Anda di halaman 1dari 36

BAB I

ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Jenis kelamin

: Perempuan

Tanggal lahir

: 25 Oktober 1953

Umur

: 62 tahun

Pekerjaan

: Petani

Agama

: Islam

Alamat

: Tanjung Siae (Seram)

Tanggal Masuk RS

: 20 Juli 2015

Tanggal Masuk ICU

: 23 Juli 2015

Nomor rekam medik

: 18-40-42

Ruang rawat

: Ruang Bedah Wanita

B. SUBJEKTIF
ANAMNESIS (Anamnesis didapatkan dari Alloanamnesis tanggal 25 Juli 2015
via Telepon)
Keluhan utama

: Sesak Napas

Anamnesis terpimpin :
a. Riwayat Penyakit sekarang :
Keluhan dialami perlahan-lahan dan menetap sejak pasien dipindahkan ke
ruang ICU. Keluhan dialami tanpa disertai bunyi mengi. Keluhan dialami
terutama bila pasien terlentang & berkurang bila pasien diposisikan setengah
duduk serta tidak disertai pembengkakan pada kaki. Keluhan sudah 2 kali
dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun terakhir. Keluhan yang muncul
sebelumnya disertai nyeri pada perut bagian atas & pasien sempat dirawat di
RS SBB dengan diagnosis maag, 5 bulan SMRS. Riwayat nyeri dada, jantung
terasa berdebar, pingsan, riwayat sakit DM atau Hipertensi tidak diketahui
keluarga.
Sebelumnya pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri perut disertai dengan
muntah. Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada daerah selangkang kiri
yang menetap serta makin membesar sejak 1 tahun terakhir. Pasien juga sudah
tidak BAB sejak 4 hari SMRS. Namun dalam perawatan pasien di Ruang
bedah wanita pasien sudah BAB 1x.
b. Riwayat Keluarga
Dalam keluarga juga tidak ada yang memiliki penyakit keturunan atau
mengalami keluhan yang sama seperti pasien.
c. Riwayat pengobatan
Pasien sedang tidak mengkonsumsi obat-obatan untuk penyakit apapun
C. PEMERIKSAAN FISIK (23 JULI 2015)

B1

: A : Bebas

B2

B : Spontan, RR: 29 x/menit, SpO2: 100% dengan sungkup 8 lpm


: TD: 80/60mmHg, Nadi: 122 x/m reguler, akral teraba dingin &

B3

lembab, CRT > 2 detik


: GCS: E2V4M5, pupil: isokor 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+,

B4
B5

defisit neurologis (-)


: BAK via Kateter 23,21 ml/ jam
: BU (+), teraba supel, nyeri pada seluruh bagian perut Skala VAS = 5-

B6

6
: Fraktur (-), edema (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG (tanggal 23 Juli 2015):

Irama
: Sinus
Heart Rate
: 127 x/menit

Gelombang P
: 0,12 detik

Interval PR
: 0,16 detik

Durasi QRS
: 0,06 detik

Aksis
: - 12o

Segmen ST
: Normal, ST elevasi (-), ST depresi (-)

Gelombang T
: T inversi (+) pada V1-V4

Kesan

: Iskemik miokard anteroseptal

2. Laboratorium
a. Darah Lengkap (Pemeriksaan Tanggal 20 Juli 2015)
Parameter
RBC
HGB
PLT
WBC

Hasil
5,07 x 106
12,7
321 x 103
16,2 x 103

Nilai Rujukan
3,05-5,50 x 109/L
11,0 16,0 g/dl
100-300 x 109 /L
4,0 10,0 x 103 /L

b. Pemeriksaan Kimia Darah (Pemeriksaan Tanggal 23 Juli 2015)


Parameter
Fungsi Hati
Albumin
Bilirubin Total
Bilirubin direct
Bilirubin indirect
SGOT
SGPT
Fungsi Ginjal
Kreatinin
Ureum
Asam Urat
Lemak
Kolesterol
Glukosa
Gula Darah Puasa

Hasil

Nilai Rujukan

31,5 mg/dL
0,4 mg/dL
0,3 mg/dL
0,1 mg/dL
83 U/L
57 U/L

3,5 5 mg/dL
< 1,5 mg/dL
< 0,5 mg/dL
<1,1 mg/dL
< 30 U/L
< 50 U/L

1,6 mg/dL
097 mg/dL
5,6 mg/dL

0,7 1,2 mg/dL


10 50 mg/dL
3,4 7,0 mg/dL

42 mg/dL

140 200 mg/dL

110 mg/dL

70-100

c. Pemeriksaan Analisis Gas Darah (Tanggal 23 Juli 2015)


Parameter
pH
PCO2
PO2

Nilai Normal
7,35 7,45
30 50 mmHg
70 700 mmHg

Hasil
7,36
40 mmHg
239 mmHg

d. Pemeriksaan Elektrolit (Pemeriksaan Tanggal 23 Juli 2015)


Parameter

Natrium
Kalium
Chlorida

Hasil

Nilai rujukan

135 145 mmol/L


3,5 5,1 mmol/L
95,0 115,0 mmol/L

142 mmol/L
3,7 mmol/L
111 mmol/L

E. RESUME
Pasien mengeluhkan sesak napas yang dalami perlahan-lahan dan menetap
terutama bila pasien terlentang & berkurang bila pasien diposisikan setengah
duduk. Keluhan sudah 2 kali dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun terakhir.
Keluhan yang muncul sebelumnya disertai nyeri pada perut bagian atas & pasien
sempat dirawat di RS SBB dengan diagnosis maag, 5 bulan SMRS.

