Anda di halaman 1dari 14

ANESTESI PADA PEMBEDAHAN MUSKULOSKELETAL

Pembedahan pada muskuloskeletal sangat beragam :


- Dari operasi jari minor sampai hemipelvectomy.
- Dari neonatus dengan kelainan kongenital sampai atlet muda yang
sehat sampai pasien geriatrik yang immobile dengan kegagalan
multi organ stadium akhir.
Pembedahan pada muskuloskeletal dapat menimbulkan beberapa
komplikasi, diantaranya adalah :
1. Sindrom emboli lemak :
Sindrom emboli lemak secara klasik terjadi dalam 72 jam fraktur
tulang panjang atau pelvis. Ditandai dengan gejala-gejala (trias) :
- Dyspneu (sesak)
- Confusion (penurunan kesadaran, bingung)
- Ptechiae pada dada, ekstremitas atas, aksila dan
konjungtiva.
Terjadinya kasus emboli lemak terjadi pada semua kasus
fraktur tulang panjang, sindrom ini kurang sering terjadi tapi
dapat berpotensi untuk fatal ( mortalitas 10-20% ) yang dapat
membuat menyulitkan manajemen anestesi.
Sindrom ini dapat juga terlihat setelah resusitasi jantung paru,
parenteral feeding dengan infuse lipid, dan liposuction. Dua teori
diusulkan untuk patogenesanya. Teori yang paling popular
berpegang bahwa fat globules dilepaskan oleh pecahnya sel-sel
lemak dalam tulang yang patah dan masuk sirkulasi melalui robekan
pembuluh darah dalam medulla tulang.
Fat globules dapat ditemukan pada retina, urine atau sputum.
Abnormalitas
koagulasi
seperti
thrombositopenia
atau
pemanjangan clothing time kadang-kadang terjadi. Aktifitas
lipase serum dapat meningkat, tapi tidak ada kaitannya dengan
beratnya penyakit. Keterlibatan paru secara typical cepat
berkembang dari hipoksia ringan dan radiografi thorak normal ke
hipoksia berat rontgen dada menunjukkan infiltrate patch
yang masiv. Sebagian tanda klasik dan gejala sindrom emboli
lemak terjadi 1-3 hari setelah kejadian presipitan. Tanda
selama anesthesia umum termasuk penurunan ETCO2 dan
satuasi oksigen arterial atau peningkatan tekanan arteri
pulmonal.
Treatmen terdiri dua tahap:
- profilaksis
- suportif.
Stabilisasi awal fraktur menurunkan insiden sindroma ini.
Treatmen suportif terdiri terapi oksigen dengan ventilasi
tekana positif secara kontinyu . Treatmen dengan heparin atau
alcohol pada umumnya mengecewakan. Terapi kortikosteroid
-1-

dosis tinggi dapat bermanfaat terutama dengan adanya edema


serebral.
2. Deep venous thrombosis dan Thromboembolism
Deep vein thrombosis ( DVT ) dan emboli paru dapat sebagai
penyebab utama morbiditas dan mortalitas dari operasi ortopedi
pada pelvis dan ekstremitas bawah.
Faktor resiko tambahan termasuk :
- Obesitas
- Umur > 60 tahun
- Operasi berlangsung > 30 menit
- Penggunaan tornikuet
- Fraktur ekstremitas bawah
- Imobilisasi lebih 4 hari.
Pasien resiko paling tinggi adalah mereka yang menjalani
hip surgery (pembedahan panggul) dan rekonstruksi
lutut, dimana DVT rate pada pasien tua adalah 50%. Insiden
emboli paru secara klinis dari hip surgery dilaporkan 20 %,
dimana emboli paru yang fatal sebanyak 1-3%.
Mekanisme patofisiologi utama termasuk stasis vena dan
status hiperkoagulable akibat respon inflamasi lokal dan sistemik
terhadap pembedahan. Antikoagulasi profilaksis dan penggunaan
alat intermittent pneumatic (leg) compression (IPC) telah
menunjukkan penurunan secara signifikan insiden DVT dan PE
( Pulmonary Embolism).
Sebenarnya, data yang lebih baru menduga bahwa semua
insiden DVT akibat total hip / knee arthroplasty rendah , 1.5%
dan PE 0,7%, keduanya masih tinggi pada pasien yang berusia
lebih dari 70 tahun. Penurunan besar komplikasi thromboemboli
agaknya mencerminkan implementasi pembedahan kontemporer
dan strategi manajemen anestesi , misal: profilaksis DVT yang
rutin, rehabilitasi awal dan penggunaann anestesi
regional yang lebih sering.
Anestesi neuraksial sendiri atau saat dikombine
dengan anestesi umum dapat mengurangi komplikasi
thromboemboli dengan beberapa mekanisme. Hal ini termasuk
peningkatan aliran darah vena ekstremitas bawah yang diinduksi
oleh simpatektomi, efek antiinflamasi sistemik dari obat anestesi
local, penurunan reaktifitas platelet, diturunkannya peningkatan
faktor VIII dan faktor Willebrand post op, diturunkannya
pengurangan antithrombin III post op dan perubahan dalam
pelepasan stress hormone. Lidokain intra vena telah
menunjukkan dapat mencegah thrombosis, memperkuat efek
fibrinolisis dan mengurangi agregasi platelet.
Meski sebagian besar klinisi sependapat bahwa antikoagulasi
penuh atau terapi fibrinolitik ( mis: urokinase ) menunjukkan
resiko yang tak dapat diterima untuk terjadinya hematom spinal
atau epidural akibat anestesi neuraksial , bahaya bagi pasien
-2-

