakibatkan keadaan
yang kacau atau chaos yang pasti mengganggu kegiatan normal sehingga
hasil yang dicapai tidak optimal. Melalui manajemen bencana yang baik,
keadaan kacau akan tetap terjadi, namun diusahakan agar waktunya sesingkat
mungkin sehingga hasil yang diperoleh lebih optimal. Ada 3 aspek mendasar
dalam manajemen bencana yaitu Respons terhadap bencana, Kesiapsiagaan
menghadapi bencana, dan Minimisasi (mitigasi) efek bencana. Ketiga aspek
manajemen bencana tersebut bersesuaian dengan fase-fase dalam apa yang
disebut siklus bencana.

2.6.1 Pencegahan
a. Jangan melakukan pembakaran untuk melakukan pembukaan lahan
b. Tatacara pembukaan lahan tanpa bakar, dengan cara berikut ini :
1) Tebang pohon dan semak belukar pada lahan yang ingin anda
gunakan untuk berkebun
2) Potong potong atau cacah pohon atau ranting tau semak tersebut
dan sebarkan ke sekeliling lahan anda
3) Jangan gunakan bahan kimia untuk mematikan pohon atua semak
4) Biarkan sisa semak dan pepohonan yang telah anda cacah tersebut
mengering selama lebih kurang sebulan. Bila memungkinkan
siramlah air kesegala penjuru lahan anda untuk membantu
mempercepat pembusukan
5) Tanamlah bibit anda disela sela batang pohon/ potongan
ranting / semak tersebut. Hal tersebut sangat berguna sebagai
pupuk bagi tanaman anda.
c. Bangunlah sumur dilahan anda sehingga anda tidak akan kesulitan
mencari air seandainya terjadi kebakaran yang tidak terkendali di
lahan atauun di luar lahan anda.
d. Bila memungkinkan, galilah parit disekeliling lahan anda, minimal
disekeliling rumah anda dengan dalam atau lebar minimal 30/30
cm. Periksalah menjelang musim kemarau agar tidak terjadi
pendangkalan. Prit ini sangat berguna untuk mencegah api
memasuki lahan atau daerah rumah anda.
e. Strategi yang dapat dijadikan acuan dalam usaha pencegahan
terjadinya kebakaran meliputi pendekatan sistem informasi
kebakaran,

pendekatan

sosial

ekonomi

masyarakat,

dan

pendekatan pengelolaan hutan dan lahan.


f. Pencegahan kebakaran hutan merupakan kegiatan awal yang
paling penting dalam pengendalian kebakaran dan merupakan
pekerjaan yang harus dilakukan secara terus-menerus. Pencegahan
kebakaran

merupakan

cara

yang

lebih

ekonomis

untuk

mengurangi kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh


kebakaran, tanpa harus menggunakan peralatan yang mahal.

Proses pembakaran terjadi karena adanya sumber panas (api)


sebagai penyulut, bahan bakar yang tersedia dan adanya oksigen
dalam waktun yang bersamaan seperti terlihat pada bagan segitiga
api. Sebuah konsep sederhana untuk mencegah terjadinya proses
pembakaran adalah dengan cara menghilangkan/meniadakan salah
satu dari komponen segitiga api tersebut. Hal yang dapat
dilakukan yaitu menghilangkan atau mengurangi sumber panas
(api) dan menghilangkan ataumengurangi akumulasi bahan bakar.
g. Ajak tetangga dan warga kampung anda untuk membuat sistem
peringatan sederhana apabila terjadi kebakaran seperti kebakaran.
h. Pada saat sebelum terjadinya bencana, sistem kesehatan melalui
subsistem surveilans dapat digerakkan untuk menentukan pola
penyebaran penyakit ISPA dan penyakit saluran pernapasan
lainnya.
2.5.2

Strategi Mitigasi Dan Upaya Pengurangan Bencana Kebakaran


Hutan
a. kampanye dan sosialisasi kebijakan pengendalian kebakaran lahan
dan hutan
b. peningkatan masyarakat peduli api
c. menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan
kebakaran
d. menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu
didaerah rawan kebakaran
e. memeperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang bahaya
kebakaran dan asap
f. mengembangkan waduk-waduk air di daerah rawan kebakaran
g. membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya kebakaran
beserta dampaknya
h. peningkatan penegakan hukum.

i. Pembentukan pemadam pasukan kebakaran khususnya untuk


penangan kebakaran secara dini
j. Pembuatn waduk di dalam daerahnya untuk pemadaman api
k. Pembuatan sekat bakar, terutama antara lahan, perkebunan,
pertanian dengan hutan.
l. Hindarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran
m. Hindarkan penanaman tanaman sejenis untuk daerah yang luas.
n. Melakukan penanaman kembali daerah yang telah terbakar dengan
tanaman yang heterogen.
o. Partisipasi aktif dalam pemadaman awal kebakaran didaerahnya
p. Pengembangan teknologi pembukaan lahan tanpa membakar
(pembuatan kompos, briket arang, dll).
q. Kesatuan persepsi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan
r. Penyediaan dana tanggap darurat untuk penanggualangan
kebakaran lahan dan hutan
s. Pengelolaan bahan bakar secara intensip untuk menghindari
kebakaran yang lebih luas
t. Deteksi hotspot melalui satelit NOAA, MODIS (Terra akua)
u. Sistem peringatan kebakaran (SPBK) dari automatic weather
system (AWS dan BMKG)
v. Penyebar luasan informasi early warning system (melalui deteksi
hotspot