Sebelumnya pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri perut disertai dengan


muntah. Pasien mengeluhkan adanya benjolan pada daerah selangkang kiri yang
menetap serta makin membesar sejak 1 tahun terakhir. Pasien juga sudah tidak
BAB sejak 4 hari SMRS. Namun dalam perawatan pasien di Ruang bedah wanita
pasien sudah BAB 1x. Pada Pemeriksaan Fisik :

B1 : RR = 29 x/menit
B2 : TD = 80/60 mmHg, Nadi : 122x/mnt, akral dingin & lembab
B4 : BAK via Kateter 23,21 ml/ jam
B5 : Nyeri perut pada seluruh regio, Benjolan pada inguinal kiri

Hasil Pemeriksaan Laboratorium :

WBC : 16200
Albumin : 1,5
SGOT / SGPT : 83 / 58
Ureum / Creatinin : 97 / 1,6
GDP : 110 mg/dl

Hasil Pemeriksaan EKG :

Iskemik Anteroseptal (T inversi V1 V4)

F. ASSESMENT
Diagnosis

: Syok Kardiogenik + HIL

G. TATALAKSANA

Awasi tanda vital


Head up 30o+ Elevasi Tungkai
O2 8 lpm sungkup
Rehidrasi dengan HES 500cc + RL 500 cc
IVFD RL : D5% = 2:2 200cc/24 jam
Cefotaxim 1gr / 12 jam
Metronidazole 500 mg / 8 jam
5

Ketorolak 30 mg / 8 jam
Tramadol 100 mg/ 8 jam
Dopamin 5 mcg/kgBB (dititrasi hingga TDS > 100)
Pasang NGT
Stop Intake oral.

H. RENCANA PEMERIKSAAN
Foto Rontgen Thoraks PA
EKG serial

I.

PROGNOSIS
Ad Functionama

: Malam

Ad Sanationem

: Malam

Ad Vitam

: Malam

J. FOLLOW UP
a. Tekanan Darah

b. Frekuensi nadi

c. Frekuensi Pernapasan

d. Saturasi Oksigen

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.

Definisi
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah

jantung sistemik pada keadaan volume intravascular yang cukup dan dapat
menyebabkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi pada keadaan dimana fungsi
ventrikel kiri cukup baik.3,5
Syok merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang ditandai dengan
berbagai manifestasi hemodinamik. Petunjuk umum untuk syok adalah tidak
memadainya perfusi jaringan. Syok bersifat progresif dan terus memburuk bila
tidak ditangani selagi dini. Syok dapat dibagi dalam empat golongan:5
1. Syok hipovolemik yaitu syok yang diinduksi oleh penurunan volume darah,
tejadi secara langsung karena perdarahan hebat atau karena hilangnya cairan
yang berasal dari plasma (misalnya diare berat, pengeluaran urin berlebih,
atau keringat berlebih).
2. Syok vasogenik yaitu syok yang disebabkan oleh vasodilatasi luas yang
dicetuskan oleh zat-zat vasodilator. Terdapat dua jenis syok vasogenik, yaitu
syok septik dan syok anafilaktik. Syok septik yang dapat menyertai infeksi
luas, ditimbulkan oleh zat vasodilator yang dikeluarkan oleh penyebab
infeksi. Demikian juga pengeluaran zat histamine yang berlebih pada reaksi
alergi berat dapat menyebabkan vasodilatasi (syok anafilaktik).
3. Syok neurogenik yaitu syok yang juga melibatkan vasodilatasi luas, tetapi
bukan karena zat-zat vasodilatasi. Dalam hal ini, tonus vaskuler simpatis yang
hilang menyebabkan vasodilatasi umum, serupa dengan hipotensi emosional
tetapi lebih berat dan lama. Syok ini terjadi pada cedera benturan hebat
(crushing injury).

4. Syok kardiogenik yaitu syok yang ditandai dengan hipotensi sistemik sebagai
dasar diagnosis. Nilai cut off untuk tekanan darah sistolik yang sering dipakai
adalah kurang dari 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah sistolik
akan meningkatkan kadar katekolamin yang mengakibatkan konstriksi arteri
dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda
hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan
oliguria.
Menurut AHA 2008 Syok kardiogenik adalah keadaan akhir dari
hipoperfusi organ yang disebabkan karena gagal jantung. Yang termasuk dalam
parameter syok kardiogenik adalah hipotensi persisten (tekanan darah sitolik < 8090 mmHg selama min 30 menit, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata >30
mmHg, Penurunan cardiac index yang berat < 1.8 L.m-1.m-2 tanpa bantuan atau <
2.0-2.2 L.m-1.m-2), Peningkatan LVED > 18 mmHg or RVED >10-15mmHg.
2.

Epidemiologi
Menurut Wolfe RE dan Fischer CM (2007), mortalitas (angka/rerata

kematian) penderita syok kardiogenik sangat tinggi mencapai 50-80%. Menurut


Fauci AS, et al (2008), syok kardiogenik merupakan penyebab utama (leading
cause) dari kematian pasien dengan infark miokard yang dirawat di rumah sakit.
Terapi reperfusi segera (primary PCI) untuk kasus infark miokard akut
menurunkan insiden syok kardiogenik tersebut. Kejadian syok kardiogenik
sebagai komplikasi infark miokard menurun dari 20% pada tahun 1960an
kemudian menetap kurang lebih 8% selama 20 tahun.6
Syok terutama berhubungan dengan ST elevation MI (STEMI) kurang
umum berkaitan dengan non-ST elevation MI. Dua pertiga penderita syok

kardiogenik memiliki flow-limiting stenosis di ketiga arteri koronaria mayor


(mayor coronary arteries), dan 20% terdapat stenosis di arteri koronaria utama.6
Penyebab syok kardiogenik terbanyak adalah pada pasien infark miokard
akut, dimana terjadi kehilangan sejumlah besar miokardium akibat terjadinya
nekrosis. Insiden syok kardiogenik sebagai komplikasi sindrom koroner akut
bervariasi. Hal ini berhubungan dengan definisi syok kardiogenik dan kriteria
sindrom koroner akut yang dipakai sangat beragam pada berbagai penelitian. Pria
lebih sering terkena syok kardiogenik daripada wanita dikarenakan angka kejadian
infark miokard akut lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.5,7
Syok kardiogenik terjadi pada 2,9% pasien angina pectoris tidak stabil dan
2,1% pada pasien infark miokard akut non elevasi ST. Median waktu
perkembangan menjadi syok pada pasien ini adalah 76 jam dan 94 jam, dimana
yang sering dijumpai adalah komplikasi infark miokard akut dengan elevasi ST
daripada tipe lain dari sindrom koroner akut. Pada studi besar di negara maju,
pasien infark miokard akut yang mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan
syok kardiogenik yang berkisar antara 5% sampai 10% dengan rata-rata 7,2%.
Dimana tingkat mortalitas tetap tinggi sampai saat ini, berkisar antara 80-90%.6,8
3. Etiologi
Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium
ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang
mengakibatkan gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke
jaringan.8
Penyebab dari syok kardiogenik adalah sebagai berikut:8,9
1) Gangguan ventricular ejection
a. Infark miokard akut
b. Miokarditis akut
c. Komplikasi mekanik:
Regurgitasi mitral akut akibat rupture atau disfungsi otot papilaris
Ruptur septum interventrikulorum
10

Rupture free wall


Aneurisma ventrikel kiri
Stenosis aorta yang berat
Kardiomiopati
Kontusio miokard
2) Gangguan ventricular filling
a. Tamponade jantung
b. Stenosis mitral
c. Miksoma pada atrium kiri
d. Trombus ball valve pada atrium
e. Infark ventrikel kanan
Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan
terjadinya syok. Diantara komplikasi tersebut yaitu rupture septal ventrikel, ruptur
atau disfungsi otot papilaris dan rupture miokard yang keseluruhan dapat
mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut. Sedangkan infark ventrikel
kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat menyebabkan
terjadinya syok.10
Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah
takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi akibat
disfungsi ventrikel

kiri, dan

dapat

timbul

bersamaan

dengan aritmia

supraventrikular atau ventrikular.8,10


Syok kardiogenik juga dapat timbul sebagai manifestasi akhir dari
disfungsi miokard yang progresif, termasuk akibat penyakit jantung iskemia,
maupun kardiomiopati hipertrofik dan restriktif. Ciri khas pada syok kardiogenik
akut adalah hilangnya 40% atau lebih miokardium ventrikel kiri. Nekrosis fokal
dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokardium. Sebagai akibat dari proses infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan
kinerjanya menjadi terganggu. Ventrikel kiri tidak mampu menyediakan curah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan.9,10

11

4. Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan bentuk yang berat dari kegagalan ventrikel
kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan gagal
jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume serta
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru
dan edema.8 Dengan menurunnya tekanan arteri, maka terjadi perangsangan
terhadap

baroreseptor

pada

aorta

dan

sinus

karotikus.

Perangsangan

simpatoadrenal menimbulkan refleks vasokonstriksi, takikardi, dan meningkatkan


kontraktilitas untuk menambah curah jantung dan menstabilkan tekanan darah.
Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui
retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas pada syok kardiogenik
akan memulai respon kompensatorik, yang meningkatkan beban akhir dan beban
awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan meningkatkan
tekanan arteri darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap miokardium
justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
miokardium akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai, terbukti
dengan adanya infark, maka ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai
oksigen terhadap miokardium semakin meningkat.9,10
Gangguan miokardium juga terjadi akibat iskemia dan nekrosis lokal, yang
akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium. Dengan bertambah
buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan syok berkembang dengan cepat sampai
akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengganggu sistem organ-organ
penting.9

12

Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti
telah diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada
keadaan syok. Selain dari bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya
terhadap oksigen, beberapa perubahan lain juga terjadi. Karena metabolisme
anaerobik dimulai pada keadaan syok, maka miokardium tidak dapat
mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi (adenosine trifosfat) dalam
kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin terganggu. Hipoksia dan
asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong terjadinya kerusakan
lebih lanjut dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga menggeser kurva
fungsi ventrikel ke bawah dan ke kanan yang akan semakin menekan
kontraktilitas.11
Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok. Komplikasi yang
mematikan adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-paru dan
edema intra-alveolar akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas darah
arteri. Atelektasis dan infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini
memicu terjadinya syok paru-paru. Takipnea, dyspnea, dan ronki basah dapat
ditemukan.10,11
Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan keluaran kemih
kurang dari 20ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung, biasanya
menurunkan pula keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik retensi
natrium dan air, maka kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan dengan
menurunnya laju filtrasi glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin. Bila
hipotensi berat dan berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang
kemudian disusul gagal ginjal akut.8,9

13

Syok yang berkepanjangan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati.


Kerusakan sel dapat terlokalisir pada zona-zona nekrosis yang terisolasi, atau
dapat berupa nekrosis hati yang massif pada syok yang berat. Gangguan fungsi
hati dapat nyata dan biasanya bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim
hati, glutamate oksaloasetat transaminase serum (SGOT), dan glutamat piruvat
transaminase serum (SGPT). Hipoksia hati juga merupakan mekanisme etiologi
yang mengawali komplikasi-komplikasi ini.10
Iskemia saluran cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan
nekrosis hemoragik dari usus besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi
syok melalui penimbunan cairan pada usus dan absorpsi bakteri serta endotoksin
ke dalam sirkulasi. Penurunan motilitas saluran cerna hampir selalu ditemukan
dalam keadaan syok.10
Dalam keadaan normal, aliran darah serebral biasanya menunjukkan
autoregulasi yang baik, yaitu dengan usaha dilatasi sebagai respon terhadap
berkurangnya aliran darah atau iskemia. Namun, pengaturan aliran darah serebral
ternyata tidak mampu mempertahankan aliran dan perfusi yang memadai pada
tekanan darah di bawah 60 mmHg. Selama hipotensi yang berat, gejala-gejala
defisit neurologik dapat ditemukan. Kelainan ini biasanya tidak berlangsung terus
jika pasien pulih dari keadaan syok, kecuali jika disertai dengan gangguan
serebrovaskuler.11

14

Gambar 1 Patofisiologi syok kardiogenik


Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi pengumpulan komponenkomponen selular intravascular dari system hematologic, yang akan meningkatkan
tahanan vascular perifer lebih lanjut. Koagulasi intravascular difus (DIC) dapat
terjadi selama syok berlangsung, yang akan memperburuk keadaan klinis.11
Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi
kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingakaran setan; penurunan curah
jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi
penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Paradigma klasik memprediksi bahwa

15

vasokonstriksi sistemik berkompensasi dengan peningkatan resistensi vascular


sistemik yang terjadi sebagai respon dari penurunan curah jantung.12
Pada infark miokard akut terjadi pemotongan aliran darah. Penyebab
utama iskemia miokardium adalah proses aterosklerosis pada arteri koroner besar.
Pada penyakit aterosklerosis, terdapat deposit lipid yang disebut plak yang
berkembang di dalam dinding pembuluh darah arteri. Makin beratnya plak yang
menjadi kalsifikasi dan membesar akan menutupi lumen arteri (stenosis). Plak
akan menjadikan resistensi vascular koroner meningkat dan aliran ke koroner
menurun.12
Pada studi autopsi menunjukkan syok kardiogenik dihubungkan dengan
kehilangan lebih dari 40% otot miokard ventrikel kiri yang akan menyebabkan
inhibisi langsung kontraktilitas miokard, supresi respirasi mitokondria pada
miokard non iskemik, efek pada metabolism glukosa, efek proinflamasi,
penurunan responsivitas katekolamin, dan merangsang vasodilatasi sistemik.6,8

16

Gambar 2 Skema Patofisiologi syok kardiogenik

5. Diagnosis
1) Anamnesa11
Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok
kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan
tipikal nyeri dada akut, dan mungkin sudah memiliki riwayat penyakit jantung
sebelumnya. Pada keadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard
akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai minggu setelah onset infark
tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya terjadi gejala tibatiba yang menunjukan edema paru akut bahkan henti jantung.

17

Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop,


sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien
merasakan letargi akibat kekurangan perfusi ke sistem saraf pusat.
2) Pemeriksaan Fisik9,11
Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan sistolik akan
menurun sampai kurang 90 mmHg, bahkan bisa turun hingga kurang 80 mmHg
pada pasien yang tidak mendapat pengobatan adekuat. Denyut jantung biasanya
meningkat akibat stimulasi simpatis, demikian pula frekuensi pernafasan yang
biasanya meningkat akibat kongesti di paru. Pemeriksaan dada akan menunjukan
ronki. Pasien dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan
hipovolemik yang menurun, sangat kecil kemungkinnya menyebabkan kongesti
paru.
Sistem kardiovaskular yang dapat di evaluasi seperti vena-vena dileher
sering kali meningkat distensinya. Letak impuls apikal dapat bergeser pada pasien
kardiomiopati dilatas, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi
perikardial atau tamponade. Irama gallop dapat timbul yang menunjukan adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan regurgitasi mitral atau septal
defek ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbul sangat membantu untuk
menentukan kelainan atau komplikai yang ada.
Pasien dengan gagal jantung kanan yang bermakna akan menunjukan
beberapa tanda antara lain: pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi
trikuspid atau terjadinya asites akibat gagal jantung kanan yang sulit diatasi.
Pulsasi di perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada

18

gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukan
adanya penurunan perfusi ke jaringan.
3) Pemeriksaan Penunjang12,13
a. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi gambaran rekaman elektrokardiografi dapat membantu
untuk menunjukan etiologi dari syok kardiogenik. Misalnya pada infark miokard
akut akan terlihat dari gambaran tersebut. Demikian pula lokasi infark terjadi pada
ventrikel kanan makan akan terlihat proses di sadapan jantung sebelah kanan
(elevasi ST di sadapan V4). Begitu pula bila gangguan irama jantung, maka akan
terlihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut.
b. Foto Rontgen
Foto roentgen pada dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda
kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi
komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard
akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang disertai kardiomegali, terutama
pada onset infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukan kecil
kemungkinan terdapat gagal jantung kanan yang dominan disertai keadaan
hipovolemia.
c. Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan modalitas yang non-invasf sangat banyak
membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik.
Pemeriksaan ini sangat cepat dan aman dan dapat dilakukan langsung di tempat
tidur pasien. Keterangan yang di dapat dalam pemeriksaan ini adalah: penilaian