yang menerima antikoagulan dosis rendah preop agak


kontroversial. Pemasangan jarum epidural atau kateter ( atau
pencabutan ) seharusnya dilakukan dalam 6-8 jam dosis rendah
subkutan heparin yang tak terbagi, atau dalam 12-24 jam LMWH.
Meski kurang traumatik, anestesi spinal menunjukkan resiko
serupa.
Pengelolaan secara bersamaan obat anti platelet lebih jauh
meningkatkan resiko hematom spinal. Perhatian utama lainnya
adalah anestesi regional dapat menutupi tanda hematom yang
meluas dan tekanan medulla spinalis ( mis: nyeri pinggang
bawah (LBP) dan kelemahan ekstremitas bawah ).

3. Penggunaan tourniquet pneumatic


Penggunaan tourniquet pneumatic pada ekstremitas dan
bawah membuat lapangan operasi tak berdarah yang sangat
memfasilitasi pembedahan. Kerugiannya, terkait dengan masalah
potensial
termasuk
perubahan
hemodinamik,
nyeri,
perubahan metabolic, thromboemboli arteri, dan bahkan
emboli pulmonal. Tekanan pengembangan tourniquet biasanya
sekitar 100 mmHg diatas tekanan darah sistolik. Pengembangan
yang berlangsung lama ( > 2 jam ) secara rutin menyebabkan
disfunsi otot sementara dan terkait dengan cedera saraf perifer
permanen atau bahkan rhabdomyolisis. Pengembangan tourniquet
juga dikaitkan dengan peningkatan suhu tubuh pada pasien
pediatrik yang menjalani operasi kaki.
Exsanguination ekstremitas bawah dan pengembangan tourniquet
menyebabkan pergeseran volume darah ke dalam sirkulasi sentral.
Meski ini biasanya secara klinis tidak signifikan , bilateral esmarch
bandage exsanguinations dapat menyebabkan peningkatan tekanan
CVP dan tekanan darah arteri yang tidak baik ditoleransi oleh pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri.
Siapapun yang mengalami tourniquet pada high inflated
sampai 100 mmHg diatas tekanan darah sistolik lebih dari beberapa
menit menyebabkan nyeri. Meskipun mekanisme dan jalur neural
untuk sensasi nyeri dan terbakar yang relative resisten terhadap
blokade anestesi local mungkin memainkan peranan yang penting.
Nyeri akibat tourniket secara gradual menjadi berat lebih
lanjut pasien tersebut memerlukan analgesia suplemen, jika
tidak anestesi umum, disamping blok regional yang adekuat
untuk proses pembedahan. Bahkan selama anestesi umum ,
nyeri tourniquet sering dimanifestasikan sebagi peningkatan secara
gradual MAP mulai sekitar sampai 1 jam setelah pengembangan
cuff. Tanda aktivasi simpatis yang progresif termasuk hipertensi
yang bermakna, takikardia, dan diaphoresis.
Iskemia yang diinduksi oleh tourniquet pada ekstremitas bawah
menyebabkan perkembangan deep venous thrombosis.

-3-

Transesophageal echocardiography telah mendeteksi emboli


pulmonal subklinis akibat deflasi cuff ( emboli miliar ) setelah
deflasi cuff pada kasus sekecil diagnostic knee arthroscopy. Episode
yang jarang dari emboli paru masiv selama total knee arthroplasty
telah dilaporkan selama leg exsanguinations, setelah inflasi
tourniquet, dan setelah deflasi tourniquet. Tourniquet pada
umumnya dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit arteri
kalsifikasi yang bermakna.
4. Sindroma implantasi semen tulang.
Sement tulang , polymethylmethacrylat, sering diperlukan
untuk arthroplasti sendi. Semen interdigitates dalam interstices of
cancellous bone dan secara kuat mengikat alat prosthetic ke tulang
pasien. Campuran bubuk methylmethacrylate yang dipolimerisasi
dalam cairan methylmethacrylat monomer
menyebabkan
polimerisasi dan ikatan silang rantai polimer. Reaksi eksotermik ini
menyebabkan
pengerasan
semen
dan
pengembangan
melawan komponen prosthetic. Resultan hipertensi intramedular
(lebih 500 mmHg ) menyebabkan embolisasi lemak, sumsum tulang,
semen dan udara ke dalam kanalis vena femoralis.
Manifestasi klinik Sindroma implantasi semen tulang (bone
cement
implantation
syndrome)
adalah
hipoksia
( peningkatan pulmonary shunt ), hipotensi, disritmia
( termasuk blok jantung dan sinus arrest ), hipertensi
pulmonal ( peningkatan resistensi vascular pulmonal ) dan
penurunan cardiac output. Emboli sebagian besar terjadi selama
insersi prosthesis femur. Strategi untuk meminimalkan efek
komplikasi termasuk peningkatan konsentrasi oksigen inspirasi
sebelum pemberian semen , mempertahankan euvolemia,
dengan monitoring CVP, membuat lubang ventilasi di distal
femur untuk menurunkan tekanan intramedular , melakukan
lavage tekanan tinggi terhadap shaft femur untuk
mengeluarkan debris ( potensial mikroemboli ), atau
menggunakan komponen uncement femoral.
Kerugian utama lain semen adalah potensial lepasnya
prosthetic secara gradual akibat kerusakan serpihan kecil dari
semen selama bertahun-tahun. Komponen implant tanpa
mengandung semen dibuat dari material yang berpori-pori yang
membuat tulang asli tumbuh ke dalamnya. Prosthese tanpa semen
pada umumnya berlangsung lebih lama dan bermanfaat untuk
pasien muda dan yang masih aktif, bahkan pemulihan penuh dapat
lebih lama dibandingkan yang mengandung semen. Kerugiannya,
implant tanpa semen memerlukan pembentukan tulang yang masih
aktif.
Oleh karena itu prosthesis yang mengandung semen
diperuntukkan bagi usia diatas 80 tahun dan pasien yang kurang
aktif yang sering menderita osteoporosis dan atau tulang yang tipis.
Penelitian terus dilanjutkan untuk menyusun seleksi join
replacement antara yang mengandung semen dan yang tidak,
tergantung jenis sendi yang diganti, pasien dan teknik operasi. Pada
-4-

