Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

FEBRUARY 2016

REFERAT:
Toksoplasmosis

Disusun Oleh:
Daniel Yakin Eliamar Aritonang
Dokter Adaptasi Luar Negri

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN PENYAKIT DALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN

Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit


Toxoplasma Gondii yang dikenal sejak tahun 1908. Parasit ini ditemukan pertama kali
pada binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus gundi, di suatu laboratorium di Tunisia dan
pada seekor kelinci di suatu laboratorium di Brazil. Pada tahun 1973, parasit ini juga
ditemukan pada neonatus dengan ensefalitis. Baru pada tahun 1970 daur hidup parasit
menjadi jelas ketika ditemukan daur seksualnya pada kucing (Hutchsion).

Setelah

dikembangkan tes serologi yang sensitif oleh Sabin dan Feldman(1948), zat anti
Toxoplasma Gondii ditemukan kosmopolit, terutama di daerah dengan iklim panas dan
tropis.1
Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui vector yang menyebabkan transmisi
dan populasi dengan resiko yang paling tinggi.

Didapatkan bahwa penularan

toksoplasmosis biasanya ditularkan melalui feses dari kucing, memakan daging mentah
maupun yang dimasak dalam keadaan tidak matang, dan meminum susu. Transmisi
lainnya adalah dengan memakan memakan kerang dan seafood mentah dan sayuransayuran mentah yang tidak dicuci. Penelitan telah menemukan pengaruh infeksi akut
terhadap pasien imunokompromais, imunokompetent dan bayi- bayi baru lahir seperti
yang terdapat pada sisterm saraf pusat dan mata. Infeksi kronik laten pada orang dewasa
sebelumnya diperkirakan tidak memiliki efek yang signifikan. Namun, penelitian terbaru
membuktikan sebaliknya.7

BAB II
PEMBAHASAN

1.

DEFINISI
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii

yang merupakan parasit intrasellular obligat. Infeksi akut yang di dapat setelah bayi lahir
biasanya asimtomatik namun dapat menyebabkan kista yang bersifat kronik dan seumur
hidup di dalam jaringan penderita. Pada toksoplasmosis yang bersifat akut dan kronik,
parasit ini bertanggung jawab untuk menyebabkan gejala klinis seperti limpadenpati,
ensefalitis, miokarditis, dan pneumonitis. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada
bayi baru lahir yang merupakan hasil dari infeksi intraplasental yang ditularkan dari ibu
yang terinfeksi kepada bayinya. Bayi-bayi ini biasanya asimtomatik sejak lahir, namun
kemudian menunjukkan gejala-gejala klinis seperti korioretinitis, strabismus, epilepsi,
dan retardasi psikimotor. Pada individu yang immunokompetent, toksoplasmosis dapat
menyebakan penyakit akut yang ditularkan melalui makanan dan air minum.2,3

2.

EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia prevalensi zat anti Toxoplasma Gondii yang positif pada manusia

berkisar antara 2% dan 63%. Prevalensi zat anti Toxoplasma Gondii yang positif pada
binatang adalah sebagai berikut: pada kucing 25-73%, pada babi 11-36%, pada kambing
11-61%, pada anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Pada pasien dengan
HIV positif didapatkan angka sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma Gondii.1
Pada umumnya, prevalensi zat anti yang positif meningkat dengan umur dan tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita.

Di dataran tinggi prevelensi lebih rendah,

sedangkan di daerah tropik prevalensi lebih tinggi. Keadaan toksoplasmosis dis suatu
daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang,

adanya kucing yang terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan
burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya
sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing
ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam
permukaan tanah.1

3.

ETIOLOGI
Toxoplasma Gondii adalah parasit intrasellular yang menginfeksi burung dan

mamalia. Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (penjamu definif). Dalam
sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual
(gemetogoni, sporogoni) yang menghasilkan ooksita yang dikeluarkan bersama tinja.
Ookista menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit.1,2
Bila ookista tertelan oleh mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka pada
berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang
membelah secara aktif dan dan disebut takizoit (bentuk yang membelah cepat) yang
menyerupai bulan sabit dengan satu ujungnya yang runcing dan ujung yang lain yang
agak membulat. Takizoit menginfeksikan dan bereplikasi seluruh sel pada mamalia
kecuali sel darah merah dan berkembang biak secara endodiogeni. Bila sel penuh dengan
takizoit, maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel sekitarnya atau
difagositosis oleh sel makrofag. Kecepatan takizoit toksoplasma membelah berkurang
secara berangsur dan terbentuklah kista yang mengandung bradizoit (bentuk yang
membelah perlahan).

Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual, tetapi

dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan. Kist jaringan ini dapat ditemukan dalam
hospes seumur hidup terutama di otak, otot jantung dan otot lurik.1
Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi,
maka terbentuk lagi stadium seksual di dalam sel epitel usus kecilnya. Bila hospes
perantara mengandung kista jaringan Toxoplasma

maka masa prapaten (sampai

dikeluarkan ookista) adalah 2-5 hari, sedangkan bila kucing makan tikus yang

mengandung takizoit, masa prapaten biasanya 5-10 hari. Tetapi bila ookista langsung
tetelan oleh kucing, maka masa prapaten adalah 20-24 hari.

Kucing lebih mudah

terinfeksi oleh kista jaringan daripada oleh ookista.1

Gambar 1. Daur hidup dari Toxoplasma Gondii. Kucing adalah penjamu definitif dimana terjadinya daur
seksual. Ookista yang dikeluarkan bersama dengan feses dapat menyebabkan infeksi pada binatangbinatang seperti tikus, burung, hewan domestik memamah biak dan manusia. Bradizoit yang terdapat pada
otot binatang-binatang ini dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui makanan yang tidak dimasak
dengan baik/matang.2

4.

TRANSMISI

A.

Oral
Transmisi oral adalah penyebab utama terjadinya infeksi pada manusia. Hal dapat

disebabkan apabila seseorang memakan tanah, makanan dan air minum yang telah
terinfeksi oleh ookista atau oleh bradizoit yang terjadi apabila seseorang memakan daging
yang dimasak secara tidak baik/matang. Pada daur seksual kucing seratus juta parasit

dalam bentuk ookista dapat dikeluarkan setiap harinya bersama feses yang dapat bertahan
hidup selama bertahun-tahun di tanah atau sumber air. Selanjutnya, manusia dapat
terinfeksi melalui kista jaringan yang terdapat dalam otot. Satu jaringan kista adalah
jumlah yang dibutuhkan untuk menyebabkan infeksi. Memasak makan dengan tidak
matang dan daging yang tidak didinginkan secara baik adalah sumber infeksi yang
penting pada negara-negara yang berkembang.2,4

B.

Darah dan Organ


Toxoplasma dapat ditransmisikan dari seseorang yang diuji positif secara serologi

kepada orang lain yang diuji negatif melalui tranplantasi jantung, paru-paru ginjal, hati
dan pancreas. Parasit ini dapat ditemukan pada kultur produk-produk darah yang telah
didinginkan dan dapat menjadi penyebab infeksi pada pasien-pasien yang menerima
transfusi darah. Reaktivasi Toxoplasma telah dilaporkan pada pasien yang menerima
transplantasi sumsum darah tulang, stem sel darah dan hati terutama pada pasien dengan
diagnosa AIDS. Petugas-petugas laboratorium juga telah dilaporkan terinfeksi melalui
jarum dan peralatan kaca yang terkontaminasi oleh parasit ini. 2

C.

Plasenta
Rata-rata sepertiga dari ibu hamil yang terinfeksi oleh Toxoplasma Gondii

menularkan parasit pada bayi. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan bayi,
umur gestasi bayi pada saat infeksi adalah faktor yang paling penting. Pada umumnya,
ibu hamil yang diuji positif secara serologi sebelum kehamilan biasanya tidak mengalami
infeksi akut dan tidak melahirkan bayi yang terinfeksi secara kongenital.2

Berikut adalah aturan-aturan yang dapat digunakan untuk evaluasi infeksi pada
bayi secara kongenital. Tidak terdapatnya resiko pada ibu yang terinfeksi lebih dari 6
bulan sebelum konsepsi. Apabila infeksi terjadi lebih kecil dar 6 bulan sebelum konsepsi,
resiko terjadinya penularan melalui plasent meningkat seiiring dengan semakin sedikitnya
tenggang waktu antari infeksi dengan konsepsi. Pada saat hamil, apabila ibu terinfeksi
pada 3 bulan pertama, insiden terjadinya penularan secara plasenta adalah yang terkecil,
namun mengakitbatkan manifestasi penyakit paling parah. Infeksi yang terjadi pada 3
bulan terakfir memberikan insiden yang paling tinggi namun bayi-bayi yang lahir
biasanya asimtomatik. Namun bayi-bayi ini didapati adanya peningkatan pada gangguan
pembelajaran dan manifestasi neurologik kronik.2

5.

