Anda di halaman 1dari 6

DONGENG DAN KEKUASAAN ATAS PEREMPUAN

Oleh:
Audifax

Dongeng akrab dengan kehidupan kita. Ketika kanak-kanak, kita kerap


mengonsumsi berbagai dongeng. Anggapan sebagai cerita isapan jempol,
membuat orang tidak menyadari kekuatan ( baca: power, kekuasaan) yang ada
dalam dongeng. Terlepas dari ketidaknyataannya, dongeng sebenarnya
menanamkan banyak hal, mulai dari benar-salah, pantas-tidak pantas, baik-
buruk dan sebagainya. Nilai yang ditanamkan melalui dongeng saat kita masih
kanak-kanak, sangat mungkin terbawa hingga dewasa. Nilai ini kemudian
menjadi dasar bagi peran kita dalam masyarakat.
Jika anda mengenal dongeng-dongeng: Snow White, Sleeping Beauty,
Cinderella, maka anda akan menemukan simbolisasi perempuan yang
tergantung pada laki-laki untuk menemukan kebahagiaannya. Snow White mati
setelah memakan apel beracun dan dia bisa hidup kembali setelah mendapat
kecupan dari Sang Pangeran. Begitu pula, Sleeping Beauty yang hanya bisa
terlepas dari kutukan tertidur setelah mendapat ciuman dari seorang Pangeran.
Banyak dongeng menempatkan perempuan sebagai sosok yang tergantung
pada laki-laki.
Dalam dominasi laki-laki ini, yang sebetulnya terjadi ialah kekuasaan. Menurut
Pierre Bourdieu, kekuasaan bekerja melalui penguasaan modal simbolik atau
modal kekuasaan yang tak kasat mata. Pada kondisi ini, kaum perempuan
bahkan tidak melihat atau merasakan bahwa dongeng adalah salah satu bentuk
penguasaan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Bahwa perempuan
hanya pasif menerima nasib atau ditentukan oleh laki-laki sebagai sesuatu yang
sudah semestinya.
Dongeng adalah manifestasi dari mite. Sementara mite sendiri adalah entitas
yang keluar dari alam ketaksadaran kolektif manusia (shared unconscious
realm). Carl Gustav Jung menjelaskan bahwa mite terbentuk dari arketipe-
arketipe yang ada pada tataran bawah sadar kolektif. Ini sebabnya tema-tema
dongeng yang sama bisa bermunculan di berbagai tempat dan masa yang
berbeda. Kita dapat menemui tema putri diselamatkan pangeran, kurcaci, orang
tua bijaksana, dan sejumlah tema lainnya, muncul secara berulang di berbagai
tempat dan sepanjang rentang masa. Mite-mite ini selain muncul dalam dongeng
juga berperan membentuk religi dan agama.
Mite yang manifes sebagai dongeng, menempatkan sosok Tuhan pada jenis
kelamin laki-laki. Dalam agama tidak perlu dipertanyakan lagi; kita dapat melihat
beberapa agama mengonstruksikan bahwa perempuan diciptakan dari tulang
rusuk laki-laki dan ini diterima sebagai kebenaran karena telah dilabel sebagai
Wahyu, Takdir dan sebagainya. Mite yang manifes dalam dongeng, agama, dan
lain sebagainya, kemudian berubah menjadi sebuah konsepsi tentang hubungan
laki-laki dan perempuan yang tidak menguntungkan perempuan dan mempunyai
implikasi pada terbentuknya struktur kekuasaan.
Layaknya mite yang manifes dalam dongeng, kekuasaanpun bersifat absurd, tak
terdefinisikan. Ia tak berbentuk namun muncul di mana-mana. Menurut Michel
Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau
hasil dari persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan
mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau
bias; juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, bukan
struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada
suatu situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada di
mana-mana; tapi bukan berarti mencakup semua; kekuasaan lebih merupakan
sesuatu yang datang dari mana-mana. Begitu merasuknya kekuasaan dalam
kehidupan, sehingga banyak manusia tak bisa lagi merasakannya. Manusia mati
dalam rantai kekuasaan yang beroperasi dalam tanda. Orang atau institusi yang
menguasai dan mampu memanipulasi tanda akan mampu menguasai orang lain.
