Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Abad 21 sebagai abad pengetahuan dengan berbagai karakteristiknya pada
dasarnya telah membawa perubahan-perubahan mendasar pada masyarakat dalam
cara memandang dunia. Globalisasi sebagai penanda utama abad pengetahuan ini
merangkum beragam proses transformasi seluruh aspek kehidupan dari yang
semula sederhana menjadi semakin kompleks dan dinamis. H.A.R. Tilaar (1998:
313) dengan mengutip Kenichi Ohmae, mengatakan bahwa:
Pada dasarnya abad 21 ditandai oleh informasi kehidupan ekonomi dengan
munculnya gaya hidup global yang konsumeristis, renggangnya bentukbentuk kehidupan bernegara dengan munculnya dis-etatisasi, dan di dalam
kebudayaan lahirnya idealisasi budaya global.
Apa yang ingin disampaikan oleh H.A.R. Tilaar di atas, pada dasarnya adalah
bahwa globalisasi yang terjadi pada abad ini telah merubah wajah kehidupan
global secara signifikan. Perubahan tersebut, barangkali pada awalya lebih banyak
terlihat pada perkembangan ekonomi masyarakat dan perubahan sosio-kultural.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, ia juga menghadirkan pengaruh pada
berbagai bidang kehidupan yang terhubung dengannya, tidak terkecuali
pendidikan. Kenyataan ini, seperti dijelaskan lebih lanjut oleh H.A.R. Tilaar
(1998) misalnya tampak pada beberapa hal berikut:
Pertama, kehidupan hari ini adalah kehidupan yang diisi oleh dunia dan
masyarakat tanpa batas (borderless world and society). Dengan kata lain,

globalisasi di abad 21 telah membawa keterbukaan arus informasi yang dengan


cepat kita terima sehingga jarak antar pribadi dan area tidak lagi menjadi
persoalan. Batas-batas yang dulu menyumbat proses komunikasi dengan
sendirinya juga terhapus. Kondisi ini tentu saja ditopang oleh kemajuan teknologi
dan pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia lengkap dengan berbagai
kompeksitas permasalahannya. Karakteristik era globalisasi ini bagi dunia
pendidikan tentu saja membawa dampak yang cukup signifikan. Kita bisa
menyaksikan adanya tuntutan akan keunggulan kompetitif yang harus dicapai oleh
lembaga pendidikan agar bisa bersaing di tengah derasnya percepatan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan dunia kerja. Sekolah berstandar
internasional, pertukaran pelajar, riset bersama antar lembaga pendidikan yang
berbeda kawasan, dan lainnya adalah fenomena umum yang menghiasi dunia
pendidikan sejalan dengan arus globalisasi dan keterbukaan informasi tersebut.
Kedua, apa yang melanda masyarakat dunia hari ini adalah timbulnya
kebutuhan akan informasi sebagai dampak dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin canggih. Kebutuhan akan informasi ini,
memunculkan kecenderungan kehidupan masyarakat dengan tingkat kegiatan
keilmuan yang tinggi. Kemudahan dan percepatan yang dibawa oleh globalisasi
pada akhirnya mendorong orang-orang untuk semakin kreatif dan inovatif. Hal ini
secara tidak langsung memaksa lahirnya kegiatan keilmuan yang tinggi.
Pengetahuan dianggap sebagai modal yang harus dipelihara dan diolah dengan
baik guna menghasilkan efisiensi dan produktivitas. Lebih dari itu, kecenderungan
kedua ini dihiasi juga dengan kesadaran baru bahwa sudah saatnya pendidikan

mengarahkan paradigmanya untuk menciptakan keunggulan kompetitif, sehingga


outcome dunia pendidikan dapat memberikan sumbangan signifikan bagi
kehidupan. Kegiatan keilmuan ini dapat dicermati dengan semakin gencarnya
riset-riset yang dilakukan, tidak hanya oleh lembaga pendidikan, namun juga
perusahaan, seiring dengan kesadaran akan pentingnya modalitas pengetahuan
tersebut.
Ketiga, masyarakat yang tanpa sekat dan tersatukan dalam kegiatan keilmuan
tersebut akan lebih menyadari perihal hak dan kewajiban asasi manusia.
Penghargaan atas kemanusiaan ini tentu saja merupakan harapan bersama seiring
dengan wacana humanisme yang semakin gencar dibicarakan. Kita yang hidup
hari ini tidak lagi menjadi anggota suatu sekat tertentu, melainkan anggota dari
satu komunitas bersama; masyarakat dunia. Dengan kata lain, ketiadaan batas
akibat keterbukaan dan percepatan informasi membuat siapapun dari kita harus
menyadari hak dan kewajibannya sebagai anggota komunitas dunia
Keempat, timbulnya masyarakat kompetitif bahkan megakompetitif sebagai
dampak selanjutnya ketiadaan batas yang ditandai oleh perdagangan bebas,
keterbukaan dan percepatan informasi yang saling menyinggung dengan kegiatan
keilmuan yang tinggi, serta semakin diakuinya hak-hak dan kewajiban asasi
kemanusiaan. Dalam masyarakat kompetitif inilah pendidikan menjadi faktor
kunci keunggulan. Tingginya tingkat persaingan memaksa orang untuk semakin
terdidik, unggul secara mental dan intelektual, serta kreatif dalam mengeluarkan
gagasan-gagasan baru untuk kehidupan. Ringkasnya, pendidikan pada titik ini

adalah bidang yang paling diharapkan bisa menghasilkan orang-orang yang siap
bersaing dan memenangkan persaingan tersebut.
Berbagai macam karakteristik dan kecenderungan yang menghiasi kehidupan
masyarakat di era globalisasi tersebut pada akhirnya menghadirkan berbagai
perubahan dan tuntutan pada hampir semua bidang kehidupan, terutama
pendidikan. Bagaimanapun, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
serta globalisasi yang ada saat ini telah membawa umat manusia pada satu era di
mana pengetahuan adalah segalanya. Tidak salah jika kemudian banyak para ahli
menyebut abad ini sebagai abad pengetahuan (knowledge era). Mereka yang tidak
memiliki pengetahuan, mereka yang tidak mau belajar untuk meningkatkan
keterampilan dan keahlian akan menjadi pihak yang tertinggal. Alvin Toffler
(1970: 201) dalam hal ini bahkan menyebutkan bahwa: tomorrow's illiterate will
not be the man who can't read; he will be the man who has not learned how to
learn. Mereka yang buta aksara bukanlah mereka yang tidak bisa membaca,
namun mereka yang tidak mau belajar bagaimana cara belajar. Karena itu pula,
lembaga-lembaga pendidikan dan bidang pendidikan itu sendiri memegang
peranan penting bagi masyarakat untuk menghadapi berbagai tantangan dan
tuntutan perubahan yang ada.
Tantangan utama bagi lembaga pendidikan di era globalisasi dan abad
pengetahuan ini adalah bagaimana ia bisa membawa setiap lini manajemen
kelembagaannya menyadari arti penting dan signifikansi dari proses belajar
tersebut. Dengan kata lain, segenap jajaran kepemimpinan dan manajemen
lembaga pendidikan harus bisa menjadikan lembaganya sebagai lembaga dengan

budaya dan lingkungan yang dipenuhi hasrat untuk terus belajar. Mengutip Peter
M. Senge (2006: xvi):
These conflicting forces play out within organizations as well, creating
environments in which the need and possibility for learning capabilities are
greater than ever, but so too are the challenges of building such capabilities.
On one hand, building enterprises capable of continually adapting to
changing realities clearly demands new ways of thinking and operating. So do
the sustainability challenges, in many ways the archetypal organizational
learning challenge of this era. In addition, organizations are becoming more
net-worked, which is weakening traditional management hierarchies and
potentially opening up new capacity for continual learning, innovation, and
adaptation...
Setiap organisasi di era pengetahuan ini, menurut Peter M. Senge, dituntut
untuk bisa menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yakni
organisasi di mana setiap anggotanya terus berusaha mengembangkan segenap
kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya untuk terus berinovasi dengan cara
belajar secara bersama-sama. Dalam konteks ini pula, para pemimpin lembaga
pendidikan, khususnya sekolah, pada akhirnya mendapatkan tanggungjawab dan
peranan yang tidak semata sebagai administrator atau manajer, namun lebih dari
itu, ia harus menjadi role model bagi segenap anggota organisasi (lini manajemen,
pegawai, tenaga pendidik, hingga siswa) dalam hal pembelajaran. Seorang
pemimpin lembaga atau organisasi pendidikan, khususnya Kepala Sekolah,
dituntut untuk bisa membuat lingkungan sekolahnya menjadi lingkungan
pembelajar, bukan lingkungan politis ataupun semata lingkungan manajemen
fungsional dan administratif belaka. Hanya dengan cara itu pula, maka lemabga
atau organisasi pendidikan bisa berkembang dan menyesuaikan diri dengan
berbagai tuntutan perubahan zaman yang ada.

