Anda di halaman 1dari 13

Menggambar Dua Gunung

Galang Lufityanto (www.galang.biz)

Aku tahu bahwa diriku tidak bisa berharap banyak pada Restu. Anakku itu
memang berbeda dengan anak usia dua tahun lainnya. Saat anak-anak sebayanya belajar
berhitung atau menghapalkan kosakata dalam bahasa Inggris, Restu masih saja kesulitan
untuk mengeja kata sederhana bahasa Indonesia.
Padahal seingatku ia pernah bisa mengeja kata mama dengan sempurna. Juga
kata-kata lainnya. Tapi entah kenapa kosakata itu tiba-tiba lenyap. Seperti ada sesuatu
yang menelannya habis.
Nggggg.
Aku menoleh. Sedikit letih. Disinari lampu remang kamar, dari kejauhan Restu
seperti seberkas cahaya. Dan lalu meredup, hingga akhirnya menjadi titik. Titik kecil
seperti bintang di langit. Indah, namun tak pernah terjangkau oleh tangan-tangan
lemahku.
Rasanya tak percaya. Parasnya tampan. Kulit putih dan hidung mancungnya itu
benar-benar mirip Mas Handoko, ayahnya. Jauh dari kesan terbelakang dan memang
sebenarnya ia tidak meski bisik-bisik tetangga bernada miring. Tidak! Aku meremas
jemariku. Lihatlah anakku sekarang! Restu bersandar di dinding kamar dekat kaki
tempat tidur sedang asyik menyusun krayon berwarna. Merah, biru, hijau, kuning.
Berurutan. Kemudian ia menyebarkannya acak ke lantai. Setengah tertawa, ia memunguti

kembali krayonnya dan mulai menyusun ulang. Merah, biru, hijau, kuning. Susunannya
sama persis. Apakah mungkin orang terbelakang bisa melakukan semua itu?
Aku tersenyum kecut. Mungkin. Tapi Restu melakukan itu untuk yang keberapa
puluh kalinya. Dan itu pasti akan dilakukannya seharian penuh. Tiap saat. Dalam
hitungan minggu atau bahkan bulan.
Restu hanya akan berhenti

melakukannya jika aku dan Mas Handoko

memaksanya untuk makan. Dan tentunya itu bukan pekerjaan yang mudah. Mas Handoko
akan memegangi tangannya, dan aku yang bertugas menyuapi. Ia biasa menyemburkan
isi mulutnya ke mukaku. Atau menggigit tangan Mas Handoko. Tapi itu masih belum
apa-apa. Malah lebih baik. Karena pernah sekali ia berontak, hingga hampir nekad
membenturkan kepalanya ke dinding kamar.
Ngggg.
Suara khasnya membuatku berpaling lagi. Kusandarkan kepalaku pada bibir
pintu. Dalam remang cahaya, aku bisa melihat coretan gambar Restu di dinding. Gambar
pemandangan. Dua buah gunung dengan jalan atau entah itu maksudnya sungai
berkelok-kelok tepat di bagian tengah dua gunung yang berimpit. Di kanan jalan atau
sungai itu Restu menggambar sesuatu yang terkesan bagiku seperti sawah. Matahari
bulat berada tepat di atas gunung sebelah kiri.
Aku tersenyum. Restu menggambar pemandangan serupa di keempat sisi dinding
kamarnya. Dua buah gunung, matahari, dan seterusnya. Orang mungkin akan
menganggapnya kotor. Tapi aku tidak.

