Anda di halaman 1dari 2

DONGENG

Tak bisa disangkal bahwa jenis kisah yang disebut sebagai dongeng memang
memiliki daya tarik tersendiri, baik di kalangan kaum muda maupun tua. Sudah
menjadi suatu adegan klise, kalau anak-anak sebelum tidur kerap minta men-
dengar dongeng yang dikisahkan oleh ibu, nenek, atau insan dewasa yang
kebetulan sedang berusaha menidurkan sang anak. Meski bisa saja sinis
ditafsirkan bahwa dongeng membosankan, maka manjur membuat anak tertidur,
namun banyak pihak menganggap bahwa dongeng memang memiliki potensi
konstruktif untuk mendukung pertumbuhkembangan mental sang anak.
Keliru, jika secara fanatik diyakini bahwa semua kisah dongeng pasti dijamin
bagus terhadap pendidikan mental anak-anak. Karena cukup banyak dongeng
mengandung kisah yang justru rawan menjadi teladan buruk bagi anak-anak.
Misalnya, dongeng rakyat tentang Sangkuriang yang secara eksplisit me-
ngisahkan bahwa ibu kandung Sangkuriang - gara-gara bersumpah akan
menjadi istri pihak yang mengambil peralatan tenun yang jatuh - terpaksa
mengawini seekor anjing. Masih diperparah oleh kisah bahwa - setelah
membunuh sang anjing yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri -
Sangkuriang sempat jatuh cinta dalam makna asmara kepada Dayang Sumbi,
ibu kandungnya sendiri.
Belum terhitung kelicikan Dayang Sumbi membangunkan ayam jago agar
berkokok sebelum saat fajar benar-benar tiba, demi mengecoh Sangkuriang agar
menduga dirinya gagal me-menuhi syarat kawin dengan Dayang Sumbi yakni
merampung-kan pembuatan perahu dalam satu malam saja, padahal sebe-
narnya sudah hampir selesai, tinggal finishing touch. Perilaku membunuh ayah,
ingin mengawini ibu, dan menipu demi ingkar sumpah, rasanya kurang baik
dikisahkan kepada anak-anak.
Kisah dongeng karya Grimm bersaudara yang begitu dielu-elukan di seluruh
dunia, termasuk Indonesia, sebenarnya juga tidak semuanya mendidik.
Misalnya, dongeng-dongeng menarik asal Jerman itu terlalu gemar menampilkan
sosok ibu tiri sebagai tokoh kejam dan bengis, hingga merusak citra ibu tiri
secara umum di persepsi anak-anak, padahal tidak semua ibu tiri ke-jam dan
bengis.
Banyak keluarga yang kebetulan terpaksa memiliki ibu tiri, menjadi berantakan
akibat miskomunikasi internal keluarga itu sendiri, dihantui prasangka bahwa ibu
tiri pasti jahat seperti berulang kali terkisah dalam dongeng yang memang
potensial membentuk suasana self fulfilling-prophecy.
Adegan-adegan dongeng yang dihimpun Grimm bersaudara juga tidak semua
sesuai untuk dikisahkan kepada anak-anak, ka-rena terlalu sadis, seperti ibu tiri
yang merayu anak tirinya, Puteri Salju, untuk makan buah apel beracun fatal.
Atau ”Hansel dan Gretel” (yang keji dibuang ke hutan belan-tara oleh orang tua
kandung mereka sendiri!) yang tega (meski bisa ditafsirkan secara juridis
sebagai pembelaan diri) menje-bloskan nenek sihir masuk ke sebuah oven
dengan api mem-bara! Kisah serigala melahap seorang nenek tua terbaring di
ranjang, kemudian menyamar sebagai sang nenek demi bisa melahap sang
cucu, Si Topi Merah, dikhawatirkan malah bikin anak-anak tak bisa tidur,
ketakutan.
Mitologi Yunani kuno yang dilestarikan sampai masa Romawi jelas bukan
konsumsi anak-anak, karena Zeus (versi Romawi = Yupiter), sang dewa
utamanya terbukti tukang selingkuh profe-sional, playboy tak kenal malu,
penyebar gosip, penghasut intrik, tak segan munafik demi keselamatan diri.
Meski dimanfaatkan Sigmund Freud sebagai istilah ilmiah psikologi keluarga
yang menarik, namun lebih baik jika anak-anak tidak perlu tahu mito-logi
Oedipus yang asyik memperistri ibu kandungnya sendiri, atau Elektra yang
dirundung asmara ingin mempersuami ayah-kandungnya sendiri ....

Anda mungkin juga menyukai