banyak kasus, yang mengandung semen dan yang tidak digunakan


pada pasien yang sama ( mis: total hip arthroplasty ). Permukaan
sendi prosthetic modern dapat dari logam, plastic, atau keramik.
PEMBEDAHAN PADA EKSTREMITAS ATAS
Prosedur pada ekstremitas termasuk mereka dengan gangguan
bahu ( mis: bergesernya subacromion atau rotator cuff tears ), fraktur
traumatic, sindrom jepitan saraf ( mis: carpal tunnel syndrome ) dan
arthroplasty sendi ( mis: rheumatoid arthritis ).
Pembedahanpada Bahu
Operasi bahu dapat terbuka atau arthroscopic. Prosedur ini
dikerjakan pada posisi duduk ( beach chair ) atau kurang umum, posisi
lateral dekubitus. Teknik interskalenus dari blokade pleksus brakhialis
idealnya dipakai untuk operasi bahu. Bahkan ketika anestesi umum
dikerjakan blok interskalenus dapat sebagai anestesi suplemen dan
memberikan analgesia post operatif yang baik. Relaksasi otot yang
intensif biasanya diperlukan selama anestesi umum, terutama saat tidak
digabung dengan blok pleksus brakhialis. Hipotensi yang terkontrol
ringandiperlukan untuk memperbaiki visualisasi selama prosedur
arthroskopi.
Penggunaan kateter indwelling interskalenus membuat analgesia
post operatif selama 48 jam mengikuti operasi bahu besar. Infus larutan
anestesi local yang diencerkan untuk berikutnya dapat membantu
penilaian masalah neurologi pada periode segera post operatif. Ropivacain
0.2% dapat diinfuskan 4-8 ml/jam. Alternatifnya, beberapa operator
menanamkan kateter multi lubang yang kecil ke dalam luka untuk infuse
lambat post operatif anestesi local ( mis: Pain Buster ). Administrasi
ketorolak pada akhir prosedur dan pada 24 jam pertama dapat membantu
menurunkan kebutuhan opioid postoperative.

Pembedahan pada Tangan


Satu dari operasi yang paling umum dalam praktek anestesi adalah
carpal tunnel release.
Anestesi regional intra venaatau Bier block, idealnya diterapkan pada
prosedur ini. Nilai yang berharga anestesi veryshortacting ( mis: propofol
dan desfluran ) bersama dengan LMA telah memfasilitasi anestesi umum
untuk operasi tangan.
Operasi berlangsung lebih 1 jam dapat dikerjakan dengan blok
pleksus brakhialis. Pendekatan axillar pada umumnya dirujukkan pada
operasi dibawah siku. Penggunaan pneumatic tourniquet menghendaki
blok daerah dalam jaringan subkutan diatas aerteri axilla karena saraf
kutaneus brachial media meninggalkan sarung pembungkus pleksus
hanya dibawah klavikula dan hilang sepanjang saraf intercostobrachial
selama blok aksila.