SPBK,

tingkat

kerawanan)

melalui

website;

sikongi.menlhk.go.id dan yahoo group millist sipongi.


w. Pengembangan posko PUSDALKARHUT DIREKTORAT PKH
dengansistem informasi dari call center posko, sms center dan
2.5.3

twitter.
Kesiapsiagaan Kebakaran Hutan
a. Normal
1) Memastikan semua peralatan pemadam siap digunakan
2) Pelaksanaan program penyadaran untuk pencegahan kebakaran
hutan atau lahan
3) Melakukan kegiatan pelatihan penyegaran untuk staff pemadam
kebakaran
4) Memonitor, mengevaluasi dan mengelola seluruh informasi dan
laporan mengenai kebakaran hutan di kabupaten atau kota
b. Siaga 3
1) Patroli atau deteksi taktis bila diperlukan, tergantung pada kondisi
lokal
2) Memastikan semua peralatan dan personil pemadam siap digunakan

3) Melaksanakan sosialisasi atau kampanye atau penyuluhan pada


daerah rawan kebakaran hutan atau lahan
4) Mempersiapkan posko kebakaran hutan

dan

lahan

serta

menyebarluaskan nomor telepon, fax, dan daftar nama petugas


(koordinator) yang dapat dihubungi di masing masing daerah
c. Siaga 2
1) Melakukan patroli dan deteksi lapangan minimal 5 kali per minggu
2) Meningkatkan jumlah peralatan pemadam kebakaran dan personil
yang ditugaskan dilokasi kebakaran
3) Memfokuskan program pencegahan kebakaran pada daerah yang
memiliki tingkat resiko kebakaran tertinggi
4) Melakukan sosialisai kampanye atau penyuluhan atau penyebar
luasan informasi bahaya kebakaran hutan dan lahan melalui media
cetak dan media elektronik.
5) Melakukan koordinasi dan pemadaman hutan atau lahan secara
terpadu
d. Siaga 1
1) Melakukan patroli atau deteksi lapangan setiap hari per minggu
2) Menyiagakan posko kebakaran hutan dan lahan selama 24 jam per
hari
3) Melakukan pemadaman kebakaran hutan seluruh peralatan dan
personil
4) Mengerahkan seluruh personil, staff pendukung dan melibatkan
masyarakat.
5) Meningkatkan koordinasi dan mobilitas seluruh sumber daya secara
terpadu
6) Pemimpin
2.5.4

daerah

mengeluarkan

larangan

pembakaran

saat

penyiapan lahan
Tanggap Darurat Bencana
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk
yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Pada tahap tanggap darurat, hal paling pokok yang sebaiknya dilakukan
adalah penyelamaan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan
tanggap darurat. Selain itu, tahap tanggap darurat bertujuan membantu

masyarakat yang terkena bencana langsung untuk segera dipenuhi


kebutuhan dasarnya yang paling minimal. Para korban juga perlu dibawa ke
tempat sementara yang dianggap aman dan ditampung di tempat
penampungan sementara yang layak. Pada tahap ini dilakukan pula
pengaturan dan pembagian logistik atau bahan makanan yang tepat dan tepat
sasaran kepada seluruh korban bencana. Secara operasional, pada tahap
tanggap darurat ini dialihkan pada kegiatan :
a. Memberika peringatan agar masyarakat tidak keluar rumah
b. Selalu memakai masker
c. Upaya advokasi dapat dilakukan dengan alasan asap membahayakan
kesehatan masyarakat serta mengurangi produktivitas manusia dan
ekonomi di wilayah terdampak. Adapun upaya adaptasi selama ini
seperti meliburkan sekolah dan membagikan masker perlu lebih
progresif dan masif dilakukan. Masker yang dibagikan sebaiknya bukan
masker bedah pada umumnya namun masker N95 atau yang memiliki
kemampuan filtrasi hingga 95 persen.
d. peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, peningkatan fungsi satgas
kesehatan,
e. pembukaan posko kesehatan dengan biaya pengobatan grastis, dan
pengaktifan puskesmas selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.
f. Selain itu, himbauan Kemenkes agar dilakukan evakuasi apabila ISPU
mencapai

kategori

sangat

berbahaya,

belum

dapat

dilakukan

sebagaimana penanggulangan bencana lainnya sesuai dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal
ini dikarenakan tindakan evakuasi justru akan memperparah kondisi
penderita penyakit saluran pernapasan sehingga diperlukan mekanisme
g.
h.
i.
j.
k.

yang aman dalam tindakan evakuasi


Pembentukan pos komando
Pendataan terhadap jumlah korban dan kerusakan
Penyelenggaraan pengungsian
Pelayanan kesehatan
Penyemaian awan dengan garam NacL untuk operasi teknologi

modifikasi cuaca
l. Operasi Water Boom Boombing
m. Mekanisme pengelolaan bantuan

Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang
tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
Tim Reaksi Cepat/TRC;
Tim Penilaian Cepat/TPC (RHA team);
Tim Bantuan Kesehatan.
Sebagai koordinator tim adalah Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabupaten/Kota (sesuai Surat Kepmenkes Nomor 066 tahun
2006).
1. Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 024 jam
setelah

ada

informasi

kejadian

bencana.