PATOGENESIS

Jika kita jaringan ang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung
sporozoit tertelan pada penjamu, maka parasit akan terbebas dari kista oleh proses
pencernaan.

Bradizoit resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi traktus

gastrointestinal penjamu. Di dalam eritrosit, parasit mengalam transformasi morfologi,


akibatnya jumlah takizoit invasif meningkat.

Takizoit ini mencetuskan respon IgA

sekretorik spesikfik parasit. Dari traktus gastrointestinal, parasit kemudian menyebar ke


berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik, miokardium, retinda, plasenta, dan
SSP.

Di tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan

menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel dan
nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut.1,2
Pada pejamu immunokompetent, baik immunitas humoral maupun selular
diaktifkan. Respon imun terhadap takizoit bermacam-macam, termasuk induksi antibodi
parasit, aktivasi makrofag dengan perantara radikal bebas, produksi interferon gamma,
dan stimulasi limfosit T sitotoksik. Limfosit spesifik antigen ini mampu membunuh baik

parasit ekstraselular maupun sel target yang terinfeksi oleh parasit. Selagi takizoit
dibersihkan dari pejamu yang mengalami infeksi akut, kista jaringan yang mengandung
bradizoit

mulai

muncul,

biasanya

dalam

SSP

dan

retina.

Pada

pejamu

immunokompromais atau pada janin, faktor-faktor imun yang dibutuhkan untuk


mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah.

Akibatya takizoit menetap dan

penghancuran progresif berlangsung menyebabkan kegagalan organ.1,2


Pada pasien dengan keadaan immunokompromais seperti pada pasien HIV/AIDS,
terjadi suatu keadaan adanya defisiensi imun yang deisebabkan oleh defisiensi kuantitatif
dan kualitatif yang progresif dari subset limosit T dan kadar sel CD4. Oleh karena itu,
infeksi oportunistik seperti Toxoplasma gondii mudah menyerang penderita HIV/AIDS
yang tidak mendapatkan terapi antiretroviral yang efektif. Immunitas seluler menjadi
sangat penting dalam mengontrol infeksi Toxoplasma dengan bantuan dari imunitas
humoral Interferon gamma dan Interleukin-12. Interferon gamma menstimulai aktivitas
anti anti Toxoplasma gondii, tidak hanya makrofag tetapi juga sel non fagosit. Defisiensi
sistem imun ini memegang peranan penting dalam timbulnya infeksi Toxoplasma
gondii.1,2

6.

GAMBARAN KLINIS

Setelah invasi yang biasanya terjadi di usus, maka parasit memasuki sel atau
difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis, sebagian lain berkembang biak
dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya

paraist di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen
ke seluruh badan mudah terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu.
Toxoplasma gondii dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel
darah merah (tak berinti). Untuk kemudahan dalam penanganan klinis, toksoplasmosis
daoat dibagi ke dalam 4 bagian yaitu infeksi pada pasien imunokompeten, infeksi pada
pasien imunokompromais, infeksi mata dan infeksi kongenital.1,2

A.

Infeksi Akut pada Pasien Imunokompetent


Pada orang dewasas hanya 10-20% kasus toksoplasmosis menunujukkan gejala.

Sisanya asimtomatik dan tidak sampai menimbulka gejala konstitusional.

Gejala

tersering adalah limfadenopati leher yang biasanya terpisah atau tersebar, ukurannya
jarang lebih besar dari 3 cm, tidak nyeri, kekenyalan bervariasi dan tidak bernanah.
Gejala-gejala dan tanda berikutnya yang mungkin dijumpai adalah demam, malaise,
keringat malam, nyeri otot, sakit tenggorok, eritema makulopapular, hepatomegali dan
splenomegali. Perjalanan penyakit pada pasien yang imunokompeten biasanya bersifat
membatasi diri dan menghilang setelah beberapa minggu atau bulan dan jarang di atas 12
bulan. 1,2.3

B.