Makalah ini pada dasarnya adalah upaya untuk menyelidiki lebih lanjut
perihal tersebut, yakni bagaimana peran kepemimpinan dalam membentuk
organisasi pendidikan, khususnya sekolah, menjadi organisasi pembelajar.
Bagaimanapun, seorang pemimpin dalam konteks lembaga pendidikan adalah
pihak yang paling bertanggungjawab dalam membawa lembaganya untuk
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan serta menghadapi tantangan dan tuntutan
pendidikan yang juga semakin berkembang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi singkat di atas, maka pertanyaan yang ingin dijawab
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan sekolah sebagai organisasi pembelajar
(learning organization)?
2. Bagaimana peran kepemimpinan dalam membuat sekolah menjadi
organisasi pembelajar (learning organization)?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi
pembelajar (learning organization).
2. Mengetahui dan memahami peran kepemimpinan dalam membuat sekolah
menjadi organisasi pembelajar (learning organization).

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Peran Kepemimpinan dalam Pendidikan


Kepemimpinan pada dasarnya adalah sebuah konsep yang kompleks. Ia
mencakup suatu pandangan tentang jabatan struktural pada sebuah organisasi
formal, dan di saat bersamaan ia juga merujuk pada suatu karakter dan
kemampuan dalam mengendalikan dan membawa orang lain untuk melakukan
sesuatu guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Karena itu, para ahli
umumnya memiliki pengertian kepemimpinan yang beragam antara satu sama
lain. Sarros dan Butchatsky (1996: 12) misalnya menyatakan
bahwa, leadership is defined as the purposeful behaviour of
influencing others to contribute to a commonly agreed goal for
the benefit of individual as well as the organization or common
good. Pengertian lain diajukan oleh Anderson (1988: 5), bahwa
leadership means using power to influence the thoughts and
actions of others in such a way that achieve high performance.
Kedua pengertian tersebut menegaskan bahwa kepemimpinan
adalah suatu tindakan untuk mempengaruhi orang lain, agar
orang lain tersebut mau bekerja secara maksimal guna mencapai
tujuan yang diinginkan. Pengertian ini menyiratkan bahwa

kepemimpinan adalah suatu posisi dengan kekuasaan tertentu


untuk mengendalikan orang lain.
Definisi kepemimpinan dalam arti pemberian pengaruh ini
tentu hanya merupakan definisi dasar konseptual semata, karena
dalam praktiknya kepemimpinan adalah sebuah proses yang
melibatkan dan bergantung pada banyak hal. Martin M. Chemers
(2014: 6) misalnya menyatakan bahwa: leadership is a process
of social influence through which one person is able to enlist the
aid of others in reaching a goal. A number of activities are
included in the leadership role, and it is illuminating to look at
these activities in relation to the organizational functions of
internal maintenance and external adaptability.. Apa yang
ditekankan dalam pengertian ini adalah bahwa kepemimpinan
merupakan

sebuah

proses

yang

berkaitan

dengan

fungsi

manajerial sekaligus fungsi sosial. Karena itu, Chemers (2014:


13) lebih lanjut menjelaskan bahwa:
leadership ia a process involving social interaction, and like
all such processes, the question of what behaviors are
desirable must be understood within social context. The
appropriateness and desirability of leadership and other social
behavior is determined by the values of the culture in which
the beavior occurs. In some cultures, the spesifications of
acceptable behavior for a particular role are quite precise and
little leeway is allowed in expression.
Kepemimpinan dalam praktiknya, seperti kutipan di atas,
adalah sebuah proses yang melibatkan interaksi sosial. Karena

alasan ini pula, maka pertanyaan utama yang diajukan terkait


kepemimpinan ini adalah tindakan apa yang sesuai untuk
dilakukan dalam suatu konteks sosial. Setiap bentuk organisasi
akan memiliki nilai-nilai kultural tertentu yang berasal dari
lingkungan dan unsur-unsur manusia di dalamnya, yang semua
itu akan menentukan praktik kepemimpinan seperti apa yang
akan diambil oleh seseorang. Dalam konteks interaksi sosiokultural ini kepemimpinan harus dipahami sebagai sesuatu yang
lahir secara alamiah dari keberadaan manusia itu sendiri.
Seorang individu misalnya tidak bisa terlepas dari keterikatan
dengan

orang

terdampar

lain.

dalam

Ia

satu

selalu

sudah

kehidupan

menemukan

bersama

yang

dirinya
saling

bersinggungan dalam hal kepentingan, kebutuhan, pemenuhan


hak, kewajiban, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, adanya
harapan, keinginan, cita-cita, tujuan, dan yang intinya hal-hal
yang ingin dicapai, maka timbul pula keinginan untuk meraih hal
tersebut dengan cara menngunakan bantuan dari orang lain.
Namun

tidak

semua

orang

bisa

diminta

bantuan

untuk

mengerjakan sesuatu. Pada titik ini, dibutuhkan satu kemampuan


memengaruhi,

dan

membuat

orang

lain

bertindak

serta

mengarahkannya selaras keinginan hingga terpenuhi apa yang


dituju dan dicita-citakan. Kepemimpinan dalam konteks interaksi
sosial ini tidak saja berupa kemampuan mempengaruhi, tapi

lebih dari itu, bagaimana menata kehidupan bersama karena


setiap orang pada akhirnya memiliki tujuan, keinginan, dan
kepentingan yang berbeda-beda, yang semua itu hanya bisa
berjalan dengan baik jika ada pemimpin yang mengaturnya.
Terlepas dari kompleksitas fungsi sosial dari kepemimpinan
tersebut, apa yang bisa diambil pada titik ini adalah bahwa
kepemimpinan mengandung satu unsur penting, yakni perilaku memengaruhi atau
usaha untuk membuat orang lain mengerjakan sesuatu demi tercapainya sebuah
tujuan. Karena itu, Hadari Nawawi (1995: 15) menyatakan bahwa
dalam praktik kepemimpinan terdapat beberapa unsur berikut:
1. Adanya seseorang yang berfungsi memimpin, yang disebut
pemimpin.
2. Adanya oang lain yang dipimpin.
3. Adanya kegiatan menggerakkan orang lain, yang dilakukan
dengan

mempengaruhi

dan

mengarahkan

perasaan,

pikiran, dan tingkah lakunya.


4. Adanya tujuan yang hendak dicapai, baik yang dirumuskan
secara sitematis maupun bersifat sukarela.
5. Berlangsung berupa proses di dalam kelompok atau
organisasi, baik besar maupun kecil, dengan banyak
maupun sedikit orang yang dipimpin.