Tidak banyak yang bisa dilakukan anak semata wayangku itu. Jadi yang sedikit
pun akan kelihatan sangat berharga. Restu, krayon berwarna, dan gambar
pemandangannya itu biarlah menjadi kebanggaanku. Sesuatu yang pantas kukenang.
Air mataku sekali lagi menetes.
Gambar pemandangan dua buah gunung ada di mana-mana. Bahkan di kamar
mandi sekalipun. Restu membawa krayon kesayangannya, menggenggamnya erat di
tangan seolah ia merasa dirinya akan mati bila direbut orang lain. Ia bisa saja berdiam
diri di kamar mandi berjam-jam lamanya, bermain-main dengan krayonnya.
Dicelupkannya di dalam gayung yang berisi air. Ia akan menjerit senang bila melihat
krayon itu terapung. Kemudian mulai menyusunnya satu persatu : merah, biru, hijau,
kuning.
Tak bisa menahan gemuruh di dadaku, ku berlari menuju Restu. Kupeluk ia dari
depan dengan perasaan penuh harap. Namun sekali lagi hatiku teraniaya. Ia menjerit-jerit
histeris. Wajahnya menampakkan ekspresi kesakitan yang teramat sangat. Oh anakku,
adakah pelukan ibumu ini menyakitkan?
Wawa.wa.!!
Kuteguhkan hatiku. Kupalingkan wajahnya yang menghindar padaku.
Lihat mama, Restu! Lihat!
Namun seperti biasa, bola matanya tak lekat padaku. Seakan aku orang asing.
Ayo bilang Ma-ma. Mama!
Wawa..wa! Restu meronta-ronta dalam pelukanku.
Nisa! Sebuah suara muncul di belakangku. Jangan

Aku kaget. Lalu kulepaskan cekalanku pada Restu. Ragu dan rasanya seperti
rindu.
Sebuah tangan kokoh menyentuh bahuku. Mas Handoko. Aku membalik, dan
menghambur ke arah suamiku itu. Bersandar pada bahunya dan menumpahkan tangisku
sejadi-jadinya. Mas Handoko tak banyak berkata. Ia hanya mengelus rambutku. Berusaha
menenangkanku.
Dari celah bahunya, kulihat Restu sudah tenang kembali. Seperti tidak pernah
terjadi apa-apa. Mulai lagi ia meraup krayon-krayonnya yang tercecer. Dan
menyusunnya.
Merah, biru, hijau, kuning..

**************

Bagaimana Dik Nisa? Kamu tidak keberatan, kan?


Aku mendongak kaget. Lamunanku buyar. Di depanku, Mbak Lia kakak
perempuan iparku duduk berdampingan dengan suaminya.
Tapi Restu
Ya, kami sudah tahu bahwa anakmu mengidap autisme. Itu tidak akan mengubah
keputusan kami. Ujar Mbak Lia.
Terima kasih! Hanya saja. Aku menarik napas panjang.
Mereka berdua menunggu dengan sabar.

Sa..saya, bukan berarti saya tidak

sayang pada Restu bila saya

menyerahkannya pada Mbak. Bukan berarti


Mbak Lia mengusap jariku. Dik Nisa, siapapun tahu Kamu ibu yang baik bagi
Restu, yang menyayanginya sepenuh hati. Tidak ada satu orangpun yang meragukannya.
Mbak Lia menatap wajah suaminya. Lelaki itu hanya mengangguk. Tapi tolonglah
Dik, mohon titipkanlah Restu beberapa minggu pada kami. Kujamin kami akan
mengusahakan yang terbaik bagi anakmu.
Aku terdiam. Bila ini terjadi, aku akan terpisah dari Restu ribuan mil jauhnya.
Mbak Lia dan suaminya yang asli Madura itu tinggal di Kalimantan. Sedangkan aku di
Solo. Tidak akan mungkin menengok Restu setiap saat.
Tapi suami Mbak Lia adalah seorang pengusaha sukses di kotanya. Ia tentu bisa
mencarikan pendidikan yang layak bagi Restu. Mbak Lia sudah berjanji padaku akan
memasukkan Restu ke sekolah khusus penderita autisme. Itu yang aku dan Mas Handoko
tidak bisa mengusahakannya. Karena faktor biaya.
Kita harus lakukan yang terbaik bagi Restu. Jangan menunda-nunda!
Aku menggigit bibir. Ya.., saya tahu itu Mbak! Tak berani aku menatap mereka
berdua. Mbak Lia memang belum kukenal baik, tapi tidak sulit untuk menilai bahwa
mereka adalah orang yang bisa dipercaya. Dan lebih dari itu, apa yang terbaik bagi Restu
adalah alasan utama mengapa aku mau mempertimbangkan tawaran kakak perempuan
Mas Handoko itu. Karena aku memang tidak bisa berbuat lebih. Padahal Restu butuh
penanganan yang maksimal. Egois bila aku mempertahankan pendirianku yang tak mau
berada jauh-jauh dari Restu.

Aku mohon, Dik! Mungkin terdengar konyol ya aku masih percaya mitos.
Bahwa dengan berada dekat dengan anak kecil, aku akan ketularan punya anak. Kamu
tahu kan betapa Mbak sudah lama menunggu kehadiran seorang bayi di rumah kami?
Segala macam pengobatan sudah kami coba. Dan mbak mulai capek. Apalagi mbak
sudah mulai menua.
Aku hanya diam.
Dik Handoko
Ya., saya sudah bilang. Dan Mas Handoko menyerahkan keputusan pada saya.
Jadi? Mbak Lia melirik pada suaminya yang sejak tadi tidak membuka suara.
Aku coba bersikap tegar. Mbak, bolehkah saya memikirkan jawabannya dalam
dua-tiga hari lagi? Ini berat bagi saya.
Mbak Lia mengangguk dan tersenyum bijaksana. Kemudian ia mengganti topik
pembicaraan. Dan setelah berbasa-basi sebentar, ia pamit untuk kembali ke
penginapannya.
Selepas mereka pergi, aku bergegas ke kamar Restu. Tidak boleh mendekat lebih
dari bibir pintu begitu pesan Mas Handoko. Dari sini, kulihat Restu tengah bermain
dengan krayonnya. Seperti biasa.
Berusaha kutekan emosiku. Berhasil, meski masih menyisakan dua atau tiga tetes
air mata.
Ia seperti angin. Kugapai namun tak tersentuh. Ada namun tiada.
Dan sekarang ia akan menjauh.

**************
6

..Situasi kota-kota kecil di pesisir utara Kalimantan Barat


seperti Pemangkat, Tebas, dan Sambas hari Selasa (23/3)
berangsur-angsur normal. Tetapi menjelang malam,

terlihat

kelompok-kelompok massa yang berkumpul di pinggir jalan.


Laporan terakhir menyebutkan situasi tersebut sempat diwarnai
bentrokan

antara

pasukan

keamanan

yang

hendak

menyelamatkan warga Madura yang bersembunyi di dalam


hutan di Samalantan dengan penduduk asli setempat.
Sesuai laporan Pemda Kalbar, kerusuhan yang meledak sejak
awal pekan di tujuh kecamatan di Kabupaten Sambas,
sekurang-kurangnya menyebabkan 165 korban tewas. Angka
ini belum termasuk korban yang tewas di Samalantan..

Aku melirik halaman muka koran yang diapit Mas Handoko. Kusandarkan
kepalaku pada bahunya, tapi tak pernah bisa tertidur. Aku terombang-ambing seperti
hatiku di atas kapal motor yang mengangkutku ke Pulau Kalimantan.
Restu! Hanya satu yang ada dalam benakku saat ini. Di manakah anakku
sekarang? Apakah ia baik-baik saja?
Mas Handoko menatap wajahku lamat-lamat. Saat ini mataku pasti sudah
membengkak merah.
Aku harap Restu baik-baik saja! Tadi malam aku coba untuk telepon Mbak Lia,
tapi tidak tersambung. Mas Handoko berkata lirih.
Ya Tuhan, apakah itu pertanda buruk?
Tapi apakah daerah itu termasuk yang terkena kerusuhan juga?
Mas Handoko tidak berucap. Tapi itu sudah cukup untuk menyatakan iya.
Aku menundukkan kepala. Menghirup napas pun rasanya berat. Semoga anak
kita termasuk pengungsi yang berhasil diselamatkan. Mereka tidak membunuhi anakanak, kan?
Mas Handoko lagi-lagi terdiam. Dan aku takut untuk menebak arti diamnya itu.
Di benakku angka 165 orang yang tewas membuatku cemas luar biasa.
Pelabuhan Santete! Nahkoda kapal menjerit dari arah hulu kapal.
Mas Handoko menegakkan tubuh. Pertanda bahwa kapal sudah sampai di tempat
yang kami tuju. Seharusnya kami mendarat di pelabuhan di Pontianak, tempat kapal antar
pulau biasa berlabuh. Namun Mas Handoko mengambil inisiatif untuk menyewa kapal
motor penduduk dan minta untuk diturunkan di pelabuhan ini. Arus gelombang
pengungsi masih saja memadati pelabuhan Pontianak, dan itu menurut Mas Handoko
8