Kompetensi

TRC

disesuaikan dengan jenis bencana spesifik di daerah dan dampak


kesehatan yang mungkin timbul. Sebagai contoh untuk bencana
gempa bumi dengan karakteristik korban luka dan fraktur,
kompetensi TRC terdiri dari :
a) pelayanan medik;
dokter umum
dokter spesialis bedah/orthopedi
dokter spesialis anestesi
perawat mahir (perawat bedah, gadar)
tenaga Disaster Victims Identification (DVI)
apoteker/tenaga teknis kefarmasian
sopir ambulans
b) surveilans epidemiolog/sanitarian
c) petugas komunikasi;
d) petugas logistik.
2. Tim Peniaian Cepat (RHA team)
Tim yang bisa diberangkatkan dalam waktu 024 jam atau bersamaan dengan
TRC

dan

bertugas

melakukan

penilaian

dampak

bencana

dan

mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan, minimal terdiri dari:


dokter umum
epidemiolog
sanitarian
3. Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan rekomendasi Tim RHA untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan peralatan yang lebih memadai,
minimal terdiri dari:
dokter umum dan spesialis

apoteker dan tenaga teknis kefarmasian


perawat
perawat Mahir
bidan
sanitarian
ahli gizi
tenaga surveilans
entomolog
Tabel 2.2
Estimasi Kebutuhan Tenaga Kesehatan Di Lokasi Bencana
Untuk jumlah penduduk/pengungsi antara 10.000 20.000 orang:
a. Dokter umum : 4 org
b. Perawat : 10 20 org
c. Bidan
: 8 16 org
d. Apoteker : 2 org
e. Pranata Laboratorium : 2 orang
f. Epidemiolog : 2 orang
g. Entomolog : 2 orang
h. Sanitarian : 4 8 orang
i. Tenaga teknis
Kondisi kesehatan pengungsi menjadi salah satu upaya pertama untuk

kebutuhan dasar. Peran petugas kesehatan pada fase tanggap darurat bencana yaitu
dengan Penanganan Pasien Darurat ;
a. Evakuasi korban
Evakuasi korban dari tempat terjadinya kebakaran ke tempat yang lebih aman.
Himbauan Kemenkes agar dilakukan evakuasi apabila ISPU mencapai kategori
sangat berbahaya, belum dapat dilakukan sebagaimana penanggulangan
bencana lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Hal ini dikarenakan tindakan evakuasi justru akan
memperparah kondisi penderita penyakit saluran pernapasan sehingga
diperlukan mekanisme yang aman dalam tindakan evakuasi
b. Petugas Triase
Petugas triase adalah dokter dan perawat terlatih yang bertugas untuk memilah
korban

menjadi

kelompok-kelompok

sesuai

dengan

tingkat

kegawatdaruratannya. Jumlah staf yang diperlukan setiap kejadian bencana

ditetapkan oleh Komandan Penanggulangan Bencana dan Kedaruratan dengan


ketentuan sebagai berikut:
Petugas triase minimal dua orang ;
Perawat minimal dua orang;
Psikolog minimal satu orang.
Petugas triase akan memilah korban kedalam lima kelompok untuk
kepentingan pengobatan. Setiap korban akan diberikan kode bencana berupa
tag warna oleh petugas triase yang menunjukkan tingkat keparahan cedera dan
wilayah tempat korban akan dibawa untuk perawatan. Tag bencana harus
tersedia setiap saat trjadi bencana dan disiapkan di lokasi triase.
1) Merah :cedera berat yang mengancam jiwa serta memerlukan pertolongan
segera
2) Hijau :cedera minimal yang tidak memerlukan perawatan dan alat
transportasi
3) Biru :cedera ringan yang membutuhkan perawatan medis

dapat

dievakuasi
4) Kuning :cedera serius tetapi tidak mengancam jiwa tetapi memerlukan
pertolongan secepatnya.
5) Hitam :pasien meninggal yang akan selanjutnya akan dipindahkan ke
Rumah Sakit terdekat untuk proses identifikasi.
Setiap korban akan di identiifikasi oleh petugas triase dengan tag yang berisi
identitas pasien seperti nama, umur, pekerjaan, sifat cedera, kategori cedera,
masalah kesehatan termasuk riwayat alergi jika diketahui. Jika tag telah
dilengkapi sebagaimana yang dijelaskan diatas, maka 1 copy tag disimpan
sebagai catatan klinis. Semua tag disimpan sampai bencana selesai dan
kemudian disampaikan ke rekam medis untuk dibuatkan catatan resminya
sebagai informasi. Satu salinan lagi di tempelkan pada korban.
c. Petugas life support
Selanjutnya para korban di tangani oleh petugas life support, bertugas untuk
melakukan upaya agar tetap hidup sesuai konsep kegawatdaruratan ( airway,
breathing, cirrculation, disability dan exsposure) yang dilaksanakan sesuai
dengan kategori yang ada dalam triase tag, dalam tahap ini juga tetap