Infeksi Akut pada Pasien Imunokompromais


Pasien

imunokompromais

mempunyai

resiko

tinggi

untuk

mengidap

toksoplasmosis yang berat dan sering fatal akibat infeksi baru maupun reaktifitas.
Penyakitnya dapat berkembang dalam berbagai bentuk penyakit susunan saraf pusat
seperti ensefalitis, meningoensefalitis atau space occupying lesion dan juga miokarditis
dan pneumonitis. Pada pasien HIV, manifestasi klinis terjadi bila jumlah limfosit CD4
<100/ml. Manifestasi yang paling tersering pada pasien ini adlah ensefalitis. Selain itu,
manifestasi klinis dapat terjadi pada lokasi laini, seperti mata, paru-paru, darah tepi,
jantung, sumsum tulang dan kandung kemih. 1,2

Pneumonitis akibat Toxoplasmosis gondii juga makin meningkat akibat


kurnagnya penggunaan obat antiretroviral sertal profilaksis pengobatan toksoplasmosis
pada penderita AIDS. Pneumonitas ini biasanya terjadi pada pasien dengan gejala AIDS
yang sudah lanjut dengan gejala demam yang berkepanjangan dengan batuk dan sesak
nafas. Gejala lain yang sering timbul gangguan mata. Biasanya timbul korioretinitis
dengan gejala seperti penurunan tajam penglihatan, rasa nyeri pada mata, melihat benda
berterbangan, serta fotofobia. 1,2

C.

Toksoplasmosis pada Mata


Infeksi toksoplasma menyebabkan korioretinitis.

Bagian terbesar kasus-kasus

korioretinis ini merupakan akibat dari infeksi kongenital. Korioretinitis pada infeski baru
pada umumnya bersifat inilateral, sedang korioretinitis yang terdiagnosis waktu lahir
khasnya adalah bilateral. Namun, pasien-pasien ini biasanya tidak menunjukkan gejalagejala sampai usia lanjut. Gejala korioretinitis akut adalah: penglihatan kabur, skotoma,
nyeri fotofobia dan epifora. Dengan membaiknya peradangan, penglihatan pun membaik,
namun sering tidak sempurna.1,2

D.

Toksoplamosis Kongenital
Toksoplasmosis yang didapat dalam kehamilan dapat bersifat asimtomatik atau

dapat memberikan gejala setelah lahir. Transmisi Toxoplasma gondii meningkat seiiring
dengan usia kehamilan. Sebaliknya, derajat keparahan penyakit meningkat jika infeksi
terjadi pada awal kehamilan.

Gejala klinis toksoplasmosis kongenital termasuk

strabismus, korioretinitis, ensefalitis, mikrosefalus, hidrosefalus, retardasi psikomotor,


kejang, anemia, ikterus, hipotermia, trombositopenia, diare, dan pnemonitis.

Trias

karakteristik yang terdiri dari hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan koriretinitis berakibat
retardasi mental, epilepsi, dan gangguan penglihatan. Hal ini merupakan bentuk ekstrim
dan paling berat dari penyakit ini. 1,2

7.

DIAGNOSIS

A.

Jaringan dan Cairan Tubuh


Diagnosis dari toksoplasmosis akut dapat ditegakkan melalui kultur, pemeriksaan

serologic dan PCR meskipun test ini hanya terdapat pada laboratorium tertentu. Salah
satu cara mengisolasi Toxoplasma Gondii adalah dengan cara dengan menempatkan
sample ke dalam rongga peritoneal dari mencit. Parasit biasanya ditemukan setelah 6-10
hari dan anti-Toxoplasma dapat dievaluasi setelah 4-6 minggu.

Mengisolasikan

Toxoplasma gondii dalam cairan tubuh pasien menunjukkan adanya infeksi akut
sedangkan mengisolasikan parasit melalui biopsi jaringan menunjukkan adanya kista
jaringan dan tidak boleh disalah-interpretasikan. Adanya takizoit pada jaringan limpa
menunjukkan infeksi secara akut.1,2

B.

Serologi
Tes serologi adalah metode rutin untuk menegakkan diagnosis. Hal ini dilakukan

dengan cara mendeteksikan adanya antibodi IgG dan IgM di dalam serum. Didapati
adanya IgA menjukkan adanya infeksi akut.