akan menghambat perjalanan kami. Ini kali pertama aku menjejakkan kaki di Kalimantan
seharusnya ini menyenangkan. Tapi kenyataan berbicara lain. Sungguh mati aku tidak
berharap untuk pergi dalam situasi seperti sekarang ini.
Tulangku seperti dilolosi. Lesu. Betapa lemahnya tubuhku. Bila saja tidak karena
keinginanku untuk cepat-cepat bertemu Restu, pasti tubuhku yang sekarang sudah
ambruk. Mas Handoko menggandengku menuju sebuah perahu kayu panjang yang
bagian belakangnya diberi motor. Mas Handoko bilang itu namanya Klotok. Angkutan
umum air yang populer di Kalimantan. Aku hanya mengangguk, tiada bergairah.
Selama perjalanan, aku melihat sekelilingku. Tanah-tanah yang hijau, namun
menyedihkan. Beberapa daerah terlihat seperti bekas terjadi pertempuran. Mengepulkan
asap pekat di sana-sini. Kayu-kayu yang tergeletak. Tercerai berai. Aku membayangkan
akan menemukan mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang sungai. Tapi untunglah
tidak.
Beberapa orang berlarian ke tepi ketika klotok yang kami tumpangi menyisiri
sungai. Mereka membawa senjata api rakitan, mandau, sumpit, dan panah. Sebagian dari
mereka mengenakan ikat kepala merah. Dan wajah mereka kelihatan garang.
Aku takut. Kukencangkan cekalan tanganku pada Mas Handoko.
Die orang Jawe Tengah, beh, tak ape-ape Terdengar juru mudi klotok berteriak
dalam bahasa Melayu Sambas. Satu persatu dari mereka lantas pergi.
Aku membayangkan bagaimana mungkin Mbak Lia bisa bertahan hidup di tempat
ini. Mengingat suami Mbak Lia adalah orang asli Madura.
Desa Beringin Aku mendengar Mas Handoko berucap.

Aku kaget, dan menarik lengan Mas Handoko. Mengapa kita ke sini? Bukankah
lebih baik kita langsung mencari di tempat pengungsian. Mereka pasti ada di sana!
Tapi Mas Handoko tidak bergeming. Aku mulai kalut. Apa yang sebenarnya
terjadi?
Kami turun. Dan yang pertama kulakukan hanya menangis. Apa yang terjadi
bahkan lebih buruk daripada yang kubayangkan.
I.ini.. tempat Restu tinggal? Aku tidak percaya. Areal ini kelihatan lapang.
Semua bangunan nyaris rata dengan tanah. Palang kayu berceceran di mana. Beberapa
gosong dan melapuk, hancur sekali sentuh. Lembaran-lembaran seng, sisa atap sirap
ataupun daun rumbiya, dinding kayu atau yang dari semen; semuanya ambruk ke tanah.
Tanah merah, yang menyisakan ceceran darah. Baunya busuk mengundang lalat
berdatangan.
Kutengokkan kepala ke arah Mas Handoko. Terkejut. Rasanya baru pertama kali
kulihat Mas Handoko menangis. Lelaki yang tegar itu. Hatiku tersayat. Janganjangan?!
Mas, tunjukkan di mana rumah Mbak Lia! Suaraku seperti tersangkut di
tenggorokanku.
Mas Handoko tahu aku memergokinya menangis. Ia segera mengusap air mata
dengan punggung tangannya. Tepat di depanmu, Ris!
Aku terbelalak. Iini?! Hancur!
Mas Handoko memelukku dari belakang. Dan kutahu ia menangis lagi. Tubuhnya
bergetar hebat.