dilakukan triase untuk memprioritaskan tindakan selanjutnya sesuai dengan


perkembangan fisik korban.
d. Petugas evakuasi
Petugas evakuasi bertugas melakukan evakuasi korban dari lokasi ledakan
bom ke Rumah sakit, masing-masing ambulance harus ada minimal 2 orang
petugas medis yang terampul dalam penanganan kegawatdaruratan, karena
dalam perjalanan korban harus dipastikan dalam keadaan aman, karena untuk
mencegah terjadinya kemungkinan perubahan kondisi korban menjadi lebih
buruk pada saat perjalanan menuju rumah sakit.
Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah kesehatan
pengungsi :
1) Melakukan penilaian cepat kebutuhan tenaga kesehatan
2) Menyusun ulang jadwal piket pos kesehatan
3) Memberikan pelayanan pengobatan dan pendampingan kejiwaan
4) Memberikan pelayanan dan penjaminan pembiayaan korban meninggal
5) Penambahan pos kesehatan di barak pengungsian (jika perlu)
6) Penguatan sistem pelaporan dan informasi
7) Melakukan rujukan dan upaya penguatan sistem rujukan
8) Penambahan logistik kesehatan
9) Survilans penyakit dan gizi
10) Inspeksi sanitasi
11) Promosi kesehatan dengan media kominikasi langsung
12) Menginfentalisir bantuan logistik dan relawan kesehatan
13) Kerja bakti membersihkan lingkungan
14) Upaya kesehatan reproduksi di barak pengungsian
15) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sesuai dengan tanggung jawab kewilayahan
puskesmas dengan dinas kesehatan sebagai kordianto
16) Mengusulkan rekruitment tenaga medis untuk jangka waktu 1 3 bualn untuk
memenuhi kekurangan tenaga medis
17) Pelayanan Logistik
18) Pelayanan sarana dan prasarana pngungsian
19) Pelayanan transportasi pengungsian
20) Pelayanan pendidikan
21) Penanganan korban dengan ganguan sistem pernafasan
22) Penanganan pengungsi
23) Pemberian bantuan darurat
24) Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih
25) Penyiapan penampungan sementara
26) Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara agar mampu
memberikan pelayanan yang memadai untk para korban

2.5.5

Rehabilitasi Dilakukan Melalui Kegiatan :


a. Melakukan kelola tata air
1) Mengupayakan agar gambut tetap tergenang air agar selalu basah
sepanjang tahun sehingga mengurangi resiko kebakaran
2) Sumber sumber air untuk masyarakat dan untuk operasi pemadaman
3) Melalui canal bloking, salah satu yang sudah dilakukan diseitohor,
camatan tebing tinggi timur, Kepulauan Meranti.
4) Bekerjasama dengan BNPD, UNDP melalui program pembuatan sekat
canal di provinsi Riau dan Jambi.
b. Perbaikan lingkungan daerah bencana
c. Melakukan upaya tanggap darurat pemadaman dengan pemadaman darat
dan teknik modifikasi cuaca atau hujan buatan
d. Upaya penyelidikan dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku
usaha yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar
e. Pemantauan kebakaran dari udara atau aerial surviler secara periodik di
f.
g.
h.
i.
j.
k.

kabupaten prioritas (Rokan Hilir, Bengkalis dan Dumai)


Pemulihan sosisal sikologis
Pelayanan kesehatan
Pemulihan sosial ekonomi budaya
Pemulihan keamanaan dan ketertiban
Pemulihan fungsi pemerintahan
Pemulihan fungsi pelayanan publik

2.5.6 Rekonstruksi

2.6 Peran Perawat Dalam Manajemen Bencana


2.6.1
Peran Perawat Dalam Fase Pre-impact
a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
dalam penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi
lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga
pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi
persiapan menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
c. Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk
meningkatkan kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana
yang meliputi hal-hal berikut:
1) Usaha pertolongan diri sendiri (pada masyarakat tersebut)

2) Pelatihan

pertolongan

pertama

dalam

keluarga

seperti

menolong anggota keluarga yang lain


3) Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan
membawa persedian makanan dan penggunaan air minum
4) Perawat juga dapat memberikan beberapa alamat dan nomor
telepon darurat seperti inas kebakaran, rumah sakit, dan
ambulans
5) Memberikan informasi teempat-tempat alternatif penampungan
atau posko-posko bencana
6) Memberikan informasi tentang perlengkapan yang dapat
dibawa seperti pakaian seperlunya, radio potable, senter beserta
2.6.2

baterainya, dll.
Peran Perawat dalam Fase Impact
a. Bertindak cepat
b. Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan
maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan
d. Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan
e. Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya

2.6.3

untuk jangka waktu 30 bulan pertama.


Peran Perawat dalam Fase Post-Impact
a. Pemuliahan kesehatan mental korban. Stress psikologi yang terjadi
dapat terus berkembang hingga terjadi post traumatic stress disorder
(PTSD) yang merupakan sindrom dengan 3 kriteria utama. Pertama,
gejala trauma pasti dapat dikenali. Kedua, individu tersebut mengalami
gejala ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwaperistiwa yang memacuhnya. Ketiga, individu akan menunjukan
gangguan fisik. Selain itu, individu dengan PTSD dapat mengalami
penurunan konsentrasi, perasaan bersalah dan gangguan memori.
b. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerja sama dengan unsure lintas sektor menangani masalah keehatan
masyarakat paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan

(recovery) menuju keadaan sehat dan aman.


2.7 Standar Minimal Peralatan Penanggulangan Bencana yang Tersedia Apabila
Terjadi Bencana Kebakaran Hutan

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.