Tes warna Sabin Feldman dan tes

hemaglutinasi tidak langsung, untuk deteksi antibodi IgG, tes zat anti fluoresen tidak
langsung, dan tes ELISA digunakan untuk deteksi antibodi IgG dan IgM. IgG dikatakan
positif bila >1:10 dan dapat dideteksi 2-3 minggu setelah infeksi dan munujukkan angka
tertinggi setelah 6-8 minggu. Pengukuran IgM dan IgG harus dilakukan bersamaan untuk
mempermudah dalam penentuan waktu dari infeksi. Meskipun hasil tes IgM negative dan
IgG positif menunjukkan infeksi kronik, namun IgM dapat terdeteksi lebih dari 1 tahun
dan tidak dapat digunakan untuk menunjukkan infeksi akut.1,2,9

C.

Pemeriksaan Molekular
Pendekatan molekular dapat menunjukkan adanya Toxoplasma Gondii. PCR telah

terbuki menunjukkan hasil dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

Studi

epidemiologic molekuler dengan penggunaan berbagai macam marker telah terbukti


berguna dalam mengkorelasi gejala klinis dari penyakit dengan berbagai genotip dari
Toxoplasmosis gondii.2,10

D.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT scan otak pada pasien dengan ensefalitis toksoplasma

menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus. Pada
pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii, dan gambaran
cincin yang multipel pada CT Scan sekitar 80% merupakna ensefalitis toksoplasma. Lesi
tersebut terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction.

MRI

merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik dari CT Scan dan sering menunjukkan
lesi-lesi yang tidak terdeteksi dengab CT Scan. Oleh karena itu, MRI merupakan prosedur
baku bila memungkinkan terutama bila pada CT Scan menunukkan gambaran lesi
tunggal.

Namun gambaran pada MRI dan CT Scan bukan patognomonik untuk

enseflaitis toksoplasmosis.1

Gambar 2. Toksoplasmosis ensefalitis pada pasien 36 tahun dengan AIDS. Lesi multipel yang ditunjukkan
oleh MRI.2

8.

DIAGNOSIS
Penyakit toksoplasmosis akut memiliki gambaran klinis yang sama dengan

beberapa penyakit yang bersifat akut dan oppurtunistik.

Oleh sebab itu, diagnosis

banding dapat dilakukan berdasarkan gambaran klinis seperti sindrom mononucleosis,


infeksi kongenital, korioretinitis pada pasien imunokompeten dan AIDS dan lesi sistem
saraf pusat pada pasien AIDS. Namun, diagnosis secara pasti hanya dapat dilakukan
dengan kultur, tes serologi dan PCR.2

Tabel 1. Diagnosis banding toksoplasmosis akut berdasarkan gambaran klinis.2

9.

PENATALAKSANAAN

A.

Infeksi pada Pasien Imunokompetent


Pirimetamin dan Sulfonamid bekerja secara sinergistik, maka dipakai sebagai

kombinasi selama 3 minggu atau sebulan. Pirimetamin diberikan dengan dosis 50-75 mg
sehari untuk orang dewasa selam 3 hari dan kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari
selam beberapa minggu pada penyakit berat.

Karena half-lifenya adalah 4-5 hari,

pirimetamin dapat diberikan 2 kali per hari atau 3-4 kali per hari. Pirimetamin menekan
hemopoesis dan dapat menyebabkan trombositopenia dan leukopeni sehinggal sering
disertai dengan pemberian asam folinik atau ragi. Pirimetamin juga bersifat teratogenik

sehingga obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Sulfonamid diberikan 50-100
mg/kgbb/hari selama beberapa minggu atau bulan.

Sulfonamid dapat menyebabkan

trombisitopenia dan hematuria. Asam folinik diberikan 2-4 mg sehari.1,2


Spiramisin adalah antibiotik makrolid diberikan dengan dosis 100mg/kgbb/hari
selama 30-45 hari yang tidak menembus plasenta tetapi ditemukan dengan dosis tinggi
dalam plasenta sehingga dapat diberikan pada wanita hamil yang mendapat infeksi
primer, sebagai obat profilaktik untuk mencegah transmisi Toxoplasma gondii ke janin
dalam kandungannya. Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat
menyebabkan kolitis membranosa atau kolitis ulserativea, maka tidak dianjurkan untuk
pengobatan rutin pada bayi dan wanita hamil. 1,2

B.