19

fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental), fungsi katup jantung
(stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanya shunt
(misalnya defek septal ventrikel dengan shunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial
atau tamponade.
d. Pemantapan Hemodinamik
Pemantauan hemodinamik dengan mengunakan kateter Swan-Ganz untuk
mengukur tekanan arteri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru,
khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta
indikator evaluasi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel
kiri yang berat, akan menyebabkan tekanan baji paru meningkat. Bila pada
pengukuran tekanan pembuluh paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark
miokard akut menunjukan volume intravaskular pasien tersebut adekuat.
Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan,
akan menunjukan tekanan baji pembuluh darah paru yang normal atau lebih
rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan perhitungan
afterload (resistensi vaskular sitemik). Minimalisasi afterload sangat diperluka,
karena bila terjadi peningkatan afterload akan menunjukan efek penurunan
kontraktilitas yang akan menurunkan curah jantung.
e. Saturasi Oksigen
Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada
saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yang dapat mendeteksi adanya septal defek
ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke

20

ventrikel kanan maka akan terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan
saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.

6. Penatalaksanaan
Volume pengisian ventrikel kiri harus diptimalkan, dan pada keadaan tanpa
adanya bendungan paru, pemberian cairan sekurang-kurangnya 250 mL dapat
dilakukan dalam 10 menit. Oksigen adekuat penting, intubasi atau ventilasi harus
dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi yang
berlangsung memicu kegagalan otot pernafasan dan dapat dicegah dengan
pemberian ventilasi mekanis.10,11
Laporan adanya penurunan secara dramatis mortalitas syok kardiogenik
dengan melakukan revaskularisasi awla muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis
secara acak yang menguji superiotas dan generalisabilitas strategi revaskularisasi
awal telah dilakukan di USA yaitu SHOCK trial. Pada penelitian SHOCK
dilaporkan peningkatan survival 30 hari dari 46,7% menjadi 56% dengan strategi
revaskularisasi awal, namun perbedaan 9% absolut tidak bermakna (p=0,11). Pada
pemantauan, perbedaan survival pada strategi revaskularisasi awal menjadi lebih
besar dan bermakna setelah 6 bulan dan satu tahun untuk reduksi absolut. Manfaat
revaskularisasi awal didapatkan pada semua subkelompok kecuali pada usia
lanjut(kuran 75 tahun).8.9

Langkah penatalaksanaan syok kardiogenik, yaitu:7,12


1) Tindakan resusitasi segera

21

Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa


untuk definitif. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata yang adekuat untuk
mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin dan noradrenalin
(norepinefrin). Tergantung pada derajat hipotensi, harus diberikan secepatnya
untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis
minimal yang dibutuhkan. Dobutamin dapat dikombinasikan dengan dopamin
dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output
tanpa hipotensi yang nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum
transportasi jika fasilitas tersedia. Analisa gas darah dan saturasi oksigen harus
dimonitor dengan memberikan continuous positive airway pressure atau ventilasi
mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus-menerus, dan
peralatan defibrilator, obat antiartimia amiodaraon dan lidokain harus tersedia
(33%

pasien

revaskularisasi

awal

SHOCK

trial

menjalani

resusitasi

kardiopulmoner, takikardi ventrikular menetap atau fibrilasi ventrikel sebelum


randomisasi).11
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan ST elevasi jika
antisipasi ketelambatan angiografi lebih dari 2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien
dengan tekanan darah sistolik kurang 100 mmHg yang mendapat rombolitik pada
metaanalisis FTT adalah 28,9% dibandingkan 35,1% dengan plasebo (95% CI 26
sampai 98, p < 0,001) meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini
dapat menfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner.

22

Pada syok kardiogenik karena infark miokard non elevasi ST yang menunggu
katetrisasi dapat diberikan inhibitor glikoprotein Iib/IIIa.
2) Menentukan secara dini anatomi koroner
Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik
yang berasal dari kegagalan pompa iskemik yang dominan. Hipotensi diatasi
segera dengan IABP. Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh darah yang
tinggi, penyakit left main, dan penurunan fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi
ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi
koroner. Suatu lesi circumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai
manifestasi syok pada keadaantanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel
kiri, bradiaritmia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati.
3) Melakukan revaskularisasi dini
Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan pemulihan
modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak yang membandingkan PCI
dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG
emergensi pada pasien left main atau penyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas
dirumah sakit dengan CABG pada penelitian SHOCK dan registr adalah sama
dengan outcome dengan PCI, wlaupun lebih banyak penyakit arteri berat dan
diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang menjalani CABG.
Rekomendasi PCI pada penyakit jantung koroner5
-

Tanda objektif iskemik luas

Oklusi total kronis

Risiko operatif tinggi, termasuk ejeksi fraksi < 35%

23

Unprotected left main tanpa opsi tindakan revaskularisasi lain.

Stent rutin pada lesi pembuluh darah koroner asli

Peranan intraaortic baloon pump

Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasi pemasangan


IABP dini pada pasien syok kardiogenik yang merupakan kandidat strategi
agresif. Penggunaan IABP menurunkan afterload, meningkatkan tekanan diastolik
untuk perfusi koroner dan meningkatkan curah jantung.11
Balon intra-aorta ditempatkan pada aorta toraksika desenden yang terletak
di distal arteri subklavia sinistra. Balon dimasukan perkutan atau melalui

24

arteriotomi femoralis dan disusupkan retrogard melalui aorta abdominalis


desenden. Balon kemudian mengembang dan mengempis sesuai dengan peristiwa
mekanis dari siklus jantung.2