Masker dan topi


Pesawat pembom air
Mobil pemadam kebakaran
Paket pemadam kebakaran
Baju anti api
Tabung oksigen minimal 30
Mobil pemadam kebakaran minimal 2
Mobil komando
Mobil ambulan minimal 2
Mobil rescue minimal 2
Mobil operasional 2
Mobil truk minimal 2
Mobil bbm
Mobil tangki air minimal 2
Mesin pompa air minimal 10
Mesin penyedot air minimal 10
Tenda posko kesehatan minimal 10
Alat komunikasi minimal 10
Genset dan lampu sorot minimal 10
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Uraian Kasus


3.1.1 Lokasi
Riau adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian
tengah Sumatera. Provinsi ini terletak di bagian tengah pantai timur
pulau Sumatera yaitu disepanjang pesisir Selat Malaka. Hingga 2004,
provinsi ini juga meliputi kepulauan Riau, sekelompok besar pulau
pulau kecil (pulau pulau utamanya antara lain : Pulau Batam dan
Pulau Bintan) yang terletak disebelah timur Sumatra dan sebelah
selatan Singapura. Keulauan ini dimekarkan menjadi provinsi
tersendiri pada Juli 2004. Ibukota dan Kota terbesarnya adalah
Pekanbaru.kota besar lainya antara lain Dumai, Selat Panjang,
Bagansiapiapi, Bengkalis, Bangkinang dan Rengat.
Riau saat ini merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia, dan
sumber dayanya didominasi oleh SDA, terutama minyak bumi, gas

alam, karet, kelapa sawit dan perkebunan serat. Tetapi, penebangan


hutan yang merajalela telah mengurangi luas hutan secara signifikan,
dari 78% pada tahun 1982 menjadi hanya 33% pada tahun 2005. Ratarata 160.000 Hektar hutan habis ditebang setiap tahun, meninggalkan
22% atau 2.45juta hektar pada tahun 2009. Deforestasi dengan tujua
pembukaan kebun kebun kelapa sawit dan produksi kertas telah
menyebabkan kabut asap yang sangat mengganggu di provinsi ini
selama bertahun-tahun, dan menjalar ke negara tetangga seperti
3.1.2

Malaysia dan Singapura.


Penduduk
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Provinsi Riau tahun 2015 sebesar 6.344.402 jiwa. Jumlah
penduduk laki-laki pada tahun 2015 ada 3.257.561 juta jiwa,
sedangkan penduduk perempuan ada 3.086.841 juta jiwa. Jumlah
penduduk balita tahun 2015 di Riau cukup banyak ada 719.985 jiwa,
sedangkan jumlah lansia ada 773.730 jiwa (Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian Sekretariat Jendral-Kementrian pertanian 2014)

3.1.3

Keadaan Alam Riau


Daerah Riau daratan sebagian besar terdiri dari hutan hutan, hutan
primer dan hutan sekunder dan tidak kurang pula disana sini terdapat rawa
rawa, bencah - bencah, tasik tasik, danau danau, serta pantainya
yang landai. Pada umumnya Riau daratan ini merupakan tanaha rendah
dan bukit- bukit yang terdapat dekat perbatasan dengan daerah Sumatra
Barat dana Tapanuli, yaitu kaki Bukit Barisan. Daerah yang tertinggi 1.019
meter DPL.
Sementara daerah Riau kepulauan terdiri dari gugusan gugusan pulau
pulau dekat perairan Malaysia dan menjorok masuk ke laut Cina Selatan
dan dekat dengan Pantai Kalimantan Barat dengan jumlah 513 pulau.
Gugusan pulau pulau itu adalah gugusan pulau pulau Bintan, gugusan
pulau-pulau Lingga, gugusan pulau-pulau Serasan, gugusan pulau pulau

Tambelan, gugusan pulau pulau Tujuh, gugusan pulau pulau Bunguran,


gugusan pulau pulau Natuna, gugusan pulau pulau Karimun.
Luas hutan berdasarkan laporan Dinas Kehutanan Provinsi Riau adalah
8,6juta hektar. Bila dirinci menurut fungsinya yaitu seluas 228.793.82
hektar (2,66%) merupakan hutan lindung, kemudian 1.605.762.78 hektar
(18,76%) adalah hutan produksi tetap, 1.815.949.74 hektar (21,12%)
adalah hutan produksi terbatas dan 531.852,65 hektar (6,19%) adalah
hutan swaka alam dan seluas 4.277.964,39 hektar (49,79%) merupakan
hutan produksi konversi.
Luas lahat kritis dalam kawasan hutan berdasarkan tata guna hutan di
provinsi Riau pada tahun 2012 tercatat seluas 1,2 juta hektar dengan lokasi
terlus ada di kabupaten Indragiri Hilir 229.319,24 hektar (19,18%) diikuti
kabupaten Hampar seluas 181.291,18 hektar (15,16%) dan kabupaten
kabupaten Rokan Hilir seluas 143.983,50 hektar (12,04%).
3.1.4 Iklim
Iklim yang menyelimuti Riau adalah tropis dengan temperatur terendah
230c dan tertinggi 300c. Kelembaban udaranya sekitar 880, sedangakan
curah hujannya rata-rata 2000mm per tahun.
Seperti daerah tropis lainya, masyarakat kepulauan Riau juga mengenal
musim kemarau dan penghujan. Selain musim yang umumnya dikenal oleh
masyarakat tropis, mereka juga mengenal adanya musim yang didasarakan
pada arah angin.
Pada saat-saat angin bertiup dari arah utara, maka pada saat itu disebut
sebagai musim utara. Ketika angin bertiup dari arah selatan, maka ada saat
itu disebut musim selatan. Kemudian, pada saat bertiup dari arah timur
maka pada saat itu disebut musim timur. Begitupun dengan angin barat.
Istilah tambahan musim di Tiau menandakan bahwa kebudayaan
masyarakat Riau adalah maritim atau kelautan. Sejarahpun mencatat
bahwa selat malaka adalah daerah strategis perdagangan internasional.
Bahkan ernah menjadi pusat kerajaan melayu, yakni Kerajaan Melayu
Riau Lingga.