Infeksi pada Kehamilan dan Kongenital


Spiramisin merupakan antibiotik makrolid yang terkonsentrasi di plasenta

sehingga mengurangi infeksi plasenta sebesar 60%. Spiramisin 3g/hari dalam dosis
terbagi 3 selama 3 minggu diberikan pada wanita hamil yang mengalami infeksi akut
sejak diagnosis ditegakkan hingga kelahiran, kecuali terbukti adanya infeksi pada janin.
Pada kasus demikian, regimen terapi diubah ke Sulfadiazin 4 g dan Pirimetamin 25 mg,
serta asam folat 15 mg/hari hingga persalinan. Semua bayi baru lahir yang terinfeksi
harus mendapat pengobatan yang terdiri dari Sulfadiazin 50 mg/kg 2 kali sehari dan
Pirimetamin 1mg/kgBB/hari serta asam folat 5 mg/kgBB/hari selama sedikitnya 6 bulan.
1,2

C.

Infeksi pada Pasien Imunokompromais


Regimen untuk ensephalitis pada pasien imunokompromasi seperti pasien AIDS

terdiri dari Pirimetamine dengan dosis awal 200 mg, lanjutan 50-75 mg/hari, dan
Sulfadiazin 4-6 g/hari dosis terbagi 4 selama 4-6 minggu sampai ada perbaikan

radiologik. Leucovorin 10-15 mg/hari diberikan untuk pencegahan toksisitas sumsum


tulang berkaitan dengan Pirimetamin.

Mereka juga harus mendapat terapi supresif

seumur hidup dengan Pirimetamin 20-25 mg/hari dan Sulfadaizin 2-4 g/hari. 1,2

D.

PENCEGAHAN

Toksoplasmosis dapat dicegah di tiga tingkatan yang berbeda:

Pencegahan infeksi primer:

Pajanan parasit dapat dikurangi dengan edukasi

kesehatan. Faktor resiko utama adalah makan daging velum matang dan hidup
bersama kucing.

Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah

dipanaskan sampai 66C atau diasap.

Setelah memegang daging mentah

sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun.

Makanan harus ditutup rapat

supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus dicuci
bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan

dicegah berburu tikus dan burung. 1,2


Pencegahan transmisi vertikal dalam penyakit kongenital:

Imunitas maternal

akibat toksoplasmosis yang diturunkan sebelum terjadi konsepsi melindungi janin

dari infeksi. Saat ini belum tersedia vaksin unutk mencegah toksoplasmosis. 1,2
Pencegahan penyakit pada individu yang imunokompromais:
Pasien
Immunokompromais yang mendapat kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk
infeksi penumosistis juga terlindungi dari toksoplasmosis. 1,2

10.

KOMPLIKASI
Penelitian terbaru membuktikan adanya peradangan jaringan lemak dan

penambahan berat badan secara patologis pada pasien yang terinfeksi dengan
toksoplasmosis. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 999 pasien psikiatric yang normal
dengan ekslusi orang-orang kelainan mental dan kepribadian. Individu dengan positif

antibodi terhadap Toxoplasma Gondii memiliki 2 kali kemungkinan lebih besar untuk
menjadi obese. Toksoplasmosis dapat juga menyebabkan nyeri abdomen berulang dan
pankreatitis.

Pankreatitis kronik dapat menyebabkan obstruksi dari duktus billus,

nekrosis hepatic lokal, peningkatan amylase dan lipase dan lemak di abdomen.
Selanjutnya, Toksoplasmosis telah dihubungkan dengan hepatitis dan patologi-patologi
lainnya pada hati dan paru-paru.8
Pada individu yang imunokompromais dan pada bayi yang terinfeksi dengan
parasit ini, dapat ditemukan adanya meningoensefalitits dan perburukan sistemik dan
sistem saraf pusat. Proliferasi Toxoplasma gondii takizoit dan menyebabkan kerusakan
jaringan padan otak bayi meskipun adanya respon imun maternal seperti antibodi IgG.
Pasient dengan Autism Spectrum Disorder dengan Toksoplasmosis kronik memiliki
neuroinflamasi yang persisten, hipersitokemia dan hipermetabolisme yang berhubungan
dengan peroksidasi lemak dan perubahan berat badan ekstrim hingga terjadinya obesitas.
Kongenital dan Toksoplasmosis serebral kronik memilik peranan dalam pembentuk
beberapa penyakit degenerasi seperti penyakit Alzheimer dan Down Syndrome.
Penelitian terbaru menemukan koneksi antara infeksi Toxoplasma gondii skizofrenia,
delusi, halusinasi dan penyakit obsesive-kompulsif.4,5,7
11.