-5-

PEMBEDAHAN PADA PANGGUL


Pembedahan
yang umum meliputi pasien dewasa, termasuk repair
fraktur panggul, total hip arthroplasty, dan close reduction of hip
dislocation.
Fraktur panggul
Pertimbangan Preoperatif
Sebagian besar pasien yang menjalani operasi ini adalah lemah dan usia
lanjut, terutama mereka dengan fraktur panggul. Sebuah perkecualian
adalah kadang-kadang pasien muda dengan trauma besar pada femur
atau pelvis. Beberapa penelitian melaporkan angka mortalitas fraktur
panggul 10% selama awal hospitalisasi dan lebih 25% dalam 1 tahun.
Banyak dari pasien ini mempunyai penyakit penyerta seperti penyakit
arteri koroner, penyakit vascular serebral,penyalit paru obstruktif kronis
atau diabetes.
Pasien dengan fraktur panggul seringkali dehidrasi karena intake
oral yang tidak adekuat. Tergantung pada lokasi fraktur panggul,
hilangnya darah tersembunyi dapat signifikan dan lebih lanjut
melemahkan volume intra vascular. Pada umumnya fraktur intra kapsular
( subkapsular, transcervical ) terkait dengan kurangnya darah yang hilang
dibanding fraktur ekstra kapsular ( dasar kolum femur, inter trokhanter,
sub trokhanter ). Hematokrit preop yang normal atau borderline ke
rendah menunjukkan hemokonsentrasi akibat hilangnya darah yang
tersembunyi.
Karakteristik lain adalah sering terjadinya hipoksia preop dapat
sebagai akibat emboli lemak, faktor lain termasuk atelektasis bibasilar
dari bedrest, bendungan paru ( dan efusi ) dari congestive heart failure
atau konsolidasi akibat infeksi.
Manajemen intra operatif
Pilihan antara anestesi regional dan anestesi umum telah secara
ekstensif dievaluasi untuk fraktur panggul. Banyak penelitian ditemukan
mortalitas yang lebih rendah pada periode postop yang lebih awal dari
anestesi
regional,
kemungkinan
karena
penurunan
penyakit
thromboemboli. Tetapi setelah 2 bulan angka mortalitas dari anestesi
regional dan umum tidak secara konsisten berbeda. Delirium postop dan
gangguan kognitif juga menurun dari anestesi regional, jika sedasi dapat
dihindari.
Teknik epidural kontinyu dengan atau tanpa disertai anesthesia
umum , memberikan keuntungan tambahan pada pengelolaan nyeri
postop. Jika anestesi spinal direncanakan, teknik hipobarik memberikan
posisioning yang lebih mudah karena pasien tidak harus meletakkan
panggul yang fraktur dan dapat tetap pada posisi yang sama selama
pembedahan. Morphin intrathecal juga dapat digunakan analgesia postop
tetapi berpotensi untuk terjadinya peningkatan resiko depresi respiratory
yang tertunda pada pasien tua memerlukan pengurangan dosis ( 0,1 0,2
mg ) dan monitoring ketat postop.

-6-

Pertimbangan harus juga diberikan pada tipe reduksi terbuka dan


fiksasi internal yang digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi fraktur ,
derajat displacement, status fungsional pasien preop, dan ahli bedah.
Fraktur intrakapsular undisplaced biasanya ditreatmen dengan cannulated
screw fixation. Fraktur intrakapsular displaced dapat ditreatmen dengan
fiksasi internal, hemiarthroplasty, atau total hip replacement.
Hemiarthroplasty dapat dengan memakai semen atau tidak. Operasi
fraktur panggul ekstrakapsular dilakukan dengan implant ekstramedula
( mis: sliding screw and plate ) atau intra medula ( mis: Gamma nail ). Hip
compression screw dan side plate paling sering dikerjakan untuk fraktur
intertrochanter.
Hemiarthroplasty dan total hip replacement lebih lama, lebih
invasive dibanding prosedur lainnya. Biasanya dikerjakan dalam posisi
lateral decubitus, terkait dengan hilangnya darah yang lebih besar dan
secara potensial mengakibatkan perubahan hemodinamik yang lebih
besar, terutama jika semen digunakan. Pertimbangan harus diberikan
pada monitoring tekanan arteri langsung, jaminan iv kateter ukuran besar
untuk transfuse dan bahkan monitoring hemodinamik ketat pada pasien
tua dan lemah.
TOTAL HIP ARTHROPLASTY
Pertimbangan preoperative
Sebagian besar pasien yang menjalani total hip replacement
menderita dari penyakit osteoarthritis, rheumatoid arthritis, atau
osteonekrosis (avascular necrosis). Osteoarhritis adlah penyakit
degenerative yang mengenai permukaan sendi satu atau lebih
sendi ( paling sering panggul dan lutut). Etiologi osteoarthritis
tampaknya melibatkan trauma sendi berulang ( mis: morbid
obesity). Karena tulang vertebra sering terlibat, meletakkan
posisi leher selama intubasi harus sebaik mungkin untuk
menghindari tekanan saraf atau keluarnya nucleus pulposus.
Rheumatoid arthritis berbeda dari osteoarthritis dalam tiga aspek
utama. Pertama, karakteristiknya destruksi sendi yang dimediasi
oleh respon imun dengan inflamasi kronik dan progesif membrane
synovial, berlawanan dengan adanya articular wear dan robekan.
Kedua, tapi sangat penting untuk ahli anestesi, adalah
terlibatnya sistemik yang dapat mengikuti rheumatoid arthritis.
Tambahan, rheumatoid arthritis secara tipikal melibatkan banyak
sendi, termasuk sendi kecil pada tangan, pergelangan, dan kaki,
pada suatu symmetric fashion. Menyisisipkan kateter invasive
dan bahkan mencapai akses intra vena merupakan tantangan
pada pasien dengan deformitas berat.
Debilitasi dan gerakan sendi terbatas prohibit penilaian toleransi
terhadap aktifitas , berpotensi menutupi penyakit arteri koroner yang
mendasari, dan disfungsi pulmonal. Status kardiovaskular pasien tidak
dpat untuk exercise , resiko untuk penyakit arteri koroner ( mis: riwayat
angina, diabetes, CHF, infark miokard ), dapat dievaluasi dengan
scanning dypiridamol thallium atau dobutamine.echocardiography.
-7-