3.1.5 Jenis Vegetasi


Riau mendukung keberadaan beragam jenis hutan dikarenakan kondisi
geologinya yang kompleks, jenis cuaca, cakupan lahan dan ketinggian
lahanya pada permukaan bumi. Kandungan tanah di Riau pada umumnya
bersi bebatuan pratersier yang berupa metamor dengan sel dingin yang
terbtas. Jenis tanahnya pad umumnya terdiri atas : organosol dan CLAY,
humik, podsol, podsolik, lotosol, dan latosol yang mengandung granit.
3.1.6 Kronologi Kebakaran Hutan
10% daratan di Indonesia adalah lahan gambut dimana paling banyak di
Sumatera, Kalimantan dan Papua. Lahan gambut merupakan lahan basah
yang mengandung banyak karbon yang terbentuk dari hasil sisa sisa
tumbuhan yang mulai membusuk. Gambut sulit dibakar tapi saat
dikeringkan gambut sangat mudah terbakar karena kandungan karbonya
yang tinggi. Ia dapat berubah menjadi tungku api raksasa yang
menghasilkan asap 3 kali lipat lebih besar dari kebakaran biasa, krmudian
terbakarnya lahan gambut tersebut meskipun tak semua juga disebabkan
karena perusahaan nakal, mereka membakar hutan untuk dijadikan lahan
pertanian baru. Dengan mengeringkan lahan gambut tersebut apalgi oleh
musim kemarau tiap tahunya ,ereka sangat mudah membakar hutan
tersebut, yang apinya dapat bertahan lama. Fakta mengejutkanya adalah
sangat masuk akal bagi mereka, hanya dengan sekitar Rp.500.000 untuk
membayar upah orang disekitar, ribuan hutan dapat terbakar dan lahan
baru dapat ditanami pilihan itu jauh lebih menguntungkan dibandingkan
mreka harus mengeluarkan 5-7 juta per hektar tanpa pembakaran.
3.1.7 Lokasi kebakaran hutan
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Pekanbaru,
Sugarin mengatakan hasil pantauan satelit Terra Aqua pada hari kamis

tanggal 30 Juli, pihaknya mendeteksi adanya 186 titik panas diberbagai


wilayah di Riau.
Dengan tingkat ketepatan diatas 70%, maka diindikasikan ada 140 titik
api, kata Sugarin kepada wartawan BBC Indonesia (Heyder Affan, Juli
2015)
Menurut BMKG stasiun Pekanbaru, ada 186 titik panas yang terdeteksi,
yaitu diwilayah Pelalawan (60 titik), Siak (11 titik), Indragiri Hilir ( 45
titik), Indragiri Hulu (54 titik), Dumai (6 titik), Bengkalis ( 5 titik), Siak
(11 titik), Kampar (3 titik).
Menurut Sugarin dari 186 titik panas itu, yang diindikasikan ada api yaitu
di Bengkalis (3 titik), Dumai (4 titik), Pelalawan (40 titik), Kampar (2
titik), siak (9 titik), Indragiri Hilir ( 33 titik), Indragiri hulu (47 titik).
3.1.8 Luas lahan yang terbakar
Luas kebakaran hutan di Riau tiap tahun mengalami peningkatan,
tercatat pada tahun 2010 luas kebakaran hutan mencapai 26,00 ha.
Pada tahun 2011 seluas 74,50 ha. Tahun 2012 mengalami
peningkatan yang sangat signifikan yaitu 1.060,00 ha. Pada tahun
2013 mencapai 1077,50 ha. Tahun 2014 mengalami signifikan juga
yaitu 6.301,10 ha, di tahun ini merupakan kebakaran hutan terluas
selama periode 6 tahun. Pada tahun 2015, tercatat kebakaran hutan
seluas 2.643,00 ha (Anonim, 2014).
Tabel 3.1
Luas Kebakaran Hutan Dan Lahan di Provinsi Riau Periode 2011-2015
PROVINS

2011

2012

2013

2014

2015

I
Riau
74,50
834,00
1.077,50
6.301,10
2.140,90
Sumber : Laporan dari UPT dan Dinas Kehutanan Provinsi-Posko PKHL 2015
Keterangan :
Periode 1 Januari- 16 Agustus 2015
Luas dalam satuan hektare
Tabel 3.2
Kondisi Hotspot Tahun 2014 Dan Tahun 2015 di Provinsi Riau
PROVINSI