PROGNOSIS

Toksoplasmosis akut untuk pasien imunokompeten mempunyai prognosis yang


baik. Toksoplasmosis pada bayi dan janin dapat berkembang menjadi retinokoroiditis.
Toksoplasmosis kronik asimtomatik dengan titer antibodi yang persisten, umumnya
mempunyai prognosis yang baik dan berhubungan erat degna imunitas seseorang.
Toksoplasmosis pada pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis yang buruk. 1,2,3

BAB III
KESIMPULAN

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii,


yang sering ditemukan baik dalam negara yang maju dan negara yang sedang
berkembang. Beberapa manifestasi dan bentuk dari penyakit ini mempunyai impak yang
besar terhadap kesehatan manusia baik dari dari segi fisik, mental dan sosial. Secara
garis besar, semua bentuk toksoplasmosis memiliki beban ekonomik dan sosial pada
semua negara di dunia. Penangan khusus dan strategi yang efekti perlu diterapkan untuk
mengatasi penyakit dan menurunkan insiden terjadinya penyakit ini.7
Toksoplasmosis juga memiliki perananan penting dalam kesehatan publik.
Beberapa negara telah mengadopsi program untuk mengendalikan Toksoplasmosis,
namun, isu ini seharusnya mendapatkan perhatian dunia, dengan mengkosiderasi aspek
yang relevan terhadap kesehatan publik, melalui kampanye edukasi komunitas dan ibuibu hamil dan tindakan-tindakan preventif untuk mengurangi efek patogenis dari penyakit
tersebut. Selain itu, perkembangan pengertian mengenai mekanisme imun seputar infeksi
parasit seharusnya dapat mendorong para peneliti untuk menemukan vaksin. Penelitian
juga dapat dilakukan untuk memahami proses penetrasi parasit melalui sawar darah otak
dan pemahaman lebih dalam mengenai peranan sel T secara molekular dalam
mengendalikan penyakit. 4,5

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2009.
2. Longo, D. L., Kasper, D. L., Jameson, J. L., Fauci A. S., Hauser, S. L., Loscalzo,
J. Harrisons Principle of Internal Medicine. 18th ed. New York: Mc Graw-Hill.
2012.
3. Taila, A. K., Hingwe, A. S., Johnson, L. E. Toxoplasmosis in a patient who was
immunocompetent: a case report. Journal of Medical Case Reports. 2011.
4. Bresciani, K. D., Galvao, A. L., Vasconcellos, A. L. Relevant Aspects of Human
Toxoplasmosis. Research Journal of Infectious Disease. 2013.
5. Kamerkar, S., Davis, P. H. Toxoplasma on the Brain: Understanding HostPathogen Interaction in Chronic CNS Infection. Journal of Parsitology Research.
2012.
6. Flegr, Jaroslav. Influence of latent Toxoplasma Infection on Human Personality,
Physiology and Morphology: pros and cons of the Toxoplasma-human model in
studying the manipulation hyptheris. Journal of Experimental Biology. 2012.
7. Hurley, R. A., Hayman, A., Taber, K. H. Latent Toxoplasmosis gondii: Emerging
Evidence for Influences on Neuropsychiatry Disease.
8. Oz, H. S. Toxoplasmosis complication and novel therapeutic synergism
combination of diclazuril plus atovacquone. Frontiers in Microbiology Journal.
2014.

9. Tekkesin, N., Diagnosis of Toxoplasmosis in Pregnancy: a review. Herbert


Open Acess Journal. 2012.
10. Tiamcani, Z., Lemkhenete, Zohra., Lmimmouni, B. E. Toxoplasmosis: The value
of Molecular Methods in Diagnosis compared ti Conventional Methods. Journal
of Microbiology and Infectious Disease. 2013.

Anda mungkin juga menyukai