Oleh :
Mubiar Agustin*
Dalam suatu wawancara tentang sekolah rumah (home schooling) dengan
sebuah televisi swasta, seorang selebritis muda yang duduk di bangku SMA
berkomentar bahwa ia lebih baik memilih sekolah rumah (home schooling)
karena ia bisa lebih bebas memilih waktu untuk belajar, bebas memilih mata
pelajaran, bebas memilih guru
Jhon Holt (1923-1985). Tujuan utama home schooling menurut Holt adalah
menciptakan suasana belajar bagi anak yang bebas dari tekanan tidak pantas yang
biasanya dialami anak di sekolah umum, dan yang lebih penting adalah orang tua
dapat mengawasi kegiatan belajar anak-anak, sehingga orang tua
dapat
mengajarkan berbagai mata pelajaran yang sifatnya masih dasar dan belum
kompleks di rumah. Berbeda faktanya dengan di Indonesia tampaknya orientasi
home
setiap guru khusus? Mampukah setiap orang tua di Indonesia untuk menyediakan
biaya sebesar itu?.
Ketiga, aspek budaya. Apabila kita perhatikan ilustrasi pembuka pada
artikel ini yang menggambarkan komentar seorang selebritis usia sekolah tentang
home schooling, maka seolah ada kesan bahwa home schooling adalah kegiatan
belajar yang akan memberikan kesempatan kapada anak untuk santai, tanpa target
dan berbuat sebebasnya, padahal home schooling di negara asalnya diorientasikan
untuk menjadikan anak lebih bertanggung jawab mengatur diri, waktu dan juga
belajar mereka, jadi jangan sampai arah home
menjadi salah kaprah. Aspek budaya lainnya adalah sistem pendidikan kesetaraan,
pakar home schooling Indonesia mengatakan bahwa persekolahan di rumah dapat
didaftarkan ke dinas pendidikan setempat sebagai komunitas pendidikan
nonformal. Pesertanya kemudian dapat mengikuti ujian nasional kesetaraan Paket
A (setara SD), Paket B (setara SMP) dan Paket C (setara SMA). Tentunya tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam budaya kita apapun harus selalu bersifat formal
termasuk kelulusan jenjang pendidikan. Artinya bahwa pendidikan kesetaraan
dalam budaya pendidikan kita masih dipandang sebagai nomor dua, tidakkah
kondisi ini akan semakin menjadikan para lulusan home schooling menjadi kurang
percaya diri? Sudahkah lembaga penyedia
lulusan kesetaraan dengan lapang dada? Atau masih diselimuti banyak keraguan
jika dibandingkan menerima para lulusan sekolah ataupun perguruan tinggi
terkenal. Sederhananya sudah siapkah kita mengadakan home schooling?
Dosen Pada Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini
Universitas Pendidikan Indonesia
(Dimuat pada Harian Umum Pikiran Rakyat, Rabu 20 Desember 2007)