Konsepsi yang muncul dari dongeng memberi kontribusi bagi proses yang
mengkristalisasi pemahaman mengenai laki-laki dan perempuan yang kemudian
diterima sebagai sesuatu yang alamiah dalam suatu budaya. Yang alamiah, yang
sudah semestinya itu, menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai
oleh laki-laki. Mitos itu diterima dan didukung oleh struktur sosio-budaya dan
pengorganisasian masyarakat. Pada titik ini, kita memperoleh cermatan bahwa
peran perempuan dan laki-laki yang didapat seorang anak melalui dongeng dan
terbawa hingga dewasa, adalah sebagian dari fakta sejarah, yang
memungkinkan untuk dirubah, sejauh kemampuan kita mengolah dan
menafsirkan kembali nilai dalam dongeng itu. Peran-peran dalam masyarakat
yang didominasi oleh laki-laki sebenarnya lebih karena dikondisikan oleh konteks
budaya tertentu dan bukan sudah semestinya demikian. Maka membongkar
ketidakadilan gender berarti menafsirkan kembali peran pada tatanan yang telah
ada.
Dongeng memiliki peran menentukan dalam mendefinisikan pengorganisasian
masyarakat dan pembagian peran gender. Ini karena dongeng diperkenalkan
pada kita sejak kanak-kanak, sejak kita belum mengerti peran sebagai laki-laki
dan perempuan. Pemahaman bahwa perempuan adalah sosok pasif yang
menunggu datangnya sang Pangeran secara tidak sadar juga terinternalisasi
dalam pemikiran kita. Ini bisa kita temui di kemudian hari pada peristiwa seorang
isteri yang mengatakan bahwa suaminya setuju bahwa dia meneruskan
kariernya. Seakan-akan bagi perempuan, menekuni profesinya itu menjadi
mungkin karena belas kasih sang suami. Mengapa justru tidak mengandaikan
yang sebaliknya bahwa melalui profesinya itu perempuan mencapai pemenuhan
diri. Lelaki itu bisa menjadi suaminya karena menerimanya seperti apa adanya
dan eksistensi karir si istri turut memberi kontribusi pada eksistensi suami. Dari
pembalikkan wacana seperti itu menjadi jelas bahwa perjuangan untuk
kesetaraan perempuan yang selama ini berkutat pada pemenuhan hak-hak
perempuan, perlakuan yang adil, justru memperkuat wacana dominasi peran
laki-laki atas perempuan. Perjuangan untuk kesetaraan gender semestinya lebih
ditekankan pada dekonstruksi sistem peran itu sendiri, terutama konstruksi
simbolis mengenai laki-laki yang ada dalam masyarakat, selanjutnya masalah
hak dan keadilan dengan sendirinya akan ikut terdekonstruksi.
Foucault mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak
mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok
terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan pada satu titik atau satu sumber
otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan. ‘Hubungan’
dan ‘perbedaan dalam hubungan’ menjadi salah satu faktor penting munculnya
kekuasaan. Orang kerap menerima dan menempatkan berbeda antara diri dan
orang lain sehingga memungkinkan munculnya dominasi atau kekuasaan. Ketika
perempuan menginternalisasi simbol putri cantik yang menunggu pertolongan
sang pangeran dalam dirinya, maka seketika itulah kekuasaan laki-laki atas
dirinya berlangsung. Secara tidak sadar, perempuan seperti ini telah
memposisikan dirinya berbeda dengan laki-laki dalam hal kemampuan.
Konstruksi simbolis yang melahirkan kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam
dongeng, bekerja dalam mekanisme hegemoni Gramscian, melalui dongeng
terjadi penaklukan moral intelektual sehingga yang tertindas memberi pengakuan
secara sukarela terhadap simbol-simbol yang menindasnya. Jadi sebetulnya
logika dominasi ini bisa berjalan karena prinsip simbolis yang diketahui dan
diterima baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis yang
berasal dari dongeng itu kemudian menderivat pada mitos, gaya hidup, cara
berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas
dasar ciri ketubuhan.

Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Dongeng


Hak adalah sisi lain dari kewajiban, maka pemenuhan hak menuntut syarat-
syarat. Melalui dongeng, anak tertanam pemahaman mengenai hak dan
kewajiban. Laki-laki adalah pangeran penolong bagi putri cantik. Laki-laki
bertugas menyelamatkan, dan perempuan (sebagai pihak yang diselamatkan)
wajib membaktikan diri atau membalas budi si penyelamat. Kriterium ini
ditentukan oleh standar laki-laki, karena menguntungkan pihak laki-laki, di satu
sisi dia dipuja sebagai ‘pahlawan’, di sisi lain dia mendapat ‘hadiah’ seorang putri
cantik. Kesadaran akan hak-kewajiban seperti ini menjebak perempuan pada
pengakuan atas standar yang menguntungkan laki-laki. Dalam derivasinya
simbolisme ini muncul pada ungkapan-ungkapan seperti: “siapakah yang harus
maju berperang kalau negara ini diserang?”; siapa yang harus menyelamatkan
rumah tangga?” “siapa bertanggungjawab bila keluarga tidak bisa memenuhi
kebutuhannya?”; “siapakah yang wajib melakukan ronda malam menjaga
keamanan kampung?” Ungkapan-ungkapan tersebut memberi legitimasi atas
privilese yang diterima laki-laki. Jadi kalau perempuan menginginkan berada
pada kondisi selamat (save), ia lebih dulu harus memenuhi syarat-syarat seperti
yang dilakukan laki-laki, sang penyelamat (savior). Syarat-syarat itu sebetulnya
dibuat sesuai dengan fisiologi dan kepentingan laki-laki, kemudian dilembagakan
dalam institusi-institusi sosial melalui pendasaran ideologis dan simbolis yang
wajar sehingga diterima oleh masyarakat.
Orang tidak menyadari, karena dominasi wacana oleh laki-laki, perempuan
tersingkir melalui proses yang legitim. Seakan-akan karena kelemahan dan
kesalahan perempuan marjinalisasi itu terjadi. Proses manipulatifnya terletak
pada tradisi dan kebiasaan yang melegitimasi laki-laki untuk mendefinisikan
peran, kerja, jasa, norma.
Tanpa disadari, dongeng membentuk struktur nilai kehidupan yang
mengondisikan dan memarjinalkan kaum perempuan. Dongeng bisa
mewujudkan diri, karena dia diterima dengan sukarela, menginternalisasi karena
diartikan, dan bahkan menguasai dunia karena menimbulkan imajinasi yang
menyenangkan (baik bagi pihak yang menguasai maupun dikuasai). Perempuan
pun banyak yang terinspirasi oleh dongeng dan memimpikan datangnya
pangeran tampan penolong yang mempersunting dirinya. Simbol-simbol yang
manifes dalam dongeng menjadi mediasi antara ketaksadaran dan kesadaran,
sehingga memungkinkan nilai-nilai yang ada dalam dongeng memiliki kekuasaan
atas dunia. Dengan demikian, dongeng sudah menjadi inisiasi kemunculan
wacana.