KONDISI HOTSPOT

1 Jan-23
Agust 2014
Riau
4.120
Sumber : Satelit NOAA 18
www.sipongi.menlhk.go.id
3.1.9

1 Jan-23
Agust 2015
1.346

%
Penurunan
Keterangan
67,0

Keterangan

Turun

Jumlah korban kebakaran hutan riau


Kebakaran hutan dan lahan seperti sudah menjadi tradisi tahunan di
Indonesia, baik yang diakibatkan oleh oknum tertentu maupun karena
faktor alam. Hingga bulan September 2015, kebakaran hutan dan lahan
terutama di Provinsi Riau mencapai 2.643 ha. Asap dari kebakaran
hutan dan lahan diwilayah Sumatera dan Kalimantan pada tahun ini
telah menimbulkan dampak terburuk. Hal ini menyebabkan Pemerintah
Daerah setempat terpaksa menetapkan status bencana dan status
kegawatdaruratan kesehatan masyarakat. Pada 1 Juni 2015, Pemerintah
Provinsi Riau menetapkan status siaga darurat hingga 31 September
2015.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan menyebabkan peningkatan
permasalahan kesehatan masyarakat terutama kelompok berisiko, yaitu
ibu hamil, balita, anak-anak dan orang lanjut usia yang memiliki
kekebalan tubuhrendah. Bahkan, peristiwa kebakaran hutan dan lahan
tidak jarang mengakibatkan korban jiwa. Berdasarkan data Kementerian
Kesehatan (Kemenkes), BPBD, dan Dinas Kesehatansepanjang
peristiwa kabut asap selama tahun 2015, korban Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di Riau mencapai 25.834 orang, Sumatera
Selatan sebanyak 22.500 orang, Jambi 6.621 orang dengan satu orang
balita meninggal, Kalimantan Tengah 6.764 orang dan Kalimantan
Selatan 6.750 orang.
Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat periode 29 Juni-27 September
2015, korban terpapar asap sebanyak 44.871 orang (Kabar24.com,
2015). Menurut Andra Sjavril, dari korban terpapar asap sebanyak
44.871 orang, penderita ISPA sebanyak 37,396 orang, dan penderita
ISPA terbanyak ada di kota Pekanbaru mencapai 8.661 orang,

pneumonia 656 orang, asma 1.702 orang, penyakit mata 2.207 orang
dan penyakit kulit 2.911 orang. Menurut Kepala Pusat Data Informasi
dan Humas BNPB, sejauh ini data yang saya terima korban yang
meninggal sebanyak 5 orang. Dua orang meninggal karena pembakar
lahan dan terkepung asap kemudian meninggal. Tiga lainnya sakit
akibat asap. (VOA Indonesia, 2015).
Menurut Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru penderita ISPA sangat tinggi
sehingga menetapkan situasi ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
3.2 Identifikasi Kasus
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Riau tercatat periode 29 Juni-27
September 2015, korban terpapar asap sebanyak 44.871 orang (Kabar24.com,
2015). Menurut Andra Sjavril, dari korban terpapar asap sebanyak 44.871
orang, penderita ISPA sebanyak 37,396 orang, dan penderita ISPA terbanyak
ada di kota Pekanbaru mencapai 8.661 orang, pneumonia 656 orang, asma
1.702 orang, penyakit mata 2.207 orang dan penyakit kulit 2.911 orang.
Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, sejauh ini data
yang saya terima korban yang meninggal sebanyak 7 orang.
3.2 Permasalahan Yang Mungkin Muncul
Dampak Buruk Kabut Asap bagi Kesehatan Masyarakat yaitu:
Saat ini, pemerintah menggunakan standar kualitas udara untuk menentukan
besar kecilnya pencemaran udara akibat kabut asap dengan acuan ISPU. ISPU
ditetapkan berdasarkan lima pencemar utama, yaitu partikel halus berukuran
10 mikrogram (PM10) ke bawah, gas sulfur dioksida (SO2), karbon
monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2). Kategori ISPU
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 3.3
Indeks Standar Pencemaran Udara
ISPU

> 400

Kategori

Dampak
Kesehatan

Sangat

Berbahaya bagi

berbahaya

Tindakan
Pengaman

semua

harus

semua orang

tinggal

di

terutama balita,

rumah

dan

ibu hamil, orang

tutup

tua, dan penderita

serta jendela

pintu

gangguan
pernapasan

segera
dilakukan
evakuasi
selektif

bagi

orang berisiko
ke

tempat

ruang

bebas

pencemaran
300-399

Berbahaya

bagi penderita

udara
penderita

suatu penyakit,

penyakit

gejalanya akan

ditempatkan

semakin serius
orang sehat

pada

merasa mudah

pencemaran

ruang

bebas

lelah

udara
aktifitas kantor
dan

sekolah

harus
menggunakan
AC
200-299

penderita

atau

purifier
aktifitas di luar

Sangat

Pada

tidak sehat

ISPA, pneumonia,

rumah

dan
jantung

maka

dibatasi
perlu

gejalanya

akan

semakin
meningkat

air

harus

dipersiapkan
ruang

khusus

untuk
perawatan
penderita ISPA
/

pneumonia

berat

di

puskesmas dan

rumah sakit
aktifitas bagi
penderita
jantung

101-199

Tidak sehat

dikurangi
menggunakan

menimbulkan

masker

gejala

penutup

pada

dapat
iritasi
saluran

hidung

pernapasan
bagi penderita

bila

melakukan
aktifitas

penyakit
jantung,

di

luar rumah
aktifitas fisik

gejalanya akan

bagi penderita

semakin berat

jantung harus

dikurangi
51-100
Sedang
< 50
Baik
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 289/Menkes/SK/III/2003 tentang
Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran hutan
terhadap Kesehatan.
Menurut data Kemenkes, Indeks Standar
Pencemar Udara (ISPU) pada Agustus hingga September 2015 di Kota
Palangkaraya berkisar antara 109-125, di Kota Pekanbaru mencapai 172 dan di
Kota Palembang mencapai 412. Dengan angka ISPU tersebut, kualitas udara di
tiga kota tersebut termasuk dalam kategori tidak sehat. Kondisi ini tentunya sangat
mempr ihat inkan, mengingat dampak pencemaran udara yang sangat berbahaya
bagi manusia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Data ISPU diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau yang mempunyai
peralatan monitoring ISPU di beberapa tempat dan juga dari mobil pengukur
ISPU yang dioperasikan Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatera Kementerian