10

Aku mendapat telepon kemarin malam dari Pak Fajar, kepala desa. Katanya
Mbak Lia..
Mbak Lia Desisku. Terbunuh?
Ia tidak sempat melarikan diri. Serangan itu terjadi begitu tiba-tiba dan sangat
cepat.
Aku menggigit bibirku erat. Biarlah berdarah. La..lalu Restu?
Mas Handoko diam. Dan mendadak aku benci dengan diamnya. Tubuhku
bergemuruh. Tangisku mendera. Entah darimana aku mendapat kekuatan untuk
menangis, setelah kuyakin air mataku telah habis selama berhari-hari sebelumnya. Rasa
sedih ini meluap bagai balon gas yang meledak.
Kulepaskan pelukan Mas Handoko, dan berlari ke arah puing-puing rumah Mbak
Lia. Kusingkirkan kayu-kayu, tak peduli beberapa ada yang menusuk kulit jariku. Aku
berharap Restu ada di bawah sana. Tengah tertidur nyenyak tanpa kurang suatu apapun.
Kupertajam telingaku. Kuharap akan terdengar suaranya yang lucu di telingaku.
Wa..wa..wa.
Restu! Di manakan Kamu, Anakku?!
Wa..wa..wa
Aku seperti orang kesetanan. Tak peduli wajahku kini penuh dengan air mata dan
abu. Kuangkat sebuah triplek, dan kemudian aku mematung. Di atas tanah berserakan
krayon berwarna yang aku tak perlu menduga siapa pemiliknya. Krayon berwarna
merah, hijau, kuning, dan biru. Kubayangkan wajah Restu yang akan marah bila melihat
barang kesayangannya itu tercecer tidak sesuai urutannya. Tiba-tiba aku merasa rindu
dengan wajah marahnya.
11

Krayon-krayon itu patah, dan beberapa remuk. Menyadarkanku pada apa yang
tengah terjadi. Menghentikanku dari segala harapan dan keegoisanku. Dan mesti
bagaimanapun juga, kenyataannya adalah kejam.
Aku duduk bersimpuh. Sempurna sudah kepahitan ini. Rasanya seperti kehilangan
sebagian besar dari hidupku. Mulai aku menyalahkan diriku sendiri. Mengapa dulu aku
menyetujui permintaan Mbak Lia? Mengapa?! Tapi aku tahu penyesalan kemudian tiada
guna. Itu tidak akan mengubah apa yang telah terjadi sekarang.
Kupicingkan mata, menantang sinar matahari. Di depanku sebuah tembok masih
berdiri meski separuh bagian atasnya sudah ambruk. Samar-samar dari balik hitamnya
jelaga, kulihat goresan-goresan berbentuk. Aku mendekat. Dengan tanganku, kuhapus
lapisan jelaga yang menempel di tembok.
Itu coretan krayon Restu. Gambar pemandangan.
Tapi.
Gambar matahari, jalan atau entah sungai aku tak pernah bisa menanyakan lagi
pada Restu, dan sawah. Aku membisu. Satu gambar gunung. Dan separuh gunung
satunya.
Restu belum lagi menyempurnakannya gambar gunungnya.
Dan aku tahu ia tidak akan pernah bisa menyelesaikannya.
Karena apa yang tidak restu pada Restu adalah kesempatan. Orang-orang telah
mengambilnya dari anakku.
----ooo---forum lingkar pena yogyakarta,
17 Juli 2002
12

13

Anda mungkin juga menyukai