Deposisi Peran dalam Dongeng


Tentu saja kita tak harus menyikapi dongeng secara neurotis. Ada banyak nilai-
nilai lain yang ada pada dongeng, misalnya Cinta, kesetiaan, pengorbanan, dan
lain-lain; namun, hal terpenting adalah bagaimana mengurai, memahami, dan
menjelaskan secara tepat dan proporsional pada anak-anak. Saya justru
menawarkan untuk mendeposisi peran dalam dongeng, posisi yang sebelumnya
diperankan laki-laki dirubah menjadi diperankan perempuan. Jika anda
menceritakan Sleeping Beauty pada anak perempuan, mungkin anda dapat
merubahnya menjadi Sleeping Handsome yang menggambarkan pangeran
menunggu datangnya kecupan dari putri yang membangunkannya dari kutukan.
Tawaran ini lebih pada upaya menjaga agar ketika mempersoalkan kekuasaan,
kita tidak terjebak dalam pemikiran baik-buruk sebuah kekuasaan. Kekuasaan
tetaplah kekuasaan, tidak ada baik-buruk di dalamnya. Kekuasaan sebenarnya
adalah suatu mekanisme yang bekerja. Dalam banyak sisi, mekanisme ini justru
menggerakan kehidupan secara produktif. Kekuasaan bisa jadi justru dapat
menghasilkan hal-hal yang baru dan memegang peranan penting dalam realitas.
Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang
menindas, melarang atau membatasi; sebaliknya, justru merupakan kekuatan
produktif di mana setiap orang ikut ambil bagian sehingga kekuasaan itu
menghasilkan realitas. Dalam pandangan Foucault, efek kekuasaan tidak
dipahami secara negatif sebagai kekuatan yang menafikkan, menindas,
menolak, menyensor, menutupi, atau menyembunyikan. Kekuasaan justru
menghasilkan sesuatu yang riil, berbagai bidang obyek dan ritus kebenaran.
Individu dan pengetahuan melanjutkan produksi itu. Permasalahan pentingnya
adalah bagaimana orang dapat melihat secara lebih kritis beroperasinya
kekuasaan, ketimbang mempersoalkan sebagai benar salah.
Untuk keluar dari penindasan dan ketidakadilan yang diakibatkan oleh wacana
laki-laki, cara yang mungkin ialah melakukan penelusuran sumber wacana itu
dan melakukan penafsiran kembali. Dalam kaitan dengan dongeng, ini berarti
menafsir ulang pemikiran-pemikiran yang muncul dalam dongeng. Penafsiran
ulang yang bagaimana? Penafsiran itu pertama-tama harus memperhitungkan
unsur temporalitas wacana yang muncul dari dongeng tersebut atau
menyejarahnya pemahaman yang mendasari dongeng itu; kedua, melihat secara
kritis tawaran nilai dalam dongeng; ketiga mengadakan deposisi peran laki-laki
dan perempuan.
Pendobrakan mesti dilakukan dengan sikap kritis terhadap kemungkinan
menyejarahnya pemahaman tertentu yang munculnya dari dongeng.
Pemahaman sama halnya dengan kebahasaan, dalam arti orang baru bisa
dikatakan memahami ketika dia mampu merumuskan di dalam bahasa. Semua
pemahaman bersifat prasangka; artinya ketika seseorang memahami suatu
situasi, ia tak pernah dengan kesadaran kosong tetapi sudah membawa
kategori-kategori yang sifatnya pra-pemahaman. Tidak ada pemahaman yang
murni terhadap sejarah tanpa kaitan dengan masa kini, artinya masa lalu juga
beroperasi di masa kini. Masa kini bisa dipahami hanya melalui cara melihat,
maksud dan pra-pemahaman yang diwarisi dari masa lampau. Dongeng adalah
bagian dari masa lampau yang mengomunikasikan sesuatu layaknya bahasa.
Melalui bahasa dan bertitik-tolak dari prasangka tertentu, pemikiran-pemikiran
dalam dongeng dapat diaktualisasikan dalam kondisi sejarah atau konteks
tertentu pula. Maka, menghadapi wacana yang dianggap menindas perempuan,
orang bisa bertanya tentang dimensi kesejarahannya. Tugas hermeneutika
dalam perjuangan perempuan adalah menjelaskan momen-momen menyejarah
manakah dari dongeng yang membawa pada bias gender. Kategori peran
perempuan bisa ditafsirkan kembali agar sosok lemah yang perlu diselamatkan
tidak lagi diidentikkan dengan perempuan.
Penafsiran ulang dongeng dimaksudkan sebagai dekonstruksi atas prasangka-
prasangka dan ilusi-ilusi yang menjadi bagian dari wacana laki-laki. Dalam
realitanya, wacana laki-laki ini menyebar tidak hanya dalam dongeng namun
juga dalam pemikiran filsafat, teologi, produk-produk hukum, norma-norma moral
atau agama, dsb., semua itu memuat prasangka-prasangka yang sarat nilai-nilai
kelakian dan mempertahankan status quo dominasi laki-laki. Ilusi bahwa
superioritas nyata laki-laki cukup untuk memberikan pembenaran atas segala
tindakannya - membuat hukum dan memberlakukannya - harus ditafsirkan ulang.
Dimulai dengan deposisi peran gender dalam dongeng, selanjutnya dalam skala
lebih luas, perempuan diajak untuk membongkar motivasi-motivasi yang disadari
dan yang terselubung, serta kepentingan-kepentingan laki-laki yang melekat
pada wacana politik, filosofis, teologis, dsb. Dengan menafsirkan kembali peran
perempuan dalam dongeng, kita dapat membiasakan perempuan sejak kanak-
kanak untuk membongkar salah satu sumber kekuasaan simbolis. Wacana baru
dan cara melihat baru yang peduli akan nasib perempuan harus dibangun
melalui hal-hal kecil yang kelihatannya remeh seperti dongeng. Melalui hal
sederhana ini, perempuan bisa mulai belajar menilai apa pun dengan cara
pandang mereka sendiri.
Bagaimana cermatan anda?

 Peneliti; Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA) - Surabaya

www.mail-archive.com/filsafat@yahoogroups.com/

Anda mungkin juga menyukai