Lingkungan Hidup (PPE KLH). Bencana asap berdampak masyarakat setempat


mengidap penyakit yang berkaitan dengan saluran pernapasan, seperti Infeksi
Saluran Napas Atas (ISPA), pneumonia, asma, iritasi mata, dan iritasi kulit.
Adanya asap sebagai akibat kebakaran lahan dan hutan dapat memperpendek
jarak pandang dan menyebabkan pesawat tidak dapat mendarat. Hal tersebut
mengganggu operasi transportasi udara sehingga lalu lintas publik pun ikut
terganggu dan menimbulkan kerugian dari sisi perekonomian lokal.
Adapun dampak masing-masing pencemar udara tersebut terhadap kesehatan
tercantum dalam Tabel 2 di bawah ini.
Parameter

Baku Mutu

Dampak Kesehatan

(g/Nm3)
PM10

150

dapat masuk ke saluran


pernapasan bawah dan

SO2
CO

365

menempel di paru-paru
mengganggu paru-paru dan

10.000

saluran pernapasan
mengganggu distribusi
oksigen dalam jaringan

O3

tubuh, nyeri dada, aritmia


mengganggu fungsi paru-

235

paru, menyebabkan
NO2

pembengkakan paru dan


mengganggu fungsi paru-

150

paru terutama pada


penderita asma dan
anakanak,

Diagnosa keperawatan yang muncul:


1.

penurunan

kualitas

kesehatan

masyarakat

berhubungan

pencemaran udara karena kabut asap ditantai dengan kadar ISPU.....

dengan

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Faktor Internal
Faktor utama penjabaran faktor internal ini adalah menggambarkan kekuatan
dan kelemahan yang ada dalam kerjasama yang telah dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah dalam penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan di Riau.
a. Kekuatan (Strength S)
1. Adanya komitmen pemerintah untuk memberdayakan masyarakat
dalam

penanggulangan

kebakaran

hutan

dan

lahan

melalui

pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA).


2. Adanya institusi di tingkat Kabupaten seperti Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (Bapedalda), Dinas Kehutanan dan Dinas
Perekebunan yang berperan memberdayakan masyarakat dalam
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
3. Adanya minat masyarakat untuk berpartisipasi

pada

proses

pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan


dan lahan.
4. Adanya kesesuaian lahan untuk tanaman holtikultura jenis nenas
b. Kelemahan (Weakness W)
1. Terbatasnya fasilitas penanggulangan kebakaran hutan dan lahan baik
sarana

peralatan

pemadaman

kebakaran

maupun

prasarana

pendukungnya.
2. Lemahnya tingkat pendidikan masyarakat sehingga mempengaruhi
pola pembukaan lahan dengan cara membakar.

3. Perhatian pemerintah dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan


masih bersifat insidentil (perhatian hanya ada pada saat kebakaran
terjadi).
4. Belum adanya teknologi penyiapan lahan gambut yang mudah dan
murah selain dengan cara bakar.
4.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dibahas terfokus pada penjabaran peluang dan ancaman
yang ada dalam menentukan strategi pemberdayaan masyarakat dalam
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
c. Peluang (Opportunity O)
1. Adanya program pemerintah seperti kebun rakyat yang dapat
membantu masyarakat dalam pembukaan lahan tanpa bakar.
2. Banyaknya pihak yang perduli terhadap lingkungan sehingga dapat
memberikan ide atau gagasan dalam penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan.
d. Ancaman (Threats T)
Adanya pemancing liar membuang puntung rokok saat memancing yang
dapat memicu timbulnya kebakaran di lahan gambut.
Berdasarkan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan serta faktor
eksternal yang dimiliki sebagai peluang dan ancaman terdapat beberapa
strategi yang dapat dilakukan dengan mengembangkan kekuatan yang ada,
meminimalisir kelemahan, memanfaatkan peluang yang ada serta bagaimana
mengatur ancaman menjadi peluang.
Strategi SOstrategi memanfaatkan seluruh kekuatan dan peluang sebesarbesarnya
1. Membentuk kerjasama yang baik antar instansi untuk memberikan
pelatihan mengenai penanggulangan kebakaran hutan dan lahan secara
rutin kepada Masyarakat Peduli Api (MPA) (S1,2,3-O1).
2. Meningkatan keterampilan masyarakat dalam upaya penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan melalui pemberdayaan masyarakat (S1,2,3,
O1).
3. Pengembangan tanaman hortikultura jenis nanas oleh pemerintah
kabupaten yang berpotensi mewujudkan kegiatan pertanian tanpa bakar
(S1,2,3 O2).

Strategi ST strategi menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman:


Pemerintah mensosialisasikan ancaman hukuman bagi pembakar lahan kepada
masyarakat agar timbul rasa takut apabila melakukannya (S1,2,3,4 T1,2).
Strategi WO strategi mengatasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang:
1. Meningkatkan sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran lahan bagi
masyarakat (W1 O2).
2. Masyarakat memanfaatkan kebun rakyat yang sudah disiapkan pemerintah
sehingga tidak perlu membakar dalam penyiapan lahan perkebunan (W4
O1).
3. Pemerintah perlu memfasilitasi alat berat bagi masyarakat dalam membuka
lahan perkebunan dengan syarat dan ketentuan (W4 O2)
Strategi WT strategi mengatasi kelemahan dan menghadapi ancaman
1. Melengkapi alat-alat pemadaman kebakaran hutan dan lahan serta penegakan
hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. (W1 T1).

Anda mungkin juga menyukai