Kasus ekstrem rheumatoid arthritis dapat melibatkan sebagian


besar merman synovial, termasuk sendi vertebra servikal dan sendi
temporomandibular. Subluksasi Atlantoaxial yang dapat didiagnose secara
radiologi, menyebabkan protrusi prosesus odontoid ke dalam foramen
magnum selama intubasi, melemahkan aliran darah vertebra dan
menekan medulla spinalis atau batang otak. Radiography vertebra
servikalis posisi fleksi dan lateral ekstensi harus dilakukan preoperative
pada semua pasien dengan rheumatoid arthritis berat yng memerlukan
steroid atau methotrexat. Jika instabilitas atlantoaxial melebihi 5 mm ,
inubasi seharusnya dikerjakan dengan stabilisasi leher dan teknik awake
fibreoptic. Keterlibatan sendi temporomandibular dapat membatasi
mobilias rahang dan rentang gerakan pada suatu derajat pada intubasi
yang berhasil akan memerlukan teknik nasal fibreoptik. Suara serak atau
inspiratory stridor memberikan tanda penyempitan pembukaan glottis
yang disebabkan arthritis krikoarytenoid. Disamping penggunaan pipa
endotrakheal dengan diameter yang lebih kecil, kondisi ini menyebabkan
obstruksi airway post ekstubasi.
Pasien dengan rheumatoid arthritis atau osteoarthritis umumnya
mengkonsumsi obat-obatan NSAIDs untuk manajemen nyerinya. Obatobatan ini dapat mempunyai samping yang serius seperti perdarahan
saluran cerna yang life-threatening, toksisitas pada ginjal, dan disfungsi
platelet.
Mekanisme NSAIDs terkait dengan inhibisinya pada sintesa
prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase ( COX ), dimana terdapat dua
isoform ( COX-1 dan COX-2 ). Hal ini tampaknya bahwa redanya nyeri dan
antiinflamasi terkait dengan inhibisi COX-2, dimana sebagian besar efek
samping pada umumnya akibat inhibisi COX-1 ( toksisitas renal adalah
perkecualian ). Jadi , obat-obatan yang secara spesifik menghambat COX2 9 celecoxib, parecoxib, valdecoxib ) akan diharapkan mempunyai resiko
lebih rendah terhadap efek samping daripada yang nonspesifik.
Sebaliknya inhibitor COX-2 tidak akan diharapakan untuk member
keuntungan penghambatan platelet jangka panjang ( mis: pencegahan
infark miokard dan stroke ). Kenyataannya, pasien-pasien yang
mengkonsumsi bebrapa ( dan mungkin semua ) COX-2 inhibitor
tampaknya mempunyai peningkatan dalam mortalitas akibat penyakit
kardiovaskular, penarikan segera setidaknya satu COX-2 inhibitor
( rofecoxib ). Karena tingginya harga, Obat-obat COX-2 dicadangkankan
untuk pasien dengan resiko tinggi terhadap efek samping ( mis: riwayat
perdarahan gastrointestinal sebelumnya atau reflux, koagulopati,
penggunaan steroid secara ersamaan ). Oleh karena itu . periode
perioperatif merupakan waktu yang rasional untuk memilih obat-obat
COX-2 untuk menurunkan resiko perdarahan pada luka atau hematom
epidural.
Manajemen intra operatif
Total hip replacemen (THR) melibatkan beberapa tahapan
pembedahan termasuk mengatur posisi pasien ( biasanya pada
lateral dekubitus ), dislokasi dan pemindahan kaput femoris,
melebarkan asetabulum dan insersi kap acetabulum prosthetic ( dengan
-8-