Kajian teoritis tentang kepemimpinan sendiri dalam sejarahnya banyak


dipengaruhi oleh penelitian yang dilakukan oleh Galton (1879) tentang latar
belakang

orang-orang

terkemuka

yang

mencoba

menerangkan

perihal

10

kepemimpinan berdasarkan warisan (teori orang-orang terkemuka). Kajian-kajian


berikutnya kemudian mengemukakan bahasan bahwa keberadaan individu dalam
sebuah lingkungan sosial, seperti disebutkan sebelumnya, memiliki perbedaan
peran dan tingkatan inteligensi, kekuatan, mentalitas, serta aspek moral antara satu
individu dengan individu lainnya. Kajian ini kemudian diperluas dengan
munculnya diskursus bahwa seorang pemimpin besar pada dasarnya dihasilkan
secara spasio-temporal (teori kepemimpinan situasional). Dalam hal ini, terdapat
dua hipotesis yang dikembangkan para ahli tentang kepemimpinan, yakni: (1)
keberadaan dan kualitas pemimpin serta kepemimpinan yang dibawanya sangat
bergantung pada kelompok yang dipimpinnya; dan (2) Keberhasilan seorang
pemimpin dalam mengatasi sebuah persoalan di masa kini atau dalam situasi
tertentu, merupakan hasil pembelajaran atas cara kepemimpinan terdahulu dalam
mengatasi persoalan tersebut.
Dua teori awal ini dalam kelanjutannya dianggap tidak mampu merangkum
dinamika kepemimpinan yang ditunjukkan oleh kalangan pemimpin dalam suatu
lingkungan sosial, terutama dalam hal interaksi antara individu dengan lingkungan
atau komunitasnya. Karena itu, muncul kemudian kajian-kajian baru tentang
pemimpin

dan

kepemimpinan,

seperti

rumusan

Terry

bahwa

teori

kepemimpinan mencakup 6 teori, yakni: (1) the situational


theory; (2) the personal-behaviour theory; (3) the supportive
theory; (4) the sociological theory; (5) the psychological theory;
dan (6) the autocratic theory. Rumusan pengelompokan lainnya
berasal

dari

John

Adair

yang

menyatakan

bahwa

teori

11

kepemimpinan mencakup 3 kelompok utama, yaitu: a) ancangan


kualitas, yang mendasarkan ancangannnya terhadap kelebihan
dan

ciri-ciri

tertentu

yang

dimiliki

seorang

pemimpin;

b)

ancangan situasional, yaitu berpendirian bahwa situasi tertentu


dapat membentuk kepemimpinan seseorang; dan c) ancangan
kelompok, yang memandang bahwa kepemimpinan seseorang
itu lahir dari kebutuhan kelompok (Berliana, 2006: 25-27).
Berdasarkan kajian teoritis ini pula maka konsep kepemimpinan kemudian
mendapatkan perluasan bahasan yang mencakup karakteristik, model, gaya, dan
tipologi yang dirumuskan berdasarkan konsep teoritis dasarnya. Sebagai contoh,
gaya kepemimpinan yang disimpulkan dari teori jalan keciltujuan (the path-goal theory) yang dikembangkan oleh Robert
House (M. Thoha, 1996: 254), yang mencakup:
1. Gaya

kepemimpinan

yang

berorientasi

pada

hasil

(achievement-oriented leadership). Gaya kepemimpinan


yang mengutamakan kepercayaan dan kerjasama dalam
mencapai tujuan bersama.
2. Gaya kepemimpinan direktif (directive leadership). Gaya ini
merujuk pada para pemimpin yang berusaha memandu
setiap

anggotanya

untuk

mengenali

tugas

mereka,

sehingga pekerjaan menjadi lebih efektif untuk mencapai


tujaun yang ditetapkan.
3. Gaya kepemimpinan patisipatif (participative leadership)
adalah

gaya

kepemimpinan

yang

mengutamakan

12

pentingnya komunikasi dan konsultasi antara pimpinan dan


anggota dalam membuat sebuah keputusan.
4. Gaya kepemimpinan suportif (supportive leadership) atau
gaya kepemimpinan yang sangat memerhatikan setiap
detil ekspektasi bawahan dan mendorong mereka untuk
sukses dalam pekerjaan mereka.

Selain gaya-gaya kepemimpinan di atas, terdapat juga tipologi kepemimpinan


yang mewarnai praktik kepemimpinan seseorang. Siagian (1997: 97) dalam hal ini
menyebutkan bahwa kepemimpinan memiliki lima tipe, yaitu: (1) Tipe
Otokratis; (2) Tipe Militeristik; (3) Tipe Paternalistis; (4) Tipe
Karismatik.; dan (5) Tipe Demokratis. Selain gaya dan tipologi
kepemimpinan tersebut, terdapat juga model-model kepemimpinan yang
mengacu

pada

hakikat

kepemimpinan

dengan

segala

karakteristik yang disandangnya, terutama pada aspek perilaku


dan keterampilan seorang pimpinan dalam sebuah lingkungan
komunal atau organisasi yang kemudian membentuk gaya
kepemimpinannya, seperti model kepemimpinan Likert ataupun
model kepemimpinan Reddin.
Tugas pokok seorang pemimpin dalam lingkup organisasi sendiri antara lain
mencakup:
1. Menjalankan fungsi-fungsi manajemen yang mencakup perencanaan
(planning); pengorganisasian (organizing); dan pengendalian (controlling).

13

2. Menggerakkan dan memotivasi anggota-anggotanya untuk bekerja dengan


efektif dan efisien.
3. Memberikan visi yang jelas bagi organisasi secara keseluruhan.
4. Menciptakan iklim dan budaya kerja yang mendukung pada tercapainya
tujuan.
5. Menjadi orang yang pertama dalam hal pertanggungjawaban dan
hubungan dengan pihak luar (Euis Karwati, 2008: 57).

Adapun fungsi-fungsi kepemimpinan sebagai kelanjutan atas pembicaraan


mengenai peran kepemimpinan dalam sebuah organisasi ini mencakup: (1) fungsi
yang berkaitan dengan hubungan antar manusia; dan (2) fungsi kepemimpinan
yang berkaitan dengan urusan produksi atau pekerjaan. Pada fungsi yang pertama,
seorang

pemimpin

pada

dasarnya

bertanggungjawab

untuk

membina

keharmonisan dan kelancaran komunikasi, baik antara dirinya dengan para


karyawan yang dipimpinnya, maupun hubungan komunikatif antar pekerja atau
karyawan itu sendiri. Untuk mewujudkan hal ini, seorang pemimpin paling tidak
dituntut untuk dapat menciptakan iklim dan budaya kerja yang baik dalam
organisasi, agar para karyawan yang menjadi bawahannya dapat saling
berinteraksi satu sama lain. Ini penting dalam membentuk kerjasama dan kesatuan
kerja yang efektif guna mencapai tujuan bersama. Selain itu, pada fungsi pertama
ini, seorang pemimpin juga dituntut untuk mengerti dasar-dasar pengelolaan
sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan organisasi. Ia bahkan harus
bisa mengelola setiap bentuk konflik atau pertentangan yang terdapat dalam
organisasi, untuk kemudian diberdayakan menjadi sarana kompetisi antar
karyawan. Pemimpin yang baik, pada titik ini dapat merangkul segala bentuk

14

perbedaan yang dibawa oleh para karyawannya yang secara alamiah memiliki
beragam karakteristik diri, bawaan kultural, dan kepentingan pribadi.
Sedangkan fungsi kedua, yakni yang berhubungan dengan urusan produksi
atau pekerjaan, seorang pemimpin sejatinya adalah orang yang harus mampu
menggerakkan setiap bentuk tindakan yang terdapat dalam organisasi menjadi
tindakan yang memberikan nilai positif pada peningkatan kinerja dan
produktivitas organisasi. Ia harus bisa memastikan bahwa tidak ada satupun
pekerjaan yang tidak diselesaikan oleh bawahannya. Dengan demikian, fungsi
kepemimpinan yang kedua ini mutlak diarahkan pada pencapaian tujuan
organisasi yang bersifat riil dan objektif.
Fungsi kepemimpinan dari tinjauan lain adalah fungsi kepemimpinan yang
berhubungan langsung dengan situasi sosial orang-orang yang dipimpinnya.
Dalam hal ini Hadari Nawawi (1995: 74-75), menyatakan bahwa fungsi
kepemimpinan mencakup lima fungsi pokok, yaitu:
1. Fungsi Instruktif; pemimpin berfungsi sebagai komunikator yang
menentukan apa (isi perintah), bagaimana (cara mengerjakan perintah),
bilamana (waktu memulai, melaksanakan dan melaporkan hasilnya), dan
dimana (tempat mengerjakan perintah) agar keputusan dapat diwujudkan
secara

efektif.

Sehingga

fungsi

orang yang

dipimpin

hanyalah

melaksanakan perintah.
2. Fungsi konsultatif; pemimpin dapat menggunakan fungsi konsultatif
sebagai komunikasi dua arah. Hal tersebut digunakan manakala pemimpin
dalam

usaha

menetapkan

keputusan

yang

memerlukan

bahan

pertimbangan dan berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya.

15

3. Fungsi Partisipasi; dalam menjaiankan fungsi partisipasi pemimpin


berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam
pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya. Setiap anggota
kelompok memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam
melaksanakan kegiatan yang dijabarkan dari tugas-tugas pokok, sesuai
dengan posisi masing-masing.
4. Fungsi Delegasi; dalam menjalankan fungsi delegasi, pemimpin
memberikan

pelimpahan

wewenang

membuay

atau

menetapkan

keputusan. Fungsi delegasi sebenarnya adalah kepercayaan ssorang


pemimpin kepada orang yang diberi kepercayaan untuk pelimpahan
wewenang dengan melaksanakannya secara bertanggungjawab. Fungsi
pendelegasian ini, harus diwujudkan karena kemajuan dan perkembangan
kelompok tidak mungkin diwujudkan oleh seorang pemimpin seorang diri.
5. Fungsi Pengendalian; fungsi pengendalian berasumsi bahwa
kepemimpinan yang efektif harus mampu mengatur aktifitas anggotanya
secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan
tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Dalam melaksanakan fungsi
pengendalian, pemimpin dapat mewujudkan melalui kegiatan bimbingan,
pengarahan, koordinasi, dan pengawasan.

Beberapa uraian singkat tentang pokok kepemimpinan di atas pada dasarnya


adalah hal-hal yang sudah jamak diketahui sebagai bagian konseptual dari
kepemimpinan dan bagaimana ia berkembang seiring perkembangan tuntutan dan
tantangan yang dihadapi oleh organisasi itu sendiri. Dalam konteks lembaga

16

pendidikan, terutama sekolah, kepemimpinan ini diemban oleh Kepala Sekolah,


sebagai suatu jabatan fungsional sekaligus struktural birokratis yang ditentukan
secara terstruktur oleh hierarki kelembagaan yang berwenang dalam pendidikan
itu sendiri.
Secara lebih rinci, Kepala Sekolah sejatinya merupakan seorang guru yang
memegang jabatan dan wewenang kepemimpinan di sekolah. Kepala Sekolah ini
merupakan salah satu pemegang peranan penting dalam pendidikan secara umum
seperti disebutkan dalam Pasal 12 ayat 1 PP 28 tahun 1990 bahwa Kepala
Sekolah

bertanggungjawab

administrasi

sekolah,

atas

pembinaan

penyelenggaraan
tenaga

kegiatan

kependidikan

pendidikan,

lainnya,

dan

pendayagunaan serta pememliharaan sarana dan prasarana.


Peranan Kepala Sekolah sendiri dapat dilihat dari tiga sudut, yaitu: (1) Kepala
Sekolah sebagai pimpinan organisasi (sekolah); (2) Kepala Sekolah sebagai
administrator; dan (3) Kepala Sekolah sebagai supervisor. Berdasarkan peran dan
keberadaannya sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap jalannya
pendidikan di sekolah, maka ia tidak terlepas dari beberapa tugas dan kewajiban
pokok yang harus dilakukan dalam proses kepemimpinannya. Tugas dari Kepala
Sekolah ini sebenarnya merupakan penjabaran lanjut atas peran yang
dijalankannya di sekolah, meliputi:
1. Kepala Sekolah sebagai pimpinan sekolah bertugas:
a. Menyusun perencanaan (planning) yang baik selaras dengan
kebutuhan sekolah serta tuntutan di masa mendatang.
b. Mengorganisasikan

(organizing)

setiap

bentuk

kegiatan

yang

diselenggarakan di sekolah, khususnya kegiatan belajar-mengajar.

17

c. Mengarahkan dan mengkoordinasikan (directing and coordinating)


kegiatan-kegiatan yang mencakup kegiatan siswa (OSIS), akademik,
ketenagaan, ketatausahaan, pengadaan sarana dan prasarana, dan
lainnya.
d. Melaksanakan pengawasan (controlling)
e. Melakukan evaluasi terhadap kegiatan (evaluation)
f. Menentukan kebijakan dan membuat keputusan (policy and decision
maker)
g. Mengatur adminitrasi: ketatausahaan, siswa, ketenagaan, sarana dan
prasarana, keuangan / RAPBS
h. Mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat serta instansi-instansi
terkait.
2. Kepala Sekolah selaku administrator bertugas menyusun setiap bentuk
kegiatan ketatausahaan (administrasi) di sekolah, sehingga dapat berfungsi
dengan baik sesuai dengan konsep manajemen modern tentang
administrasi.
3. Kepala Sekolah selaku supervisor memiliki tugas melaksanakan supervisi
dalam bidang-bidang berikut, yang mencakup: a) Proses belajar mengajar;
b) Kegiatan bimbingan dan konseling; c) Kegiatan Ekstra kulikuler; d)
Kegiatan ketatausahaan; e) Kegiatan kerjasama dengan masyarakat dan
instansi terkait; f) Pengadaan sarana dan prasarana
Tugas-tugas Kepala Sekolah ini sebenarnya tidak memiliki rancangan baku
sebagaimana perannya yang termuat dalam peraturan pemerintah tentang

18

keberadaan Kepala Sekolah. Namun, kita bisa melihat tugas-tugas pokok Kepala
Sekolah ini berdasarkan peranan dan fungsinya dalam manajemen sekolah secara
umum. Selain itu, perlu disadari juga bahwa meskipun tugas-tugas Kepala
Sekolah ini sangat banyak, namun dalam pelaksanaannya banyak tugas yang
kemudian diderivasikan kepada staf atau karyawan di bawahnya, sehingga Kepala
Sekolah terkadang hanya berperan sebagaimana fungsi pimpinan dalam
manajemen. Meski termuat dalam aturan formal tentang bagaimana seharusnya
seorang Kepala Sekolah bertindak dan mengatur organisasi sekolah, namun dalam
praktiknya, ia dituntut untuk mengembangkan kapabilitas dan kemampuan
kepemimpinan yang lebih mumpuni mengingat organisasi pendidikan hari ini
harus menghadapi beragam tantangan persaingan dan kebutuhan masyarakat akan
pendidikan yang lebih baik setiap waktunya.
B. Konsep Dasar Organisasi Pembelajar (Learning Organization)
Gagasan tentang learning organization atau organisasi pembelajar ini
dilontarkan oleh Peter M. Senge dalam karyanya, The Fifth Discipline (1997).
Peter M. Senge (1997: 3) mendefinisikan keberadaan sebuah learning
organization ini sebagai:
Organizations where people continually expand their capacity to create the
results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are
nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are
continually learning how to learn together.
Konsep organisasi belajar muncul dalam konteks perubahan lingkungan dan
daya saing, di mana organisasi membutuhkan kompetensi dan kepemimpinan
untuk mentransformasi pengetahuan kepada seluruh anggota organisasi. Dengan