7. Komplikasi7

Cardiopulmonary arrest

Disritmi

Gagal multisistem organ

Stroke

Tromboemboli

25

8. Prognosis
Prognosis syok kardiogenik secara umum sangat buruk meskipun
insidennya telah menurun. Pada penderita syok akibat IMA, prognosis tergantung
pada luasnya infark miokard. Mortalitas rata-rata dari berbagai pusat perawatan
jantung sekitar 60-70%. Mortalitas tinggi bagi mereka yang menunjukkan tekanan
pengisisan ventrikel kiri sangat tinggi dan penurunan indeks jantung. Bila tekanan
tersebut normal atau sedikit dan hipovolemia relative, prognosis lebih baik.
Sekitar 30% penderita menunjukkan respon terhadap ekspansi volume darah
dengan dekstran atau albumin. Penderita dengan perubahan tekanan pengisisan
ventrikel kiri dan indeks jantung ringan biasanya menunjukkan hasil yang baik
dengan obat-obatan vasopresor.8
Prognosis menurut pembagian KILLIP adalah sebagai berikut:6

Kelas I: Tidak ada tanda kongesti paru atau vena, mortalitas 0-5%.

Kelas II: Gagal jantung kanan, kongesti hepar dan paru, gagal jantung kiri
sedang, ronki pada basis paru, mortalitas 10-20%.

Kelas III: Gagal jantung berat, edema paru, mortalitas 35-45%.

Kelas IV: Syok, tekanan sistolik <80-90 mmHg, sianosis perifer, gangguan
mental, oliguri, mortalitas 85-95%.

BAB III
PEMBAHASAN

26

Pasien perempuan, Ny. S, usia 62 tahun, masuk ICU tanggal 23 Juli 2015
dengan keluhan sesak napas sejak pasien di masukan ke ICU pukul 12.00 WIT
dari ruangan operasi. Keluhan dirasakan perlahan lahan dan menetap terutama
bila pasien terlentang & berkurang bila pasien diposisikan setengah duduk.
Keluhan sudah 2 kali dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun terakhir. Keluhan
yang muncul sebelumnya disertai nyeri pada perut bagian atas & pasien sempat
dirawat di RS SBB dengan diagnosis maag, 5 bulan SMRS. Sebelumnya pasien
datang ke RS dengan keluhan nyeri perut disertai dengan muntah. Pasien
mengeluhkan adanya benjolan pada daerah selangkang kiri yang menetap serta
makin membesar sejak 1 tahun terakhir. Pasien juga sudah tidak BAB sejak 4 hari
SMRS. Namun dalam perawatan pasien di Ruang bedah wanita pasien sudah
BAB 1x. Pada pemeriksaan fisik didapatkan B1 : RR = 29 x/menit
B2 : TD = 80/60 mmHg, Nadi : 122x/mnt, akral dingin & lembab
B4 : BAK via Kateter 23,21 ml/ jam
B5 : Nyeri perut pada seluruh regio, Benjolan pada inguinal kiri
Hasil Pemeriksaan EKG menunjukan adanya Iskemik miokard Anteroseptal (T
inversi V1 V4).
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien mengarah pada gejala yang ditunjukan
akibat penurunan perfusi ke jaringan perifer. Penurunan perfusi jaringan perifer
dapat disebabkan oleh penurunan volume darah, vasodilatasi pembuluh darah
perifer, serta kegagalan pompa jantung. Pada kasus ini dari pemeriksaan EKG
sebelumnya didapati adanya iskemik miokard. Sehingga dapat dikatakan
penurunan perfusi ke jaringan perifer disebabkan karena ke gagalan pompa
jantung yang tidak adekuat akibat terjadinya iskemik miokard. Hal ini diperparah
dengan kondisi pasien yang sedang mengalami kesakitan akibat Hernia Inguinalis
27

Lateralis Inkarserata sehingga kebutuhan oksigen semakin meningkat namun


kemampuan jantung untuk mendistribusikan darah yang kaya akan oksigen ke
daerah perifer semakin berkurang akibat kerusakan miokard. Penurunan perfusi
perifer akibat kegagalan pompa jantung seperti pada kasus ini dikenal denga
Syok Kardiogenik.
Syok kardiogenik menurut AHA 2008 adalah keadaan akhir dari hipoperfusi
organ yg disebabkan karena kegagalan pompa jantung. Yang termasuk dalam
parameter syok kardiogenik adalah hipotensi persisten (TDS< 80-90 mmHg
selama min 30 menit, atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata >30 mmHg,
Penurunan cardiac index yang berat < 1.8 L.m-1.m-2 tanpa bantuan atau < 2.0-2.2
L.m-1.m-2) sertapeningkatan LVED > 18 mmHg or RVED >10-15mmHg. Syok
kardiogenik didefinisikan sebagai TDS < 90 mmHg selama > 1 jam di mana:

Tidak berespon dengan pemberian cairan saja,

Sekunder terhadap disfungsi jantung,

Berkaitan dengan tanda2 hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2


L/menit/m2 dan PCWP > 18 mmHg.

Kriteria diagnosis syok kardiogenik oleh Myocardial Infraction Research


Units of Nasional Heart, Lung, and Blood Institude ditandai oleh tanda berikut ini
seperti pada tabel dan dibandingkan dengan kondisi pasien.
Kriteria diagnosis

Myocardial Infraction Research


Units of Nasional Heart, Lung,
and Blood Institude

Kasus

28

1. Tekanan darah < 90 mmHg atau 30 60 mmHg TD awal : 80 / 60mmHg dan


sistolik
dibawah
batas
bawah tidak mengalami perbaikan
sebelumnya
walaupun telah dilakukan
diresusitasi
2. Adanya bukti
Keluaran urin < 30
Keluaran urin 23,21 ml/
penurunan
ml/jam, biasanya disertai
jam
aliran darah ke
penurunan kadar Na dalam
sistem organurin
organ utama

Vasokonstriksi
perifer
Akral teraba dingin dan
yang disertai gejala kulit
lembab, CRT > 2 detik
dingin dan lembab

Gangguan fungsi mental


3. Indekx jantung
< 2,1 L/menit/m2
Tidak diperiksa
4. Bukti gagal LVEDP / PCWP 18 -21 mmHg
Tidak diperiksa
jantung kiri
Syok Kardiogenik dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin
memberat :
a. Tahap 1 : syok terkompensasi (non progresif). Tahap ini merupakan
terjadinya respon kompensatorik
b. Tahap 2 : Tahap progresif. Pada tahap ini dapat terlhat manifestasi sistemik
dari hipoperfusi dan kemunduran fungsi organ.
c. Tahap 3 : Tahap refrakter (irreversible ). Pada tahap ini terjadi kerusakan
sel yang hebat tidak dapat lagi dihindari dan dapat mengakibatkan
kematian.

Pasien pada kasus ini telah memasuki tahapan yang ketiga sehingga menyebabkan
kematian.
Pada kasus ini kerusakan pada miokardium pasien menyebabkan
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah. Penurunan kontraktilitas

29

jantung mengurangi curah jantung Psehingga menyebabkan penurunan tekanan


darah yang mana pada pasien ditunjukan dengan tekanan darah awal pasien 80/60
mmHg dan pada waktu berikutnya terus menurun hingga tidak terukur. Penurunan
curah jantung juga mengakibatkan penurunan tekanan arteri sistemik yang pada
waktunya akan merangsang baroreseptor yang berada pada sinus karotikus serta
arkus aorta yang menyebabkan peningkatan impuls simpatisadrenal sehingga
membuat terjadinya refleks vasokonstriksi perifer, takikardi dengan frekuensi
nadi 122 kali per menit, serta peningkatan kontaktilitas jantung yang semuanya
bertujuan untuk meningkatkan curah jantung dan menstabilkan tekanan darah.
Meskipun mekanisme mekanisme protektif ini pada mulanya akan
meningkatkan tekanan darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap
miokard justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokardium. Aliran darak koroner yang tidak memadai (terbukti dengan
adanya

iskemik

miokard

anteroseptal)

menyebabkan

meningkatnya

ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen terhadap miokardium.


Gangguan miokardium juga terjadi akibat iskemik miokard yang sudah ada
sebelumnya yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium.
Pada akhirnya syok akan menjadi makim berkembang hingga akhirnya terjadi
gangguan sirkulasi hebat yang mengenai setiap organ penting.
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi
ireversibel. Seperti diketahui miokardium akan menderita kerusakan yang paling
dini pada keadaan syok. Selain bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhan
terhadap oksigen, terjadi beberapa perubahan lain. Metabolisme anaerob diinduksi

30

oleh syok sehingga miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan ATP


dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel akan makin terganggu. Hipoksia
dan asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong berlanjutnya
kerusakan sel-sel miokardium
Vasokonstriksi perifer juga pada akhirnya akan menyebabkan hipoperfusi di
jaringan perifer yang pada pasien ini di tandai dengan akral yang teraba dingin,
sianosis, pemanjangan CRT > 2 detik serta penurunan saturasi oksigen (84%)
Penurunan kontraktilitas yang mengakibatkan penurunan curah jantung juga
menyebabkan peningkatan tekanan dan volume akhir diastolik ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya kongesti paru sehingga mengakibatkan hipoksia dan
menurunnya gas darah arteri. Hal ini menyebabkan adanya takipneu pada pasien
29 kali permenit, dispneu yang menjadi keluhan utama pada pasien serta dapat
ditemukan ronki basah pada auskultasi.
Vasokonstriksi yang juga terjadi pada arteri renalis akan menurunkan laju
filtrasi glomerulus yang pada waktunya akan mengaktifkan sistem renin
angiotensin dengan hasil akhir pelebasan aldosteron yang membuat retensi Na +
dan air pada tubulus ginjal sehingga membuat terjadi oligouri pada pasien (Takar
urin 23,21 ml/jam).
Syok berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan fungsi sel hati akibat
nekrosis sel hati. Gangguan fungsi hati dapat nyta dan biasa biasanya
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim-enzim hati seperti yang terjadi pada
pasien (SGOT : 83 U/L, SGPT 57 U/L).

31

Pada pasien ini diberikan dopamin sebagai agen vasoaktif. Pada dosis
rendah hingga sedang (5-10 mcg) dopamin bereja pada reseptor D1, serta
pembuluh darah ginjal mesenterium dan koroner. Pada ketiga pembuluh arah
tersebut dopamin menyebabkan terjadinya vasodilatasi sehingga baik untuk
memperbaiki perfusi ke jaringan. Selain itu Pada dosis rendah hingga sedang
dopamin bekerja di reseptor 1 pada jantung dengan efek peningkatan
kontraktilitas miokardium. Dopamin sendiri tidak meningkatkan resistensi total
pada pembuluh darah perifer sehingga diharapkan dengan penggunaan dopamin
dapat meningkatkan tekanan sistolik dan nadi tanpa mengubah tekanan sistolik
(atau sedikit meningkat).
Pada pasien juga dilakukan head up 300 untuk menjaga TIK dan jaga suplai
darah ke otak. Passive leg raising dilakukan juga pada pasien guna menstimulasi
autotransfusi secara hemodinamis yang akan membantu peningkatan cardiak
output. Oksigen 8 lpm diberikan melaliu sungkup ditujukan untuk memperbaiki
perfusi jaringan serta mencegah kerusakan jaringan akibat kekurangan oksigen.
Rehidrasi dengan HES 500cc + RL 500 cc dilakukan selain untuk menambah
volume intravascular yang diharapkan dapat meningkatkan preload, hal ini juga
dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding dan menegakan diagnosis syok
kardiogenik. Pemberian cairan dengan di mantenance menggunakan RL : D5% =
2:2 (200cc/24 jam) berdasarkan perhitungan kebutukan cairan pasien dengan berat
badan sekitar 45 kg antara 1350 2250 cc. Penggunaan cefotaxim 1gr / 12 jam
serta metronidazole 500 mg / 8 jam untuk mengatasi infeksi yang dditunjukan
dengan peningkatan WBC sebesar 16,2 x 103. Penggunaan ketorolac 30 mg / 8 jam