atau tanpa semen ) dan membuka femur dan insersi komponen femur
( kaput femur dan stem ) ke dalam femoral shaft ( dengan atau tanpa
semen ).
THR juga dikaitkan dengan tiga komplikasi yang mengancam
kehidupan :
- bone cement implantation syndrome.
- peradarahan intra dan postop.
- thromboemboli vena.
Jadi terdapat banyak alasan mengapa monitoring arteri invasive
pada umumnya direkomendasikan untuk prosedur-prosedur ini. Fenomena
emboli sebagian besar terjadi selama insersi phrostesis femur. Beberapa
klinisi meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi sebelum memberikan
semen. Operator juga membuat lubang ventilasi pada femur distal untuk
menurunkan tekanan intr medulla, melakukan lavage tekanan tinggi
femoral shaft untuk mengeluarkan debris ( berpotensi mikroemboli) atau
menggunakan komponen yang tidak menggunakan semen.
Thromboemboli vena penyebab yang signifikan morbiditas dan
mortalitas akibat hip replacement surgery. Seperti yang telah dibicarakan
lebih awal, penggunaan anestesi regional menurunkan insiden deep
venous thrombosis dan emboli pulmonal. Oleh karena itu sebagian besar
center menggunakan anestesi neuraksial baik sendiri atau digabung
dengan anestesi umum, jika memungkinkan. Anestesi epidural atau
spinal ( biasanya hipobarik atau isobaric ) dapat digunakan. Beberapa
center secara rutin menggunakan opioid spinal pada akhir prosedur,
dimana yang lainnya mempercayakan pada parenteral dan opioid oral
untuk analgesia post operatif. Pencegahan lainnya terhadap DVT
adalah intermittent leg-compression devices dan profilaksis
antikoagulan dosis rendah.
A. Arthroplasty Bilateral
Bilateral hip arthroplasty dapat secara aman dikerjakan selama
anestesi tunggal, dengan asumsi tidak ada embolisasi pulmonal yang
signifikan setelah insersi komponen femor yang pertama. Monitoring arteri
pulmonal member tanda yang dapat dipercaya adanya embolisasi dengan
peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR). Ini biasanya
diindikasikan dengan adanya peningkatan pulmonary artery pressure
(PAP) bersamaan dengan unchanged pulmonary artery occlusion pressure
(PAOP) dan turunnya cardiac output.
Jika tekanan arteri pulmonal meningkat diatas normal (200 dyn x s x
cm-5 ) selama arthroplasty panggul yang pertama, pembedahan sisi
kontralateral seharusnya ditunda. Sistem prosthetic tanpa semen yang
baru membantu menghindarkan efek samping dari semen. Arthroplasty
panggul bilateral tanpa semen tidak perlu monitoring tekanan arteri
pulmonal. Insersi kateter epidural preoperative sangat memfasilitasi
manajemen nyeri post op. Cairan anestesi local yang diencerkan dengan
atau tanpa opioid dapat digunakan dalam 24-72 jam post op.
B. Revisi Arthroplasty

-9-

Hip replacement surgery terutama revisi arthroplasty panggul


sebelumnya, terkait dengan kehilangan darah yang bermakna. Hilangnya
darah tergantung banyak faktor, termasuk pengalaman dan ketrampilan
operator, teknik bedah yang digunakan, dan pilihan tipe prothestik.
Hipotensi terkontrol dapat menurunkan perdarahan intra operatif.
Beberapa penelitian menduga bahwa hilangnya darah dapat dikurangi
jika teknik regional digunakan daripada anestesi umum bahkan
pada tekanan darah arteri rata-rata yang sama. Alasan untuk
perbedaan ini masih tidak pasti tapi dapat termasuk perbedaan dalam
akibat vasodilatasi system vascular arteri dan vena, menyebabkan
redistribusi aliran darah. Dengan memberikan permukaan tulang yang
kering, hipotensi terkontrol juga memperbaiki pemberian semen
prosthetic dan memperpendek waktu operasi. Karena sejumlah
besar secara relative revisi hip replacement pasien-pasien memerlukan
transfusi darah perioperatif, donasi darah autolog preoperative
dan darah penyimpanan darah intra operatif seharusnya
dipertimbangkan. Aprotinin dosis tinggi, suatu inhibitor proteinase
dari aktifitas fibrinolitik dan jalur koagulasi intrinsic dengan menurunkan
aktifasi plasminogen , dapat menurunkan hilangnya darah intra
operatif pada pasien yang menjalani pembedahan revisi. Hal ini biasanya
diocadangkan untuk kasus resiko tinggi ( mis: koagulopati ) tetapi karena
kecenderungannya
untuk
menghasilkan
sensitisasi
imunologi
.
Penggunaan aprotinin tampaknya tidak meningkatkan insiden DVT atau
PE. Administrasi preop recombinant human erythropoietin (600
IU/kg subkutan tiap minggu mulai 21 hari sebelum pembedahan
sampai hari pembedahan ) menghasilkan alternative lain untuk
menurunkan kebutuhan transfuse darah allogenik perioperatif.
Erythropoietin meningkatkan produksi sel darah merah dengan
menstimulasi pembagian dan diferensiasi progenitor erythroid dalam
sumsum tulang. Mempertahankan suhu badan normal selama hip
replacement surgery telah menunjukkan untuk mengurangi hilangnya
darah.
C. Arthroplasty Invasiv Minimal
Adanya computer-assisted surgery (CAS) telah memfasilitasi
perkembangan teknik invasive minimal untuk hip replacement
tanpa semen. CAS memberikan jalan untuk rencana preop, navigasi
bedah intra operatif, dan dengan beberapa system, pembedahan dengan
robot. CAS sangat memperbaiki outcome bedah dengan arthroplasti
invasive secara minimal.
Software computer dapat secara akurat merekonstruksi gambar
tiga dimensi untuk tulang dan jaringan lunak yang didasarkan
pada radiografi, fluoroskopi, computed tomography atau MRI.
Implant-spesific software dapat menstimulasiprosedur dan memfasilitasi
rencana preop lebih baik daripada teknik lamayang menggunakan
translucent prosthesis templates pada radiografi plain. Jadi CAS membuat
sangat akurat dan optimal dalam penempatan implant melalui insisi
yang sangat kecil, hal ini sangat mengurangi kerusakan otot dan
jaringan yang berakibat pada berkurangnya nyeri, keluar dari
-10-