19

dukungan lingkungan organisasi belajar yang kondusif diharapkan dapat


diciptakan orang-orang yang berpengetahuan (knowledge pople) dengan
kompetensi yang dapat diandalkan. Selain itu dukungan kepemimpinan yang
memberdayakan (empowerement), artinya memberikan pendelegasian dan
dukungan positif kepada setiap anggota organisasi dalam aktivitas pembelajaran
dan memperbaiki kinerja. Organisasi pembelajar dengan demikian, seperti yang
disebutkan oleh Senge di atas, merupakan organisasi yang memiliki unsur-unsur
berikut:
a. Adanya orang-orang terus meluaskan kapasitas kemampuan mereka untuk
menciptakan hasil yang mereka inginkan; Adanya orang-orang yang terus
meningkatkan dan meluaskan kemampaun dan kapasitas diri mereka, pada
dasarnya merupakan syarat utama pencapaian sebuah visi. Jika visi
mengandung dan memberikan gairah pada orang-orang untuk mencapai
tujuan di masa depan, maka syarat pertama dari organisasi pembelajar ini
sangat selaras jalan dengan keberadaan visi pada sebuah organisasi. Untuk
mencapai visi yang diinginkan, maka dibutuhkan individu-individu yang
terus berusaha meningkatkan kapasitas diri, sehingga mereka bisa
menciptakan dan mendapatkan hasil yang benar-benar mereka inginkan.
b. Adanya pola-pola berpikir baru dan ekspansif yang dijaga dan dipelihara;
Adanya pola-pola berpikir yang baru merupakan hasil dari proses
peningkatan kapasitas diri dengan cara belajar dan terus belajar. Pola
berpikir yang baru berarti pola berpikir yang sanggup mengantisipasi
berbagai macam perubahan dan gejala yang terdapat di lingkungan baik
internal maupun eksternal. Sebuah organisasi dengan orang-orang di

20

dalamnya, yang tidak bisa membuka dirinya untuk terus belajar dan
beradaptasi dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi, akan menjadi
organisasi yang tertinggal dan tidak mampu bergerak cepat. Ini berarti,
pencapaian visinya akan sulit untuk diraih.
c. Adanya aspirasi kolektif yang ditata dengan kebebasan; Adanya kebebasan
dalam mencetuskan aspirasi dan gagasan dalam sebuah organisasi.
Individu-individu yang senantiasa belajar dan terbuka terhadap perubahan
dan tuntutan baru dari lingkungan, akan menjelma individu yang sarat
gagasan untuk kemudian dikembangkan demi pencapaian tujuan
organisasi. Dengan kata lain, syarat organisasi pembelajar ini, menjadi
sarana yang mampu menjadi landasan bagi lahirnya inovasi dan kreativitas
dalam organisasi. Inovasi dan kreativitas ini sangatlah penting, agar
organisasi tidak kaku, dan mampu meraih hal-hal baru dalam prosesnya.
d. Adanya orang-orang yang senantiasa belajar tentang cara belajar (learn
how to learn) secara bersama-sama. Organisasi pembelajar adalah
organisasi yang berisikan orang-orang yang terus belajar tentang
bagaimana cara belajar (learn how to learn) secara bersama-sama.
Berbagai temuan baru saat ini dalam bidang pembelajaran efektif
menghasilkan kesimpulan bahwa, orang perlu belajar bagaimana cara
belajar. Ini akan menuntun kita untuk menemukan cara efektif yang sesuai
dengan karaktersitik diri kita dalam belajar. Dalam konteks organisasi hal
ini semakin penting karena saat ini kita hidup pada masa di mana terjadi
pengangguran besar-besaran akibat perkembangan teknologi yang
menyediakan otomatisasi kerja, sehingga pekerja manusia tidak terlalu

21

dibutuhkan lagi. Belajar cara belajar adalah salah satu cara agar orang bisa
mengeluarkan inovasi lebih cepat, lebih menarik, dan menciptakan
peluang yang lebih baik bagi dirinya. Orang-orang seperti inilah yang
dibutuhkan oleh sekolah saat ini.

Pentingnya keberadaan organisasi pembelajar (learning organization) ini


sangat dirasakan oleh banyak kalangan dewasa ini, terutama di tengah situasi yang
penuh dengan ketidakpastian dan perubahan. Peran manusia yang semakin lama
semakin tergantikan oleh mesin, membuat orang harus lebih aktif, kreatif,
sekaligus inovatif dalam memberdayakan setiap peluang dan kemungkinan yang
ada. Dengan kata lain, kita butuh wadah yang mampu mendukung kita agar
senantiasa berkembang dan meningkatkan kapasitas pribadi melalui belajar.
Hakikat dari organisasi pembelajar ini adalah adanya praktik pembelajaran
dan siklus dari keahlian dan kemampuan kesadaran dan kepekaan serta
sikap dan keyakinan, dari seluruh (wilayah) perubahan yang langgeng (siklus
belajar yang dalam), seperti tergambar sebagai berikut:

22

Kesadaran
dan
Wilayah Perubahan yang Abadi (Siklus belajar
yang dalam)
Kepekaan
Sikap dan Keyakinan

Keahlian
dan
Kemampuan

(Sumber: Senge, Ross, Smith, Kleimer, 2001:23)

Gambar di atas menyatakan bahwa dalam sebuah organisasi pembelajar,


terdapat satu siklus yang terus berlangsung di mana keahlian dan kemampuan
yang terus di asah melalui kegiatan pembelajaran akan menghasilkan kesadaran
dan kepekaan baru pada diri seseorang. Kesadaran baru ini akan menjadi dasar
atas setiap perubahan yang timbul pada sikap dan keyakinan, yang dalam
kelanjutannya juga akan membawa seseorang untuk terus berusahan mendapatkan
keahlian, kecakapan, dan bentuk-bentuk kemampuan yang baru pula.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Senge menekankan pentingnya tiga unsur
utama, yakni: a) gagasan penuntun sebagai berisi tujuan mengapa dilakukan
organisasi pembelajaran (misalnya memperbaiki mutu manajemen). Gagasan
penuntun harus jelas, menantang, sehingga menimbulkan keinginan dan gairah
dari semua yang berpartisipasi di dalamnya. Gagasan penuntun yang baik, pada
dasarnya merupakan perumusan dari tiga hal yakni upaya untuk unggul secara
utuh, dalam suasana kebersamaan sesuai dengan misi organisasi dan dirangkum

23

dalam bahasa yang lugas dan jelas serta menantang; b) teori, metode dan alat-alat,
sebagai esensi materi pembelajaran yang berisi gagasan-gagasan, metode-metode
dan alat-alat analisisnya; serta c) inovasi dalam infrastruktur berupa dukungan
sumber daya, sehingga proses organisasi pembelajaran, berjalan lancar, meliputi:
dukungan pimpinan waktu, dana, informasi/data, para pendukung (pakar, praktisi,
mitra), komunikasi, transportasi, akomodasi dan lainnya.
Ketiga subsistem organisasi pembelajaran ini harus terintegrasi dengan baik
dalam arsitektur pengorganisasian seperti tampak pada gambar berikut:

Gagasan-gagasan Penuntun

Wilayah tindakan (arsitektur organisasi)

Inovasi dalam
infrastruktur

Teori, metode, alat-alat

(Sumber: Senge, Ross, Smith, Kleimer, 2001: 28)


Dalam praktiknya, organisasi pembelajar ini mendapatkan input dari
lingkungan dan kondisi internal organisasi tersebut, untuk kemudian diolah dalam
sebuah proses yang melibatkan berbagai poin di atas, lalu pada tataran akhirnya
menghasilkan output yang semakin baik dari waktu ke waktu.
Perlu dipahami juga bahwa pembelajaran dalam sebuah organisasi akan terjadi
melalui: a) adanya praktik sharing (berbagi) pemahaman dan model mental
kepada setiap anggota di dalam organisasi tersebut; dan b) melalui pengetahuan

24

dan pengalaman dari masa lalu yang tergantung kepada mekanisme institusi
(kebijakan, strategi, model eksplisit dan lain-lain) yang digunakan untuk
meningkatkan pengetahuan.
Sejalan dengan itu, paling tidak terdapat empat tipe pembelajaran dalam
sebuah organisasi, yaitu:
1. Adaptive learning terjadi ketika baik individu atau organisasi melakukan
pembelajaran melalui pengalaman dan refleksi. Adaptive learning ini bisa
saja berupa single-loop (yang difokuskan terhadap peningkatan informasi
untuk menstabilkan dan merawat sistem yang sudah ada) atau dapat
berupa double loop (yang mempertanyakan system itu sendiri dan
mengapa kesalahan atau kesuksesan ditempatkan ditempat pertama).
2. Anticipatory learning muncul ketika sebuah organisasi belajar berdasarkan
apa yang mereka harapkan di masa depan (visi). Visi tersebut pertamatama dinilai terlebih dahulu dan setelah hasil penilaian itu di dapat
kemudian dibuatkan rencana alternatif yang terbaik. kemudian beberapa
hasil dikumpulkan dan dianalisa yang kemudian dipelajari.
3. Deutero learning terjadi ketika organisasi belajar dari reflesi atas asumsi
yang mereka terima. Ketika perusahaan menggunakan jenis belajar
deutero learning, setiap pegawai akan mengetahui konteks pembelajaran
organisasi. Mereka menggali apa yang telah menjadi faktor pendorong
atau penghambat belajar; mereka menemukan strategi baru dalam belajar;
dan mereka mengevaluasi dan mencocokkan terhadap apa yang mereka
telah hasilkan.

