Anda di halaman 1dari 16

KUMPULAN REFERAT Qonita

Minggu, 22 Mei 2011


cedera kepala
CEDERA KEPALA
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada
kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena
kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia
produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping
penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari
jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di
rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang
dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai
pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian
oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat
penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting
setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan
pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien
cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion
cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan,
sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran
darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera
ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak
langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation
of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue atau jaringan penyambung
Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan
tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan
tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu
frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun
disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan
fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of
surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1) Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid
di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam.
Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak
terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan
diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi,
fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik
dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata

terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan (American college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan
CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya
dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan
intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK
Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal.
Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of
surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang
tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total
volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal
(V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure)
dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan
prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 2025ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit
maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of
surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera
sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda
paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasideselarasi gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi
coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan
otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala
tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh
atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau
tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glasgow Glasgow Coma Scale nilai ai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1


Respon motorik (M)
Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon
eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan
tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura
tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali
pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya
fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan
(Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini
sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan
kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula
interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling
sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh
meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya

sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.


Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien
koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak
berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung
denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya lucid interval yang klasik dimana penderita yang semula
mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah
memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel,
2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke
sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater
biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid.
SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura
tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat
dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna,
terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi.
Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya
hematom subdural (Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh
bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan
tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas

melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan
dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam
beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi
dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi,
dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah
keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap
kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung
dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera
komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis
untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami
koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila
pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg
menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of
surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala.
Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian

namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
CEDERA MAXILLOFACIAL
Faktur maxilaris
Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:
- Mobilitas palatum
- Mobilitas hidung yang menyertai palatum
- Epistaksis
- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut le fort


Lefort 1
Fraktur nelintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran
arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi (Boies, 2002).
Lefort II
Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas.
Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum
dan sepertiga tngah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)
Lefort III
Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh
komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)
Fraktur mandibula
Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan
pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai
dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan
menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan
tertarik kearah cranial (Boies,2002).
Fraktur gigi
Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula,
dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)
Fraktur os nasal
Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan
pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam
membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu
dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)
Fraktur orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia,
hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena
kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai
terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat
terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)
Fraktur os zygoma
Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita,
tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan
secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies, 2002)
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi
indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal
neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat
obatan analgesia/anti muntah.
2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dicebandingkan dengan kejang general.
3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena
penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4) Adanya lateralisasi.
5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal
kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan
otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi

peningkatan tekanan intracranial


k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
m. Kesadaran (Haryo, 2008)

7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau
sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan
survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya
dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak
sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang
optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian
cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

8. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif,
terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia
lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala
(American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi
kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan
total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang
terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang
merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat
berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari
beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang
walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang
akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar
(difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan
dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur
penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami
kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi
semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama
lainnya, semakin berkurang.
REVISI
Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial Focal
Epidural hematom
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi
seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak
cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan
teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan
epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya
pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.
Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun
sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil
tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi
yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak
akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur
Subdural Hematom
1.Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah
cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan
oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari
2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan
oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang
menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahanlahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik
yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun
nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
3.Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari

setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut
dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan
hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan;
selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa
menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan
Intracerebral hematom
1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif
2. Fotofobia
3. Mual dan muntah
4. Hilang kesadaran
5. Kejang-kejang
6. Gangguan respiratori
7. Shock
Perbedaan MRI dengan CT Scan secara umum
MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di
bidang pemeriksaan diagnostik radiologi ,yang menghasilkan rekaman gambar potongan
penampang tubuh / organ manusia.
Gambaran tersebut didapat dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 1,5
tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dengan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen.
Beberapa faktor kelebihannya adalah kemampuan dalam membuat potongan
koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh
pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada
banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat
memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi
dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.
CT Scan
CT Scan atau Computed tomography adalah pencitraan medis yang diperoleh dengan
menggunakan sinar-X. radiasi tersebut melewati tubuh dan diterima oleh detektor dan kemudian
terintegrasi dengan komputer untuk mendapatkan gambar cross sectional yang ditampilkan pada
layar.
CT, Computerized Axial Tomgraphy, menggunakan xrays untuk menghasilkan gambar tubuh,
termasuk tulang .. Dalam CT scanner tabung x-ray, (sumber) berputar di sekitar pasien
meletakkan di atas meja. Di sisi berlawanan dari pasien dari tabung detektor x-ray.. detektor ini
menerima berkas yang membuat melalui pasien. Sinyal yang diterima oleh masing-masing

saluran adalah digital untuk nilai 16 bit dan dikirim ke prosesor rekonstruksi. Pengukuran
diambil sekitar 1000 kali per detik. Scan rotasi biasanya 1-2 detik. Setiap tampilan / saluran
sepotong scan data dibandingkan dengan memindai data kalibrasi udara, air dan polyethelyne,
(plastik lunak) sebelumnya diperoleh di lokasi yang relatif sama persis. Perbandingan
mengijinkan piksel gambar untuk memiliki nilai yang dikenal untuk suatu zat tertentu dalam
tubuh tanpa memandang perbedaan dalam ukuran pasien dan faktor eksposur.

Daftar pustaka
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America:
Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran
EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU
Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and
Wilkins
Diposkan oleh Qonita Imma Irfani di 22.52
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini

Pengikut

Arsip Blog

2012 (1)

2011 (8)
o Juli (1)
o Juni (1)
o Mei (6)

DIARE CAIR AKUT

Duchenne muscular dystrophy (DMD)

HERPES ZOSTER

PRE EKLAMSI

OTOTOKSIK KARENA KONSUMSI AMINOGLIKOSIDA

cedera kepala

Mengenai Saya

Qonita Imma Irfani


Lihat profil lengkapku
Template Awesome Inc.. Gambar template oleh molotovcoketail. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai