Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara ilmiah dalam hal ini
berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan tujuan penggunaannya.
Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi menjadi batubara muda (brown
coal atau lignite),
sub
bituminus,
bituminus,
dan
antrasit.
Sedangkan
berdasarkan
tujuan
penggunaannya, batubara terbagi menjadi batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking
coal atau metallurgical coal), dan antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas. Berdasarkan metodenya,
pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara langsung yaitu batubara yang telah
memenuhi
spesifikasi
tertentu
langsung
digunakan
setelah
melalui
proses
peremukan
(crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU batubara, kemudian pemanfaatan dengan
memproses terlebih dulu untuk memudahkan penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water
Slurry), COM (Coal Oil Mixture), dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya pemanfataan
melalui proses konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang terdiri dari kelas sub
bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat sebagai bahan bakar pada PLTU
belakangan ini, seiring dengan perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi
batubara berkualitas rendah.
kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO 2 sebesar 2,5%, maka
efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat
pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran (combustion
technology) merupakan tema utama pada upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara
langsung sekaligus upaya antisipasi isu lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran lapisan tetap (fixed bed
combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal combustion /PCC), dan pembakaran
lapisan mengambang (fluidized bed combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis
jenis boiler yang digunakan untuk masing masing metode pembakaran.
emisi NOx dalam gas buang, kandungan fuel NOx mencapai 80 90%. Untuk mengatasi NOx ini,
dilakukan tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran berlangsung, dengan
memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.
pembakaran
dengan
metode
berukuran
FBC,
batubara
maksimum
diremuk
25mm.
Tidak
terlebih
seperti
dulu
dengan
pembakaran
menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau metode
PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran batubara
dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu dari
bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan
menjaga butiran batubara tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti
fluida yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih
sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan baik
dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan bakar yang akan
digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada
pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan
kadar abu. Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan
baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air
yang menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di
atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit,
serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka pada FBC, suhu pembakaran
berkisar antara 850 900 saja sehingga kadarthermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu,
dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi
lagi.
Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada metode pembakaran
tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi bersamaan dengan proses pembakaran
di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara
kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran,
akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi,
batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga
pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.
mekanisme
kerja
pembakaran,
metode
FBC
terbagi
dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7 di atas. Dapat dikatakan
bahwa Bubbling FBC
merupakan
prinsip
dasar
FBC,
sedangkan
CFBC
merupakan
pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu tinggi. Partikel
media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum terbakar yang ikut terbang
bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler.
Melalui proses sirkulasi ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung
lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh karena itu, selain
batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban bekas dapat
pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya
berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan
menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap (stack).
FBC,
bila
tekanan
di
dengan
tekanan
udara
luar,
disebut
dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada tekanan udara
luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan teknologi FBC ini.
Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC menjadiAdvanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk
CFBC selanjutnya berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC
(PICFBC).
PFBC
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap untuk
memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat
memutar turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang
lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai
efisiensi bruto pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC dapat ditekan
dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di dalam boiler, sedangkan NOx
dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif rendah (sekitar 860) dan pembakaran 2
tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas,
maka abu pembakaran yang ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu dihilangkan
lebih dulu. Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi
bertekanan yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan menurunkan
kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.
untuk menimbulkan lapisan bergerak yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah ruang
pembakaran utama akan terbentuk lapisan bergerak yang turun secara perlahan, sedangkan pada
kedua sisi ruang tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang
pembakaran utama dan kemudian turun perlahan lahan, dan kemudian terangkat lagi oleh angin
bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk spiral (spiral flow) yang
terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama. Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini
dapat menjaga suhu lapisan mengambang supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut
bergerak dengan sangat dinamis, maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas dinding
penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas. Karena pada ruang
pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah, maka pada ruang tersebut akan
terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga. Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang
pembakaran utama menuju ke ruang pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang
pembakaran utama, membentuk aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang tersebut.
Menggunakan pipa pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang
pembakaran utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan panas berbanding lurus
dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan demikian maka hanya dengan mengatur
volume angin tersebut, tingkat keterambilan panas serta suhu pada lapisan mengambang dapat
dikontrol dengan baik, sehingga pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian diberi tekanan
dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan (pressurized vessel), yang
selanjutnya disebut dengan Pressurized ICFBC (PICFBC). Dengan mekanisme ini maka selain uap
air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk
memutar turbin gas sehingga pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat diwujudkan.
Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis
hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi pembangkitan untuk
lebih mengintensifkan penggunaan teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan.
Upaya
ini
akhirnya
menghasilkan
sistem
pembangkitan
yang
disebut
dengan Integrated
Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada gambar 12 di bawah ini.
penangkapan CO2 yang signifikan,slag yang dapat dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi,
dan lain lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda, berkapasitas 250MW.
Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi
baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang
dari 10 ppm, kemudian efisiensi pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida
dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi
kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.
Di samping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang dikembangkan saat
ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan berdasarkan banyaknya unit dan
model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya untuk turbin gas GE Frame 7FA yang
berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW,
berarti cukup 1 unit yang dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan
menjadi 550MW, dan bila 3 unit maka akan menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas pembangkitan
yang diinginkan adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai bukan lagi GE Frame 7FA, tapi
GE 7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang
lebih kecil lagi, maka GE 6FA yang berkapasitas 85MW dapat digunakan.
Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan digunakan ini, selain akan
membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya juga akan mempersempit rentang
operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan
dengan menurunkan beban pada turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan
menurunkan efisiensi pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang dihasilkan.
Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC saat ini adalah ongkos pembangkitan per kW
dan operation &maintenance (O & M) yang lebih mahal, serta availability factor (AF) yang lebih
rendah dibanding PCC.
Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman Barat
mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek demonstration plant IGCC
bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984, yang mengoperasikan IGCC berkapasitas
120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang
murni komersial. Penyebab utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar, serta teknologi
IGCC yang belum terbukti. Teknologi IGCC disini maksudnya adalah rangkaian proses dari
keseluruhan bangunan (building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini perlu ditekankan
karena teknologi dari masing masing unit pada IGCC misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin
uap, dan yang lainnya merupakan teknologi yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang
berlangsung sekitar 20 tahun lebih sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara
komersial saat ini baik di AS maupun di Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh
beberapaplant IGCC tersebut adalah
1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC ini beroperasi sejak
September 1996 dibawah proyek Tampa, menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang
GE Energy). Bahan bakar yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke).
Masalah yang dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan
nilai yang direncanakan. Pernah pula terjadi fauling padagas cooler.
2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi sejak September
1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini menggunakan teknologi gasifikasi dari
Global Energy (saat ini bagian dari Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari Departemen
Energi AS (DOE) pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan adalah petcoke 100%.
3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini bermula dari proyek
Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi yang digunakan adalah dari Shell,
yang bahan bakarnya adalah batubara dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu)
untuk lebih mengurangi emisi CO 2. Masalah yang pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas
cooler dan timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan yang tinggi, faktor
ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti, upaya untuk lebih mengurangi
kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.
Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi pembangkitan, yaitu
dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem IGCC. Dengan demikian, akan
terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap,
dan fuel cell. Metode pembangkitan ini disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell
Combined Cycle (IGFC), yang diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.
energinya sedikit
dan efisiensi
pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas alam, gas bio, atau gas hasil
gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi
4 yaitu Phosphoric-Acid Fuel Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel
Cell (SOFC), dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan
karakteristik dari keempat jenis sel bahan bakar tersebut.
Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi pembangkitan dengan
turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu yang sangat tinggi.
Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara teoretis mampu
mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah tingginya efisiensi pembangkitan yang
dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum IGFC benar benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama
adalah urgensi pematangan teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah pengembangan dari
IGCC. Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi murah, untuk
mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.
Penutup
Perkembangan teknologi pembakaran pada PLTU batubara telah disajikan di atas. Secara umum
dapat dikatakan bahwa suatu teknologi yang berkembang tidak terlepas dari hal pokok yang disebut
3E, yaitu Engineering (sisi teknis), Economy (sisi ekonomis), dan Environment (sisi lingkungan). Pada
tahap awal, faktor Economy mungkin menjadi pertimbangan utama untuk pembangunan fasilitas
pembangkitan, diikuti Engineering, dan terakhir Environment. Namun seiring dengan upaya
pengurangan polusi atau pencemaran lingkungan yang menyebabkan makin ketatnya baku mutu
lingkungan, terlihat bahwa urutan 3E tersebut mulai berubah. Faktor Environment secara perlahan
menempati urutan pertama dalam pertimbangan pengembangan teknologi, kemudianEngineering,
dan terakhir justru Economy.
Mengambil contoh IGCC, adalah wajar bila tahap awal perkembangannya pasti memerlukan biaya
yang besar. Namun seiring dengan menguatnya isu lingkungan dan matangnya teknologi tersebut,
biaya itu akan menurun dan pada waktu tertentu akan kompetitif terhadap teknologi yang sudah ada.
Sebaliknya, teknologi pembangkitan yang ada, misalnya PCC yang saat ini mendominasi, lambat laun
akan semakin mahal untuk mengakomodasi standar mutu lingkungan yang semakin ketat, dan pada
akhirnya justru malah akan membebani dari segi ekonomi. Di bawah ini ditampilkan perbandingan
biaya pembangkitan antara IGCC dan PCC di AS selama kurun 20 tahun terakhir, dan prediksinya di
masa depan.