25

4. Action

learning

melibatkan

(kelompok/tim)

yang

bekerja

dalam

menghadapi masalah yang sebenarnya, memfokuskan kepada kebutuhan


belajar, dan menempatkan solusi yang aktual.

26

BAB III
PEMBAHASAN

Keberadaan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu


mewujudkan generasi terdidik yang siap untuk bersaing secara global merupakan
salah satu tantangan dan tuntutan utama dari masyarakat sebagai stakeholder
pendidikan itu sendiri. Hal ini pula yang membuat para pengelola sekolah, mulai
Kepala Sekolah, lini kepegawaian dan manajemen, hingga guru dan tenaga
pendidik harus bekerja ekstra keras untuk membangun lingkungan pendidikan
yang baik dan bisa mendukung proses belajar anak didik. Mengingat bahwa
tuntutan untuk membangun lingkungan belajar yang baik ini sudah menjadi
tuntutan umum bagi semua organisasi, maka konsep organisasi pembelajar
(learning organization) pada akhirnya menjadi konsep penting untuk mewujudkan
harapan tersebut.
Dalam salah satu karyanya, Schools That Learns, Senge menguraikan
bagaimana keterkaitan keberadaan organisasi pembelajar ini dengan sekolah,
Senge menyatakan bahwa para pengajar (guru), para administrator, dan para
stakeholder sekolah lainnya, mesti belajar bagaimana mengembangkan kapasitas
mereka, yang berarti mereka juga harus mengembangkan kapasitas mereka dalam
belajar (learn how to learn). Dari perspektif Senge ini, akan tampak bahwa
improvisasi nyata hanya akan muncul jika orang-orang bisa bertanggungjawab
terhadap implementasi perubahan itu sendiri. Senge juga menambahkan bahwa

27

sekolah pada dasarnya tidak bisa dirubah, atau dibentuk ulang melalui kebijakan
pemerintah, atau pengucuran dana besar-besaran, melainkan melalui penerapan
lima disiplin seperti disebutkan di atas.
Tabel berikut akan menyajikan perbedaan-perbedaan mendasar antara
organisasi pembelajar dengan organisasi tradisional.
Karakteristik

Organisasi Tradisional

Organisasi Pembelajar

Siapa yang belajar?

Para manajer/karyawan
yang ditunjuk
Pelatih atau nara sumber
dari luar
Departemen Diklat

Seluruh manajer/karyawan
dari semua unit kerja
Atasan langsung, pelatih
dan nara sumber
Setiap manajer/karyawan

Kursus, magang, pelatihan


formal, bimbingan, rencana
pelatihan

Kursus, magang, rencana


belajar, tim, mitra kerja,
ukuran kinerja, refleksi
pribadi
Sepanjang hayat, untuk
jangka panjang

Siapa yang mengajar?


Siapa yang
bertanggungjawab?
Piranti belajar apa yang
digunakan?
Kapan kegiatan belajar
dilangsungkan?
Kompetensi apa yang
dipelajari?

Ketika dibutuhkan, saat


orientasi atau sesuai
kebutuhan
Teknik

Di mana dilangsungkan
kegiatan belajar?

Ruang kelas, tempat kerja

Waktu?

Untuk saat ini sesuai


kebutuhan
Ekstrinsik dan terpaksa

Motivasi?

Teknis dan manajerial,


hubungan pribadi,
bagaimana belajar
Ruang rapat, saat
melakukan pekerjaan, di
mana saja
Untuk masa yang akan
datang
Intrinsik dan semangat

Pada tabel di atas, dapat dilihat perbedaan mendasar antara organisasi


tradisional dengan organisasi pembelajar. Pada organisasi tradisional misalnya,
belajar hanya menjadi kewajiban bagi karyawan yang ditunjuk ataupun diberikan
delegasi untuk mengikuti pelatihan tertentu. Namun dalam organisasi pembelajar,
belajar justru menjadi kewajiban semua anggota organisasi. Hal ini menyiratkan
pentingnya praktik belajar, mengingat bahwa semua anggota organisasi memiliki
28

peran yang sama pentingnya dalam mendukung organisasi bersangkutan dalam


mencapai tujuan-tujuannya. Praktik belajar yang dilakukan oleh semua anggota
ini nantinya juga diharapkan bisa menghadirkan kreativitas dan inovasi dari
semua anggota, dan tidak bergantung pada satu atau dua orang anggota yang
dianggap memiliki kemampuan lebih saja. Pentingnya peranan tindakan belajar
ini disadari betul oleh Senge, sehingga ia menyatakan bahwa hanya melalui
pembelajaran yang terus-menerus dan efektiflah, baik orang-orang maupun
organisasi bisa meningkatkan kapasitas diri mereka.
Dalam organisasi pembelajar, tindakan belajar digalakkan agar menjadi
kesadaran semua anggota organisasi bahwa perkembangan, kemajuan, dan
kesuksesan organisasi ataupun individu, tidak akan pernah bisa diraih dengan
mudah jika tidak ada usaha untuk belajar. Sebab lingkungan organisasi hari ini
adalah lingkungan yang terus berubah. Karena itu, setiap orang dituntut untuk
terus meningkatkan kemampuan dan kapasitas dirinya agar bisa menjawab setiap
tantangan dan tuntutan yang ada. Seorang pemimpin dalam organisasi pendidikan,
terutama Kepala Sekolah, pada titik ini harus memahami betul bahwa organisasi
yang dipimpinnya adalah organisasi yang dipengaruhi oleh lingkungan dan
berbagai faktor internal dan eksternal yang membuat ia harus senantiasa
berinovasi dan melakukan evaluasi untuk setiap tindakan dan kebijakan yang
diambil.
Peranan seorang Kepala Sekolah dalam membuat sekolah atau organisasi
pendidikan yang dipimpinnya untuk menjadi organisasi pembelajar sendiri, seperti
dijelaskan dalam uraian Peter M. Senge adalah pertama-tama memahami lima

29

disiplin dan hukum-hukumnya yang menjadi preferensi dari organisasi pembelajar


tersebut. Lima disiplin tersebut, seperti sudah diuraikan sebelumnya mencakup:
1. Berpikir sistem; Kepala Sekolah harus bisa melihat organisasi sekolah
sebagai

sebuah

sistem

yang

berinteraksi

dan

dipengaruhi

oleh

lingkungannya. Setiap unsur yang ada di sekolah akan berdampak pada


pencapaian sekolah bersangkutan. Karena itu, setiap kebijakan yang
diambil harus dipikirkan dalam konteks sistem ini.
2. Penguasaan pribadi; Kepala Sekolah harus menyadari bahwa setiap orang
yang terlibat dalam kegiatan organisasi dan pembelajaran yang
berlangsung di sekolah, memiliki peran penting dalam membantu sekolah
tersebut untuk mencapai tujuan pendidikan yang ada. Karena itu, setiap
orang harus memiliki tingkat keterampilan, kualitas dan kapabilitas
kedirian yang mumpuni, sehingga bisa memberikan sumbangsih nyata atas
pencapaian tujuan tersebut.
3. Model mental; Kepala Sekolah harus memahami betul bahwa setiap orang
yang terlibat dalam kegiatan di sekolah memiliki keunikan masingmasing. Setiap orang, mulai dari tenaga kependidikan, lini kepegawaian
dan administrasi, hingga siswa, memiliki cara berpikirnya sendiri. Karena
itu, setiap kebijakan dan perencanaan yang akan dilakukan, harus bisa
mengakomodir perbedaan ini.
4. Visi bersama; Kepala Sekolah harus menyadari bahwa sebuah visi akan
menjadi visi bersama apabila setiap orang memiliki gambaran yang sama
dan setiap orang merasa memiliki komitmen untuk mencapainya. Visi
sendiri merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan
perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang

30

dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orangorang yang ada dalam organisasi tersebut. Visi inilah yang mendorong
sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang
dalam mempertahankan keberadaannya bahkan di tengah ketidakpastian.
Visi tersebut dapat mengikat seluruh anggotanya, juga mampu menjadi
sumber inspirasi dalam menjalankan tugas mereka. Oleh karena itu, visi
bersama juga berfungsi membangkitkan dan mengarahkan. Pada fungsi
mengarahkan inilah, peranan kepemimpinan menjadi poin penting yang
harus dicermati. Pemimpin adalah pemegang kendali arah organisasi,
karena kebijakan dan segenap keputusan yang ia buat akan menjadi
penentu nasib dan gerak organisasi tersebut.
5. Belajar berkelompok; Kepala Sekolah

harus

menyadari

bahwa

pembelajarn seringkali akan efektif dan lebih menyenangkan jika ia


dilakukan secara bersama-sama. Pembelajaran berkelompok ini juga bisa
membantu setiap orang yang terlibat di dalamnya untuk bertukar informasi
dan keterampilan, sehingga perbedaan keahlian antara masing-masing
anggota bisa direduksi.

Adapun beberapa prinsip dasar yang menjadi hukum atas lima disiplin
tersebut, seperti dijelaskan Peter M. Senge adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi permasalahan hari ini datang dari solusi di masa lalu
(todays problems come from yesterdays solutions);
Kepala Sekolah harus memahami bahwa apa yang dihadapi oleh sekolah
yang dipimpinnya saat ini seringkali merupakan dampak dan ekses

31

lanjutan dari kebijakan yang diambil pada masa lalu. Karena itu,
pengambilan kebijakan, perencanaan, pembuatan putusan, pelaksanaan
aturan dan tindakan, semuanya harus dipikirkan baik-baik dalam kerangka
kepentingan pendidikan dan sekolah sebagai sistem.
2. Semakin keras anda mendorong, semakin keras pula sistem mendorong
balik (the harder you push, the harder the system pushes back);
Kepala Sekolah harus menyadari bahwa setiap tindakan, kebijakan, atau
putusan yang diambilnya, akan berpengaruh terhadap perkembangan
organisasi secara keseluruhan. Setiap elemen sekolah juga akan
memberikan reaksi dan tanggapan atas kebijakan, tindakan, atau putusan
tersebut.
3. Tindakan akan berkembang lebih baik sebelum akhirnya ia menjadi buruk
(behavior grows better before it grows worse);
Kepala Sekolah harus menyadari bahwa setiap kebijakan, tindakan, atau
putusan yang dilakukannya pada mulanya akan memperlihatkan kebaikan
dan manfaat bagi sekolahnya, namun karena lingkungan dan tuntutan yang
dihadirkannya juga berubah, maka kebijakan, tindakan, atau putusan
tersebut bisa saja membawa ekses yang tidak baik. Karena itu, evaluasi
dan revisi mutlak diperlukan, sehingga untuk setiap persoalan yang
berbeda ada kebijakan, putusan, dan tindakan yang diambil secara berbeda
pula disesuaikan dengan persoalan yang ada.
4. Semakin mudah jalan keluar ditemukan, umumnya akan mudah pula
menjerumuskan (the easy way out usually leads back in);
Kepala Sekolah harus memahami bahwa tidak semua persoalan memang
membutuhkan solusi yang besar, sebab bisa jadi untuk satu persoalan yang
tengah dihadapi, solusinya sudah di depan mata. Hanya saja, harus diingat

32

bahwa solusi yang begitu mudah terkadang memuat jebakan, karena ia


melenakan akan persoalan yang lebih besar yang dikandungnya.
5. Obat bisa jadi lebih buruk dari penyakit (the cure can be worse than the
disease);
Kepala Sekolah harus menyadari bahwa persoalan yang tengah dihadapi
adalah sebuah ujian untuk memajukan sekolahnya di masa mendatang.
Namun, kesalahan dalam mengambil kebijakan atau tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut, bisa berdampak buruk dari
persoalan itu sendiri.
Selain pemahaman akan lima disiplin dan prinsip-prinsip yang mendasarinya
di atas, berikut adalah tujuh tindakan penting yang harus dilakukan dalam
menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar:
Tujuh Tindakan Imperatif untuk Mencapai Organisasi Pembelajar
1. Menciptakan peluang belajar yang 2. Memberdayakan karyawan untuk
berkelanjutan. Ini berarti bahwa
mencapai visi bersama. Kriteria
pembelajaran adalah sebuah
utama untuk keberhasilan tindakan
proses, yang digunakan secara
imperatif ini adalah kesamaan
strategis, dan tumbuh dari proses
derajat pemahaman akan visi yang
bekerja itu sendiri. Kalangan
diemban, serta tingkat partisipasi
administrator dan pengajar
setiap individu dalam menciptakan
memiliki banyak kesempatan
dan mengimplementasikan
untuk melihat apa yang bisa
perubahan yang mengikuti
mereka pelajari dari inisiatifpencapaian visi tersebut. Untuk
inisiatif baru. Mereka bisa melihat
mendapatkan visi bersama ini,
dari pencapaian hasil yang ada
pihak sekolah harus
sebagai peluang untuk
mengidentifikasi setiap elemen
mempelajari mengapa sebuah
yang tidak sesuai dengan visi yang
gagasan atau inisiatif tidak berhasil
ada, mengadakan pertemuan dan
dalam pelaksanaannya. Dengan
menerangkan tujuan yang ingin
kata lain, setiap hal yang terdapat
dicapai, serta mengundang
dalam organisasi, khususnya
berbagai pihak terkait untuk saling

33

sekoalh, harus dijadikan peluang


mengajak mereka juga ikut
untuk mendapatkan dan
mendukung pada pencapaian visi
mempelajari hal-hal baru.
sekolah.
3. Mengedepankan penyelidikan dan 4. Menghubungkan organisasi
dialog. Kunci untuk tindakan
dengan lingkungannya. Sekolah
imperatif ini adalah sebuah budaya
pada hari ini harus berfungsi dan
di mana orang-orang terbiasa
ikut terlibat baik pada level global
mengajukan pertanyaan secara
maupun lokal. Suatu sekolah dapat
bebas, terdorong untuk
menerapkan benchmarking untuk
mendiskusikan segala sesuatu, dan
melihat apa yang dilakukan
bersikap terbuka dalam menerima
sekolah lain dalam menyelesaikan
kritik serta memberikan balikan
satu persoalan yang serupa. Selain
positif pada semua orang. Strategi
itu, sekolah juga dapat memeriksa
dalam menerapkan tindakan ini
lingkungan (scanning) dan
mencakup penggunaan dialog dan
kecenderungan-kecenderungan
pertanyaan dalam setiap pertemuan
baru di dalamnya dengan
(rapat) dan sesi pembelajaran.
perangkat teknologi yang ada.
5. Mengadakan kolaborasi dan
6. Membentuk kepemimpinan
pembelajaran kelompok. Tindakan
strategik untuk pembelajaran.
yang relevan untuk level ini adalah
Kepemimpinan yang bisa menjadi
fokus pada semangat bekerjasama
model pembelajaran adalah kunci
dan kemampuan untuk
untuk menciptakan organisasi
mengerjakan segala sesuatu secara
pembelajar ini. Pemimpin seperti
berkelompok (teamwork).
ini akan berpikir secara strategis
Individu-individu yang berada di
tentang bagaimana menggunakan
sekolah biasanya cenderung
pembelajaran untuk memindahkan
membentuk kelompok, namun
organisasi pada arah yang baru
mereka tidak selalu mengerjakan
sesuai dengan tuntutan perubahan.
sesuatu secara bersama-sama.
Pada konteks sekolah, para
Strategi untuk
pemimpin dituntut untuk secara
mengimplementasikan tindakan ini
rutin mendiskusikan rencana
mencakup dorongan untuk
pengembangan dan peluang yang
mengefektifkan fungsi kelompok
ada dengan pihak pengajar serta
dalam berbagai level (siswa,
staf-staf lain, dapat mengolah
kalangan administrator, dewan
informasi yang ada menjadi sarana
guru, dan kelompok kerja lainnya).
pembelajaran dan peluang baru,
Strategi lainnya adalah membentuk
serta mampu mencari sumber daya
kelompok kecil dan membuat
yang dibutuhkan dalam
latihan kerjasama untuk
menyokong pengembangan
mengerjakan tugas tertentu hingga
sekolah itu sendiri.