32

serta tramadol 100 mg/ 8 jam sebagai multimodal analgesia untuk mengatasi nyeri
perut yang dirasakan pada pasien dengan skala VAS 5-6.
Prognosis pada pasien dengan syok kardiogenik dapat dilihat dari 2
klasifikasi :
a. Klasifikasi Killip merupakan sistem yang digunakan pada individu dengan
infark miokard untuk stratifikasi risiko mereka berdasarkan tampilan klinis
serta foto torak. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:
Derajat
Gambaran Klinis
I
Tanpa gagal jantung
II
Gagal jantung dengan ronki basah
halus dibasal paru (+), S3 galop dan
peningkatan tekanan vena
pulmonalis atau tanpa kongesti paru
III
Gagal jantung berat dengan edema
paru
seluruh lapangan paru.
IV
Syok kardiogenik

Mortalitas
0% - 6%
17% - 30%

30% - 40%

60% - > 80%

b. Klasifikasi berdasarkan Forrester digunakan pada penderita infark miokard


akut, dengan pembagian berdasarkan tampilan klinis dan hemodinamik.
Semakin tinggi nilai PCWP dan semakin rendah nilai CI maka mortalitas
semakin meningkat.
Derajat
FI

Penilaian
Normal

Tanda yang didapat

Perfusi jaringan normal atau hipoperfusi ringan,


Indeks kardiak diatas atau sama dengan 2.2
liter/menit/m2 ,
PCWP kurang dari 18 mmHg.

33

F II

F III

F IV

Edema

pulmonal

Perfusi jaringan normal atau hipoperfusi ringan,


Indeks kardiak diatas atau sama dengan 2.2
liter/menit/m2 ,

PCWP diatas 18 mmHg.


Syok

Hipoperfusi berat,
hipovolemik

Indeks kardiak kurang dari 2.2 liter/menit/m2

PCWP kurang dari 18 mmHg.


Syok

Hipoperfusi berat,
kardiogenik
Indeks kardiak kurang dari 2.2 liter/menit/m2

PCWP diatas 18 mmHg.


Berdasarkan dengan kedua kriteria ini dan klinis pasien yang mengalami

hipoperfusi berat maka prognosis pasien ini adalah buruk dengan angka mortalitas
antara 60% 80%. Pasien dirawat selama 15 jam di ICU dan meninggal pada
pukul 04.20 setelah dilakukan RJP sebanyak 2 siklus.

BAB III
PENUTUP
Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penurunan curah
jantung sistemik pada keadaan volume intravaskular yang cukup, dan dapat
34

menyebabkan hipoksia jaringan. Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian


utama pada pasien yang dirawat dengan gangguan miokard akut.
Pengenalan pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk berkembang
menjadi syok dapat memfasilitasi pengiriman lebih awal pasien risiko tinggi
sebelum timbulnya awitan (onset) instabilitas hemodinamik. Pada pasien ini dapat
ditegakkan diagnosis syok kardiogenik didapatkan dari manivestasi klinis berupa
hipotensi serta hipoperfusi perifer yang nyata. Prognosisnya buruk sesuai dengan
gejala klinis yanng diperlihatkan dengan angka mortalitas sebesar 60% - 80%.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Alwi Idrus, 2007, Syok Kardiogenik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal. 182-186

2.

Price Sylvia, 2007, Disfungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Srikulasi:


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC. Hal 641.

35

3.

Sherwood Lauralee, 2007, Pembuluh Darah dan Tekanan Darah: fisiologi


Manusia Dari Sel ke Sistem. EGC. Hal 338

4.

Sabatine Marc. 2011. Acute coronary syndrome: Pocket Medicine 4th edition.
Lippincott williams and Wilkins. Hal 1-7

5.

Santoso T, 2007, Intervensi Koroner Percutan: Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam, jilid III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal 1505-1509

6.

Rackley CE. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Edisi 3. EGC.


Jakarta.1995. Hal. 243-2492.

7.

Trisnohadi HB. Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam

8.

Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas


Kedoteran Universitas Indonesia. 2000. Hal: 11-163.

9.

Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Penatalaksanaan


Praktis. Binarupa Aksara. Jakarta. 2000. Hal: 47-574.

10. Kaligis RWM. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia. Jakarta. 2002. Hal: 90-935.
11. Braunwald, Fauci, Isseibacher, Martin, Petersdorf, Wilson. Harrisons
Principles of Internal Medicine vol.1. 13th ed. EGC. Jakarta. 1999. Hal. 218223
12. Smith, Kristen, Bigham, Michael T. Cardiogenic Shock. The open pediatric
medicine journal, 2013, http://www.benthamscience.com diakses tanggal 17
Mei 2013
13. Worthley L.I.G, Shock: Review of Pathophysiology and Management,
Department of medical critical care, Flinders Medical Centre, Adelaide, South
Australia, http://cicm.org.au//jurnal//2000 diakses tanggal 17 Mei 2013

36

Anda mungkin juga menyukai