rumah
sakit
lebih
awal,
dan
pemulihan
yang
lebih
cepat.Pendekatan lateral dengan mengunakan single 3-in incision pada
pasien
dengan
posisi
lateral
dekubitus,
pendekatan
anterior
menggunakan two separate 2-in incisions ( satu untuk komponen
astabulum dan yang lain untuk komponen femur ) dengan pasien posisi
supine. Teknik invsif minimal dapat mengurangi hospitalisasi sampai24
jam
atau
kurang.
Teknik
anestesi
telah
berkembang
untuk
mengakomodasikan perubahan radikal ini pada manajemen pembedahan.
Anestesi epidural dengan infuse propofol dan sebuah LMA
paling sering digunakan. Penggunaan teknik ini pada beberapa center
secara besar-besaran menghilangkan kebutuhan opioid parenteral,
mempercayakan hanya pada opioid oral pada periode pre dan post
op.
Premedikasi
termasuk
analgesia
multimodal,
terdiri
oxycodone 10 mg, valdecoxib 20 mg dan asetaminofen 500 mg.
Midazolam 1-2 mg juga digunakan sebagai sedasi segera sebelum
pembedahan. Profilaksis anti emetic secara rutin digunakan .
Anestesia untuk pembedahan biasanya diberikan dengan lidokain 2%
lewat epidural (4cc test dose ) dan ropivacain 1% ( total 8 cc ), jumlah
anestesi local ini adequate untuk sebagian besar pasien dan berlangsung
2 3 jam. Penggunaan kateter epidural mengijinkan administrasi
tambahan anestesi local jika diperlukan. Sedasi atau anesthesia umum
yang dangkal diberikan dengan propofol 75 150 mikrogram / kgbb /
menit. Sebagian besar operator juga menginjeksikan ropivacain atau
bupivakain ( 80 100 mg dengan methylprednisolon 80 mg dan morphin
4 mg ) ke dalam sendi dan luka. Kateter epidural dicabut pada akhir
pembedahan. Analgesia post op diberikan dengan hydrocodone dan
asetaminofen ( atau propoksifen dan parasetamol ) dan NSAIDs
( valdecoxib ).
Reduksi Tertutup Dislokasi Panggul
Terdapat 3% insiden dislokasi panggul setelah arthroplasti panggul
primer dan 20% insiden setelah total hip revision. Insiden ini tampaknya
secara signifikan diturunkan dengan CAS. Karena kekuatan kecil yang
diperlukan untuk membuat dislokasi prosthetic hip, pasien dengan hip
implants memerlukan perhatian khusus selama mengatur posisi setelah
prosedur bedah.
Dislokasi panggul biasanya dapat dikoreksi dengan reduksi tertutup.
Anestesi umum dengan face mask atau LMA biasanya cukup untuk
prosedur yang sangat singkat ini. Paralisis yang nyata dapat diberikan
suksinil kolin atau mivacurium dan akan memfasilitasi manipulasi operator
dengan merelaksasi otot-otot panggul. Reduksi yang berhasil perlu
dikonfirmasikan secara radologis sebelum pasien bangun.
OPERASI LUTUT
Dua hal yang sering dikerjakan pada pembedahan lutut yaitu arthroskopi
dan total atau partial joint replacement.
Arthroskopi Lutut
-11-

Pertimbangan preoperative
Arthroskopi adalah pembedahan yang mengalami revolusi untuk
banyak sendi, termasuk lutut, bahu, ankle, dan pergelangan tangan.
Arthroskopi sendi biasanya prosedur outpatient. Meski pasien dengan
tipikal khusus yang menjalani arthroskopi lutut sering pada atlet muda
yang sehat, juga sering dikerjaka pada pasien tua dengan masalah medis
multiple.
Manajemen Intraoperatif
Lapangan operasi yang tak berdarah sangat memfasilitasi bedah
arthroskopi. Untungnya, bedah lutut memberikan area tak berdarah
dengan menggunakan pneumatic tourniquet. Prosedur dikerjakan sebagai
prosedur outpatient dengan pasien pada posisi supine dan pada sebagian
besar pasien dengan anesrtesi umumdengan LMA. Beberapa center
secara rutin menggunakan anesthesia neuraksial. Teknik anesthesia
regional alernatif termasuk blok saraf three-in-one saraf femoral dan saraf
kutaneus femoral ( dengan atau tanpa blok saraf sciatic ), blok
kompartemen psoas dan infiltrasi local (semua dengan sedasi).
Keberhasilan dan kepuasan pasien tampaknya sama dengan
anestesi epidural ( 3% 2-chloroprocaine ) dan anestesi spinal ( lidokain 25
mg atau bupivakain 6 mg ditambah fentanyl 15-20 g ). Dengan catatan
bahwa dosis kecil spinal lidokain insiden sindrom neurologi sesaat
melampaui 10%. Juga sekitar 30% pasien mengeluh nyeri pinggang
setelah anestesi epidural atau spinal. Waktu pemulangan setelah anestesi
umum dan neuraksial tampaknya sama.
Pemulihan nyeri post operatif
Pemulihan pasienyang berhasil tergantung pada ambulatory yang
lebih awal, pemulihan nyeri yang adequate, dan nausea dan
vomitus yang minimal. Teknik yang menghindari dosis besar opioid
sistemik merupakan himbauan yang nyata. Bupivacain intra articular
( 15-30 cc dari 0,25-0,5% bupivacain atau ropivacain dengan
epinephrine 1:200.000) sering memberikan kepuasan analgesia untuk
beberapa jam post operatif. Tambahan
1-5 mg morphin dapat
memperpanjang analgesia untuk beberpa jam pada beberapa pasien.
Mekanisme yang diduga dari analgesia ini agak kontroversi melibatkan
interaksi antara reseptor opioid perifer dalam sendi. Strategi pengendalian
nyeri lainnya termasuk ketorolak sistemik, injeksi kortikosteroid
intra artikular ( mis: triamsinolon asetonid 10mg dala 20 ml saline
), blok saraf three-in-one, atau pemasangan kateter banyak
lubang saat penutupan luka yang dihubungkan dengan portable
pump (mis: Pain Buster ).
Total Knee Repalcement (TKR)
Pertimbangan Perioperatif
Pasien yang menjalani total knee replacement sangat menyerupai
mereka yang total hip replacement ( mis: rheumatoid arthritis,
osteoarthritis ).
Manajemen intraoperatif
-12-