34

mereka terbiasa dengan kolaborasi


dan pembelajaran kelompok.
7. Menciptakan sistem untuk menangkap dan membagi hasil pembelajaran.
Tindakan ini dilakukan dengan strategi berbasis teknologi. Dengan kata lain,
software (piranti lunak) atau program-program komputer yang mendukung
untuk proses pembelajaran dan berbagi pengetahuan digunakan dengan
sebaik-baiknya, seperti Microsoft Access, atau lotus Notes. Sharing
knowledge di sini mencakup juga mempelajari jurnal (buku catatan), dan
proses kolaboratif pengembangan gagasan-gagasan baru yang terdapat
dalam sebuah organisasi.
(Sumber: Fred C. Lunenburg & Allan C. Ornstein, 2004: 35-36, yang diadaptasi
dari Karen E. Watkins and Victoria J. Marsick, Sclpting the Learning Community:
New Form of Working and Organizing, NASSP Bulletin, 83, No. 604, 1999)

Pada tabel di atas tampak bahwa upaya menjadikan sekolah sebagai organisasi
pembelajar sangat menekankan pentingnya proses dan praktik belajar secara
keseluruhan, serta melihat sekolah sebagai sebuah sistem. Pada sekolah sebagai
sebuah sistem ini, setiap elemen baik fungsional maupun struktural akan saling
berhubungan dan memberikan dampak antara satu dan lainnya. Tenaga
administrasi yang tidak terampil akan berakibat pada buruknya sistem pelayanan
administrasi pendidikan di sekolah, yang berarti membawa nilai yang buruk pula
bagi sekolah bersangkutan di mata orang tua siswa. Guru yang tidak memiliki
kapasitas kependidikan yang dibutuhkan akan membuat praktik belajar-mengajar
di sekolah menjadi terhambat, yang berarti membuat sekolah tidak bisa mencapai
tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Berbagai hal ini menunjukkan bahwa apa
yang dilakukan oleh masing-masing pihak di sekolah akan membawa dampak
pada pihak lainnya serta sekolah itu sendiri.

35

Menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar pada akhirnya sebuah


upaya bagaimana menjadikan kegiatan belajar sebagai kegiatan pokok di sekolah,
yang tidak hanya menjadi praktik umum antara guru dan siswa, tapi juga seluruh
elemen yang terdapat di sekolah. Peran Kepala Sekolah pada titik ini akan
menjadi sangat signifikan, mengingat ia memiliki kemampuan dan kekuasaan
untuk membawa sekolahnya menjadi lebih baik ataupun menjadi lebih buruk.
Dalam upaya menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar ini pula, Kepala
Sekolah tidak semata berperan sebagai pucuk pimpinan organisasi yang berfungsi
sebagai pembuat keputusan belaka, tapi juga sebagai pegiat langsung kegiatan
pembelajaran sehingga bisa menjadi contoh bagi anggota organisasi di sekolah
tersebut.

36

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian singkat di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulankesimpulan berikut:


1. Organisasi pembelajar merupakan tuntutan bagi setiap organisasi di abad
pengetahuan ini, tidak terkecuali lembaga pendidikans seperti sekolah.
Organisasi ini menjadikan kegiatan belajar secara holistik sebagai fondasi
kemajuan dan perkembangan organisasi dan setiap individu di dalamya.
Menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar, berarti menanamkan
nilai-nilai dan signifikansi pembelajaran pada seluruh aktivitas sekolah,
dan tidak semata ritual pendidikan yang melibatkan guru dan siswa belaka.
Upaya ini diharapkan dapat membantu sekolah dalam meningkatkan
profesionalitas dan layanannya agar menjadi lebih baik setiap waktunya.
Sekolah yang mau belajar berarti sekolah yang menyadari bahwa
kreativitas tidak ada batasannya, dan prestasi yang lebih baik bisa diraih
setiap waktunya selama ada upaya belajar yang dilakukan.
2. Kepala Sekolah memegang peranan penting dalam upaya menjadikan
sekolah sebagai organisasi pembelajar. Hal ini dikarenakan dalam banyak
langkah dan prinsip dasar yang menjadi preferensi penerapan organisasi
pembelajar

tersebut,

kepemimpinan

menjadi

faktor

yang

sangat

berpengaruh. Dalam lima disiplin tentang organisasi pembelajar misalnya,


Kepala Sekolah atau pimpinan organisasi pendidikan berperan sebagai

37

orang yang berada di dalam dan mengatur sekolah sebagai sistem secara
kolektif dan holistik. Kepala Sekolah juga memiliki kewajiban untuk
mengawal dan mendampingi setiap proses pembelajaran yang menjadi inti
dari organisasi pembelajar sehingga setiap langkah yang diperlukan untuk
membentuknya bisa dijalankan dengan baik.

38

DAFTAR PUSTAKA

Berliana, Pemimpin Adiluhung: Genealogi Kepemimpinan Kontemporer, Jakarta:


Teraju, 2006.
Fred C. Lunenburg & Allan C. Ornstein, Educational Administration: Concepts
and Practices, Singapore: Wadsworth, 2004.
George Manning & Kent Curtis, The Art of Leadership (2nd ed.), Boston:
Massachusetts, 2000.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia 1998.
Hadari Nawawi, Kepemimpinan yang Efektif, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1995.
James Sarros & Oleh Butchatsky, Leadership: Australia's Top CEOs : Finding
Out what Makes Them the Best, Sidney: HarperBusiness, 1996.
John Biggs & Ross Telfer, The Process of Learning, Sydney: Prentice-Hall of
Australia, 1987.
Larry Lashway, Holding Schools Accountable for Achievement. ERIC Digest,
Number 130: University of Oregon, 1999.
Martin M. Chemers, An Integrative Theory of Leadership, New York: Psychology
Press, 2014.
Miftah Thoha, Perilaku Organisasi, Jakarta: PT. Raja Erfindo Persada, 1996.
Peter M. Senge, Schools that Learn: A Fifth Discipline Fieldbook for Educators,
Parents, and Everyone who Cares about Education, USA: Nicholas Brealey,
2012.
______________, The Fifth Discipline, The Art & Practice of The Learning
Organization, New York: Doubleday, 2006.
______________, A. Kleiner, C. Roberts, R. Ross, & B. Smith, The Fifth
Discipline Fieldbook: Strategies and Tools for Building a Learning
Organization, New York: Doubleday, 2001.
Sondang P. Siagian, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rhineka Cipta,
1997.
William J. Rothwell & Kazanas H. C., Mastering the Instructional Design
Process: A Systematic Approach, 3rd Edition, New Jersey: Prentice Hall,
2003.

39

Anda mungkin juga menyukai