Durasi operasi total knee replacement cenderung lebih pendek


dibandingkan dengan hip replacement, pasien pada posisi supine
dan hilangnya darah dibatasi dengan penggunaan tourniquet.
Pasien yang kooperatif biasanya toleran dengan teknik regional dengan
sedasi intravena. Bone cement implantation syndrome akibat
insersi prothese femoral mungkin terjadi, tapi agak kurang dibanding
selama hip arthroplasty. Pelepasan emboli kemudian kedalam
sirkulasi sistemik dapat berlebihan cenderung hipotensi mengikuti
lepasnya tourniquet.
Sebagaimana pada bilateral hip replacement, monitoring selama
bilateral knee replacement sharusnya termasuk pengukuran arteri
pulmonal dan PAOP.
Pemasangan kateter epidural preoperative dapat sangat
membantu dalam manajemen nyeri post operatif, yang secara khusus
lebih berat dibanding nyeri karena hip replacement surgery. Analgesia
post op yang efektif untuk rehabilitasi fisik awal sampai memaksimalkan
derajat gerakan post operatif dan mencegah adhesi sendi setelah knee
replacement. Penting untuk menyeimbangkan pengendalian nyeri dengan
memerlukan kooperatif pasien untuk rehabilitasi awal. Analgesi epidural
terutama berguna pada pada bilateral knee replacement. Ropivacain
epidural 0.2% pada 5-10 ml/jam memberikan analgesia yang baik dengan
blokade motorik minimal selama 48-72 jam. Alternatifnya, indwelling
femoal sheath catheter dapat digunakan untuk memberikan analgesia
post operatif untuk 48 jam. Ropivacain 20 ml 0.5% ( atau bupivakain
0.25% ) digunakan untuk aktifasi awal pada akhir operasi, diikuti infuse
ropivacain 0.2% ( atau bupivakain 0.25% ) 5 ml/jam. Teknik indwelling
femoral sheath tampaknya memberikan analgesia post operatif yang
sangat baik, dengan kemungkinan beberapa efek samping daripada
analgesia epidural.
Partial knee replacement ( unicompartemental atau patelofemoral )
dilakukan pada pasien yang terseleksi. Pendekatan terbatas ini
mengurangi kerusakan otot, memfasilitasi ambulatory lebih awal dan
keluar rumahsakit lebih awal pada hari itu. Sekali lagi, manajemen
anestesi seharusnya mengakomodasi jadwal pemulihan yang dipercepat.
Tenik yang sama menjelaskan total hip arthroplasty minimal invasive
dapat digunakan, dengan tambahan indwelling femoral catheter untuk
analgesia post operatif.
Selesai.-

6 Functions of Indonesian forest


-13-

Indonesia is one of countries with the largest forest area in the world and really need
to do the conservation. It also completed with a management of forests for
conservation and ecological balance of the earth nature. Different types of forests in
Indonesia have the following functions.

1. Prevent erosion and landslides. The roots of the tree serve as a binder grain of
soil. With no forest, no rain fell to the ground but fell to the leaf surface or
absorbed into the ground.
2. Keeps, organize, maintain supplies of water in the rainy season also dry season.
3. Fertilize the soil, as fallen leaves will break down into soil humus.
4. As an economic resource. It can be utilized as a result of forest raw materials
or raw materials for industrial and building. For example, rattan, rubber, and
gutta-percha are used for handicrafts and materials of building.
5. As a dutfah plasma source for diversity in forest ecosystems that allow for the
development of genetic biodiversity.
6. Reduce pollution to air pollution. Plants absorb carbon dioxide and produce
oxygen needed by a living.

-14-

Anda mungkin juga menyukai